Agama Islam
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan
agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi
hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Allah
hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh sebab itu tidak ada suatu
agama pun yang diterima selain Islam.
Allah ta’ala berfirman,
َّما َك اَن ُمَح َّم ٌد َأَبا َأَح ٍد ِّمن ِّر َج اِلُك ْم َو َلِكن َّر ُسوَل ِهَّللا َو َخ اَت َم الَّن ِبِّييَن َو َك اَن ُهَّللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليمًا
“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki diantara kalian, akan tetapi dia
adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)
Allah ta’ala juga berfirman,
اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم َو َأْت َم ْم ُت َع َلْي ُك ْم ِنْع َمِتي َو َر ِض يُت َلُك ُم اِإلْس َالَم ِدينًا
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku
atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
ِإَّن الِّد يَن ِع نَد ِهّللا اِإلْس َالُم
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Allah ta’ala berfirman,
َو َمن َي ْب َت ِغ َغْي َر اِإلْس َالِم ِدينًا َفَلن ُيْق َبَل ِم ْن ُه َو ُهَو ِفي اآلِخَر ِة ِمَن اْلَخ اِس ِر يَن
“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya dan di
akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk beragama demi Allah dengan memeluk
agama ini. Allah berfirman kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُقْل َيا َأُّيَها الَّن اُس ِإِّن ي َر ُسوُل ِهّللا ِإَلْي ُك ْم َج ِميعًا اَّلِذي َلُه ُم ْلُك الَّسَماَو اِت َو اَألْر ِض ال ِإَلـَه ِإَّال ُه َو ُيْح ِيـي َو ُيِميُت َف آِم ُنوْا ِباِهّلل َو َر ُس وِلِه الَّن ِبِّي اُألِّمِّي اَّل ِذي
ُيْؤ ِمُن ِباِهّلل َو َك ِلَماِتِه َو اَّت ِبُعوُه َلَع َّلُك ْم َتْهَتُد وَن
“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah bagi kalian semua,
Dialah Dzat yang memiliki kekuasaan langit dan bumi, tidak ada sesembahan yang haq selain Dia,
Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya
seorang Nabi yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada Allah serta kalimat-kalimat-Nya,
dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan hidayah.” (QS. Al A’raaf: 158)
Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang artinya, “Demi Zat yang jiwa
Muhammad berada di tangannya. Tidaklah ada seorang manusia dari umat ini yang mendengar
kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas dia meninggal dalam keadaan tidak
mau beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk salah seorang penghuni
neraka.”
Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan apa yang beliau bawa dengan
disertai sikap menerima dan patuh, bukan sekedar pembenaran saja. Oleh sebab itulah maka Abu
Thalib tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallamwalaupun dia membenarkan ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani bersaksi bahwasanya
Islam adalah agama yang terbaik.
Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama
sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu
karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat
manapun. Allah ta’ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َو َأنَز ْلَن ا ِإَلْي َك اْلِك َت اَب ِباْلَح ِّق ُمَصِّدقًا ِّلَما َب ْي َن َيَدْيِه ِمَن اْلِك َت اِب َو ُمَهْيِمنًا
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar sebagai pembenar kitab-kitab yang
terdahulu serta batu ujian atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)
Maksud dari pernyataan Islam itu cocok diterapkan di setiap masa, tempat dan masyarakat adalah
dengan berpegang teguh dengannya tidak akan pernah bertentangan dengan kebaikan umat tersebut
di masa kapan pun dan di tempat manapun. Bahkan dengan Islamlah keadaan umat itu akan menjadi
baik. Akan tetapi bukanlah yang dimaksud dengan pernyataan Islam itu cocok bagi setiap masa,
tempat dan masyarakat adalah Islam tunduk kepada kemauan setiap masa, tempat dan masyarakat,
sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.
Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang telah mendapatkan jaminan
pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala bagi siapa saja yang berpegang teguh dengannya
dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala berfirman,
ُهَو اَّلِذي َأْر َس َل َر ُسوَلُه ِباْلُهَدى َو ِديِن اْل َح ِّق ِلُيْظ ِه َر ُه َع َلى الِّديِن ُكِّلِه َو َلْو َك ِر َه اْلُم ْش ِر ُك وَن
“Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk dan Agama yang benar
untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang musyrik tidak
menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)
Allah ta’ala berfirman,
َو َعَد ُهَّللا اَّلِذيَن آَم ُنوا ِمنُك ْم َو َعِم ُلوا الَّصاِلَح اِت َلَي ْس َت ْخ ِلَف َّن ُهم ِفي اَأْلْر ِض َك َما اْس َت ْخ َلَف اَّلِذيَن ِمن َقْبِلِه ْم َو َلُيَم ِّك َن َّن َلُهْم ِد يَن ُهُم اَّلِذي اْر َت َضى َلُهْم َو َلُيَب ِّد َلَّن ُهم ِّمن
َب ْع ِد َخ ْو ِفِه ْم َأْم نًا َي ْع ُبُد وَن ِني اَل ُيْش ِر ُك وَن ِبي َش ْيئًا َو َمن َكَف َر َب ْع َد َذ ِلَك َف ُأْو َلِئَك ُه ُم اْلَف اِس ُقوَن
“Allah benar-benar telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman serta beramal salih diantara
kalian untuk menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana orang-orang sebelum
mereka telah dijadikan berkuasa di atasnya. Dan Allah pasti akan meneguhkan bagi mereka agama
mereka, sebuah agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka peluk. Dan Allah pasti akan
menggantikan rasa takut yang sebelumnya menghinggapi mereka dengan rasa tenteram, mereka
menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Dan barangsiapa yang
ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)
Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan dan syariat/hukum. Islam adalah
ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya:
1. Islam memerintahkan untuk menauhidkan Allah ta’ala dan melarang kesyirikan.
2. Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta.
3. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya.
4. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat.
5. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji.
6. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan
durhaka kepada mereka.
7. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang terputus)
dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim.
8. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap buruk
kepada mereka.
Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam memerintahkan semua akhlak yang mulia dan
melarang akhlak yang rendah dan hina. Islam memerintahkan segala macam amal salih dan
melarang segala amal yang jelek. Allah ta’ala berfirman,
ِإَّن َهّللا َي ْأُمُر ِباْلَع ْد ِل َو اِإلْح َس اِن َو ِإيَت اء ِذي اْلُقْر َبى َو َي ْن َهى َع ِن اْلَف ْح َش اء َو اْلُمنَك ِر َو اْلَب ْغ ِي َيِع ُظ ُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُروَن
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan memberikan nafkah kepada sanak
kerabat. Dan Allah melarang semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta tindakan melanggar
batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)
Inilah Pilar Agamamu: Rukun dan Makna Islam (1)
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena dengan
Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak
akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun kita berada. Sebuah
kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia sebesar
apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti
dari Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.
Inilah Pilar Itu
Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan kita
pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga telah
memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada kehancuran dan
kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan bagi orang-orang
yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita kepada umatnya bahkan melebihi
kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
َلَقْد َج اءُك ْم َر ُسوٌل ِّمْن َأنُفِس ُك ْم َع ِز يٌز َع َلْيِه َما َع ِنُّت ْم َح ِر يٌص َع َلْي ُك م ِباْلُمْؤ ِمِنيَن َر ُؤ وٌف َّر ِحيٌم
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau bersabda
yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan sholat, (3)
menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari
Muslim)
Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau, “Wahai
Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab, “Islam adalah
Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau menunaikan zakat,
kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.”
Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad! Beri tahukan
kepada ku tentang Iman?” Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-
Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang
buruk.” (HR. Muslim)
Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam yang
seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut dapat
kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah sedangkan iman
adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati. Sehingga jika digabungkan istilah Iman dan Islam
maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan amalan-amalan lahir yang
dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan Islam namun perbuatan
tersebut tidak
dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada orang
yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya maka inilah yang
disebut dengan orang yang durhaka.
Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima pilar:
1. Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah.
2. Menegakkan sholat.
3. Menunaikan zakat.
4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.
Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama tegaknya
agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji
Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.
Makna Islam
Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian islam
yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah dengan
tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri
dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan
Allah (musyrik). Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul semenjak
nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan
Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam secara
umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian juga agama para pengikut Nabi dan
Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam dengan pengertian di atas,
pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh
kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan
Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik.
Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam,
agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi
Muhammad pada zaman ini adalah Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
َما َك اَن ِإْب َر اِهيُم َيُهوِدّي ًا َو َال َن ْص َر اِنّي ًا َو َلِكن َك اَن َح ِنيفًا ُّمْس ِلمًا َو َما َك اَن ِمَن اْلُم ْش ِر ِكيَن
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang
yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-
orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Allah juga berfirman,
ُهَو َسَّماُك ُم اْلُمْس ِلميَن ِمن َقْبُل
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)
Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya syariat
dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah
makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel macam-
macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang yang masih mengikuti ajaran
nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang beragama Islam. Di samping itu,
ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang berarti berserah diri.
Inilah Pilar Agamamu: Penjelasan Ringkas Rukun Islam (2)
Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah taat pada Allah
dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan kita
dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Membenarkan berita yang beliau bawa
karena beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena perkataan beliau tidak berasal dari
hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau adalah benar-benar Rasulullah
adalah membenarkan perkataan beliau. Menjauhi seluruh larangan beliau karena perkataan beliau
tidak berasal dari hawa nafsu dan beliau hanya melarang kita dari hal yang tidak bermanfaat bagi
dunia dan agama kita. Beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena orang
yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia telah melakukan bid’ah. Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak
ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).
-bersambung insya Allah-
Inilah Pilar Agamamu: Penjelasan Ringkas Rukun Islam (3)
Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi
3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat
sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas
melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar
pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah
utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika
engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara
faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah
Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi
syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada
Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap
qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup
perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara
faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila
kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-
amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila
sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang
lainnya. Seperti dalam
firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata
Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh
seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya
dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga
diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila
dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu:
menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-
Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’inhlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup
perkara lahir maupun batin.
Nabi Muhammad memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah beliau diutus oleh Allah untuk
seluruh manusia dan jin. Adapun seluruh Nabi sebelum beliau hanyalah diutus untuk umatnya
masing-masing.
Allah Ta’ala berfirman:
َأل ْل َأ
ُقْل َي ا ُّي َه ا الَّن اُس ِإِّن ي َر ُسوُل ِهللا ِإَلْي ُك ْم َج ِميًعا اَّلِذي َل ُه ُم ُك الَّس َم اَو اِت َو ْا ْر ِض آل ِإَل َه ِإَّال ُه َو ُيْح ِي
َو ُيِميُت َفَئ اِم ُنوا ِباِهلل َو َر ُسوِلِه الَّن ِبِّي ْاُألِّمِّي اَّلِذي ُيْؤ ِمُن ِباِهلل َو َك ِلَماِتِه َو اَّت ِبُعوُه َلَع َّلُك ْم َت ْه َت ُد وَن
Katakanlah: “Hai manusia, sesung-guhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu semua, yaitu Alloh
yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang
menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Alloh dan RosulNya, Nabi yang
ummi yang beriman kepada Alloh dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya) dan ikutilah dia,
supaya kamu mendapat petunjuk. [QS. Al-A’rof (7): 158]
Perintah Allah dalam ayat ini “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua”, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk seluruh manusia,
sebagaimana firman Allah,
َو َم آ َأْر َس ْلَن اَك ِإَّال َك آَّفًة ِللَّن اِس َبِش يًر ا َو َن ِذ يًر ا َو َلِكَّن َأْك َث َر الَّن اِس َال َي ْع َلُموَن
Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui. [QS. Saba’
(34): 28]
Oleh karena itulah siapa saja yang telah mendengar dakwah agama Islam, agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad , yang membawa kitab suci Al-Qur’an, kemudian tidak beriman, tidak percaya dan
tidak tunduk, maka dia adalah orang kafir dan di akhirat menjadi penghuni neraka, kekal selamanya.
Allah Ta’ala berfirman,
َأل
َو َم ن َي ْكُفْر ِبِه ِمَن ْا ْح َز اِب َفالَّن اُر َم ْو ِع ُد ُه َفَال َت ُك ِفي ِم ْر َي ٍة ِّم ْن ُه ِإَّن ُه اْلَح ُّق ِمن َّر ِّب َك َو َلِكَّن َأْك َث َر الَّن اِس
َال ُيْؤ ِم ُنوَن
Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada
al-Qur’an, maka nerakalah tempat yang diancam-kan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu
terhadap al-Qur’an itu. Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar dari Robbmu, tetapi kebanyakan
manusia tidak beriman”. [QS. Hud (11): 17]
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
َو اَّلِذي َن ْف ُس ُم َح َّمٍد ِبَيِدِه َال َي ْس َم ُع ِبي َأَح ٌد ِم ْن َه ِذِه ْاُألَّم ِة َي ُه وِدٌّي َو َال َن ْص َر اِنٌّي ُثَّم َي ُم وُت َو َلْم ُي ْؤ ِم ْن
َأ ُأ
ِباَّلِذي ْر ِس ْلُت ِبِه ِإَّال َك اَن ِم ْن ْص َح اِب الَّن اِر
Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun di kalangan umat ini, Yahudi
atau Nashrani, mendengar tentang aku, kemudian dia mati, dan tidak beriman kepada apa yang aku
diutus dengan-nya, kecuali dia termasuk para peng-huni neraka. [Hadits Shohih Riwayat Muslim, no:
153, dari Abu Huroiroh]
َو ِإْذ َقاَل ِع يَس ى اْبُن َم ْر َي َم َي ا َب ِني ِإْس َر اِء يَل ِإِّني َر ُس وُل ِهللا ِإَلْي ُك م ُّم َص ِّد ًقا ِّلَم ا َب ْي َن َي َدَّي ِمَن الَّت ْو َر اِة
َو ُم َب ِّشًر ا ِبَر ُسوٍل َي ْأِتي ِمن َب ْع ِدي اْس ُمُه َأْح َم ُد
Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan
Alloh kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurot dan memberi khabar
gembira dengan (datangnya) seorang Rosul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)”. Maka tatkala Rosul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. [QS. Ash-Shoff (61): 6]
َأَفَت ْط َم ُعوَن َأن ُيْؤ ِم ُنوا َلُك ْم َو َقْد َك اَن َفِر يٌق ِم ْن ُهْم َي ْس َم ُعوَن َكَالَم ِهَّللا ُثَّم ُيَح ِّر ُفوَن ُه ِمن َب ْع ِد َم ا َع َقُل وُه َو ُه ْم
َي ْع َلُموَن
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari
mereka (Ahli Kitab) mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka menge-tahui? [QS. Al-Baqoroh (2): 75]
Dan Allah mengancam dengan keras terhadap orang-orang yang mengada-adakan kedustaan
terhadap Allah dengan firmanNya,
َفَو ْيٌل ِّلَّلِذيَن َي ْك ُتُبوَن اْلِك َت اَب ِبَأْيِديِه ْم ُثَّم َي ُقوُلوَن َه َذ ا ِم ْن ِع نِد ِهَّللا ِلَي ْش َت ُروا ِب ِه َث َم ًن ا َقِليًال َف َو ْي ٌل َّلُهم ِّمَّم ا
َكَت َب ْت َأْيِديِه ْم َو َو ْي ُُلَّلُهم ِّمَّما َي ْك ِس ُبوَن
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka
sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang
sedikit (yakni kesenangan duniawi-pen) dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi
mereka akibat dari apa yang telah mereka tulis dengan tangan-tangan mereka, dan kecelakaan
besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan. [QS. Al-Baqoroh (2): 79]
Setiap ibadah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar ibadah tersebut sah. Seseorang
yang hendak sholat tentu akan berwudhu terlebih dahulu, karena suci adalah syarat sah sholat.
Begitu pula ibadah yang lain seperti haji, puasa dan zakat juga memiliki rukun-rukun dan syarat yang
tidak boleh tidak harus dipenuhi. Segala sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan sesuatu
yang lain disebut syarat. Lalu bagaimana pula dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illalloh?
Tidak diragukan lagi bahwa syahadat adalah setinggi-tingginya derajat keimanan dan rukun islam
yang paling utama. Di sana ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kalimat Laa Ilaaha
Illalloh yang kita ucapkan dianggap sah.
Para ulama menjelaskan bahwa syahadat Laa Ilaaha Illalloh memiliki delapan syarat:
1. Ilmu
Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk
mengucapkan kalimat syahadat ini dengan mengilmui makna dari kalimat tersebut. Alloh
berfirman, “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memberi
syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak
(tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az Zukhruf: 86). Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengilmui Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk
surga.” (HR. Al Bukhori dan Muslim). Dan makna yang benar dari kalimat Laa Ilaaha
Illalloh yaitu tidak ada sesembahan yang haq melainkan Alloh Ta’ala.
2. Yakin
Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya sehingga tidak mudah terombang-ambing
oleh berbagai cobaan. Alloh berfirman,“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah
orang-orang yang percaya (beriman) kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh. Mereka itulah orang-
orang yang benar.” (Al Hujurat: 15)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang engkau jumpai dari balik dinding ini
dia bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dengan keyakinan hatinya sampaikanlah kabar gembira untuknya
bahwa dia masuk surga.” (HR. Muslim)
3. Menerima
Alloh menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak menerima dakwah Nabi Muhammad
dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha
Illalloh’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh) mereka menyombongkan diri. Dan
mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami
karena seorang penyair gila?’.” (As Shoffat: 35-36)
Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Inilah sifat orang kafir, tidak
menerima kebenaran kalimat Laa ilaaha Illalloh. Sungguh hanya Alloh lah yang berhak disembah dan
diibadahi.
4. Tunduk
Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin. Alloh berfirman, “Dan barangsiapa
yang menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Alloh-lah
kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)
Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti
ajaranku.” (HR. Thabrani)
5. Jujur
Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami
telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar (jujur) dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut: 2-3)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan
Muhammad hamba Alloh dan rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Alloh mengharamkan neraka
untuk menyentuhnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah bagaimana syahadat orang munafik
ditolak oleh Alloh karena tidak jujur. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh.’
Dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Alloh mengetahui
bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (Al Munafiqun: 1)
6. Ikhlas
Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Alloh saja, tidak kepada selain-Nya. Alloh
berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan mengikhlaskan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Apa yang dimaksud dengan ikhlas?
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Alloh mengharamkan bagi neraka menyentuh
orang yang mengatakan Laa Ilaaha Illalloh karena semata-mata mencari wajah Alloh.” (HR. Al
Bukhori dan Muslim)
7. Cinta
Alloh berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang
beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh
semuanya dan bahwa Alloh amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al Baqoroh: 165)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal barangsiapa memilikinya pasti akan
merasakan kelezatan iman: Alloh dan rasul-Nya lebih dia cintai dibanding selain keduanya, dia
mencintai seseorang karena Alloh, dan dia benci untuk kembali kafir sebagaimana kebenciannya jika
dilempar ke dalam api.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang agung semoga Dia melindungimu di
dunia dan di akhirat. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi di
manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu termasuk di
antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa cobaan, dan
meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah tonggak
kebahagiaan.
Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya, Al Hanifiyah yaitu agama yang
diajarkan oleh Ibrahim ialah beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama (amal)
untuk-Nya. Itulah perintah yang Allah berikan kepada segenap umat manusia dan hikmah penciptaan
mereka.
Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56). Apabila kamu
telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid.
Sebagaimana halnya shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak disertai
dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka apabila syirik menyusupi suatu
ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak. Sebagaimana apabila ada hadats yang muncul pada diri
orang yang sudah bersuci.
Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila menyusupi ibadah akan menghancurkan
ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi tergolong
penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah mengerti bahwa perkara terpenting bagimu adalah
memahami seluk beluknya. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari jebakan perangkap ini;
yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah ta’alaberfirman tentang syirik ini (yang artinya), “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik
yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 48). Dan hal itu akan mudah kamu
mengerti dengan mempelajari empat buah kaidah yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-
Nya:
Kaidah Pertama
Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Sedangkan
pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam. Dalilnya adalah firman
Allahta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit
dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan. Dan siapakah yang
mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan
siapakah yang mengatur segala urusan, maka pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka
katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’.” (QS. Yunus [10]: 31)
Kaidah Kedua
Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka (sesembahan
selain Allah, pen) dan bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka melainkan hanya
dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allah, pen) dan untuk mendapatkan syafa’at.”
Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri adalah firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong
(sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena bermaksud
agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah pasti
akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu.
Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang gemar berdusta dan suka
berbuat kekafiran.”(QS. Az Zumar [39]: 3)
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat dengan kesyirikan yang
mereka perbuat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain
Allah; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula
menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi syafa’at
bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (QS. Yunus [10]: 18)
Kaidah Ketiga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki peribadatan
yang beraneka ragam. Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada pula yang
beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang beribadah
kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan. Mereka semua
sama-sama diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa sedikitpun membeda-
bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan
perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya
diperuntukkan kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya (yang
artinya), “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka
janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada Allah yang
menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]:
37)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi sebagai
sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya yang
artinya, “Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan
kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa
berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan
menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di
dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.’.” (QS. Al Maa’idah [5]:
116)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang salih adalah firman-Nya Yang
Maha Tinggi (yang artinya), “Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb
mereka; siapakah di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan
curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’ [17]: 57)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya Yang Maha
Tinggi (yang artinya), “Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu
sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53]: 19-20). Demikian juga ditunjukkan oleh hadits Abu
Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika kami berangkat bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar dari
agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon yang mereka jadikan
sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu
disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai
Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebatang Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath yang mereka
miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181], Ahmad dalam Musnadnya [5/218]. Tirmidzi mengatakan: hadits hasan
sahih)
Kaidah Keempat
Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang musyrik
zaman dahulu. Sebab orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan beribadah
(berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa kita melakukan
syirik secara terus menerus, baik ketika lapang ataupun ketika terjepit. Dalil yang menunjukkan
hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan diterpa
ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa) kepada Allah dengan penuh ikhlas
mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka
kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 65)
Selesai, semoga shalawat dan doa keselamatan senantiasa tercurah kepada Muhammad, segenap
pengikutnya, dan terutama para sahabatnya.
Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah yang agung.
Alloh berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah hafal tujuan tersebut karena sering kita dengar,
tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah ibadah kita itu diterima ataukah tidak? Maka, tidak ada
seorang pun yang dapat menjamin hal ini, sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk
beramal dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap agar ia mendapat ridho Alloh serta janji-
janji yang sudah ditetapkan Alloh dalam Al Qur’an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima.
Dan janganlah ia berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan merasa bahwa ibadahnya pasti
diterima.
Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103,
104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini? yang telah beramal dengan susah payah
sewaktu masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh Ta’ala.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Amma ba’du, sesungguhnya
sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan adalah jalan Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek urusan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.
Para pembaca yang budiman, Allah ta’ala berfirman di dalam kitabnya yang mulia,
ِإَّن َهّللا َال َي ْغ ِفُر َأن ُيْش َر َك ِبِه َو َي ْغ ِفُر َما ُد وَن َذ ِلَك ِلَمن َي َش اُء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan Dia akan mengampuni
dosa lainnya yang berada di bawah tingkatannya bagi siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya.” (QS.
An Nisaa’: 116)
Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting kedudukannya
dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya membuahkan
akidah yang benar pula tentang Allah Ta’ala. Dengan memohon pertolongan Allah kami mencoba
mengulas permasalah pokok tentang rukun iman yang pertama ini. Semoga ulasan berikut dapat
memperkokoh iman kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Makna Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni keyakinan yang pasti bahwa
Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala
sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua
sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah
kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,
ِب ِل ِط ِم ِنِه ِل ِب
َذ َك َأَّن اَهلل ُه َو اَحْلُّق َو َأَّن َم اَيْد ُعوَن ن ُدو ُه َو اْلَبا ُل َو َأَّن اَهلل ُه َو اْلَع ُّي اْلَك ُري
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya
Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan mulia, tersucikan dari segala kekurangan
dan cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan
tauhdi asma’ wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam tauhid ini, karena makna
iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah Ta’ala dalam rububiyah,
uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholeh al
Fauzan).
َو َلِئن َس َأْلَتُه م َّم ْن َخ َلَق ُه ْم َلَيُقوُلَّن اُهلل َفَأىَّن ُيْؤ َفُك وَن
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya
mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”
(QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya kaum musyrikin tetap diperangi
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mengakui tentang rububiyah Allah.
Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama Islam. AllahTa`ala berfirman yang
artinya: “Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya….” (QS. Al-Baqarah: 285) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril `alaihis
salam tentang iman, beliau menjawab: “(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik dan buruk.”
(Muttafaq `alaih)
Barangsiapa yang ingkar dengan keberadaan malaikat, maka dia telah kafir, keluar dari Islam.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa`: 136)
Hakikat malaikat
Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan, “Dalil-dalil dari al-Qur`an, as-
Sunnah, dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin (tentang malaikat) menunjukkan hal-hal sebagai
berikut:
Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah.
Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah menciptakan jin
dan manusia juga untuk beribadah kepada-Nya semata.
Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat berbicara.
Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan manusia. Mereka hidup di alam
yang mulia lagi suci, yang Allah memilih tempat tersebut di dunia karena kedekatannya, dan
untuk melaksanakan perintah-Nya, baik perintah yang yang bersifat kauniyyah,
maupun syar`iyyah.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah
mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-
hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka
(malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang
yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Dan barangsiapa di
antara mereka, mengatakan: ‘Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain daripada Allah’, maka orang itu
Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang
zalim.” (QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29)
(Lihat Mu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil
Muqarrabiin hal. 15)
Rukun Iman keempat yang harus diimani oleh setiap mukmin adalah beriman kepada para Nabi dan
Rasul utusan Allah. Diutusnya Rasul merupakan nikmat yang sangat agung. Kebutuhan manusia
terhadap diutusnya Rasul melebihi kebutuhan manusia terhadap hal-hal lain. Untuk itu, kita tidak
boleh salah dalam meyakini keimanan kita kepada utusan Allah yang mulia ini. Berikut adalah
penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan iman kepada Nabi dan Rasul.
Dalil-Dalil Kewajiban Beriman Kepada Para Rasul
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya beriman kepada para Rasul, di antaranya adalah
firman Allah Ta’ala,
َو َلِكَّن اْلِبَّر َم ْن َءاَمَن بِاِهلل َو اْلَي ْو ِم ْاَألِخ ِر َو اْلَم َلِئَك ِة َو اْلِك َت اِب َو الَّن ِبِّيَن
“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, dan nabi-nabi” (QS. Al Baqarah: 177)
ُك ٌّل َءاَمَن ِباِهلل َو َم َالِئَك ِتِه َو ُكُتِبِه َو ُرُسِلِه َال ُنَف ِّر ُق َب ْي َن َأَح ٍد ِّمن ُّر ُسِلِه َو َقاُلوا َس ِمْع َن ا َو َأَط ْع َن ا
“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya
(mereka mengatakan):’ Kita tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dan
rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan “Kami dengar dan kami taat…” (QS. Al Baqarah: 285)
Pada ayat-ayat di atas Allah menggandengkan antara keimanan kepada para Rasul dengan
keimanan terhadap diri-Nya, malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Allah menghukumi kafir
orang yang membedakan antara keimanan kepada Allah dan para Rasul. Mereka beriman terhadap
sebagian namun kafir tehadap sebagian yang lain (Al Irsyaad ilaa shahiihil I’tiqaad, hal 146)
Sumber Rujukan:
1. Syarhu Ushuulil Iman. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim.
Cetakan pertama 1419 H
2. Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad. Syaikh Sholih Al Fauzan Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan
pertama tahun 2006.
3. Jaami’us Syuruuh al ‘Aqidah at Thahawiyah. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi cetakan pertama
tahun 2006.
4. Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul.Penerbit Maktabah ar Rusyd, Riyadh. Cetakan
pertama 1422H/2001M.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Pokok-Pokok Keimanan Kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir hukumnya wajib dan kedudukannya dalam agama merupakan salah satu di
antara rukun iman yang enam. Banyak sekali AllahTa’ala menggandengkan antara iman kepada Allah
dan iman kepada hari akhir, karena barangsiapa yang tidak beriman kepada hari akhir, tidak mungkin
akan beriman kepada Allah. Orang yang tidak beriman dengan hari akhir tidak akan beramal, karena
seseorang tidak akan beramal kecuali dia mengharapkan kenikmatan di hari akhir dan takut terhadap
adzab di hari akhir.[1]
Disebut hari akhir karena pada hari itu tidak ada hari lagi setelahnya, saat itu merupakan tahapan
yang terakhir[2]. Keimanan yang benar terhadap hari akhir mancakup tiga hal pokok yaitu mengimani
adanya hari kebangkitan, mengimani adanya hisaab (perhitungan) dan jazaa’ (balasan), serta
mengimani tentang surga dan neraka. Termasuk juga keimanan kepada hari akhir adalah mengimani
segala peristiwa yang akan terjadi setelah kematian seperti fitnah kubur, adzab kubur, dan nikmat
kubur.
َي ْو َم َن ْط ِو ي الَّس َم آَء َك َط ِّي الِّس ِج ِّل ِلْلُكُتِب َك َم ا َب َد ْأَن آ َأَّو َل َخ ْلٍق ُّن ِعيُد ُه َو ْع ًد ا َع َلْي َن آ ِإَّن ا ُكَّن ا َف اِع ِليَن
}104{
“Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran – lembaran kertas. Sebagaimana
Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang
pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al Anbiyaa’:104)
Hari kebangkitan merupakan kebenaran yang sudah pasti. Ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah
dan Ijmaa’ (konsensus) kaum muslimin. Allah Ta’alaberfirman,
}16{ } ُثَّم ِإَّنُك ْم َي ْو َم اْلِقَياَمِة ُتْب َع ُثوَن15{ ُثَّم ِإَّنُك م َب ْع َد َذ ِلَك َلَم ِّي ُتوَن
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati(15). Kemudian,
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (QS. Al
Mukminun:15-16)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda :
يحشر الناس يوم القيامة حفاة عراة غرال
“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang, dan
tidak disunat”[3]
Kaum muslimin juga telah sepakat mengenai kepastian adanya hari kebangkitan ini. [4]
}26{ } ُثَّم ِإَّن َع َلْي َن ا ِحَس اَب ُهم25{ ِإَّن ِإَلْي َن آ ِإَّي اَب ُهْم
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka(25). kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah
menghisab mereka.” (QS. Al Ghasiyah:25-26)
َو َن َض ُع اْلَمَو اِز يَن اْلِقْس َط ِلَي ْو ِم اْلِقَياَمِة َفَال ُتْظ َلُم َن ْف ٌس َش ْي ًئ ا َو ِإن َك اَن ِم ْث َق اَل َح َّب ٍة ِّمْن َخ ْر َد ٍل
ه عشرا ومن هم بسيئة فلمddومن هم بحسنة فلم يعملها كتبت له حسنة فإن عملها كتبت ل
}14{ } َو ِإَّن اْلُفَّج اَر َلِفي َج ِحيٍم13{ ِإَّن ْاَألْب َر اَر َلِفي َن ِعيٍم
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh
keni’matan. dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (Al
Infithaar:13-14)
Berkaitan dengan surga dan neraka, ada beberapa hal penting yang merupakan keyakinan ahlus
sunnah yang membedakannya dengan ahlul bid’ah :
}133 { َو َس اِر ُعوا ِإَلى َم ْغ ِفَر ٍة ِّمن َّر ِّب ُك ْم َو َج َّن ٍة َع ْر ُض َه ا الَّس َم اَو اُت َو ْاَألْر ُض ُأِع َّد ْت ِلْلُم َّت ِقيَن
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran:133)
Tentang neraka Allah berfirman,
}131{ َو اَّتُقوا الَّن اَر اَّلِتي ُأِع َّد ْت ِلْلَك اِفِر يَن
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir” (QS.
Ali Imran:131)
Diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Sidratul Muntaha,
kemudian melihat dan masuk ke dalam surga. Hal ini terjadi ketika beliau Isra’ Mi’raj.[8]
َو َي اَئ اَد ُم اْس ُك ْن َأنَت َو َز ْو ُج َك اْلَج َّنَة َفُكَال ِم ْن َح ْي ُث ِش ْئُتَم ا َو َالَت ْق َر َب ا َه ِذِه الَّش َج َر َة َفَت ُك وَن ا ِمَن
Keempat: Surga dan Neraka Sudah Ditentukan Siapakah Yang Akan Menjadi Penghuninya
ْأ
َو َلَق ْد َذ َر َن ا ِلَج َه َّن َم َك ِثيًر ا ِمَن اْلِج ِّن َو ْاِإلنِس
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia …
”(QS. Al A’raf: 179)
Dari ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إن هللا خلق للجنة أهال خلقهم لها وهم في أصالب آبائهم وخلق للنار أهال خلقهم لها وهم
َو َأَّما اَّلِذيَن ُسِع ُد وا َف ِفي اْلَج َّن ِة َخ اِل ِديَن ِفيَه ا َم اَد اَمِت الَّس َم اَو اُت َو ْاَألْر ُض ِإَّال َم اَش آَء َر ُّب َك
أن تشبوا فال تهرموا أبدا وإن لكم أن تنعموا فال تبأسوا أبدا فذلك قوله عز وجل { ونودوا
َف ِإَّن َهللا َت َع اَلى َخ َل َق الَج َّن َة َو الَّن اَر َق ْب َل، َال َت ْف َن َي اِن َأَب ًد ا َو ال َت ِبْيَداِن، َو الَج َّن ُة َو الَّن اُر َم ْخ ُلْو َقَت اِن
َو َلْو َت َر ى ِإِذ الَّظ اِلُموَن ِفي َغ َمَر اِت اْلَم ْو ِت َو اْلَم َالِئَك ُة َباِس ُط وا َأْيِديِه ْم َأْخ ِر ُج وا َأنُفَس ُك ُم اْلَي ْو َم
{ ُتْج َز ْو َن َع َذ اَب اْلُهوِن ِبَم ا ُك نُتْم َت ُقوُلوَن َع َلى ِهللا َغ ْي َر اْلَح ِّق َو ُك نُتْم َع ْن َء اَياِت ِه َت ْس َت ْك ِبُروَن
}93
“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam
tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
“Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena
kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu
menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am: 93). [14]
Adapun dalil tentang adanya siksa kubur adalah tentang kisah pertanyaan malaikat di alam kubur
kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah Ta’ala lalu meneguhkan orang-orang
yang beriman dengan kata-kata yang mantap, sehingga dengan kemantapannya ia menjawab,
”Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan nabiku adalah Nabi Muhammad”. Sebaliknya Allah
menyesatkan orang-orang yang dzalim. Orang yang kafir hanya bisa menjawab, ”Hah…hah!Aku tidak
tahu” sementara itu orang munafik atau orang yang ragu menjawab :” Aku tidak tahu. Aku dengar
orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku ikut pula mengaatkannya”[15].
Macam-Macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam:
[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah
mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah
adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam berkata,
“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu yang
terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari:
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang
sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal: (1) rizki, (2) ajal, (3)
amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam
setahun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh
hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4). Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis
pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.”
(Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang
mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah
mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut generasi muda untuk bisa melek akan
hal itu. Sehingga orang tua pun berlomba-lomba bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar
komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong English. Namun sayangnya karena porsi yang berlebih
terhadap ilmu dunia sampai-sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore hari, kegiatan
belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari generasi muda saat ini yang tidak bisa baca
Qur’an, bahkan ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu.
Merenungkan Ayat
Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,
َي ْع َلُموَن َظ اِهًر ا ِمَن اْلَح َياِة الُّد ْن َيا َو ُه ْم َع ِن اَآْلِخَر ِة ُه ْم َغ اِفُلوَن
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)
Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan
mengenai maksud ayat di atas. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka
benar-benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-
benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462)
Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas
pada dunia saja. Namun mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka hanya
mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui kesenangan dan permainannya yang ada.
Mereka tidak mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia dan tidak tahu
kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak
mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja
dari kehidupan dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka melalui
perdagangan, pertanian, pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka
terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan ayat di atas, “Mereka mengetahui
kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari
pertanian, perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka
sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian
ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar Rahman.”
(Aysarut Tafasir, 4/124-125)
Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat tersebut, “Kebanyakan manusia tidak
mengetahui hal-hal yang akan membahagiakan mereka di akhirat. Mereka pun tidak mengetahui
aqidah yang benar, syari’at yang membawa rahmat. Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna
dan tidak akan mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut. Kebanyakan manusia
mengetahui dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok tanam, industri dan
perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka terhadap dunia yang batin atau tidak
tampak, mereka tidak mengetahui. Sebagaimana pula mereka benar-benar lalai dari kehidupan
akhirat. Mereka tidak membahas apa saja yang dapat membahagiakan dan mencelakakan mereka
kelak di akhirat. Kita berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan
negeri yang kekal abadi di mana di sana ditentukan siapakah yang bahagia dan akan sengsara.”
(Aysarut Tafasir, 4/125)
Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan mengenai kondisi orang kafir. Namun
keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin. Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu
dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di
sekitar kita, orang tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai membaca Iqro’ dan Al
Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat karena terlalu diberi porsi lebih pada
ilmu dunia sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang menyedihkan.
dahulu seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan fatwa untuk umat. Namun
jika memang si anak cenderung pada ilmu dunia, jangan sampai ia tidak diajarkan ilmu agama yang
wajib ia pelajari.
Dengan paham agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah kebaikan, terserah dia adalah dokter,
engineer, pakar IT dan lainnya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َم ْن ُيِر ِد ُهَّللا ِبِه َخ ْيًر ا ُيَف ِّقْهُه ِفى الِّديِن
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan
dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta, namun ilmu diin. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ِإَّن اَألْن ِبَياَء َلْم ُيَو ِّر ُثوا ِد يَن اًر ا َو َال ِدْر َهًما ِإَّن َما َو َّر ُثوا اْلِع ْلَم َفَم ْن َأَخ َذ ِبِه َأَخ َذ ِبَح ٍّظ َو اِفٍر
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR
Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682, Shahih)
Semoga tulisan ini semakin mendorong diri kita untuk tidak melalaikan ilmu agama. Begitu pula pada
anak-anak kita, jangan lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami untuk bekal amalan
keseharian mereka. Wallahu waiyyut taufiq. (*)
Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (19/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar Islam
Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah keutamaan yang disebutkan oleh
sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena
mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling
mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada
orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya
adalah suatu qurbah (mendekatkan diri pada Allah).”
Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada
setelah berbagai hal yang wajib yang lebih utama dari menuntut ilmu.”
Namun ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk
mendengar para ulama menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk belajar.
Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat tidak pernah malu untuk belajar, mereka
tidak pernah putus asa untuk belajar meskipun sudah berada di usia senja. Ada yang sudah berusia
26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai
belajar. Namun mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul
himmah(semangat yang kuat dalam belajar).
Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia senja, mereka masih semangat
dalam mempelajari Islam.
Referensi:
‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi,
hal. 202-206.
Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj, Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib
Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.
Kemuliaan Ilmu dan Ulama
Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah
sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
َط َلُب اْلِع ْل ِم َفِر يَض ٌة َع َلى ُك ِّل ُمْس ِلٍم
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari
Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan
disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat
berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah
agama tanpa ilmu:
3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
َأ
ِإَّن َهَّللا اَل َي ْق ِبُض اْلِع ْل َم اْن ِتَز اًعا َي ْن َت ِز ُعُه ِمَن اْلِعَباِد َو َلِكْن َي ْق ِبُض اْلِع ْل َم ِبَق ْب ِض اْلُع َلَماِء َح َّت ى ِإَذ ا َلْم ُيْب ِق َعاِلًما اَّتَخ َذ الَّن اُس ُرُءوًس ا ُجَّهاًال َفُسِئُلوا َف ْف َت ْو ا ِبَغ ْي ِر
ِع ْل ٍم َف َض ُّلوا َو َأَض ُّلوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan
mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang
‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu
ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan
orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga
mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah
haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia
sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr,
diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
َياَأُّيَها اَّلِذيَن َءاَم ُنوا َال ُتَق ِّدُموا َب ْي َن َيَد ِي ِهللا َو َر ُسوِلِه َو اَّتُقوا َهللا ِإَّن َهللا َس ِميٌع َعِليُُم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh
dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah
memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap
Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya.
Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh
perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka
berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir
Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang
dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan,
oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah
sholallohu ‘alaihi wassallam:
َم ْن َد َعا ِإَلى ُه ًد ى َك اَن َلُه ِمَن ْاَألْج ِر ِم ْث ُل ُأُجوِر َم ْن َت ِبَع ُه َال َي ْنُقُص َذ ِلَك ِمْن ُأُجوِر ِه ْم َش ْي ًئ ا َو َم ْن َد َع ا ِإَلى َض َالَلٍة َك اَن َع َلْيِه ِمَن ْاِإلْث ِم ِم ْث ُل آَث اِم َم ْن َت ِبَع ُه
َال َي ْنُقُص َذ ِلَك ِمْن آَث اِم ِه ْم َش ْي ًئ ا
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala
orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu
Hurairah)
8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang
Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang
Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-
nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di
bawah ini:
َو َمن َّلْم َي ْح ُك م ِبَمآ َأنَز َل ُهللا َف ُأْو َالِئَك ُه ُم اْلَك اِفُروَن
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang
masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara
yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
Fadhilatus Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah ditanya pertanyaan berikut:
“Bagaimana metode yang benar dalam belajar agama secara bertahap? Dan bagaimana metode
yang benar dalam belajar ilmu aqidah, tafsir, fiqih dan hadits. Dari mana kita memulainya?”
Beliau lalu menjawab:
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya sedang mencari metode yang benar untuk
mendapatkan ilmu agama. Namun yang benar, pertama-tama, seorang penuntut ilmu hendaknya
mencari dulu guru yang menguasai ilmu syar’i yang berjalan di atas manhaj salafus shalih. Karena
memilih guru dan memilih kitab yang tepat adalah metode yang benar untuk menuntut ilmu syar’i.
Memilih mata pelajaran dalam ilmu syar’i baik aqidah, tafsir, hadits, fiqih, ilmu bahasa, sirah,
semuanya ini tidak diragukan lagi butuh tahapan dan butuh pula kebijaksanaan dalam berpindah dari
satu tahapan ke tahapan yang lain atau dari satu kitab ke kitab yang lain.
Ketika belajar aqidah dan ingin melalui tahapan yang benar, maka seorang penuntut ilmu hendaknya
memulai dengan belajar kitab Al Ushul Ats Tsalatsah milik Imam Mujaddid Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab (wafat 1206 H) rahimahullah. Dalam kitab ini terdapat ilmu yang melimpah dalam
permasalahan aqidah yang tidak akan membuat penuntut ilmu menyimpang dari manhaj salafus
shalih dalam memahami agama.
Setelah itu lanjutkan mempelajari Al Qawaid Al Arba’, Kasyfus Syubhat dan Risalah Ushulil Iman.
Tulisan-tulisan ini merupakan panduan dalam bidang aqidah dan merupakan pelajaran pokok dalam
mempelajari ilmu-ilmu syariah yang lain. Ketika seseorang telah mempelajari kitab-kitab ini, ia akan
memiliki akidah yang benar dan berjalan di atas manhaj salafiy, serta mendapatkan pencerahan
darinya. Kemudian setelah mempelajari kitab-kitab ini, hendaknya berpindah ke tahapan yang lebih
tinggi semisal Kitab At Tauhid, lalu setelah menyelesaikan kitab ini berpindah lagi ke kitab Al
Aqidah Al Washithiyyah milik Imam Mujaddin Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat
728H) rahimahullah. Lalu melanjutkan ke kitab Al Hamawiyyahdan At Tadmuriyyah lalu Al Aqidah
Ath Thahawiyyah.
Setelah itu, dapat melanjutkan membaca kitab-kitab Sunan yang berkaitan dengan pembahasan
sunnah dan tahdzir terhadap bid’ah. Yang terkenal diantaranya Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah milik Al
Laalikaa-i (wafat 418H), Kitab As Sunnah milik Al Khallal (wafat 311H), Kitab As Sunnah milik
Abdullah bin Ahmad bin Hambal (wafat 290H), Al Ibanah milik Ibnu Bathah Al’Akbari (wafat 387H),
dan Kitab At Tauhid milik Ibnu Khuzaimah (wafat 311H) dan kitab-kitab lain yang termasuk dalam
bidang ini.
Adapun yang berkaitan dengan ilmu tafsir, yang aku pilih untuk para penuntut ilmu adalah kitab Tafsir
Ibni Katsir (774H) rahimahullah, dan Kitab Tafsir As Sa’di (1376H) rahimahullah. Lebih khusus lagi,
aku menyarankan Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir milik Muhammad Nasib Ar Rafi’i karena -
sepengetahuan kami- beliau telah meringkas Tafsir Ibni Katsir hingga sejalan dengan manhaj salaf.
Jika mampu menyelesaikan kitab-kitab tadi, maka pelajarilah Tafsir Al Baghawi (516H) juga kitab-
kitab tafsir selain yang disebutkan yang bila seorang penuntut ilmu membacanya lalu menelaahnya ia
bisa menyadari jika menemukan ta’wil-ta’wil yang tercela, semisal kitab Tafsir Al Qurthubi (wafat
671H). Dan dapat juga mempelajari kitab tafsir lainnya seperti Tafsir Ibnul Jauzi (wafat 597H),
dan Tafsir Asy Syaukani (wafat 1250H).
Namun dengan catatan, dalam sebagian kitab-kitab tafsir yang bagus dan mengandung limpahan
ilmu tersebut, penulisnya -rahimahullah ‘alaihim- terkadang men-ta’wil ayat-ayat tentang sifat Allah.
Tapi sedikit sekali ta’wil yang disepakati oleh mereka yang men-ta’wil nash Qur’an dan Sunnah
dengan ta’wilan yang tercela. Penyebab terjadinya hal tersebut, -sepengatahuan kami- ada tiga:
1. Pengaruh lingkungan tempat sang mufassir hidup
2. Pengaruh guru tempat sang mufassir menuntut ilmu
3. Pengaruh telaah kitab-kitab. Sebagian mufassir menelaah kitab-kitab yang memuat berbagai
pemikiran manusia, lalu ia terpengaruh
Sedangkan dalam ilmu hadits, seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dari Al Arba’in An
Nawawiyah untuk dihafal dan dipahami, juga membaca penjelasan yang terkandung di dalamnya.
Lalu hendaknya secara bertahap mempelajari Umdatul Ahkam kemudian Bulughul Maram, juga
dengansyarah-nya. Kemudian, setelah itu barulah ia mampu untuk mempelajari Shahihain (Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim) dan Kutubus Sittah. Akal dan keilmuan manusia itu senantiasa
berkembang sejalan dengan kelurusan niatnya serta keberlanjutannya dalam menuntut ilmu tanpa
terputus.
Begitu juga dalam ilmu fiqih. Andai seorang penuntut ilmu sekedar membaca hadits-hadits saja ia
akan mendapat banyak pemahaman dari apa yang ia baca. Namun hendaknya mereka juga
mempelajari kitab-kitab fiqih seperti Umdatul Fiqhi yang merinci permasalahan-
permasalahan furu’ atau juga kitab Zaadul Mustaqni. Allah telah memuliakan umat ini dengan
adanya banyak kitab syarah dari Zaadul Mustaqni, baik dari ulama terdahulu maupun ulama di masa
ini. Di antara syarah yang mudah dipelajari adalah yang ditulis oleh ulama masa ini, Syaikh Al
Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dalam kitab As Syarh Al Mumthi’. Kitab ini memang
benar-benar memuaskan (mumthi’) karena di dalamnya terdapat bahasan-bahasan yang bermanfaat
dan penjelasan-penjelasan yang langka. Semoga Allah memberikan ganjaran kepada beliau,
menjadikan manfaat yang besar dari ilmu beliau, dan menambah keutamaan beliau.
Sedangkan dalam Sirah Nabawiyyah, mulailah dengan mempelajari Mukhtashar Sirah
Nabawiyyah karya Imam Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Kemudian setelah itu
mempelajari Sirah Nabawiyyah miliki Ibnu Hisyam (wafat 183H). Dan di zaman ini, walhamdulillah,
kitab-kitab sirah sudah banyak yang diringkas.
Namun juga, semua ilmu ini dalam mempelajarinya membutuhkan ilmu-ilmu alat seperti ilmu ushul
fiqih, qawa’id, musthalah, serta butuh perhatian terhadap ilmu bahasa arab dan qawaidul fiqhiyyah.
Sehingga barulah seseorang memiliki kemampuan untuk mengambil ilmu dari dalil-dalil Qur’an dan
Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Semua ini, tidak cukup hanya dengan membaca kitab secara otodidak, bahkan jika perlu seseorang
menempuh perjalanan untuk mencari guru ke daerah lain jika memang di daerahnya tidak ada,
sebagaimana yang dilakukan para salafus shalih dalam menuntut ilmu. Ini jika memang mampu untuk
menempuh perjalanan tersebut. Jika tidak mampu menempuh perjalanan tersebut, maka bacalah
kitab-kitab lalu kumpulkan hal-hal yang membingungkanmu, kemudian tempuhlah sekedar perjalanan
pendek (untuk menanyakanya kepada ulama, pent). Apalagi di zaman ini berhubungan dengan ulama
melalui telepon telah mencukupi kebutuhan tersebut tanpa harus bersusah payah. Walhamdulillah.
Wallahu’alam.
Sumber: http://www.ajurry.com/taseel.htm
Catatan:
Urutan dan jenis kitab dalam menuntut ilmu sebagaimana yang disebutkan di atas bukanlah suatu
yang saklek harus demikian. Setiap orang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang berbeda-beda
sehingga sangat mungkin berbeda pula tahapan belajarnya. Dan akan sangat mungkin berbeda
jawabannya jika ditanyakan kepada ulama yang lain. Namun yang pasti, seorang penuntut ilmu
hendaknya belajar kepada seorang guru yang mapan ilmunya, sehingga sang guru dapat
mengarahkan tahapan belajar yang cocok baginya.
—
Penyusun: Yulian Purnama
Pengaruh Teman Bergaul
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur bagaimana adab-adab serta
batasan-batasan dalam pergaulan. Pergaulan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Dampak
buruk akan menimpa seseorang akibat bergaul dengan teman-teman yang jelek, sebaliknya manfaat
yang besar akan didapatkan dengan bergaul dengan orang-orang yang baik.
Perintah Untuk Mencari Teman yang Baik dan Menjauhi Teman yang Jelek
Imam Muslim rahimahullah mencantumkan hadits di atas dalam Bab : Anjuran Untuk Berteman
dengan Orang Shalih dan Menjauhi Teman yang Buruk”. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan
bahwa dalam hadits ini terdapat permisalan teman yang shalih dengan seorang penjual minyak wangi
dan teman yang jelek dengan seorang pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul
dengan teman shalih dan orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab.
Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang-orang
yang mempunyai sikap tercela lainnya.” (Syarh Shahih Muslim 4/227)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan : “Hadits di ini menunjukkan larangan berteman
dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong
seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan
dunia.”( Fathul Bari 4/324)
Tawakkal
Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan
kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya
jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal
kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada seorang lelaki berkata kepada
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Berilah saya nasihat.” Beliaushollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jangan marah.” Lelaki itu terus mengulang-ulang permintaannya dan beliau tetap
menjawab, “Jangan marah.”(HR. Bukhari). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan, “Makna jangan
marah yaitu janganlah kamu tumpahkan kemarahanmu. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa
marah itu sendiri. Karena pada hakikatnya marah adalah tabi’at manusia, yang tidak mungkin bisa
dihilangkan dari perasaan manusia.”
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam juga pernah menasihatkan, “Apabila salah seorang dari kalian
marah dalam kondisi berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka
hendaknya dia berbaring.” (HR. Ahmad, Shohih)
Dahulu ada juga seorang lelaki yang datang menemui Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan
mengatakan, “Wahai Rosululloh, ajarkanlah kepada saya sebuah ilmu yang bisa mendekatkan saya
ke surga dan menjauhkan dari neraka.” Maka beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan
tumpahkan kemarahanmu. Niscaya surga akan kau dapatkan.” (HR. Thobrani, Shohih)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga mengatakan, “Bukanlah maksud beliau
adalah melarang memiliki rasa marah. Karena rasa marah itu bagian dari tabi’at manusia yang pasti
ada. Akan tetapi maksudnya ialah kuasailah dirimu ketika muncul rasa marah. Supaya kemarahanmu
itu tidak menimbulkan dampak yang tidak baik. Sesungguhnya kemarahan adalah bara api yang
dilemparkan oleh syaithan ke dalam lubuk hati bani Adam. Oleh sebab itulah anda bisa melihat kalau
orang sedang marah maka kedua matanya pun menjadi merah dan urat lehernya menonjol dan
menegang. Bahkan terkadang rambutnya ikut rontok dan berjatuhan akibat luapan marah. Dan
berbagai hal lain yang tidak terpuji timbul di belakangnya. Sehingga terkadang pelakunya merasa
sangat menyesal atas perbuatan yang telah dia lakukan.”
Lisan merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan dalam keseharian kita. Oleh karena itu,
sangat penting untuk menjaga lisan kita. Apakah banyak kebaikannya dengan menyampaikan yang
haq ataupun malah terjerumus ke dalam dosa dan maksiat.
Pada berbagai pertemuan, seringkali kita mendapati pembicaraan berupa gunjingan (ghibah),
mengadu domba (namimah) atau maksiat lainnya. Padahal, Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang hal
tersebut. Alloh menggambarkan ghibah dengan suatu yang amat kotor dan menjijikkan. Alloh
berfirman yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah
salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik dengannya.” (Al-Hujurat: 12)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan makna ghibah (menggunjing) ini. Beliau
bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Mereka menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya yang lebih
mengetahui” Beliau bersabda, “Engkau mengabarkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang
dibencinya.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu memang terdapat pada
saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka
engkau telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau
telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim)
Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, baik tentang
agama, kekayaan, akhlak, atau bentuk lahiriyahnya, sedang ia tidak suka jika hal itu disebutkan,
dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang
dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok. Banyak orang meremehkan masalah ghibah,
padahal dalam pandangan Alloh ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama
dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah
pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya.” (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)
Wajib bagi orang yang hadir dalam majelis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah
kemunkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam sangat menganjurkan hal itu, sebagaimana dalam sabdanya, “Barangsiapa membela (ghibah
atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Alloh akan menghindarkan api Neraka dari
wajahnya.” (HR. Ahmad)
Demikian pula halnya dalam mengadu domba (namimah). Mengadukan ucapan seseorang kepada
orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara keduanya adalah salah satu faktor yang
menyebabkan terputusnya ikatan, serta menyulut api kebencian dan permusuhan antar manusia.
Alloh mencela pelaku perbuatan tersebut dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang
yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kesana kemari menghambur
fitnah.” (Al-Qalam: 10-11). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk
surga al-qattat (tukang adu domba).” (HR. Bukhari). Ibnu Atsir menjelaskan, “Al-Qattat adalah orang
yang menguping
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Di zaman ini, akhlak baik kepada orang tua seakan semakin sirna. Apalagi sudah disibukkan dengan
anak dan istri. Atau barangkali ada kesibukan yang sebenarnya tidaklah urgent, namun ketika ortu
memanggil, jawaban sang anak, “Aduh Mama, ini lagi asyik nih. Trus saja Oci (panggilan akrabnya)
diganggu.” Gitulah anak muda. Karena terpengaruh TV, lingkungan dan lainnya.
Tak tahukah kita bahwa bermuamalah baik dengan ortu adalah jalan menuju surga?
Coba kita lihat hadits berikut ini yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah dalam kitab Al
Adabul Mufrod.
Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata,
َك َذ ا:ُ َم ا ِهَى ؟ قُلْت: قَاَل. َف َذ َك ْر ُت َذ اِلَك ِ الْب ِن ُع َم َر، َف َأَص ْب ُت َذ ُنْو ًبا َال َأَر اَه ا ِإَّال ِمَن اْلَك َباِئِر، ُكْن ُت َمَع الَّن َج َد اِت
َو َق ْذ ُف، َو اْلِف َر اُر ِمَن الَّز ْح ِف، َو َق ْت ُل ِنْس َم ٍة، ْاِإلْش َر اُك ِباِهلل: ُهَّن ِتْس ٌع، َلْي َس ْت َه ِذِه ِمَن اْلَك َب اِئِر: َق اَل.َو َك َذ ا
، َو ُبَك اُء اْل َو اِل َد ْي ِن ِمَن اْلُع ُق ْو ِق، َو اَّلِذْي َي ْس َت ْس ِخُر، َو ِإْل َح اُد ِفي اْلَم ْس ِجِد، َو َأْك ُل َم اِل اْل َي ِتْي ِم، َو َأْك ُل الِّر َب ا،اْل ُمْح َص َن ِة
ِع ْن ِدْي: َأَح ٌّي َو اِل َد اَك ؟ ُقْلُت: َو ِهللا! َق اَل، ِإْي: َو ُتِحُّب َأْن َت ْد ُخ َل اْل َج َّن َة ؟ ُقْلُت، َأَتَف َّر ُق الَّن اَر: ِلي اْبُن ُع َم َر: قَاَل
َلَتْد ُخَلَّن اْل َج َّنَة َم ا اْج َتَن ْبَت اْلَك َب اِئَر، َو َأْط َع ْم َت َه ا الَّط َع اَم، َفَو ِهللا! َلْو َأَلْن َت َلَه ا اْلَكَالَم: َق اَل. ُأِّمْى.
“Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap termasuk
dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya,
”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan perbuatan itu.” Beliau
menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu
mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang wanita
mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim, berbuat maksiat di
dalam masjid, menghina, dan [menyebabkan] tangisnya kedua orang tua karena durhaka [kepada
keduanya].” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?”
”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih
memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut
dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk
surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8,
shahih. Lihat Ash Shahihah 2898)
Lihatlah akhi … saksikanlah ukhti … bagaimana dengan sikap lemah lembut pada orang tua yang
mengandung dan membesarkan kita bisa memasukkan dalam surga! Subhanallah … Ternyata begitu
ringan amalan tersebut bagi siapa yang Allah mudahkan.
Disebutkan oleh Imam Al Bukhari pula dalam kitab yang sama, dari Urwah, ia berkata mengucapkan
firman Allah,
َو اْخ ِفْض َلُهَم ا َج َن اَح الُّذ ِّل ِمَن الَّر ْح َمِة
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al Isro’: 24)
“َال َت ْم َت ِنْع ِمْن َش ْي ٍء أَح َّباُه: قَاَل
Lalu ia berkata, “Janganlah engkau menolak sesuatu yang diinginkan oleh keduanya.” (HR. Bukhari
dalam Adabul Mufrod no. 9, shahih secara sanad)
Cobalah renungkan kedua hadits di atas. Berlemah lembut pada ortu sungguh luar biasa. Amalan
sederhana. Namun memang butuh dilatih. Apalagi kita mesti menghadapi orang tua yang mudah
emosi, sedikit-sedikit marah. Memang butuh kesabaran. Kalau kita mengingat balasan lemah lembut,
sungguh itu akan membuat kita berakhlak baik pada mereka. Cobalah membalas keburukan dengan
kebaikan. Moga saja kita dimudahkan oleh untuk bisa melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,
) َو َم ا34( َو اَل َت ْس َت ِو ي اْل َح َس َن ُة َو اَل الَّسِّي َئ ُة اْد َف ْع ِباَّلِتي ِهَي َأْح َس ُن َف ِإَذ ا اَّلِذي َب ْي َن َك َو َب ْي َن ُه َع َد اَو ٌة َك َأَّن ُه َو ِلٌّي َح ِميٌم
)35( ُيَلَّقاَه ا ِإاَّل اَّلِذيَن َص َب ُروا َو َم ا ُيَلَّقاَه ا ِإاَّل ُذ و َح ٍّظ َع ِظ يٍم
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan
yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, “Allah memerintahkan pada
orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada
yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam
ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah
yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang
memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang
berat bagi setiap jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243)
Semoga kita kembali teringat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِقيَل َم ْن َي ا َر ُس وَل ِهَّللا َق اَل « َم ْن َأْد َر َك َو اِلَد ْي ِه ِع ْن َد اْلِكَب ِر َأَح َد ُه َم ا َأْو.» َر ِغ َم َأْنُفُه ُثَّم َر ِغ َم َأْنُفُه ُثَّم َر ِغ َم َأْنُفُه
ِك َلْي ِه َم ا ُثَّم َلْم َي ْد ُخ ِل اْل َج َّنَة
“Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, ”(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup
atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.” (HR.
Muslim no. 2551)
Jadikanlah bakti pada orang tua, berlemah lembut pada mereka sebagai jalan menuju surga yang
penuh kenikmatan yang tiada tara.
Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
ِر َض ا الَّر ِّب ِفي ِر َض ا اْلَو اِلِد َو َس َخ ُط الَّر ِّب ِفي َس َخ ِط اْلَو اِلِد
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.”
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan jika
sampai pada sahabat, namun shahih jika sampai pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam)
Semoga kita mengingat perkataan amat bagus dari Ka’ab Al Ahbar. Beliau pernah ditanyakan
mengenai perkara yang termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,
إذا أمرك والدك بشيء فلم تطعهما فقد عققتهما العقوق كله
“Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan dalam maksiat, pen)
namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan
terhadap keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul Jauziy)
Semoga Allah beri taufik dan kemudahan bagi kita sekalian untuk berlemah lembut dan berakhlak
pada orang tua kita yang amat kita kasihi. Wallahu waliyyut taufiq.
- Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat -
Hakikat Sabar (1)
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai
macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana
kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam
tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta
menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul
Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga
macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang
menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari
orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk
menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa
meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya
adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak
berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah
pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua
urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga.
Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran
kalian.”(QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi
(di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi
yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di
antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena
mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil
Mannaan, hal. 375)
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan.
Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara,
namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah
berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-
sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti
akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di
dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala
Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa
ridha terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan
puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa
ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridha terhadap
perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu
hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).
Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri.
Maka hukum merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk
merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha
dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab
kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab(disunnahkan).
Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, “Ayat ini
berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu
berasal dari sisi Allah maka diapun merasa ridha” yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan
ia bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla
jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393)
Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit atau tertimpa suatu bencana yang
berakibat buruk bagi diri atau hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa bencana itu
merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah ?
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab, “Allah ‘azza wa jalla menguji
hamba-hamba-Nya dengan bentuk kesenangan dan kesulitan, dengan kesempitan dan kelapangan.
Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya bisa menaikkan derajat mereka serta
meninggikan sebutan mereka dan juga demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka. Yang
demikian itu sebagaimana yang dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam,
dan juga para hamba Allah yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian diikuti oleh orang-orang
lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”
Dan terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh perbuatan-perbuatan maksiat dan
dosa-dosa (yang mereka lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu merupakan
hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah Yang Mahasuci yang
artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah perbuatan tangan-
tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak kesalahan orang.”(QS. Asy Syura [42]: 30).
Adapun kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena taqshir/meremehkan dan
tidak menunaikan kewajiban yang telah dibebankan. Oleh karena itu musibah yang menimpa dirinya
maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa yang diperbuatnya serta kekurangannya
sendiri dalam menjalankan perintah Allah.
Sedangkan apabila yang mengalami musibah adalah termasuk golongan hamba Allah yang shalih,
entah berupa penyakit tertentu ataupun musibah yang lainnya, maka sesungguhnya hal ini termasuk
kategori ujian yang diberikan kepada kalangan para Nabi dan Rasul dalam rangka mengangkat
derajat serta membesarkan balasan pahalanya. Dan juga dia bisa menjadi contoh untuk orang lain
dalam hal kesabaran dan keyakinannya untuk berharap pahala. Sehingga hasil yang ingin diraih
dengan sebab terjadinya musibah ialah terangkatnya derajat, peningkatan pahala, sebagaimana
halnya musibah yang ditetapkan oleh Allah menimpa para Nabi dan sebagian orang yang baik/shalih.
Dan bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-kesalahan, sebagaimana tercantum
dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang melakukan kejelekan pasti akan
dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sebuah kesusahan, kekalutan, keletihan,
penyakit, kesedihan maupun gangguan yang menimpa seorang mukmin melainkan Allah pasti
menghapuskan sebagian dosa kesalahan-kesalahannnya, bahkan sampai duri yang menusuk bagian
tubuhnya.” Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang diinginkan baik oleh
Allah maka pasti Dia timpakan musibah kepadanya.”
Namun terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di segerakan disebabkan perbuatan-
perbuatan maksiat yang dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat. Hal itu sebagaimana
diceritakan di dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Apabila
Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Allah segerakan hukuman baginya di alam
dunia. Sedangkan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah menahan
hukuman atas dosa itu hingga terbayarkan kelak pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, dinilainya hasan).
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4, diterjemahkan dari website beliau)
tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia dunia
dan akhirat.” (QS. Al Hajj [22]: 11).
Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota
badan. Seperti dengan menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut dan
perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram hukumnya dan meniadakan sifat sabar yang
wajib ada.
Tebarkan Salam
Syariat Islam yang sempurna mengajarkan kaum muslimin untuk selalu meningkatkan kecintaan
terhadap saudara semuslim, merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Dan untuk mewujudkan
hubungan persaudaraan dan kasih sayang ini, maka syariat Islam memerintahkan untuk
menyebarkan salam.
Syiar Islam yang satu ini adalah termasuk syiar Islam yang sangat besar dan penting. Namun begitu,
sekarang ini salam sering sekali ditinggalkan dan diganti dengan salam salam yang lain, entah itu
dengan good morning, selamat pagi, selamat siang, salam sejahtera atau sejenisnya. Tentunya
seorang muslim tidak akan rela apabila syariat yang penuh berkah lagi manfaat ini kemudian diganti
dengan ucapan-ucapan lain. Allah berfirman, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah
sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al Baqarah: 61). Dan sungguh apa yang ditetapkan Allah untuk
manusia, itulah yang terbaik.
Perintah dari Allah
Allah berfirman, “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah
kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri,
salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (Qs. An Nur: 61)
Syaikh Nashir As Sa’di berkata, “Firman-Nya: Salam dari sisi Allah, maksudnya Allah telah
mensyari’atkan salam bagi kalian dan menjadikannya sebagai penghormatan dan keberkahan yang
terus berkembang dan bertambah. Adapun firman-Nya: yang diberi berkat lagi baik, maka hal
tersebut karena salam termasuk kalimat yang baik dan dicintai Allah. Dengan salam maka jiwa akan
menjadi baik serta dapat mendatangkan rasa cinta.” (Lihat Taisir Karimir Rohman)
Etika Salam
Imron bin Husain berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi seraya
mengucapkan Assalamu ‘alaikum. Maka nabi menjawabnya dan orang itu kemudian duduk. Nabi
berkata, “Dia mendapat sepuluh pahala.” Kemudian datang orang yang lain mengucapkan Assalamu
‘alaikum warahmatullah. Maka Nabi menjawabnya dan berkata, “Dua puluh pahala
baginya.” Kemudian ada yang datang lagi seraya mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullahi
wa barakatuh. Nabi pun menjawabnya dan berkata, “Dia mendapat tiga puluh pahala.” (Shohih.
Riwayat Abu dawud, Tirmidzi dan Ahmad)
Dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Memulai salam hukumnya sunnah bagi setiap individu, berdasar pendapat terkuat.
2. Menjawab salam hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan para ulama.
3. Salam yang paling utama yaitu dengan mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi wa
barakatuh, kemudian Assalamu’alaikum warahmatullah dan yang terakhir Assalamu’alaikum.
4. Menjawab salam hendaknya dengan jawaban yang lebih baik, atau minimal serupa dengan
yang mengucapkan. Allah berfirman “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu.” (Qs. An Nisa: 86)
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Hendaknya orang yang berkendaraan memberi salam
kepada yang berjalan. Yang berjalan kepada yang dduk yang sedikit kepada yang banyak.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Dalam lafazh Bukhari, “Hendaklah yang muda kepada yag lebih
tua.” Demikianlah pengajaran Rosul tentang salam. Namun orang yang meninggalkan tatacara salam
seperti pada hadits ini tidaklah mendapat dosa, hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang
utama.
Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji
manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus Rasul-Nya
dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada.
Sholawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta
keluarga dan sahabat juga seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam
semesta. Amma ba’du.
Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan
dirimu. Perjalanan kehidupan terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai kesulitan.
Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu
luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan membawamu berputus
asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
وأن مع العسر يسرا، وأن الفرج مع الكرب، واعلم أن النصر مع الصبر
“Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar
beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits riwayat
Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu
bak sebuah cahaya yang panas. Dia memberikan keterangan di sekelilingnya akan tetapi memang
terasa panas menyengat di dalam dada.
Sombong vs Tawadhu
Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al Qur’an dan As Sunah mencelanya dan
mengajak kita untuk meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini diancam tidak masuk
ke dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah memuji hamba-hamba-Nya yang rendah hati
dan tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala berfirman,
َو ِع َب اُد الَّر ْح َم ِن اَّلِذيَن َي ْم ُشوَن َع َلى اَأْلْر ِض َه ْو ًن ا َو ِإَذ ا َخ اَط َب ُهُم اْل َج اِه ُلوَن َق اُلوا َس اَل ًما
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi
dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik.” (QS. Al Furqaan: 63)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اْلِكْبُر َب َط ُر اْل َح ِّق َو َغ ْم ُط الَّن اِس
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-
senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati
masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa
amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil.
Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu.
Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat
memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar
dan berserah diri.
Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya
Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu
[1] Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2]
Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah
yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,
) ِإاَّل اَّلِذيَن َآَم ُنوا َو َعِم ُلوا الَّصاِلَح اِت َفَلُهْم َأْج ٌر َغْيُر َم ْم ُنوٍن5( ) ُثَّم َر َد ْد َن اُه َأْس َف َل َس اِفِليَن4( َلَقْد َخ َلْق َن ا اِإْلْن َس اَن ِفي َأْح َس ِن َت ْق ِو يٍم
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian
Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-
6)
Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya,” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia
dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.”
Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas,
‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah
“dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak
semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.” Masa tua
adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan
masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.
An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit
untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat
muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya.”
Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman”
adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk
beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka
tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui,
seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan
berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua
renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)
Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.
ُهَّللا اَّلِذي َخ َلَقُك م ِّمن َض ْع ٍف ُثَّم َج َع َل ِمن َب ْع ِد َض ْع ٍف ُقَّو ًة ُثَّم َج َع َل ِمن َب ْع ِد ُقَّو ٍة َض ْع فًا َو َش ْي َب ًة َي ْخ ُلُق َما َي َش اُء َو ُهَو اْلَع ِليُم اْلَق ِديُر
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah
(kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan,
tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh
(segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang
dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan
lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga
menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase
kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase
dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh
uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya
semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu,
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah
(kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)
Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan
sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.
Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan
beramal.
Daud Ath Tho’i mengatakan,
ا بينdd فإن استطعت أن تُــقِّدم في كل مرحلة زادًا لم، إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم إلى آخر سفرهم
فكأنك باألمر قد، ركddا أنت قاض من أمdd واقض م، فتزّو د لسفرك، واألمر أعجل من ذلك، فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو، يديها فافعل
َب َغ ـتَــك
Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir
perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka
lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera
daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau
lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh
Abdurrahman As Suhaim)
Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
ِإْن ُأِر يُد ِإاَّل اِإْلْص اَل َح َما اْس َت َط ْع ُت َو َما َت ْو ِفيِقي ِإاَّل ِباِهَّلل َع َلْيِه َت َو َّك ْلُت َو ِإَلْيِه ُأِنيُب
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal
dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)
Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah
memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Sabtu Pagi, 17 Rabi’ul Awwal 1430 H
Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat RabbnyaMuhammad Abduh Tuasikal
Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu
Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan
hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai
dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َم ْن َك اَن ُيْؤ ِمُن ِباِهلل َو ْالَي ْو ِم ْاألِخ ِر َف ْلُيْك ِر ْم َض ْي َف ُه
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya.” (HR. Bukhari)
Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan
ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
masa. Amma ba’du.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Barang siapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal.
Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang
yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka
membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah
akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)
Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al
Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas
daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan
termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat
yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi
Maktumradhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits,
hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)
penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong
beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka
adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan
pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi
mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat.
Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 141). Barang
siapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As
Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)
Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah dengan beberapa
syarat yaitu:
1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad
maka ia dihukumi marfu’ (bersumber dari Nabi)
2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan
sahabat tidak diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa
yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat yang lain mendiamkannya.
Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus
berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.
3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-
Qur’an atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka sudah pasti akan ada
sahabat lain yang menentang pendapatnya itu.
4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat
lain yang menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong
ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur ulama.
5. Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat bahwasanya ucapan
sahabat yang telah disepakati oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah tidak mungkin
bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika (seandainya !!) memang ada ucapan mereka
yang bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama memilih untuk tawaquf/diam.
Karena tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad dirinya sendiri.
Walaupun begitu, menurut mereka perkataan sahabat yang bertentangan dengan analogi itu
tetap harus didahulukan daripada analogi. Karena ucapan sahabat adalah nash/dalil tegas.
Sedangkan dalil tegas harus didahulukan daripada analogi !! (lihatMa’alim Ushul Fiqih ‘inda
Ahlis Sunnah wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein Al Jizani hafizhahullah, hal. 222-225)
Lihatlah sikap para ulama, mereka lebih mendahulukan ucapan seorang sahabat yang bertentangan
dengan analogi daripada pendapat yang dibangun di atas analogi semata !! Itu adalah bukti bahwa
mereka benar-benar menghormati dan memuliakan para sahabat.
Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan martabat para
sahabat di mata kaum muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para sahabat saja
sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang
mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan
laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) Duhai
para tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah kuburanlah
yang akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!
Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, wajib bagi kalian untuk menimba ilmu
sebelum ilmu itu diangkat. Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya ulama. Dan
berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan membuat-buat ajaran baru dan bersikap melampaui
batas. Kalian wajib mengikuti urusan generasi awal yang lebih tua dan utama (para sahabat).”
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu
beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan
ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para
ahli baca al-Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mencontoh maka
teladanilah para ulama yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu
mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang
telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran
agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena
sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” Beliau juga mengatakan, “Ikutilah tuntunan,
karena sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah cukup. Wajib bagi kalian mengikuti urusan kaum
tua/para sahabat.”
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada di
atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).” Beliau
juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.”
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kamu tidak akan sesat selama kamu tetap konsisten
dengan atsar.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya agama itu dibangun di atas pikiran semata
niscaya bagian bawah dari terompah itu lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun
karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap permukaan atas kedua
terompahnya (maka itulah ajaran yang harus diikuti).”
Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al Khaththab radhiyallahu
‘anhu tatkala mencium hajar aswad berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya sekedar
batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat bahwa
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Berhentilah di mana kaum itu (para
sahabat) berhenti. Karena mereka diam dan berhenti dengan landasan ilmu. Mereka menahan diri
dengan bekal pandangan yang cermat dan tajam. Padahal sebenarnya mereka adalah orang yang
paling mampu untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Dan tentu saja mereka jauh lebih dahulu
melakukannya jika hal itu memang sesuatu yang lebih utama. Seandainya ada di antara kalian yang
berkata: ada ajaran baru sesudah mereka. Maka pada hakikatnya tidak ada yang menciptakannya
kecuali orang yang menentang petunjuk mereka serta membenci sunnah mereka. Sesungguhnya
mereka telah membicarakannya dan sudah cukup memberikan jalan pemecahan. Dan apa yang
mereka bicarakan sebenarnya sudah sangat mencukupi. Oleh sebab itu siapapun yang melampaui
mereka maka dia adalah orang yang nekat melanggar batasan. Dan siapapun yang sengaja
mengurang-ngurangi ajaran mereka maka dia adalah orang yang melecehkan. Sungguh telah ada
suatu kaum yang sengaja mengurang-ngurangi petunjuk mereka sehingga akhirnya mereka pun
celaka. Dan ada pula yang nekat melanggar batas hingga akhirnya mereka pun menjadi ekstrem.
Sesungguhnya para sahabat itu meniti jalan tengah di antara keduanya, mereka senantiasa berada di
atas petunjuk yang lurus.”
Imam Auza’i rahimahullahu ta’ala berkata, “Kamu harus mengikuti jejak para ulama salaf. Meskipun
risikonya orang-orang menjadi menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat-pendapat orang, meskipun
mereka berusaha mengemasnya dengan ucapan-ucapan yang indah. Karena sesungguhnya urusan
agama ini sudah terang dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”
Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang ahli bid’ah semakin menambah
kesungguhannya melainkan dia pasti akan semakin bertambah jauh dari Allah.”
Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum menciptakan kebid’ahan melainkan
akan dicabut sunnah yang sepadan dengannya.”
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu mengatakan: Selama seseorang
meniti atsar maka itu berarti dia masih berada di atas jalan yang benar.”
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat.
Karena maksiat masih bisa diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah sangat kecil harapan taubatnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya pegangan yang harus kau ikuti adalah atsar
(hadits), dan boleh saja kamu mengambil pendapat orang yang benar dalam hal menafsirkan hadits.”
Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu Hanifah rahimahullah, “Apa
pendapatmu tentang perkara yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan tentang
‘ardh (badan) dan jism (jasad, maksudnya Apakah Allah itu memiliki tubuh, red) ?” Maka beliau pun
menjawabnya, “Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan atsar/riwayat dan
mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia adalah bid’ah.”
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barang siapa yang
menaikinya niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya pasti akan tenggelam.”
Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu kalam/filsafat itu benar-benar ilmu, pastilah para sahabat
sudah membicarakannya dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka telah berbicara dalam masalah
hukum-hukum. Akan tetapi ilmu itu memang suatu kebatilan dan akan menjerumuskan ke dalam
kebatilan.”
Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata: Barang siapa yang
menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka
pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi
kerasulan. Sebab Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi
kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu
maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami
adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah
sesat.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat seseorang yang termasuk sebagai kaum
Ash-habul hadits (pembela hadits) maka seolah-olah aku sedang melihat salah seorang sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar Qutaibah rahimahullah mengatakan, “Jika
kamu melihat ada seorang yang mencintai ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin
Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih…” beliau juga menyebutkan nama-nama yang lain.
“Maka ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang siapa yang menyelisihi mereka maka
ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”
Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung dan merangkum
wasiat para imam di atas. Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa memperbaiki generasi akhir
umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab
itu ajaran apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka juga bukan termasuk agama pada
hari ini.” (silakan lihat wasiat-wasiat para ulama ini lebih lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish
shalih, hal. 197-206)
Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah
mengatakan dengan tegas di dalam kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di
antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci
orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan
cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka
adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)
Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta Islam. Dan membenci Sahabat berarti
membenci Islam. Wallahu ta’ala a’lam bish shawaab.
Yogyakarta, Kamis 27 Rabi’uts Tsani 1427 Hijriyah
Meneladani Sahabat Nabi, Jalan Kebenaran
Di tengah maraknya pemikiran dan pemahaman dalam agama Islam, klaim kebenaran begitu larisnya
bak kacang goreng. Setiap kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan diri sebagai yang lebih benar
pemahamannya terhadap Islam, menurut keyakinannya.
Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan relatif. Karena
Allah Ta’ala telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan Nabi-
Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib menyakini bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam
Al Qur’an adalah memiliki nilai kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al
Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al
Qur’an sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-
sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.
Yang menjadi masalah sekarang, mengapa ketika semua kelompok dan jama’ah mengaku telah
berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, mereka masih berbeda keyakinan, berpecah-belah dan
masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya? Setidaknya ini menunjukkan Al Qur’an dan
sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ternyata dapat ditafsirkan secara beragam, dipahami
berbeda-beda oleh masing-masing individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah
sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta sabda-sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya, merekalah para sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum
ajma’in.
Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan
sahabat Nabi:
ع أخالقهمdd وبما نطقت به السنة النبوية في المدح لهم في جمي، لما أثنى هللا عليهم في كتابه العزيز،والصحابة كلهم عدول عند أهل السنة والجماعة
وما بذلوه من األموال واألرواح بين يدي رسول هللا صلى هللا عليه وسلم،وأفعالهم
“Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena
Allah Ta’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian yang
diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan mereka. Juga
dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”[3]
Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:
َو الَّساِبُقوَن اَأْلَّو ُلوَن ِمَن اْلُمَهاِج ِر يَن َو اَأْلْن َص اِر َو اَّلِذيَن اَّت َبُعوُه ْم ِبِإْح َس اٍن َر ِض َي ُهَّللا َع ْن ُهْم َو َر ُضوا َع ْن ُه َو َأَع َّد َلُهْم َج َّن اٍت َت ْج ِر ي َت ْح َت َه ا اَأْلْن َه اُر َخ اِل ِديَن
َٰذ
ِفيَها َأَب ًد ا ۚ ِلَك اْلَفْو ُز اْلَع ِظ يُم
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar” (QS. At Taubah: 100)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau
bersabda:
ال تزالون بخير ما دام فيكم من رآني وصاحبني ومن رأى من رآني ومن رأى من رأى من رآني
“Kebaikan akan tetap ada selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan para
sahabatku, dan orang yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah melihat
orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)”[4]
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
ثم الذين يلونه، ثم الذين يلونهم، خير الناس قرني
“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah
mereka”[5]
Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap
para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat terbaik,
masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda dengan kita yang belum tentu
mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan
dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah
memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka. Imam Abu Hanifah berkata:
ه وسلم إالd ثم نكف عن جميع أصحاب رسول هللا صلى هللا علي, أبوبكر وعمر وعثمان وعلي: أفضل الناس بعد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
بذكر جميل
“Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar,
lalu Utsman lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh menyebut mereka kecuali dengan sebutan-
sebutan yang indah”[6]
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما بلغ مد أحدهم وال نصيف، فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا، ال تسبوا أصحابي
“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung
Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu genggam),
bahkan tidak menyamai setengahnya”[7]
Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah berlandaskan
hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan adanya
sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih
wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak diperkenankan untuk
menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad
hadits tersebut shahih ataukah tidak?
Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول هللا صلى هللا عليه و سلم – والصحابة والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث
ا يؤخذ بهddالضعيف المتروك وال االسناد القوي من الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال ال يعمل حتى يسأل م
منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم
“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang
memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia
tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits
yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam
kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh
mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab
tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada
ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).
Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-,
bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi
spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh
periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi
landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,
فأما األئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان
“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
ال يجوز أن يعتمد فى الشريعة على األحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة وال حسنة
“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid
berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa1/250).
Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat
dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu
untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil
dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya
apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan.
Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil
dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).
Diterjemahkan dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10, karya Zakariya bin Ghulam
Qadir al-Bakistani.
Gedong Kuning, Yogyakarta, 5 Rabi’ ats Tsani 1431.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Hadits Dho’if Menjadi Sandaran Hukum
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai macam perkara baru
dalam agama ini (baca: bid’ah). Seperti contohnya adalah acara tahlilan/yasinan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para
sahabatnya. Dan kebanyakan bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya hadits dho’if/lemah di
tengah-tengah umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin
sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah, “Bacakanlah surat
yasin untuk orang mati di antara kalian“. (Hadits ini dho’if (lemah) diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu
Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul (tidak
dikenal)).
Selain itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu
mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan
kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan palsu) ini semakin tersebar -di zaman yang penuh kebodohan
mengenai derajat hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i. Namun menjadi
suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran
hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini.
Pernahkah terbetik pertanyaan ketika kita membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al
Fatihah : 6), bagaimana jalan yang lurus itu? Itulah jalan yang telah Allah jelaskan pada ayat
berikutnya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka
…” Begitu pula dalam surat lain, “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para
nabi, para shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya” (QS.AnNisaa’:69)
Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga
akhir masa. Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-
Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka
mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai
persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat
bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada
kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan
ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering
disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah
kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk
diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut
berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk
mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al
Albani- hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau Limadza
Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,
Lc. hafizhahullah dengan judulMengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari,
Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca
langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”
penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah
yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam
bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut
Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang
menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu
adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-
bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah
kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66,
hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama
tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema
Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena
jasa mereka ini. Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih
dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini
yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha
kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan
Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya
menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung
Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga
tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al
Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-
lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam
ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi
salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut
sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini
merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada
para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat
dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang
yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim
sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak
mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan
mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa
keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya
kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta
kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa
yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani,
Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang
yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari
kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri
mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa
berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan
mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di
dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir
Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka
dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam
dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang
menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka
maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani
membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada
orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan
congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks
penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan
membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang
yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau
mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi,
membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam
Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau
Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu
dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela
orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-
telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik
yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada
mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh
(Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang
khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud
dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan
sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian
dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al
Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali
jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…”
(dinukil dariLimadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al
Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa
Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap
agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam
yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan
keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala
kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh
Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para
Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti
manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti
pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan
maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi
fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan
berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah
Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun
sunnah!! (silakan bacaLau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan
Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara.
Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu
jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak
mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu
seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al
Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al
Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah
jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu
Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini
telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73
golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits
perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan
umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al
Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204
karya Al Imam Al Albani rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits
perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang
mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan
amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan
menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan
pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah
hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah
‘salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga
definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya
Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan
bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun
bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat Lau
Kaana Khairan, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah
sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah
secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar
seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:
1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang
melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang
yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan
sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi
masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil
dari Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil
Muhsin hafizhahullah).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-
orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di
atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan
ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus
Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati
keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan
amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan
kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau
Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti
Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al
Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah (Golongan
yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang
mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata
praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para
ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal
Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14). Apabila
para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah maka kami sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau
sudah menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan
bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun
Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca
buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan
menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan
dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara
singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu
adalah:
1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait
(keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari
kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para
Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini
pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani
mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah
kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta
begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal.
49-53).
2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang
madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah.
Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham
Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki
pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan
madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup
dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi
dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna
imannya. Wallaahul musta’aan.
3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka
ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa
besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan
baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir.
Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat
yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan
pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di
antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini
menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan
ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu
dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar
termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan
meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab
Khawarij.
6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari
majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar
itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina
manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin
‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil)
sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham
Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi
juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan
dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa
tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang
bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa.
Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat
QS. Al Hasyr: 14).
7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada
madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah,
mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah
yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal.
Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa
ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul
Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun.
Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab
Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat
memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja
yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat.
Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus
Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas
pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara
firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah
dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga
kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan
berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran
Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya
pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red),Jama’ah Tabligh dari India yang
menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij
tulen, kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat
internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan
Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara
mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah
Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih
banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih
dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca
buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-
orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau organisasi
atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia dan siksa di
akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath
Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al
Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama
sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab
Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang
adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan
petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang
tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat
sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita
ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman. Ukurlah
keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ingat,
jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru saudara akan
bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat
ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan:
‘Kenalilah kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot
membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau
pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua
menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak,
berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah mendapatkan larangan dari
Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti
apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah
ini kuat-kuat!!
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang
kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan mengantarkan menuju
Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap kebenaran dan
mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya
untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi
seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa
mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan
dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku)
tegak
di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan]
begitu pula [orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana
ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu
yang disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-
Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku menyembah
Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang masih jauh
dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah berasal dari kami dan
dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan kami. Dan kami memohon ampun
kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang budiman sangat kami
harapkan demi tegaknya kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah
dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat beriring salam
semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga,
para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian
alam.
Jogjakarta, Jum’at 23 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriyah
Catatan:
Mohon kepada ikhwah sekalian untuk menyebarluaskan risalah ini secara utuh tanpa merubah
content dan memenggal tulisan di dalamnya, serta jangan lupa untuk tetap mencantumkan
sumbernya (muslim.or.id). Jazaakumullahu khoiron…
Para pembaca yang budiman -semoga Allah menunjuki kita kepada kebenaran-. Salaf dan salafi
mungkin merupakan kata yang masih asing bagi sebagian orang atau kalau toh sudah dikenal namun
masih banyak yang beranggapan bahwa istilah ini adalah sebutan bagi suatu kelompok baru dalam
Islam. Lalu apa itu sebenarnya salaf? Dan apa itu salafi? Semoga tulisan berikut ini dapat
memberikan jawabannya.
Pengertian Salaf
Salaf secara bahasa berarti orang yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang
artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu kami
tenggelamkan mereka semuanya (di laut). Dan Kami jadikan mereka sebagai SALAF dan contoh
bagi orang-orang yang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56), yakni kami menjadikan mereka sebagai
SALAF -yaitu orang yang terdahulu- agar orang-orang sesudah mereka dapat mengambil pelajaran
dari mereka (salaf). Oleh karena itu, Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al Muhith mengatakan, “Salaf juga
berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang dan orang-orang yang memiliki
hubungan kekerabatan denganmu.” (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani, ‘Amr Abdul
Mun’im Salim dan Al Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary)
Kata ‘Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama
Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata salaf, namun kata ini tidaklah asing di
kalangan ulama. Imam Bukhari -ahli hadits terkemuka- menuturkan, “Rasyid bin Sa’ad mengatakan,
‘Dulu para SALAF menyukai kuda jantan, karena kuda seperti itu lebih tangkas dan lebih kuat’.”
Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut adalah para sahabat dan
orang setelah mereka.
Imam Nawawi -ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam kitab beliau Al Adzkar, “Sangat
bagus sekali doa para SALAF sebagaimana dikatakan Al Auza’i rahimahullah Ta’ala, ‘Orang-orang
keluar untuk melaksanakan shalat istisqo’ (minta hujan), kemudian berdirilah Bilal bin Sa’ad, dia
memuji Allah …’.” Salaf yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini adalah Bilal bin Sa’ad, dan Bilal
adalah seorang tabi’in. (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani)
Siapakah Salaf?
Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut
tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush
sholih (orang-orang terdahulu yang sholih). Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu
Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan ‘kebaikan’
tiga generasi awal umat ini yang menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan mereka, semangat
mereka dalam melakukan kebaikan, luasnya ilmu mereka tentang syari’at Allah, semangat mereka
berpegang teguh pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Wajiz fii Aqidah Salafish
Sholih dan Mu’taqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Muhammad Kholifah At Tamimi)
Wajib Mengikuti Jalan Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik umat ini, maka apakah kita wajib
mengikuti jalan hidup salaf?
Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin dan anshor serta kepada orang
yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ta’alaberfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-
lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100). Untuk
mendapatkan keridhaan yang mutlak ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan mengikuti salafush
sholih.
Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan selain orang mukmin.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). Yang dimaksudkan dengan
orang-orang mukmin ketika ayat ini turun adalah para sahabat (para salaf). Barangsiapa yang
menyelisihi jalan mereka akan terancam kesesatan dan jahannam. Oleh karena itu, mengikuti jalan
salaf adalah wajib.
Menyandarkan Diri Pada Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush sholih adalah wajib, maka bolehkan
kita menyandarkan diri pada salaf sehingga disebutsalafi (pengikut salaf)? Tidakkah ini termasuk
golongan/kelompok baru dalam Islam?
Jawabannya kami ringkas sebagai berikut: [1] Istilah salaf bukanlah suatu yang asing di kalangan
para ulama, [2] Keengganan untuk menyandarkan diri pada salaf berarti berlepas diri dari Islam yang
benar yang dianut oleh salafush sholih, [3] Kenapa penyandaran kepada berbagai madzhab/paham
dan pribadi tertentu seperti Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari (pengikut Abul Hasan Al Asy’ari)
tidak dipersoalkan?! Padahal itu adalah penyandaran kepada orang yang tidak luput dari kesalahan
dan dosa!! [4] Salafi adalah penyandaran kepada kema’shuman secara umum (keterbebasan dari
kesalahan) sehingga memuliakan seseorang, [5] Penyandaran kepada salaf bertujuan untuk
membedakan dengan kelompok lainnya yang semuanya mengaku bersandar pada Al Qur’an dan As
Sunnah, namun tidak mau beragama (bermanhaj) seperti salafush sholih yaitu para sahabat dan
pengikutnya. (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh al-Albani).
Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali, “Penamaan salafi adalah bentuk
penyandaran kepada salaf. Penyandaran seperti ini adalah penyandaran yang terpuji dan cara
beragama (bermanhaj) yang tepat. Dan bukan penyandaran yang diada-adakan sebagai
madzhab baru.” (Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salaf)
Solusi Perpecahan Umat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi mengenai perpecahan umat Islam
saat ini untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi dan sunnah khulafa’ur rasyidin -yang
merupakan salaf umat ini-. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan
sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak,
maka berpegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’rosyidinyang mendapat
petunjuk. Maka berpegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (Hasan Shohih, HR.
Abu Daud dan Tirmidzi)
Jalan Salaf Adalah Jalan yang Selamat
Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya (salafush sholih)
inilah yang selamat dari neraka. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan; satu golongan masuk surga, 70 golongan masuk
neraka. Nashrani terpecah menjadi 72 golongan; satu golongan masuk surga, 71 golongan masuk
neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73
golongan; satu golongan masuk surga dan 72 golongan masuk neraka. Ada sahabat yang
bertanya,’Wahai Rasulullah! Siapa mereka yang masuk surga itu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah
Al-Jama’ah‘.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al Albani). Dalam riwayat lain para
sahabat bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?‘ Beliau menjawab,‘Orang yang mengikuti
jalan hidupku dan para sahabatku.‘ (HR. Tirmidzi)
Sebagai nasihat terakhir, ‘Ingatlah, kata salafi -yaitu pengikut salafush sholih- bukanlah sekedar
pengakuan (kleim) semata, tetapi harus dibuktikan dengan beraqidah, berakhlak, beragama
(bermanhaj), dan beribadah sebagaimana yang dilakukan salafush sholih.’
Ya Allah, tunjukilah kami pada kebenaran dengan izin-Mu dari jalan-jalan yang menyimpang dan
teguhkan kami di atasnya. Alhamdulillahillazi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala
Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah di
negeri kita ini terkesan sebagai dakwahnya orang-orang yang gemar bikin ribut dan tidak pernah
akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. Mereka saling menjatuhkan. Kelompok yang satu
mencela dan mendiskreditkan kelompok yang lain. Padahal mereka sama-sama mengaku Salafi
(pengikut Sahabat Nabi). Buku-buku mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan
juga sama. Namun ternyata mereka justru saling gontok-gontokan. Anggapan ini tidaklah seratus
persen benar. Akan tetapi itulah sebagian fakta yang ada di dalam pandangan masyarakat.
Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan kepada Salaf adalah penisbatan yang
sangat mulia. Salaf bukanlah sebuah pabrik atau yayasan, yang dengan mudah pihak atasan
memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan ngeyelan (suka ngotot dan membantah). Oleh sebab
itulah pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan sebuah fatwa salah seorang Imam Ahlus
Sunnah wal Jama’ah pada masa kini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah sebagai pelajaran dan koreksi bagi kita semua. Semoga Allah memberikan
taufik kepada kita untuk menggapai apa yang dicintai dan diridhai-Nya.
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik paling
menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan
(yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas mengeluarkan orang
tersebut dari Golongan Yang Selamat?”
Jawaban:
Beliau rahimahullah menjawab, “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat
adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah
(keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah (interaksi sesama manusia). Dalam
keempat perkara inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka:
Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan keterangan
dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini tauhid yang murni
dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang
begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya,
waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya perbuatan
menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-
orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan
Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diijinkan oleh Allah.
Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka tampil
istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya: mencintai
kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan pemurah,
pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.
Dan dalam hal mu’amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama manusia
dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, “Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih
selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa
adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan
(cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari
keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang akan
mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid
terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya
keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang
diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat.
Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari Golongan
Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini, meskipun hal itu
menyebabkan kedudukannya menjadi turun.
Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah
terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala
kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama
yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di
dalamnya.” (QS. Asy Syura: 13)
Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung jawab
dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi
bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang
memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (QS. Al An’am:
159). Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol
yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila
muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah
maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka.
Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan
ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam
yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih
punya status wudhu.
Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja
memakan daging onta. Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan si
makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa
shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang
shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud
karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang
diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-
masing individu
dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya
dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya
berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka
sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti
dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai
dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan
mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk
berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat
tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada
yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang
kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang telah
membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada para
sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim),
maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka
waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar
sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Dan ada
juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang
dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke
sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka inilah yang
benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras
terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah membuat mereka
memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami
dalil ini.
Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan
dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah
terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan yang
lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang
mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang
menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang
diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap
kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik
kejelasan perkaranya.
Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan
meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu
memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini
(perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang,
dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan
kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya
musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah
mereka itu musuh yang
terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum
muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka
wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri
keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam,
Daruts Tsuraya, hal. 22-26)
Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu dan
ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok yang beliau
gambarkan… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan dengan baik isi nasihat beliau di
atas maka niscaya tidak akan terjadi baku hantam di antara sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana
para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum bisa bersikap arif tatkala menyaksikan saudaranya
menyelisihi dirinya demi mengikuti tuntutan dalil yang sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam di
negeri ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam menerima dakwah, karena mereka bisa
menyaksikan sosok-sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan, tidak grusah-grusuh dan terlalu
cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan. Apa salahnya jika kebenaran itu berada di pihak
lain di luar kelompok kita? Apa salahnya jika yang menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita?
Bukankah hikmah itu adalah barangnya orang beriman yang hilang? Apakah semata-mata karena
kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas kebenaran itu boleh kita tolak. Lalu apakah
bedanya kita dengan orang-orang yang taklid buta dan mengagung-agungkan kyai-kyainya?
Renungkanlah saudaraku… Terkadang musuh yang cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita
daripada teman-teman yang bungkam dari ketergelinciran kita.
Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas pangkuan manhaj Salaf
sementara kita sendiri justru memporakporandakan persatuan itu dengan menerkam saudara-
saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat dan membantah Ahlul bida’
wal ahwa’? Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki akhlak demi
terjalinnya persatuan dan keterkaitan hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran? Hamba
memohon kepada-Mu ya Allah, bukakanlah hati-hati kami untuk menerima kebenaran. Engkau lah
Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami mengakuinya dan kami mohon ampunan
kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah persatuan dakwah yang mulia ini di atas kebenaran dan
bimbingan para ulama yang Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Mengabulkan
do’a. Semoga shalawat dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada panutan kita Nabi
Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum Salafiyin yang ada di
sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian
alam.
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah
berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah.
Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia
diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di
medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad
yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan
anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka
perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya
berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku)
selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia
berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan
aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa
potret cinta para sahabat kepada Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih
oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting
untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan
rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus
direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri
mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah
merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut
darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita
ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
1. Golongan yang berlebih-lebihan.
2. Golongan yang meremehkan.
3. Golongan tengah.
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah
sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam
mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah
generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi
sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-
259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])
Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:
a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa
ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga
beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para
nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-
Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,
َو َما آَت اُك ُم الَّر ُسوُل َف ُخ ُذ وُه َو َما َن َهاُك ْم َع ْن ُه َف انَت ُهوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi
maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu
wa ta’ala.
َو َما َينِط ُق َع ِن اْلَهَو ى ِإْن ُهَو ِإاَّل َو ْح ٌي ُيوَح ى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
َلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل ِهَّللا ُأْس َو ٌة َح َس َن ٌة
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab:
21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu
amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim
dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).
e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan
syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya,
karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al
Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
َّمْن ُيِط ِع الَّر ُسوَل َفَقْد َأَط اَع َهّللا
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela
ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di
masyarakat.
g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh
Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga
mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan
kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-
ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia
persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta
pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara
yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji
(Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba
Allah dan rasul-Nya.”(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])
h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang
yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-
Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah
[III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab
wa as-
Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang
mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi
orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa,
[2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai
dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak
memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini
kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah cukup untuk merealisasikan cinta
kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an
(dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamdari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan
wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL,
Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji
dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-
aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus
diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar
Abdalla dkk, hal 9-10).
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa
diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru,
yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung
perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih
Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran
Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat
karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a
aidiyahum, amien.
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya
kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan
cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada
penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam
mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam
mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka
mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush
shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut
merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan
pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang
mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku
mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu
(Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati
rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain
dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para
ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima
dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan
seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke
penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk
melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan
kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid
an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan
perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani
Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama
dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu
dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para
ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga
keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan
mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan
menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah
asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).
Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka
dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum
muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang
lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka
(Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-
Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur
dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?
Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita
kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana
itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama
lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa
berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha
untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya
setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul
fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Mana Bukti Cintamu pada Nabi?
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada
keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya
pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun
punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana
cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan
memberikan kepahaman.
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih
engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau
(Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]
bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti
amalan mereka.”[6]
[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَل ُيْؤ ِمُن َأَح ُد ُك ْم َح َّت ى َأُك وَن َأَح َّب ِإَلْيِه ِمْن َو َلِدِه َو َو اِلِدِه َو الَّن اِس َأْج َمِعيَن
“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang
tuanya serta manusia seluruhnya.” [7]
Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. [8]
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau
tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
)4( ) ِإْن ُهَو ِإاَّل َو ْح ٌي ُيوَح ى3( ) َو َما َي ْن ِط ُق َع ِن اْلَهَو ى2( ) َما َض َّل َص اِحُبُك ْم َو َما َغ َو ى1( َو الَّن ْج ِم ِإَذ ا َهَو ى
”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian
yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan
pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada
beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اْلَبِخيُل اَّلِذي َم ْن ُذ ِكْر ُت ِع ْن َدُه َفَلْم ُيَصِّل َع َلَّي
“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak
bershalawat kepadaku.”[11]
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman,
ُقْل ِإْن ُكْنُتْم ُتِحُّبوَن َهَّللا َفاَّت ِبُعوِني ُيْح ِبْب ُك ُم ُهَّللا َو َي ْغ ِفْر َلُك ْم ُذ ُنوَب ُك ْم
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
ُك ُّل ِبْد َعٍة َضالَلٌة، َو ال َت ْب َت ِدُعوا َفَقْد ُك ِفيُتْم،اَّت ِبُعوا
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran
Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah
sesat .”[12]
Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak,
atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-
cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang
mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]
Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اَل َت ُسُّبوا َأَح ًد ا ِمْن َأْص َح اِبي َف ِإَّن َأَح َد ُك ْم َلْو َأْن َفَق ِم ْث َل ُأُحٍد َذ َهًبا َما َأْد َر َك ُمَّد َأَح ِدِه ْم َو اَل َن ِص يَف ُه
”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara
kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang
diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]
Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman,
َو اَّلِذيَن َج اُءوا ِمْن َب ْع ِدِه ْم َي ُقوُلوَن َر َّب َن ا اْغ ِفْر َلَن ا َو ِإِلْخ َو اِنَن ا اَّلِذيَن َس َب ُقوَن ا ِباِإْليَماِن َو اَل َت ْج َع ْل ِفي ُقُلوِبَن ا ِغ اًّل ِلَّلِذيَن َآَم ُنوا َر َّب َن ا ِإَّن َك َر ُءوٌف َر ِحيٌم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya
Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah).
Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan
selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul.
Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika
seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering
mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah
mencela risalah Muhammad.”[17]
[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum
cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan
pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka
ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong
mengenai Aisyah, pen),
َيِع ُظ ُك َم ُهَّللا َأْن َت ُعوُدوا ِلِم ْث ِلِه َأَب ًد ا ِإْن ُكْنُتْم ُمْؤ ِمِنيَن
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya,
jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini
adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena
sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan
melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َم ْن َأْح َد َث ِفى َأْم ِر َن ا َه َذ ا َما َلْي َس ِم ْن ُه َفُهَو َر ٌّد
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.”[22]
Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada
ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta
bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[23]
Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid
nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain
dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian
malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian
malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -
yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah
yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan
mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]
[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al
Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau
memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan
mengenai amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab
dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan)
dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan
maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang
menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan.
Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’
(kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang
namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan
maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah
jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang
namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa
disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]
Penutup
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya.
Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah
sebagian salaf mengatakan:
ُقْل ِإْن ُكْنُتْم ُتِحُّبوَن َهَّللا َفاَّت ِبُعوِني ُيْح ِبْب ُك ْم ُهَّللا, لهذا لما َك ُثَر األدعياء ُط ولبوا بالبرهان
Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya
mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan
yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.
Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang dikemukakan oleh
orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung acara Maulid Nabi.
Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal 1431 H, di Pangukan-Sleman.
Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau, memiliki
kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala menjadikan sunnah
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia, yang
merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan
agama Islam dengan benar.
Arti Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
Sebenarnya
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
ُقْل ِإْن ُكْنُتْم ُتِحُّبوَن َهَّللا َف اَّت ِبُعوِني ُيْح ِبْب ُك ُم ُهَّللا َو َي ْغ ِفْر َلُك ْم ُذ ُنوَب ُك ْم َو ُهَّللا َغ ُفوٌر َر ِحيٌم
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya
Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31)
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim
(pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti
jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam
pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa
oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam semua ucapan, perbuatan dan
keadaannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu,
maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti
dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka
orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika
terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya,
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab
(etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”
(Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya
dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah (yaitu setiap perbuatan yang diada-adakan
dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau, atau
memuji dan mensifati beliau secara berlebihan, dengan menempatkan beliau melebihi kedudukan
yang telah Allah Ta’ala tempatkan beliau padanya. (Mahabbatur Rasul bainal Ittibaa’ wal Ibtidaa’,
hal. 65-71)
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian
memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nashrani
melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang
hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HSR Al Bukhari no. 3261)
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh
generasi terbaik umat ini, para sahabatradhiyallahu ‘anhum.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan
tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk
menghormati
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam membenci perbuatan tersebut.” (HR At Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132, dinyatakan shahih
oleh At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)
Bagaimana Menyempurnakan Cinta kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam
Diri Kita?
Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang
akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
terlebih lagi yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang paling semangat
dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan
tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena seorang
muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan
sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah
melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat
(besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan
(sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan manusia.”
(Manaasikul Hajji wal ‘Umrah, hal. 92)
Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasehat imam Al Khatiib Al Baghdadi dalam kitab
beliau Al Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’(1/215) berikut ini:
“Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), berusaha
untuk membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku dan
sikapnya, dengan berusaha mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamsemaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,
َلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل ِهَّللا ُأْس َو ٌة َح َس َن ٌة
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab:
21)”
وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين،وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Jumadal ula 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc.
Ciri-Ciri Pengikut Kebenaran
Wahai saudaraku … yang namanya kebenaran tidaklah mesti dianut oleh orang banyak. Meskipun
seseorang bersendirian dalam menggenggam ajaran kebenaran, dialah yang berada di jalan yang
benar. Jadi tidak perlu berkecil hati ketika kita hanya bersendirian di kampung atau di negeri,
sedangkan yang lainnya berada dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Karena sebenarnya kita bersama
dengan Rasul dan para sahabat yang terlebih dahulu berpegang pada kebenaran.
Ibnu Mas’ud berkata,
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
“Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al
Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/
322/ 13).
Sebagian salaf mengatakan,
عليك بطريق الحق وال تستوحش لقلة السالكين وإياك وطريق الباطل وال تغتر بكثرة الهالكين
“Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau berkecil hati dengan sedikitnya
orang yang mengikuti jalan kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan engkau
tertipu dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).
Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu teranggap asing.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
َل َي ا َر ُس وَلdd ِقي.» َي ُقوُل « َبَد َأ اِإلْس َالُم َغ ِر يبًا ُثَّم َي ُعوُد َغ ِر يبًا َك َما َبَد َأ َفُط وَبى ِلْلُغ َر َباِء-صلى هللا عليه وسلم- َع ْن َعْبِد الَّر ْح َم ِن ْب َن َس َّنَة َأَّن ُه َس ِمَع الَّن ِبَّى
ِهَّللا َو َم ِن اْلُغ َر َباُء َق اَل « اَّلِذيَن ُيْص ِلُحوَن ِإَذ ا َفَس َد الَّن اُس
Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad, “Islam
itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya.
Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74.
Berdasarkan jalur ini, hadits ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad
bin Abi Waqqosh dengan sanad jayyid)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
» َفِقيَل َم ِن اْلُغ َر َباُء َيا َر ُسوَل ِهَّللا َق اَل « ُأَن اٌس َصاِلُحوَن ِفى ُأَن اِس َس ْو ٍء َك ِثيٍر َم ْن َي ْع ِص يِه ْم َأْك َث ُر ِمَّمْن ُيِط يُعُهْم.» « ُط وَبى ِلْلُغ َر َباِء
“Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang yang asing wahai Rasulullah”, tanya
sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang sholih yang berada di tengah banyaknya orang-orang
yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2:
177. Hadits ini hasan lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Walau terasa asing, namun begitu indahnya bisa berada di atas kebenaran yang dianut sebelumnya
oleh Rasul dan para sahabat, yang jauh dari syirik dan bid’ah.
Hanya Allah yang memberikan petunjuk pada al haq, kebenaran.
“DR Azahari telah tewas!” Demikian salah satu berita hangat di media massa beberapa waktu yang
lalu. Nama DR. Azahari tidak dapat dipisahkan dengan terorisme dan pengeboman, dia diyakini
sebagai ahlinya merakit bom. Begitu pula dunia internasional sebelumnya dikejutkan dengan
munculnya seseorang bernama Usamah bin Laden. Namun disini kita tidak akan membahas tentang
sepak terjang DR Azahari atau Usamah bin Laden. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang
ialah: “Apakah aksi-aksi pengeboman ini memiliki dasar syari’at ataukah semata-mata salah
penafsiran terhadap dalil-dalil syar’i, yang tentunya akan berdampak buruk baik bagi kaum muslimin
dan manusia secara umum?” Insya Allah di sini akan sedikit dibahas mengenai terorisme dalam Islam
dan bagaimanakah pemahaman salah yang mendasari tindakan ini. Masalah ini sangat urgen dan
harus diketahui umat, agar tidak tertipu dengan pemahaman mereka atau bahkan merasa simpati dan
ikut tertarik dengan pemikiran mereka.
Kemudian paham ini muncul dengan terang di masa kekholifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Tholib rodhiyallahu ‘anhuma, yang berbuntut pada terbunuhnya kedua kholifah tersebut. Pada masa
Kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu terjadi suatu peristiwa yang sangat besar berkaitan
dengan kelompok Khowarij ini. Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah,
maka mereka berdua mengirim utusan masing-masing. Dan pasca Shulh (perdamaian antara
Khalifah Ali dan Mu’awiyah), sekelompok orang tidak setuju dengan sikap beliau dan memisahkan
diri, dan
menetap di Haruro’ sehingga mereka dikenal dengan Haruriyah. Mereka menganggap bahwa
Kholifah Ali telah berhukum dengan selain hukum Allah.
Setelah itu Ali mengutus Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma untuk berdialog dengan mereka. Diantara
isi dialognya adalah penentangan mereka terhadap Ali karena berhukum dengan hukum manusia
dimana beliau mengutus Abu Musa Al Asy’ari dan dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Ash untuk
menyelesaikan perselisihan mereka. Para penentang ini berdalil dengan firman
Allah, “Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.” (QS. Al-An’am: 57). Maka Ibnu Abbas
mengatakan, “Jika aku bacakan ayat dalam kitab Allah yang membantah pendapat kalian, maukah
kalian kembali?” Mereka menjawab, “Ya”. Lantas Ibnu Abbas menyebutkan ayat, “Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS. Annisa’: 35). Akhirnya dua ribu orang sadar
dan kembali ke pangkuan kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu.
Khowarij ini akan tetap ada sampai akhir zaman. Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Akan muncul satu generasi yang membaca Al Quran namun tidak
memahaminya. Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas.” Ibnu Umar berkata, “Saya mendengar
beliau mengulangi kalimat: ‘Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas’ sampai lebih dari dua puluh
kali. Kemudin beliau bersabda, ‘Hingga muncullah Dajjal dalam barisan mereka’.”(Shohih, riwayat
Ibnu Majah)
Kelompok ini dalam Islam kemudian lebih dikenal dengan istilah Khowarij. Bisa saja mereka bisa saja
mengatakan, “Kami bukan Khowarij.” Namun perlu diketahui bahwa perubahan nama tidak merubah
hakekat dan wajah asli.
Pemahaman mereka ini tentunya berlawanan dengan pemahaman ahlus sunnah yang didasari firman
Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa lain di bawah
syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” Intinya, bila seseorang berbuat kesyirikan dan belum bertaubat
sampai ia meninggal maka Allah tidak akan mengampuninya. Akan tetapi dosa lain di bawah syirik
seperti judi, minum khomr dan sebagainya maka boleh jadi Allah mengadzabnya dan boleh jadi
mengampuninya.
Adapun pengkafiran secara khusus (baca: tunjuk hidung) maka itu adalah wewenang ulama, bukan
orang-orang jahil. Tidak boleh bagi seseorang ketika melihat ada orang lain yang melakukan
perbuatan kekufuran atau syirik akbar langsung mengarahkan meriam takfir kepadanya. Sebab
pengkafiran seperti ini harus melihat apakah syaratnya terpenuhi dan tidak adanya penghalang
(seperti dipaksa atau karena ketidaktahuan). Dari sini kita dapat mengerti, mengapa dengan
mudahnya mereka membom dan menewaskan korban dari kaum muslimin sendiri. Yah, karena
mereka anggap kaum muslimin telah kafir maka darah mereka halal untuk ditumpahkan.
menganiaya jiwa orang tidak boleh dibunuh tanpa alasan yang benar. Barangsiapa melanggarnya,
niscaya dia memikul dosa yang besar.
Allah berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya
adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93). Begitu juga sabda Nabi dalam sunan
Nasa’i dari Abdulloh bin Amr, “Sungguh hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada
terbunuhnya seorang muslim.”
Termasuk jiwa yang dilindungi adalah orang yang terikat perjanjian dan Ahli dzimmah (orang bukan
islam yang berada di bawah perlindungan pemerintahan Islam). Nabi bersabda: “Barangsiapa
membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada ikatan perjanjian) maka ia tidak akan mencium
bau surga, padahal baunya bisa dirasakan dari jarak sejauh 40 tahun perjalanan.” (HR. Bukhori)
4. Mereka selalu berdalil dengan, “Barangsiapa yang tidak berhukum berdasarkan apa yang
telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44)
Telah kita lihat tentang awal kemunculan mereka, dan ayat di ataslah alasannya. Dan demikianlah
syiar khowarij dari masa ke masa. Kebodohan mereka yang berdalil dengan ayat di atas minimalnya
mereka tidak memperhatikan makna lafazh kufur ini. Mereka memahami makna kafir secara tekstual
dan tanpa perincian. Mereka menganggap bahwa sekedar berhukum dengan selain hukum Allah
merupakan kekufuran yang mengeluarkan keluar dari Islam sebagaimana kekafirannya orang
musyrik, Nasrani dan yahudi. Kata kufur tidak menunjukkan satu makna saja seperti juga dzolim dan
fasik. Kata dzolim dan fasik tidak mesti pelakunya keluar dari Islam.
Sang penafsir Al Quran, Abdulloh bin Abbas mengatakan, “Kekufuran ini tidak seperti pendapat
mereka, ini bukan kufur yang mengeluarkan dari Islam, tetapi kufur yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari islam.” (Diriwayatkan dalam mustadrok 2/212, shohih menurut syarat Bukhori dan
Muslim. Syaikh Albani memuat riwayat ini dalam As-shohihah 6/109-116 no 2552). Inilah pemahaman
Ahlus Sunnah, yaitu bahwa seseorang tidak kafir hanya karena tidak berhukum dengan hukum Allah,
terkecuali apabila ia meyakini dalam hatinya bahwa hukum Allah tidaklah wajib dilaksanakan atau
meyakini bahwa hukum buatan manusia itu lebih baik ketimbang hukum Allah.
Ketika ditanya, mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi
menyesatkan.”
Dapat dipahami dari hadits di atas bahwa di antara sumber kesesatan adalah meninggalkn fatwa
ulama. Imam Ath Thurhusi berkata, “Resapilah hadits ini baik-baik. Sesungguhnya musibah menimpa
manusia bukan karena ulama, bila para ulama telah wafat lalu orang-orang jahil mengerluarkan fatwa
atass dasar kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia.”
Penutup
Para pembaca sekalian, ulama tidak bosan-bosannya untuk memperingatkan ummat dari bahaya
pemahaman khowarij. Hal ini mengingat bahwa pemahaman khowarij akan selalu ada sampai hari
kiamat dan tidak bisa dimusnahkan begitu saja hanya dengan menangkapi tokoh-tokohnya. Sehingga
jalan paling baik ialah membekali kaum muslimin dengan pemahaman Islam yang benar dan
memperingatkan mereka dari setiap jalan kesesatan. Dan merupakan keharusan untuk selalu
mengembalikan urusan besar yang berkaitan dengan darah kaum muslimin seperti jihad dan
pengkafiran, kepada para ahlinya yaitu ulama. Tidakkah kita lihat bahwa kesesatan khowarij timbul
karena mereka tidak mengembalikan pemahaman mereka kepada orang yang lebih alim dalam
agama ketimbang mereka, yaitu para sahabat.
Kami juga menghimbau kepada kaum muslimin secara umum, agar tidak tergesa-gesa dan dengan
mudahnya menghukumi setiap orang yang berpenampilan fisik sama dengan para pelaku teroris
kemudian langsung menghukuminya sebagai teroris! Karena hal itu merupakan tindakan yang tidak
didasari dengan ilmu, serta berasal dari rasa emosi belaka.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari tipu daya musuh, dan kita bisa istiqomah dijaman
yang penuh dengan fitnah ini. Marilah kita bertaqwa kepada Allah, dan bertaubat dengan jujur
terhadap segala dosa-dosa yang kita lakukan.
Pengeboman = Jihad???
Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap
ekstrim yang ujung-ujungnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena.
Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan). Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga
Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif telah
mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta
dampak yang ditimbulkan, baik berupa penumpahan darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas
umum. Beliau-beliau akhirnya menyampaikan penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai
berikut.
Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau
memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-
pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq
masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”. Pada
hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat
tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.
Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah, namun
terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang
dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu
bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’
Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan
kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:
َف ِإْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفي َش ْي ٍء َف ُر ُّد وُه ِإَلى ِهَّللا َو الَّر ُسوِل ِإْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَي ْو اآْل ِخِر َذ ِلَك َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن َت ْأِو ياًل
ِم
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Allah Ta’ala berfirman:
َو َم ا اْخ َت َلْفُتْم ِفيِه ِمْن َش ْي ٍء َف ُح ْك ُمُه ِإَلى ِهَّللا
“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy
Syura: 10)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
َت َم َّس ُك وا ِبَه ا، َفَع َلْي ُك ْم ِبُس َّن ِتي َو ُس َّن ِة اْل ُخَلَف اِء اْلَم ْهِدِّييَن الَّر اِش ِديَن،َف ِإَّن ُه َم ْن َي ِعْش ِم ْنُك ْم َب ْع ِدي َف َس َيَر ى اْخ ِتاَل ًفا َك ِثيًر ا
َو َع ُّضوا َع َلْي َه ا ِبالَّن َو اِجِذ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang
pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham
kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )
Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para salaf.
Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
وتفترق أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في النار إال ملة، إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة
ما أنا عليه وأصحابي: قال من هي يا رسول هللا ؟ قال، واحدة
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan.
Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan
itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR.
Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya
dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap
semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih
‘ini khan khilafiyyah‘.
1. Qunut Subuh
Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
Hadits Bara’ bin ‘Adzib:
َو اْلَم ْغ ِر ِب، َأَّن َر ُسوَل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك اَن َي ْقُنُت ِفي الُّصْب ِح
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib”
(HR. Muslim 678)
Hadits dari Muhammad bin Sirin:
َأَو َقَن َت َق ْب َل:َل َل ُهd َفِقي، َن َع ْم: َأَقَن َت الَّن ِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِفي الُّص ْب ِح ؟ َق اَل: ُس ِئَل َأَن ُس ْبُن َماِل ٍك
«َب ْع َد الُّر ُك وِع َيِس يًر ا: »الُّر ُك وِع ؟ َق اَل
“Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut
ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum
ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)
Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya
pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
Hadits Anas bin Maalik:
، َو َذْك َو اَن، َقَن َت َر ُسوُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َش ْهًر ا َب ْع َد الُّر ُك وِع ِفي َص اَل ِة الُّصْب ِح َي ْد ُعو َع َلى ِر ْع ٍل
ُع َص َّي ُة َع َص ِت َهللا َو َر ُسوَلُه:َو َي ُقوُل
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau
mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan
dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
Hadits Abu Hurairah:
“Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca سمع ُهَّللا ِلَم ْن َح ِمَدُه
pada raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:
َّل َأ َّل َأ ْل َّل َأ ْل َأ َّل َأ
ِد ال ُهَّم ْن ِج َس َلَم َة ْب َن ِه َش اٍم ال ُهَّم ْن ِجddddَد ْب َن ا َو ِليddddال ُهَّم ْن ِج َع َّي اَش ْب َن ِبي َر ِبيَع َة ال ُهَّم ْن ِج ا َو ِلي
اْلُمْس َت ْض َع ِفيَن ِمَن اْلُمْؤ ِمِنيَن الَّلُهَّم اْش ُدْد َو ْط َأَت َك َع َلى ُم َض َر الَّلُهَّم اْج َع ْلَه ا َع َلْي ِه ْم ِس ِنيَن َك ِس ِني ُيوُس َف
Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah,
tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin.
Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-
tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf “ (HR. Bukhari
1006, 2932, 3386)
Hadits Abu Malik Al Asyja-’i
، َو َص َّلْي ُت َخ ْل َف َأِبي َب ْك ٍر َف َلْم َي ْق ُنْت، ِه َص َّلْي ُت َخ ْل َف الَّن ِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َف َلْم َي ْق ُنْتddَع ْن َأِبي
ُثَّم َق اَل، َو َص َّلْي ُت َخ ْلَف ُع ْث َم اَن َف َلْم َي ْق ُنْت َو َص َّلْي ُت َخ ْل َف َع ِلٍّي َف َلْم َي ْق ُنْت، َو َص َّلْي ُت َخ ْلَف ُع َمَر َف َلْم َي ْق ُنْت
َي ا ُبَن َّي إَّن َه ا ِبْد َع ٌة } َر َو اُه الَّن َس اِئّي َو اْبُن َم اَج ْه َو الِّت ْر ِمِذُّي َو َق اَل َح ِديٌث َح َس ٌن َص ِحيٌح
“Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi
Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar
namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak
membaca Qunut,
Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah
shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu
perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan
shahih”)
Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad
shahih:
ما شعرت ان احدا يفعله: سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال
“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak
ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)
Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang
menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 106).
Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan musibah.
Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa Qunut
adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak
ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang
beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam
Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih,
didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan
yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini
selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih,
didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak
keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya
ditoleransi oleh setiap muslim.
Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang
dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat Imam
Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan banyak dalil syar’i. Para ulama
mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam Malik.
Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah,
walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.
3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi
As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang
memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi MuhammadShallallahu’alaihi Wasallam. Namun
pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau pemahaman para salaf, kecuali
hadits-hadits dha’if, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i yang
fundamental, diantaranya:
Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan dalil.
Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:
ِّد يِن َم ا َلْم َي ْأَذ ْن ِب ِه ُهَّللا َك ِلَم ُة اْلَف ْص ِل َلُقِض َي َب ْي َن ُهْم َو ِإَّن الَّظ اِلِميَن َلُهْمdَأْم َلُهْم ُشَر َك اُء َش َر ُعوا َلُهْم ِمَن ال
َع َذ اٌب َأِليٌم
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran
agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
َم ْن َع ِمَل َع َم اًل َلْي َس َع َلْيِه َأْم ُر َن ا َفُهَو َر ٌّد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama)
kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan
Para ulama bersepakat atas kaidah:
ال قياس ف إثبات العبادة
“Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”.
Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah aqidah.
Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah
Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini bukan
ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun
dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan Maulid Nabi. Andai
Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling dahulu memulainya. Karena
merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling cinta terhadap
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan Maulid Nabi
Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat merayakan
Maulid Nabi
Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi walaupun
memang khilafiyah.
Wabillahi At Taufiq Was Sadaad
Keutamaan-Keutamaan Al Qur’an
[1] al-Qur’an adalah Cahaya
Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba dan menuntunnya menuju
keselamatan adalah cahaya al-Qur’an dan cahaya iman. Keduanya dipadukan oleh Allah ta’ala di
dalam firman-Nya (yang artinya), “Dahulu kamu -Muhammad- tidak mengetahui apa itu al-Kitab dan
apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya Kami
akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS.
asy-Syura: 52)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur’an dan iman-
merupakan sumber segala kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah ilmu yang
paling agung dan paling utama. Bahkan pada hakekatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi
pemiliknya selain ilmu tentang keduanya.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 38)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sungguh telah datang kepada kalian
keterangan yang jelas dari Rabb kalian, dan Kami turunkan kepada kalian cahaya yang terang-
benderang.” (QS. an-Nisaa’: 174)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah
mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir itu
penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-
kegelapan.”(QS. al-Baqarah: 257)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan
Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama
dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar darinya? Demikianlah
dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-An’aam:
122)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata mengenai tafsiran ayat ini, “Orang itu -yaitu yang berada dalam
kegelapan- adalah dulunya mati akibat kebodohan yang meliputi hatinya, maka Allah
menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allah berikan cahaya keimanan yang dengan itu dia bisa
berjalan di tengah-tengah orang banyak.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 35)
penuh dengan berkah, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-
orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, ataukah pada hati
mereka itu ada gembok-gemboknya?” (QS. Muhammad: 24). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, seandainya ia datang bukan dari sisi Allah
pastilah mereka akan menemukan di dalamnya banyak sekali perselisihan.” (QS. an-Nisaa’: 82)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia
tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang
membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak akan
tersesat di dunia dan tidak celaka di akherat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-
Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal. 49).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa maksud dari mengikuti
petunjuk Allah ialah:
1. Membenarkan berita yang datang dari-Nya,
2. Tidak menentangnya dengan segala bentuk syubhat/kerancuan pemahaman,
3. Mematuhi perintah,
4. Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-
Karim ar-Rahman, hal. 515 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al
Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam
menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam
golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih
utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana
sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an
dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk
mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:
1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.
Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan
apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca
Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia
meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)
2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.
Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia
tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas.
Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu
minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman
bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.
3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat
yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.
Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur
atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun
demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang
dibuat-buat.
Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah
kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu,
berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka
tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada
Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
} َو َم ْن َأْع َر َض َعن ِذ ْك ِر ى َف ِإَّن َلُه َمِعيَش ًة َضنًك ا َو َن ْح ُشُرُه َي ْو َم اْلِقَياَمِة َأْع َمى123{ َف ِإَّما َي ْأِتَي َّنُك م ِّم ِّن ي ُه ًد ى َفَم ِن اَّت َبَع ُهَداَي َفَال َيِض ُّل َو َال َي ْش َق ى
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak
akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari
Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja
yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di
dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِك َت اَب ِهللا َو ُس َّنَة َر ُسْو ِلِه: َت َر ْك ُت ِفْي ُك ْم َأْم َر ْي ِن َلْن َت ِض ُّلْو ا َما َت َمَّس ْك ُتْم ِبِه َما
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim,
al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal
Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah
berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang
berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran
nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah
memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita
diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah
memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar
dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama
kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa
Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan
perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para
sahabat
yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan
tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik
manusia adalah generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pendapat,
merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang
banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah,
yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al
Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim].
pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti
petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-
bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak
mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada
perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda
kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas,
‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul
‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in
(generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan
tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu,
maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan
sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu,
maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa
Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran
semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul
Azhim, Muqaddimah, 4-5).
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat,
tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
Firman Allah Ta’ala,
َو َمن ُيَش اِقِق الَّر ُسوَل ِمن َب ْع ِد َما َت َبَّيَن َلُه اْلُهَد ى َو َي َّت ِبْع َغْي َر َس ِبيِل اْلُمْؤ ِمِنيَن ُنَو ِّلِه َما َت َو َّلى َو ُنْص ِلِه َج َه َّن َم َو َس آَء ْت َمِص يًر ا
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Dan semua orang yang mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َخ ْيُر الَّن اِس َق ْر ِني ُثَّم اَّلِذيَن َي ُلوَن ُهْم ُثَّم اَّلِذيَن َي ُلوَن ُهْم
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu
generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan
lainnya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َو ِإَّن َبِني ِإْس َر اِئيَل َتَف َّر َقْت َع َلى ِثْن َت ْي ِن َو َس ْب ِعيَن ِم َّلًة َو َت ْف َت ِر ُق ُأَّمِتي َع َلى َثاَل ٍث َو َس ْب ِعيَن ِم َّلًة ُكُّلُهْم ِفي الَّن اِر ِإاَّل ِم َّلًة َو اِحَد ًة َق اُلوا َو َم ْن ِهَي َيا َر ُسوَل ِهَّللا َق اَل
َما َأَن ا َع َلْيِه َو َأْص َح اِبي
Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan
berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka
(para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu
Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di
dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah
(ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan,
tidak ada jalan lain!
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ُأوِص يُك ْم ِبَت ْق َو ى ِهَّللا َو الَّسْم ِع َو الَّط اَعِة َو ِإْن َع ْب ًد ا َح َبِش ًّي ا َف ِإَّن ُه َم ْن َي ِعْش ِم ْنُك ْم َب ْع ِدي َفَس َيَر ى اْخ ِتاَل ًفا َك ِثيًر ا َفَع َلْي ُك ْم ِبُس َّن ِت َو ُس َّن ِة اْل ُخ َلَف اِء اْلَم ْه ِدِّييَن الَّر اِش ِديَن
َت َمَّس ُك وا ِبَها َو َعُّضوا َع َلْيَها ِبالَّن َو اِج ِذ َو ِإَّياُك ْم َو ُمْح َد َث اِت اُأْلُموِر َف ِإَّن ُك َّل ُمْح َد َث ٍة ِبْد َع ٌة َو ُك َّل ِبْد َعٍة َض اَل َلٌة
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa
kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup
setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada
sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah
dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru
(dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi,
2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman
para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan
alasan makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut
istilah syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah
seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan
kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila
Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah
rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara
bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan
menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa
Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus.
Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya!
Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan
untuk mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ]ق ر ب.
Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan pemahaman
ulama- qurban
adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-
hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405,
Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi,
Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan
mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan
manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini
adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono
Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata
me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang
perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu
pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal
kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal
itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya.
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
Tafsir Surat Al-Fatihah
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak
sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi
hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah
sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh
kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian
pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang
yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah
berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan
sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak
kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah
menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih
sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Kesimpulan:
1. Semua ayat al-Qur’an agung. Adapun ayat yang paling agung adalah ayat kursi.
2. Disunnahkan untuk membaca ayat ini setiap selesai shalat wajib, pada dzikir pagi dan sore,
dan sebelum tidur.
3. Penegasan kalimat tauhid.
4. Arti al-Hayyu dan al-Qayyum yang menunjukkan seluruh nama Allah yang lain.
5. Semua bentuk kekurangan harus dinafikan dari Allah.
6. Arti syafaat dan syarat memperolehnya.
7. Ilmu Allah sangat sempurna.
8. Kita hanya menetapkan untuk Allah nama dan sifat yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya
sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya, tanpa menyerupakannya dengan nama dan
sifat makhluk.
9. Arti dan keagungan kursi Allah.
10. Ketinggian dan keagungan Allah dalam dzat dan kedudukan.
11. Kesalahan orang yang mengatakan Allah ada di mana-mana.
12. Penetapan banyak nama dan sifat Allah yang menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan-
Nya.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Al-Quran dan Terjemahnya
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Fathul Qadir, asy-Syaukani
4. Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di
5. Shahih al-Bukhari
6. Shahih Muslim
7. Al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani
8. al-Mustadrak, al-Hakim.
9. Shahih Ibnu Hibban
10. Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani
11. Silsilah Ahadits Shahihah, al-Albani
12. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan
13. Fiqhul Asma’il Husna, Abdurrazzaq al-Badr
14. Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata: “…tiada kehidupan untuk hati, tidak ada kesenangan dan ketenangan
baginya, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat
dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintai-Nya lebih dari yang lain, dan berusaha
mendekatkan diri kepada-Nya tanpa yang lain…” (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah)
Fiqih dan Muamalah
Macam-Macam Najis
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, sehingga Dia-lah yang patut diibadahi. Shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hinga akhir zaman.
Pengertian Najis
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan
selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing-
maka harus dibersihkan.[1]
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan
tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan
hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan
badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan
hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis.
Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis,
asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa
membedakan antara hadats dan najis ini.[2]
Macam-Macam Najis
1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ِإَذ ا َو ِط َئ َأَح ُد ُك ْم ِبَن ْع َلْيِه اَألَذ ى َفِإَّن الُّت َر اَب َلُه َط ُهوٌر
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah
yang nanti akan menyucikannya.”[5]
Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri,
dsb.[6] Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran
manusia.[7] Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang
menunjukkan najisnya kotoran manusia.[8]
Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,
َق اَل َفَلَّم ا َف َر َغ َدَع ا ِب َد ْلٍو ِمْن َم اٍء.» « َدُعوُه َو َال ُتْز ِر ُم وُه-صلى هللا عليه وسلم- َأَّن َأْع َر اِبًّي ا َباَل ِفى اْلَم ْس ِج ِد َفَق اَم ِإَلْيِه َب ْع ُض اْلَقْو ِم َفَق اَل َر ُسوُل ِهَّللا
.َف َصَّبُه َع َلْيِه
“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan
(kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[9]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi
mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”[10]
dan kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang
kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” [17]
Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai
jinak adalah najis.
6 – Darah haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian berkata,
ِإْح َد اَن ا ُيِص يُب َث ْو َبَها ِمْن َد ِم اْلَح ْيَضِة َك ْي َف َت ْص َن ُع ِبِه
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
َت ُح ُّت ُه ُثَّم َت ْق ُرُصُه ِباْلَماِء ُثَّم َت ْن َضُحُه ُث َّم ُتَص ِّلى ِفيِه
“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah
dengannya.” [18]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh
tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”[19]
7 – Jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُط ُهوُر ِإَن اِء َأَح ِد ُك ْم ِإَذ ا َو َلَغ ِفيِه اْلَك ْلُب َأْن َي ْغ ِس َلُه َس ْب َع َمَّر اٍت ُأوَالُهَّن ِبالُّت َر اِب
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan
awalnya dengan tanah.”[20] Yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang
termasuk najis adalah jilatannya saja. Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci
sebagaimana hukum asalnya.[21]
8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.[22] Najisnya
bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin ‘Abbas,
ِإَذ ا ُد ِبَغ اِإلَهاُب َفَقْد َط ُهَر
“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai yang dikecualikan adalah :
a – Bangkai ikan dan belalang
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ُأِح َّلْت َلَن ا َم ْي َتَت اِن َو َدَماِن َفَأَّما اْلَم ْي َتَت اِن َفاْلُحوُت َو اْلَج َر اُد َو َأَّما الَّدَماِن َفاْلَك ِبُد َو الِّط َح اُل
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.
Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”[23]
b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َف ِإَّن ِفى َأَح ِد َج َن اَح ْيِه ِش َف اًء َو ِفى اآلَخ ِر َد اًء، ُث َّم ْلَي ْط َر ْح ُه، َف ْلَي ْغ ِمْس ُه ُكَّلُه، ِإَذ ا َو َقَع الُّذ َباُب ِفى ِإَن اِء َأَح ِد ُك ْم
“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut
seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan
sayap lainnya terdapat penawarnya.”[24]
c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala
sesuatu adalah suci. Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad),
beliau rahimahullah berkata,
، َو َي َّد ِه ُنوَن ِفيَه ا، َو َقاَل الُّز ْه ِر ُّى ِفى ِع َظ اِم اْلَم ْو َت ى َن ْح َو اْلِفيِل َو َغْي ِر ِه َأْد َر ْك ُت َن اًس ا ِمْن َس َلِف اْلُع َلَماِء َي ْم َت ِش ُط وَن ِبَها. َو َقاَل َح َّماٌد َال َب ْأَس ِبِر يِش اْلَم ْي َت ِة
َال َيَر ْو َن ِبِه َب ْأًس ا
“Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri
mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama
salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut. Mereka tidaklah
menganggapnya najis hal ini’.” [25]
Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama
yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan juga masih tersisa
pembahasan bagaimana cara membersihkan najis. Semoga Allah memudahkan kami membahasnya
dalam rubrik fiqih selanjutnya.
Semoga Allah selalu memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang
dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Selesai disusun di Panggang-Gunung Kidul, 19 Shofar 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 1/22, Darul
‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H
[2] Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayid Saalim, 1/71,
Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Lihat As Sailul Jaror, Asy Syaukani, 1/31, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405
H
[4] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/24.
[5] HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32, Darul Kutub
Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H.
[7] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/71.
[9] HR. Muslim no. 284
[10] Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22.
[11] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari
fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[12] HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[13] HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa
sanad riwayat ini shahih.
[14] Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat mayoritas
ulama. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
َن َهى َي ْو َم َخ ْي َبَر َع ْن ُلُحوِم اْل ُحُم ِر اَألْه ِلَّيِة َو َأِذَن ِفى ُلُحوِم اْل َخ ْي ِل-صلى هللا عليه وسلم- َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pada perang Khoibar memakan daging keledai
jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)
[15] Anjing termasuk hewan yang haram dimakan karena ia termasuk hewan buas (yang dapat
menyerang manusia) dan bertaring. Padahal Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُك ُّل ِذى َن اٍب ِمَن الِّسَباِع َف َأْك ُلُه َح َر اٌم
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
Cara Membersihkan Najis
Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari
pembahasan macam-macam najis dalam tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.
[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan
tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak.[3] Inilah pendapat
yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.
Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati
ditabrak dan tidak sempat disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.
Contoh kedua: Serigala[4] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut
tidak suci (najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi
halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini
masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan
kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al
Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi.[5]
ُط ُهوُر ِإَن اِء َأَح ِد ُك ْم ِإَذ ا َو َلَغ ِفيِه اْلَك ْلُب َأْن َي ْغ ِس َلُه َس ْب َع َم َّر اٍت ُأوَالُهَّن ِبالُّت َر اِب
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan
awalnya dengan tanah.” [7]
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing
ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang menyebut “”َس ْبع َم َّر ات, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain
menyebut “ ”َسْبع َمَّر ات ُأواَل ُهَّن ِبالُّت َر اِب, yaitu tujuh kali dan awalnya dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “
”ُأْخ َر اُهَّن َأْو ُأواَل ُهَّن, yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “ ”َسْبع َمَّر ات الَّساِبَع ة ِبالُّت َر اِب,
yaitu tujuh
kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “ ”َسْبع َمَّر ات َو َع ِّفُروُه الَّث اِم َن ة ِبالُّت َر اِب, yaitu tujuh kali
dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”
Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat
ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya
bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat
terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan
madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh
itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga
disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ”[8]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud
“pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri
tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana
yang dijilat anjing.[9]
َت ُح ُّت ُه ُثَّم َت ْق ُرُصُه ِباْلَم اِء ُثَّم َت ْن َض ُح ُه ُثَّم ُتَص ِّلى ِفيِه
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan
air, lalu cucilah[10]. Kemudian shalatlah dengannya.”[11]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah
mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َق اَل « َف ِإَذ ا َط ُهْر ِت َف اْغ ِس ِلى َم ْو ِض َع.َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َلْي َس ِلى ِإَّال َث ْو ٌب َو اِح ٌد َو َأَن ا َأِحيُض ِفيِه
َق اَلْت َي ا َر ُسوَل ِهَّللا ِإْن َلْم َي ْخ ُرْج َأَث ُرُه َق اَل « َي ْك ِفيِك اْلَم اُء َو َال َي ُض ُّر ِك.» الَّد ِم ُثَّم َص ِّلى ِفيِه
» َأَث ُرُه
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai
pakaian itu juga?”
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian
pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis
tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[12]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat
lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan
darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau
mengatakan,
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena
kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya
banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian
tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.
[18]
ْل ْل
ُيْغ َس ُل ِم ْن َب ْو ِل ا َج اِر َيِة َو ُيَر ُّش ِم ْن َب ْو ِل ا ُغَالِم
“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki cukup
dengan diperciki.”[19]
Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan.
Kencing bayi laki-laki dan perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang
berbeda.[20]
Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits
berikut.
- َع ْن ُأِّم َق ْي ٍس ِبْن ِت ِم ْح َص ٍن ُأْخ ِت ُع َّك اَش َة ْب ِن ِم ْح َص ٍن َق اَلْت َد َخ ْلُت ِباْب ٍن ِلى َع َلى َر ُس وِل ِهَّللا
. َلْم َي ْأُك ِل الَّط َع اَم َفَب اَل َع َلْي ِه َف َد َع ا ِبَم اٍء َف َر َّش ُه-صلى هللا عليه وسلم
“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah
masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang belum
mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen).”[21]
Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqih Syaikh Muhammad
bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut
tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena seandainya kita katakan demikian, bayi ketika
awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang dimaksudkan tidak
mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi
makanan sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah
jelas. Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan
mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan, pen).”[22]
هddصلى هللا علي- ُكْن ُت َأْلَق ى ِمَن اْلَم ْذ ِى ِش َّد ًة َو ُكْن ُت ُأْك ِثُر ِم ْن ُه اِالْغ ِتَس اَل َف َس َأْلُت َر ُس وَل ِهَّللا
ُقْلُت َي ا َر ُس وَل ِهَّللا َفَك ْي َف ِبَم ا.» َع ْن َذ ِلَك َفَق اَل « ِإَّن َم ا ُيْج ِز يَك ِم ْن َذ ِل َك اْلُو ُض وُء-وسلم
ُيِص يُب َث ْو ِبى ِم ْن ُه َق اَل « َي ْك ِفيَك ِبَأْن َت ْأُخ َذ َك ًّفا ِم ْن َم اٍء َفَت ْن َض َح ِبَه ا ِم ْن َث ْو ِبَك َح ْي ُث ُت َر ى َأَّن ُه
« ِإَذ ا َج اَء َأَح ُد ُك ْم ِإَلى اْلَم ْس ِج ِد َفْلَي ْن ُظ ْر َف ِإْن َر َأى ِفى َن ْع َلْي ِه َق َذ ًر ا َأْو َأًذ ى َف ْلَي ْم َس ْح ُه َو ْلُيَص ِّل
» ِفيِه َم ا
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis)
atau suatu gangguan di sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah
dengan keduanya.”[25]
Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya shalat dengan
menggunakan sendal[26]. Hadits ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang terkena najis
(ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang dimaksud di sini mencakup yang basah
atau pun yang kering. Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di sendal beliau terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu
beliau pun mencopot sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu, jika seseorang
berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya
ketika di pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut. Kemudian ia pun terus
melanjutkan shalatnya.”[27]
8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
« – ه وسلمdd َفَق اَل َلُهُم الَّن ِبُّى – صلى هللا علي، َق اَم َأْع َر اِبٌّى َفَب اَل ِفى اْلَم ْس ِج ِد َفَتَن اَو َلُه الَّن اُس
َو َلْم، َف ِإَّن َم ا ُبِع ْث ُتْم ُم َي ِّس ِر يَن، َأْو َذ ُنوًب ا ِم ْن َم اٍء، َد ُعوُه َو َه ِر يُقوا َع َلى َب ْو ِلِه َس ْج ًال ِم ْن َم اٍء
ه وسلمddَك اَن ِت اْلِك َالُب َت ُبوُل َو ُتْق ِبُل َو ُتْد ِبُر ِفى اْلَم ْس ِج ِد ِفى َز َم اِن َر ُسوِل ِهَّللا – صلى هللا علي
Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk
menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari
hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin
AbdillahShollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
Kedudukan wudhu dalam sholat
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya
bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-
tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari
dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu
merupakansyarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan
teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang
mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,
« » َال ُتْق َبُل َص َالُة َمْن َأْح َدَث َح ىَّت َيَتَو َّض َأ
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]
Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,
ِب ِس ِف ِق ِد ِإ ِة ِس ِإ ِإ َّل ِذ
َي ا َأُّيَه ا ا يَن َآَم ُن وا َذا ُقْم ُتْم ىَل الَّص اَل َفاْغ ُلوا ُوُج وَه ُك ْم َو َأْي َيُك ْم ىَل اْلَمَر ا َو اْم َس ُح وا ُرُءو ُك ْم
َأْر ُج َلُك ِإىَل اْلَك ْع َبِنْي
ْم َو
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.
Pengertian wudhu
Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat
dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3].
Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza
wa jalladengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini
telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam
wudhu secara ringkas.
Syarat-Syarat Wudhu[9]
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada
tujuh[10], yaitu
Islam,
Berakal,
Tamyiz[11],
Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang
haram,
Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’
dan istijmar dari hadats),
Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf
dikalangan kaum muslimin.
Wajib Wudhu
Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi
was sallam,
« » َال َص َالَة ِلَمْن َال ُو ُضوَء َلُه َو َال ُو ُضوَء ِلَمْن ْمَل َيْذ ُك ِر اْس َم الَّلِه َتَعاىَل َعَلْيِه
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak
menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]
Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq
dan istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai
dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas
kiri kanan adalah telinga[*][18].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar
Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya,
sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman
Allah‘azza wa jalla,
ِة ِس ِإ ِإ َّلِذ
َيا َأُّيَه ا ا يَن َآَم ُنوا َذا ُقْم ُتْم ىَل الَّصاَل َفاْغ ُلوا ُوُج وَه ُك ْم
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi
wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan
wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk
membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« » ِإَذا َتَو َّض َأ َأَح ُد ُك ْم َفْلَيْس َتْنِش ْق َمِبْنِخ َر ْيِه ِم َن اْلَم اِء َّمُث ْلَيْنَتِثْر
“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air
kemudian beristintsarlah”.[21]
Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« » ِإَذا َتَو َّض ْأَت َفَم ْض ِم ْض
“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur,
istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk
berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]
Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
ِه ِكِه ِم ٍء
َك اَن ِإَذا َتَو َّض َأ َأَخ َذ َك ًّفا ْن َم ا َفَأْد َخ َلُه ْحَتَت َح َن َفَخ َّلَل ِب ْحِلَيَتُه
» َو َقاَل « َه َكَذ ا َأَم َر ىِن َر ىِّب َعَّز َو َج َّل
“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau
mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnya pent) sampai ketenggorokannya
kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara
berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].
Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di
atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].
Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
ِإَذا ُقْم ُت ِإىَل الَّصاَل ِة َفاْغِس ُلوا ُوُج وَه ُك َأْيِد َيُك ِإىَل اْل اِفِق
َمَر ْم ْم َو ْم
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« َّمُث َغَسَل َيَد ُه اْلُيْسَر ى ِإىَل اْلَمْر ِفِق َثَالًثا، » َّمُث َغَسَل َيَد ُه اْلُيْمىَن ِإىَل اْلَمْر ِفِق َثَالًثا
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian
membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].
Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28].
Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
ِب ِس
َو اْم َس ُح وا ُرُءو ُك ْم
“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim
ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam,
« َّمُث َر َّدَمُها ِإىَل، َح ىَّت َذَه َب ِهِبَم ا ِإىَل َقَف اُه، َب َد َأ ُمِبَق َّد ِم َر ْأِس ِه، َفَأْقَب َل ِهِبَم ا َو َأْد َبَر، َّمُث َم َس َح َر ْأَس ُه ِبَيَد ْي ِه
ِم ِن ِذ
» اْلَم َك ا اَّل ى َبَد َأ ْنُه
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke
depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai
ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].
Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat
Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap
dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam
Malikrohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al
Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya
sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa
menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was
salam,
« » اُألُذَناِن ِم َن الَّر ْأِس
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]
Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« » َّمُث َم َس َح ِبَر ْأِس ِه َو ُأُذَنْيِه َباِطِنِه َم ا ِبالَّس َّباَحَتِنْي َو َظاِه ِر َمِها ِبِإْبَه اَم ْيِه
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya
dengan kedua jempolnya”.[34]
Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama
seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy
Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan
dinukil oleh Al Bukhorirohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].
Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
َأْر ُج َلُك ِإىَل اْلَك ْع َبِنْي
ْم َو
“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.
(QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« » َّمُث َغَسَل ِر ْج َلْيِه ِإىَل اْلَك ْع َبِنْي
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].
Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah,
dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah
sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,
« » ِإَذا َتَو َّض َأ َدَلَك َأَص اِبَع ِر ْج َلْيِه ِخِب ْنَص ِرِه
“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya
dengan dengan jari kelingkingnya”[37].
Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’,
sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’anirohimahullah[38].
Muwalah
Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian
membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh )
pent.
(yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan
dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu
ِس ِج ِم ِه ِض
َفَق اَل « اْر ْع َفَأْح ْن-صلى اهلل عليه وسلم- َأَّن َرُج ًال َتَو َّض َأ َفَتَر َك َمْو َع ُظُف ٍر َعَلى َقَد َفَأْبَص َر ُه الَّنُّىِب
َفَر َجَع َّمُث َص َّلى.» ُو ُضوَءَك
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar
kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]
Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam
Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].
Sunnah Wudhu
Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« » َلْو َال َأْن َأُش َّق َعَلى ُأَّمىِت َألَمْر ُتُه ْم ِبالِّس َو اِك ِعْنَد ُك ِّل َص َالٍة
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada
setiap hendak berwudhu”[45].
Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih
ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang
menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
ٍء
َفَغَس َلُه َم ا َثَالَث، َف َأْفَر َغ َعَلى َيَد ْي ِه ِم ْن ِإَناِئِه، َعْن ْمُحَر اَن َمْو ىَل ُعْثَم اَن ْبِن َعَّفاَن َأَّنُه َر َأى ُعْثَم اَن َدَعا ِبَو ُضو
َّمُث َقاَل َر َأْيُت الَّنَّىِب – صلى اهلل عليه وسلم – َيَتَو َّض ُأ ْحَنَو ُو ُضوِئى َه َذ ا..… َم َّر اٍت
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsman pent.) suatu ketika
beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air
dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……
kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan
wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].
Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya
karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallammelakukannya. Semata-mata perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau
sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« َفِإَّن َأَح َد ُك ْم َال َيْد ِر ى َأْيَن َباَتْت، َو ِإَذا اْس َتْيَق َظ َأَح ُد ُك ْم ِم ْن َنْو ِمِه َفْلَيْغِس ْل َيَد ُه َقْبَل َأْن ُيْد ِخ َلَه ا ىِف َو ُض وِئِه
» َيُد ُه
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum
ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.
Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka
jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu
semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur.
Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas
‘ulama[48].
Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang
berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« » َباِلْغ ىِف اِال ْس ِتْنَش اِق ِإَّال َأْن َتُك وَن َص اِئًم ا
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].
Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« َلُيِح ُّب الَّتَيُّم َن ىِف ُطُه وِرِه ِإَذا َتَطَّه َر-صلى اهلل عليه وسلم- » َك اَن َرُس وُل الَّلِه
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam
thoharoh (berwudhupent.)”[51].
Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat
Abdullah bin Zaid,
َأَّن الَّنَّىِب – صلى اهلل عليه وسلم – َت َّض َأ َم َّر َتِنْي َم َّر َتِنْي
َو
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya
sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”
Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan
Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affanrodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
ٍء
َفَغَس َلُه َم ا َثَالَث، َف َأْفَر َغ َعَلى َيَد ْي ِه ِم ْن ِإَناِئِه، َعْن ْمُحَر اَن َمْو ىَل ُعْثَم اَن ْبِن َعَّفاَن َأَّنُه َر َأى ُعْثَم اَن َدَعا ِبَو ُضو
َّمُث َغَسَل َو ْجَهُه َثَالًثا.… …َم َّر اٍت
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsman pent.) suatu ketika
beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air
dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian
diamembasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]
Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah
satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,
َفَأْقَبَل ِهِبَم ا َو َأْد َبَر َم َّرًة َو اِح َد ًة، َّمُث َأْد َخ َل َيَد ُه َفَمَس َح َر ْأَس ُه
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah
depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].
Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan
dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang
diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat
cara wudhu
kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan
wudhu seperti ini”[56].
Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya
(urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah
sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al
Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,
ِبَو ُض وٍء َفَتَو َّض َأ َفَغَس َل َك َّف ْي ِه َثَالًث ا َّمُث َمَتْض َم َض َو اْس َتْنَش َق َثَالًث ا-صلى اهلل عليه وسلم- ُأِتَى َرُس وُل الَّل ِه
َو َغَسَل َو ْجَهُه َثَالًثا َّمُث َغَسَل ِذ َر اَعْيِه َثَالًثا َثَالًثا َّمُث َم َس َح ِبَر ْأِس ِه َو ُأُذَنْيِه َظاِه ِر َمِها َو َباِطِنِه َم ا
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali
kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian
membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun
dalam”[58].
Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam,
« َم ا ِم ْنُك ْم ِم ْن َأَح ٍد َيَتَو َّض ُأ َفُيْبِل ُغ – َأْو َفُيْس ِبُغ – اْلُو ُض وَء َّمُث َيُق وُل َأْش َه ُد َأْن َال ِإَلَه ِإَّال الَّلُه َو َأَّن َحُمَّم ًد ا َعْب ُد
ِم ِة ِن ِإ ِت َّلِه
» ال َو َرُس وُلُه َّال ُف َح ْت َلُه َأْبَو اُب اَجْلَّن الَّثَم ا َيُة َيْد ُخ ُل ْن َأِّيَه ا َش اَء.
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian
membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang
jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].
At Tirmidzi menambahkan lafafdz,
ِم ِب ِم
الَّلُه َّم اْجَعْلىِن َن الَّتَّو ا َني َو اْجَعْلىِن َن اْلُم َتَطِّه ِر يَن
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-
orang yang selalu mensucikan diri”[60].
Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was
sallam,
« َغَف َر الَّلُه َلُه َم ا َتَق َّد َم ِم ْن َذْنِبِه، َال َحُيِّد ُث ِفيِه َم ا َنْف َس ُه، » َمْن َتَو َّض َأ ْحَنَو ُو ُضوِئى َه َذ ا َّمُث َص َّلى َر ْك َعَتِنْي
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan
khusyuk ) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh
ed.
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih
Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq
dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa]
Fiqih Wudhu
Tanya: Niat apakah yang dimaksudkan dalam berwudhu dan mandi (wajib)? Apa hukum perbuatan
yang dilakukan tanpa niat dan apa dalilnya?
Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib) adalah niat untuk menghilangkan
hadats atau untuk menjadikan boleh suatu perbuatan yang diwajibkan bersuci, oleh karenanya
amalan-amalan yang dilakukan tanpa niat tidak diterima. Dalilnya adalah firman Allah, “Dan mereka
tidaklah diperintahkan melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”(QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan hadits dari Umar bin al-Khaththab, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala amalan
itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh
balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya,
maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau
kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.”
Tanya: Apakah wudhu itu? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu? Dan apa (serta berapa
macam) yang mewajibkan wudhu?
Jawab: Yang dimaksud wudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara
yang khusus di empat anggota badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Adapun
sebab yang mewajibkan wudhu adalah hadats, yaitu apa saja yang mewajibkan wudhu atau mandi
[terbagi menjadi dua macam, (Hadats Besar) yaitu segala yang mewajibkan mandi dan (Hadats Kecil)
yaitu semua yang mewajibkan wudhu].
Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Tanya: Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban
tersebut kalau lupa atau tidak tahu?
Jawab: Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah
wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas wudhunya.”
Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapkan basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah
hadits, “Dimaafkan untuk umatku, kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan
mengucapkan bismillah.
Tanya: Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu? Dan apa saja?
Jawab: Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu:
1. Membasuh muka (temasuk berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu
dikeluarkan).
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mengusap kedua daun telinga).
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
5. Tertib (berurutan).
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).
Tanya: Sampai dimana batasan wajah (muka) itu? Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu yang
tumbuh di (daerah) muka ketika berwudhu?
Jawab: Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang
normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke
bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Wajib membasuh semua bagian muka
bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya) beserta
kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak lebat). Karena anda lihat sendiri, kalau
rambut jenggotnya lebat maka wajib membasuh bagian luarnya dan di sunnahkan menyela-nyelanya.
Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan bagian bawah jenggot yang jarang bisa
terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan tertib (urut)? Apa dalil yang mewajibkannya dari al-Qur’an dan
As-Sunnah?
Jawab: Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang mulia.
Yaitu membasuh wajah, kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap kepala,
kemudian membasuh kedua kaki.
Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas (ayat 6 surat al-Maidah). Di dalam
ayat tersebut telah dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak
melakukan hal ini melainkan untuk suatu faedah tertentu yang tidak lain adalah tertib (urut).
Kedua, sabda Rasulullah, “Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya.”
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah beritahukan
kepadaku tentang wudhu?” Rasulullah berkata, “Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air
wudhunya, kemudian berkumur-kumur, memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya
kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga hidungnya bersama air
wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan,
melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu,
kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai ke siku, melainkan gugurlah dasa-dosa
tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap
kepalanya, melainkan gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya,
kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua kakinya, melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air
melalui ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)
Dan dalam riwayat Ahmad terdapat ungkapan, “Kemudian mengusap kepalanya (sebagaimana yang
Allah perintahkan),… kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki sebagaimana yang
Allah perintahkan.”
Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu. Wallahu
A’lam.
Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa yang dibasuh oleh orang yang
buntung ketika berwudhu?
Jawab: Hendaknya berniat kemudian membaca basmalah dan membasuh tangannya sebanyak tiga
kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (lalu mengeluarkannya)
sebanyak tiga kali dengan tiga kali cidukan. Kemudian, membasuh mukanya sebanyak tiga kali,
kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak tiga kali, kemudian
mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya
rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali
ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan
menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya, kemudian membasuh kedua kakinya beserta
mata kakinya tiga kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-bagian yang wajib (dari anggota
tubuhnya) yang tersisa. Jika yang buntung adalah persendiannya maka memulainya dari bagian
lengan yang terputus. Demikian pula jika yang buntung adalah dari persendian tumit kaki, maka
membasuh ujung betisnya.
Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan dalil-dalil tersebut secara lengkap?
Jawab: Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan dalilnya di atas. Dan dalam riwayat
Abdullah bin Zaid tentang tatacara wudhu (terdapat lafal), “Kemudian Rasulullah memasukkan
tangannya, kemudian berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung dengan satu tangan sebanyak
tiga kali.” (Mutafaq ‘alaih)
“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air wudhu, maka ia membasuh kedua
telapak tangannya tiga kali, …kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali,
kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki
kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula, kemudian berkata, ‘Aku
melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini.’” (Mutafaq alaih)
Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia berkata, “Dan Rasulullah mengusap
kepalanya, menyapukannya ke belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)
Dan lafal yang lain, “(Beliau) memulai dari bagian depan kepalanya sampai ke tengkuk, kemudian
menariknya lagi ke bagian depan tempat semula memulai.”
Dan dalam riwayat Ibnu Amr tentang tata cara berwudhu, katanya, “Kemudian (Rasulullah)
mengusap kepalanya, dan memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya, dan
mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun telinganya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan
disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Tanya: Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau mandi (junub)?
Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut
ukuran orang Hijaz dan 2 liter menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Adapun
untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas,
katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi
(dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih). Dan makruh (dibenci)
berlebih-lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam berwudhu.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging kambing?” Beliau
bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah kami
(harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu bertanya, “Bolehkah
shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat
di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no.
360)
Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta,
maka beliau bersabda, ‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan
daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan
Abu Dawud hadits no. 184)
Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti,
makan hati, limpa, jeroan, lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang
kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh
apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara keseluruhan (tidak
hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini,
dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat
dan paling berkah. Wallahu ‘alam.
Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur
lama (pulas) membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah,
‘Mata adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah
Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no. 203)
Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu)
adalah buang air besar, buang air kecil dan tidur.”
Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,“Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-
nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian
mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah dishahihkan
Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah.
Tatkala Rasulullah berdiri untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau
memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping kanannya. Lalu aku pun berada di
samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas
berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau
memakai obat-obatan yang menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?
Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu
penjelasannya. Kedua hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan
wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak sadarannya lebih parah kalau
dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan.
Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akal lebih layak jika tidur lama saja
membatalkan wudhu. Dan para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila,
mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan)
ulama. Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu bagi orang yang
pingsan.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika diiringi
dengan syahwat?
Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:
Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah
bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah,
hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan Abu Zur’ah)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka
janganlah melaksanakan shalat hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang paling shahih)
“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib atasnya
untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan Ahmad Hadits no. 8199)
Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”
Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi bersabda, “Setiap laki-laki yang
menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya
maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi ditanya tentang menyentuh kamaluan
ketika shalat? Maka beliau bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata tubuhmu!?” (HR.
Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni I/149, Majmu Zawaid I/244)
Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat hadits di atas, bahwa menyentuh
kemaluan tidak membatalkan wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota tubuhnya
yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa
syahwat. Artinya ketika menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh daun
telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits tersebut di atas diamalkan. Dan dengan
cara penyatuan inilah yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah as-Habu Malik
dan sebagian ulama hadits.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya tanpa
pembatas dengan syahwat membatalkan wudhu?
Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil dari firman Allah, “Atau kalian
menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa: 43)
Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan
wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil yang dijadikan pegangan bagi mereka yang
berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa syahwat hanya pada
ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang
berpendapat seperti ini sebagai berikut:
Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah bermakna jima
(senggama), dan sesuai dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah, bahwa
Rasulullah:
“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa mengulangi
wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits no. 170)
Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan
Rasulullah dari tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku menyentuhnya, aku letakan
tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan
menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi telah menshahihkan)
Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan syahwat itu tidak
membatalkan wudhu dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang benar.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan bahwa riddah
itu membatalkan wudhu?
Jawab: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam,
baik dengan ucapan, keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk Islam
(sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan berwudhu) dia tidak boleh shalat
sebelum berwudhu lagi.
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-
nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. az-Zumar: 65)
Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats kemaluan.
Hadits lisan lebih berat; dan dari keduanya mengharuskan wudhu.”
Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara
kalian apabila hadats hingga berwudhu.”(Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554. Muslim hadits
no. 225)
Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun riwayat Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang memandikan
mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti
dilakukan orang yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak mengetahui ada dari
kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan
mayat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman
inilah mereka yang memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang
yang tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia
perbuat, termasuk jika ia berhadats).
Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang memandikan mayit.” Ini adalah
pendapat mayoritas fuqaha dan inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum wajib
harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash) dalam hal ini dan tidak pula nash yang
bermakna sebagaimana yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu kerena
memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah sebenarnya sebab diperintahkan wudhu
bagi orang yang memandian mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang berpendapat istihbab
(disukai) berwudhu tidak sampai kepada wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak
wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa
memandikan mayat maka hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan hadits di atas
hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum
tersebut menjadi wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan alasan adanya kemungkinan bahwa
itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya
karena itu merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu
adalah sabda Rasulullah.
Nawaqidul Wudhu
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging kambing?” Beliau
bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah kami
(harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu bertanya, “Bolehkah
shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat
di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no.
360)
Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta,
maka beliau bersabda, ‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan
daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan
Abu Dawud hadits no. 184)
Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti,
makan hati, limpa, jeroan, lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang
kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh
apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara keseluruhan (tidak
hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini,
dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat
dan paling berkah. Wallahu ‘alam.
Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur
lama (pulas) membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah,
‘Mata adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah
Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no. 203)
Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu)
adalah buang air besar, buang air kecil dan tidur.”
Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,“Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-
nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian
mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah dishahihkan
Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah.
Tatkala Rasulullah berdiri untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau
memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping kanannya. Lalu aku pun berada di
samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas
berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau
memakai obat-obatan yang menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?
Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu
penjelasannya. Kedua hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan
wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak sadarannya lebih parah kalau
dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan.
Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akal lebih layak jika tidur lama saja
membatalkan wudhu. Dan para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila,
mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan)
ulama. Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu bagi orang yang
pingsan.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika diiringi
dengan syahwat?
Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:
Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah
bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah,
hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan Abu Zur’ah)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka
janganlah melaksanakan shalat hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang paling shahih)
“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib atasnya
untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan Ahmad Hadits no. 8199)
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya tanpa
pembatas dengan syahwat membatalkan wudhu?
Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil dari firman Allah, “Atau kalian
menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa: 43)
Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan
wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil yang dijadikan pegangan bagi mereka yang
berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa syahwat hanya pada
ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang
berpendapat seperti ini sebagai berikut:
Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah bermakna jima
(senggama), dan sesuai dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah, bahwa
Rasulullah:
“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa mengulangi
wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits no. 170)
Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan
Rasulullah dari tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku menyentuhnya, aku letakan
tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan
menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi telah menshahihkan)
Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan syahwat itu tidak
membatalkan wudhu dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang benar.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan bahwa riddah
itu membatalkan wudhu?
Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam,
baik dengan ucapan, keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk Islam
(sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan berwudhu) dia tidak boleh shalat
sebelum berwudhu lagi.
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-
nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. az-Zumar: 65)
Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats kemaluan.
Hadits lisan lebih berat; dan dari keduanya mengharuskan wudhu.”
Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara
kalian apabila hadats hingga berwudhu.”(Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554. Muslim hadits
no. 225)
Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun riwayat Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang memandikan
mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti
dilakukan orang yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak mengetahui ada dari
kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan
mayat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman
inilah mereka yang memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang
yang tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia
perbuat, termasuk jika ia berhadats).
Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang memandikan mayit.” Ini adalah
pendapat mayoritas fuqaha dan inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum wajib
harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash) dalam hal ini dan tidak pula nash yang
bermakna sebagaimana yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu kerena
memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah sebenarnya sebab diperintahkan wudhu
bagi orang yang memandian mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang berpendapat istihbab
(disukai) berwudhu tidak sampai kepada wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak
wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa
memandikan mayat maka hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan hadits di atas
hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum
tersebut menjadi wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan alasan adanya kemungkinan bahwa
itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya
karena itu merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu
adalah sabda Rasulullah.
Syari’at Islam adalah ajaran yang sangat sempurna. Sebuah ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Oleh karena itu siapa saja yang dengan lapang dada
dan hati gembira menyambut syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamsebagai jalan hidupnya maka sesungguhnya dia telah menemukan cahaya penerang serta ruh
kehidupannya. Para pembaca yang budiman, Islam mengajarkan umatnya untuk beribadah kepada
Allah dalam keadaan suci. Oleh karena itu disyariatkanlah syariat bersuci. Dan sebagaimana sudah
dikenal di kalangan umat Islam bersuci itu meliputi wudhu, mandi dan tayamum. Nah, pada
kesempatan yang berbahagia ini kita akan membahas tentang masalah tayamum. Semoga
Allah ta’ala mengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita.
Pengertian Tayamum
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mendefinisikan tayamum sebagai berikut.
Secara bahasa tayamum berarti bermaksud atau menyengaja. Sebagaimana ungkapan orang
Arab tayyamamtu asy-syai’a yang maknanya qashadtuhu (saya menginginkannya). Adapun dalam
terminologi syariat, yang dimaksud dengan tayamum yaitu: membasuh wajah dan kedua telapak
tangan dengan menggunakan ash-sha’id yang suci sebagai pengganti bersuci dengan air yaitu ketika
terhalangi memakai air. Bahkan syariat tayamum ini merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki
oleh umat ini. Allah mensyariatkannya demi menyempurnakan agama mereka, dan juga sebagai
tanda bukti kasih sayang dan cinta kasih-Nya kepada mereka (lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul
‘Allaam, jilid 1 hal. 112)
Dalil Pensyari’atannya
Diriwayatkan dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melihat ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak ikut shalat berjamaah
bersama orang-orang. Maka beliau pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apakah yang
menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang ?” Lelaki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, saya
mengalami junub sedangkan air tidak ada.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hendaknya engkau bersuci dengan ash-sha’id, itu saja sudah cukup bagimu.” (HR.
Bukhari no. 348 dalam At-Tayamum) Yang dimaksud dengan ash-sha’id adalah permukaan bumi
serta segala sesuatu yang berdiri di atasnya. Oleh sebab itu diperbolehkan bertayamum dengan
apapun yang masih layak disebut sebagai bagian permukaan bumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh
Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik serta Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahumullah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/198) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila
tidak ada air maka diperbolehkan bersuci dengan cara tayamum. Dan menunjukkan pula bahwa
tayamum itu berkedudukan sebagaimana bersuci dengan air, selama air tidak ada atau tidak sanggup
memakainya(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 113-114)
Tata Caranya
Diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; ‘Saya pernah mengalami
junub dan ketika itu saya tidak mendapatkan air (untuk mandi, pen). Oleh karena itu saya pun
bergulung-gulung di tanah (untuk bersuci, pen) dan kemudian saya menjalankan shalat. Maka hal itu
pun saya ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Sebenarnya sudah
cukup bagimu bersuci dengan cara seperti ini.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua
telapak tangannya di atas tanah dan meniup keduanya. Kemudian dengan kedua telapak tangan itu
beliau membasuh wajah dan telapak tangannya.’ (HR. Bukhari dan Muslim) Berdasarkan hadits ini
dan juga hadits lainnya maka tata cara tayamum yang benar adalah cukup dengan menepukkan
kedua telapak tangan (1X) ke tanah atau permukaan bumi yang lainnya, kemudian meniupnya, lalu
membasuh dengan kedua telapak tangannya itu wajah dan telapak tangannya (dari ujung jari sampai
pergelangan, bagian luar dan dalam telapak tangan) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/202-203)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tata cara tayamum
karena junub sama halnya dengan tayamum karena hadats kecil yaitu dengan cara menepuk tanah
dengan kedua telapak tangannya sekali dan kemudian membasuh telapak tangan kirinya dengan
bagian dalam telapak tangan kanannya dan juga bagian luar kedua telapak tangannya serta
wajahnya. Demikianlah penjelasan beliau tatkala menerangkan hadits ‘Ammar bin Yasir di atas.
Syaikh Ibnu Bassam hafizhahullah menerangkan bahwa tayamum itu cukup dengan satu kali
tepukan saja. Inilah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama, di antara mereka adalah Imam
Ahmad, Al-Auza’i,
Ishaq serta para ulama ahli hadits berdasarkan hadits-hadits shahih (lihat Tanbiihul Afhaam wa
Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 116 dan 117)
Pembatal Tayamum
Tayamum menjadi batal karena hal-hal yang bisa membatalkan wudhu. Selain itu tayamum juga
dinilai batal apabila air berhasil ditemukan oleh orang yang berusaha mencari namun belum
menemukannya. Dan tayamum juga dinilai batal apabila seseorang yang pada awalnya tidak
sanggup memakai air karena sakit atau alasan lainnya ternyata pada saat itu dia sudah kembali
sanggup menggunakannya. Sedangkan shalat yang sudah dilakukan sebelumnya dengan bekal
tayamum tersebut tetap dinilai sah dan tidak perlu diulangi. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata; ‘Ada dua orang lelaki yang menempuh suatu
perjalanan. Maka tibalah waktu shalat sementara mereka berdua tidak mendapati air sama sekali.
Oleh sebab itu mereka pun bertayamum dengan tanah yang suci lalu melakukan shalat. Kemudian
pada suatu saat ternyata mereka menemukan air. Maka salah seorang dari keduanya mengulangi
wudhu dan shalat, sedangkan kawannya yang satu tidak. Kemudian mereka berdua menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Maka
beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah sesuai dengan
tuntunan. Dan shalatmu pun dinilai sah.” Dan beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan
mengulangi shalatnya, “Engkau memperoleh pahala dua kali.” (HR. Abu Dawud dan An-
Nasa’i, Shahih Sunan Abu Dawud : 327. lihat Al-Wajiz hal. 56-57)
Haruskah Mengusap Perban Jika Terluka?
Seseorang yang terluka atau patah salah satu bagian tubuhnya (anggota badan yang dikenai usapan
wudhu atau tayamum, pen) maka dia tidak berkewajiban mengusapnya (ataupun perbannya, pen)
tatkala berwudhu maupun tayamum. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah tidak
akan membebankan kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Begitu pula sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila aku memerintahkan kalian untuk
menjalankan sesuatu maka laksanakanlah menurut kemampuan kalian.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i)
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan As-Sunnah ini maka gugurlah kewajiban dari setiap orang yang tidak
berkesanggupan menjalankannya. Menentukan adanya pengganti tata cara tersebut (mengusap
anggota badan, pen) dengan mengusap yang lain (seperti perban dan semacamnya, pen) adalah
tindakan pensyari’atan. Sedangkan syariat tidak bisa digariskan kecuali dengan al-Qur’an atau as-
Sunnah. Padahal tidak ada satu pun dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menyebutkan
adanya pengganti tindakan mengusap anggota badan yang terluka dengan mengusap perban atau
pembalut lukanya. Oleh karena itu pendapat yang menyatakan dituntunkan untuk mengusap perban
adalah pendapat yang tertolak (lihat Al-Wajiz, hal. 57)
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang tayamum. Semoga kaum muslimin bisa memetik faedah
darinya, begitu pula penyusunnya serta orang-orang yang turut menyebarkannya. Ya Allah terimalah
amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengetahui. Dan terimalah taubat kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib
Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah,
pembahasan ini akan dikaji secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada kesempatan kali ini kita
akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi (al ghuslu).
Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan
yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan
tata cara yang khusus. Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah) bisa
dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk mandi. [1]
Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):
Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull
Mundzir dan Al Khottobi[14].
[2] Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip
mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau
ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat.
Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil
Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)
[3] Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64, Darul
Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/163, Al Maktabah At
Taufiqiyah. Juga lihat penjelasan dalam kitab Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad bin
Sholih Al Utsaimin, hal. 49, Darul ‘Aqidah, tahun 1428 H.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 57, Darul
‘Aqidah, tahun 1425 H.
[6] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[7] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[8] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 50.
[9] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/40-41, Dar Ihya’ At
Turots, cetakan kedua, 1392.
[11] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 57.
[12] Faedah dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167.
[13] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 59.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/166.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/617.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang yang mati selain di medan
pertempuran dan disebut syahid (seperti orang yang mati karena tenggelam dan sakit perut), maka
mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang yang mati pada umumnya. Inilah yang
menjadi pendapat mayoritas ulama. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/619)
[17] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 51.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Tulisan kali ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai lima hal yang menyebabkan
mandi wajib. Saat ini kami akan memaparkan serial kedua dari tiga serial secara keseluruhan tentang
tata cara mandi wajib (al ghuslu). Semoga pembahasan kali ini bermanfaat.
Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ُثَّم ُيِفيُض اْلَماَء َع َلى َج َس ِدِه ُكِّلِه
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika
mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[1]
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,
َأَّما َأَن ا َف آُخ ُذ ِمْل َء َك ِّفى َث َالثًا َف َأُصُّب َع َلى َر ْأِس ى ُثَّم ُأِفيُضُه َب ْع ُد َع َلى َس اِئِر َج َس ِدى
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya
tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)
Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun
(fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia
mengatakan,
ُقْلُت َيا َر ُسوَل ِهَّللا ِإِّن ى اْم َر َأٌة َأُشُّد َض ْف َر َر ْأِس ى َفَأْنُقُضُه ِلُغ ْس ِل اْلَج َن اَبِة َقاَل « َال ِإَّن َما َي ْك ِفيِك َأْن َت ْح ِثى َع َلى َر ْأِس ِك َثَالَث َح َث َياٍت ُثَّم ُتِفيِض يَن َع َلْي ِك اْلَم اَء
.» َفَت ْط ُهِر يَن
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku
harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah
kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka
kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat
untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai
seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-
gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]
Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau
dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan
kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam
sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan
kotoran yang ada.”[4]
Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika
mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa
didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]
Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur
air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu
beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang
tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-
sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu,
setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau
boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup,
mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh,
kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut
dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada
kelapangan.”[6]
Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
َح َّت ى ِإَذ ا، ُثَّم ُيَخ ِّل ُل ِبَي ِدِه َش َع َر ُه، َو َت َو َّض َأ ُو ُض وَءُه ِللَّص َالِة ُثَّم اْغ َت َس َل، َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا – صلى هللا عليه وسلم – ِإَذ ا اْغ َت َس َل ِمَن اْلَج َن اَبِة َغ َس َل َيَدْيِه
ُثَّم َغ َس َل َس اِئَر َج َس ِدِه، َأَف اَض َع َلْيِه اْلَماَء َثَالَث َمَّر اٍت، َظ َّن َأْن َقْد َأْر َو ى َب َش َر َت ُه
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu
sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya
ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau
mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)
Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
َأل ُأل َأل ُث ْأ ُذ ْأ ًث َأ َأ
َو ِبَيِدَها ا ْخ َر ى َع َلى ِش ِّقَها ا ْي َس ِر، َّم َت ُخ ِبَيِدَها َع َلى ِش ِّقَها ا ْي َم ِن، َخ َذ ْت ِبَيَدْيَها َث َال ا َفْو َق َر ِس َها، ُكَّن ا ِإَذ ا َص اَب ْت ِإْح َد اَن ا َج َن اَب ٌة
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan
disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh
sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke
bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)
Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
َك اَن الَّن ِبُّى – صلى هللا عليه وسلم – ُيْع ِجُبُه الَّت َيُّمُن ِفى َتَن ُّعِلِه َو َت َر ُّج ِلِه َو ُط ُهوِر ِه َو ِفى َش ْأِنِه ُكِّلِه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika
bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim
no. 268)
Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang
membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]
“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya
mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,
ُثَّم َت ُصُّب َع َلى َر ْأِس َها َفَتْد ُلُك ُه َح َّت ى َت ْب ُلَغ ُشُئوَن َر ْأِس َها ُث َّم ُتِفيُض َع َلْيَها اْلَماَء
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mengguyurkan air padanya.”
Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan
bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau
potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu,
disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum
lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.
2. Hadits ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja
beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain
bukanlah makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.
[2] Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178,
Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Fathul Bari, 1/360.
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi,
1392.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 61, Darul
‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.
[6] Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176.
[7] Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad
Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah.
[8] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61
[9] Idem.
[10] Shahih Fiqh Sunnah, 1/181.
Waktu-Waktu Shalat
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul
‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammadshallallahu
‘alaihi was sallam.
Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
ِإَّن الَّص اَل َة َك اَنْت َع َلى اْلُمْؤ ِمِنيَن ِك َت اًبا َم ْو ُقوًت ا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”. [ QS. An Nisa’ (4) : 103]
Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu
Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
َم ْن َأْد َر َك َر ْك َع ًة ِمَن اْلَع ْص ِر َقْب َل َأْن َتْغ ُرَب الَّش ْم ُس َفَقْد َأْد َر َك اْلَع ْص َر
“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia telah
mendapatkan sholat ‘ashar”[8].
Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :
Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai
penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits ‘Abdullah
bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh.
Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar
jika terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang
memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.
Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas
bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا – صلى هللا عليه وسلم – ُيَص ِّلى اْلَع ْص َر َو الَّش ْم ُس ُمْر َت ِفَع ٌة َح َّي ٌة
“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih
tinggi”[9].
Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari
Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,
ُكَّن ا َمَع ُبَر ْيَدَة ِفى َغ ْز َو ٍة ِفى َي ْو ٍم ِذى َغْي ٍم َفَق اَل َب ِّك ُروا ِبَص َالِة اْلَع ْص ِر َفِإَّن الَّن ِبَّى – صلى هللا عليه وسلم – َق اَل « َم ْن َت َر َك َص َالَة اْلَع ْص ِر َفَق ْد َح ِب َط
َعَم ُلُه
“Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan,
“Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa
yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal”[10].
Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan sholat ‘ashar.
[Sholat Maghrib]
Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat maghrib
adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.
Awal Waktu Sholat Maghrib
Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah tenggelam hingga
matahari benar-benar tenggelam sempurna.
Akhir Waktu Sholat Maghrib
Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.
Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu
sekadar waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan
adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i
dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril
mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat,
…ُثَّم َج اَءُه ِلْلَم ْغ ِر ِب ِحيَن َغ اَب ْت الَّش ْم ُس َو ْقًت ا َو اِح ًد ا َلْم َي ُز ْل َع ْن ُه َفَق اَل ُقْم َف َصِّل َفَص َّلى اْلَم ْغ ِر َب..
“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tenggelam
(sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya) kemudian
dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat maghrib………..”[11].
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah
ketika matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq,
Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat
oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
…. …َو ْق ُت َص َالِة اْلَم ْغ ِر ِب َما َلْم َيِغِب الَّشَفُق..
“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam”[12].
Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.
Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari Sahabat ‘Uqbah bin
‘Amir rodhiyallahu ‘anhu,
َال َتَز اُل ُأَّمِتى ِبَخ ْي ٍر – َأْو َق اَل َع َلى اْلِفْط َر ِة – َما َلْم ُيَؤ ِّخ ُروا اْلَم ْغ ِر َب ِإَلى َأْن َت ْش َت ِبَك الُّن ُجوُم
“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama mereka tidak mengakhirkan waktu
sholat maghrib hingga munculnya bintang (di langit)”[13].
[Sholat ‘Isya’]
‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga
malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.
Awal Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar merah di langit.
Akhir Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.
Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah
pendapatnya Imam Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam
mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam,
….…ُثَّم َج اَءُه ِلْلِع َش اِء ِحيَن َذ َهَب ُثُلُث الَّلْي ِل اَأْلَّو ُل..
“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’
ketika sepertiga malam yang pertama………..”[14].
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah
pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu
Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
… …َو ْق ُت َص َالِة اْلِع َش اِء ِإَلى ِنْص ِف الَّلْي ِل اَألْو َس ِط.
“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”[15].
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah
pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, Abu Huroiroh
dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Qotadahrodhiyallahu ‘anhu,
……ِإَّن َما الَّتْف ِر يُط َع َلى َم ْن َلْم ُيَصِّل الَّص َالَة َح َّت ى َي ِج ىَء َو ْق ُت الَّص َالِة اُألْخ َر ى.
“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah orang yang tidak
mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain”[16].
Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang
terbaik adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas waktu
bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah.
Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah
malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak shohih.
Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
َلْو َال َأْن َأُشَّق َع َلى ُأَّمِتى َألَم ْر ُتُهْم َأْن ُيَؤ ِّخ ُروا اْلِع َش اَء ِإَلى ُثُلِث الَّلْي ِل َأْو ِنْص ِفِه
“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku perintah agar mereka mengakhirkan
sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam”[17].
Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, sebagaimana dalam
hadits yang lain,
َو ِإَذ ا َر آُه ْم َأْب َط ُئوا َأَّخ َر، إَذ ا َر آُه ْم اْج َت َمُعوا َع َّج َل: َو َأْح َي اًن ا ُيَؤ ِّخ ُرَها، َو اْلِع َش اُء َأْح َي اًن ا ُيَق ِّدُمَها
“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka
telah terlihat terkumpul maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)”[18].
Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
َك اَن َي ْك َر ُه الَّن ْو َم َقْب َلَها َو اْل َح ِديَث َب ْع َدَها
“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat ‘isya’ dan melakukan
pembicaraan yang tidak berguna setelahnya[19]”.
[Sholat Shubuh/Fajar]
Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut juga sebagai sholat shubuh dan
sholat ghodah.
Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang merupakan pancaran sinar putih yang
mencuat ka atas kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.
Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih yang memanjang di arah ufuk, cahaya
ini akan terus menerus menjadi lebih terang hingga terbit matahari.
Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.
Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.
Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap
yang Bercampur Putih)
Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari pada
melaksanakannya ketika ishfar (cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang
berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur
rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
َفَص َّلْي َن ا ِع ْن َدَها َص َالَة اْلَغ َد اِة ِبَغ َلٍس، َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا – صلى هللا عليه وسلم – َغَز ا َخ ْي َبَر
“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami
sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada saatgholas”[20].
Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat. Amin
Diringkas dari Kitab Shohih Fiqh Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal bin Said Salim hal. 237-249/I
Cet. Maktabah Tauqifiyah, Kairo, Mesir
Sigambal, Sebelum Subuh, 10 Mei 2011 M.
Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Artikel www.muslim.or.id
[1] Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhori No. 541.
[2] HR. Muslim No. 612.
[3] HR. Muslim No. 618.
[4] HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615.
[5] HR. Muslim No. 612.
[6] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[7] HR. Muslim No. 612.
[8] HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608.
[9] HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.
[10] HR. Bukhori No. 553.
[11] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[12] HR. Muslim No. 612.
[13] HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan
Ibnu Majah.
[14] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[15] HR. Muslim No. 612.
[16] HR. Muslim No. 681.
[17] HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan
Tirmidzi.
[18] HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233.
[19] HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237.
[20] HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365.
Rukun-Rukun Shalat
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk
hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan
juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah
dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali.
Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan
rukun tadi menjadi hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi
karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.
4.
Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َف ِإْن َلْم َت ْس َت ِط ْع َفَع َلى َج ْن ٍب، َف ِإْن َلْم َت ْس َت ِط ْع َفَق اِع ًد ا، َص ِّل َق اِئًما
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak
mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”[1]
Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُثَّم اْس ُج ْد َح َّت ى َت ْط َم ِئَّن َس اِجًد ا، ُثَّم اْر َف ْع َح َّت ى َت ْط َم ِئَّن َج اِلًسا، ُثَّم اْس ُج ْد َح َّت ى َت ْط َم ِئَّن َس اِجًد ا
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah
ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]
telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau
pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”[17] An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di
siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[18] Di sini
disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia
sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada
perselisihan di dalamnya.[19]
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-
masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak
puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.[20]
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak
boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1
Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”.
Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya.[21] Niat itu pun harus
dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal
puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
َو ُكُلوا َو اْش َر ُبوا َح َّت ى َي َت َبَّيَن َلُك ُم اْلَخ ْي ُط اَأْلْبَيُض ِمَن اْل َخ ْيِط اَأْلْس َو ِد ِمَن اْلَف ْج ِر ُثَّم َأِتُّموا الِّصَياَم ِإَلى الَّلْي ِل
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat
adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
padanya,
ِإَّن َما َذ اَك َبَياُض الَّن َهاِر ِمْن َسَو اِد الَّلْي ِل
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang
hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak
kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]
Pembatal-Pembatal Puasa
keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[22]
Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan
tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan
Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan),
mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh.
Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya
(tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini.
Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama
dikenai kafaroh.
Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam
salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya
kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas,
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk
membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki
kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak
mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-
laki sebagaimana mahar.[23]
Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.
a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan
satu mud[24] makanan.[25]
Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh
di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini
diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan
dari An Nawawi rahimahullah.[26]
Semoga sajian ini bermanfaat.
Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, “Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang
membicarakan keutamaan bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak
dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.”[6]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi
orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.”[7]
Dalil yang menunjukkan mengenai keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الِّسَو اَك َم ْط َهَر ٌة ِلْلَف ِم َم ْر َضاٌة ِللَّر ِّب
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.”[8]
Adapun menggunakan pasta gigi ketika puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena
pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang
seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang
mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari
perkara yang dapat merusak puasanya.[9]
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.”[16]
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar Bin Al Khaththab, beliau berkata,
هdصلى هللا علي- َفُقْلُت َص َن ْع ُت اْلَي ْو َم َأْم رًا َعِظ يمًا َقَّب ْلُت َو َأَن ا َص اِئٌم َفَق اَل َر ُس وُل ِهَّللا-صلى هللا عليه وسلم- َه َش ْش ُت َي ْو ما َفَقَّب ْلُت َو َأَن ا َص اِئٌم َف َأَت ْي ُت الَّن ِبَّى
« َفِفيَم-صلى هللا عليه وسلم- ُقْلُت َال َب ْأَس ِبَذ ِلَك َفَق اَل َر ُسوُل ِهَّللا.» « َأَر َأْيَت َلْو َت َم ْض َم ْض َت ِبَماٍء َو َأْن َت َصاِئٌم-» وسلم
“Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang
berpuasa, maka aku datang kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari ini aku
melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa
kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“[17]
Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah,
َما َيِحُّل ِللَّر ُج ِل ِمْن ِاْم َر َأته َص اِئًما ؟ َق اَلْت ُك ُّل َش ْي ء ِإاَّل اْل ِجَماَع
“Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala
sesuatu selain jima’ (bersetubuh)’.”[18]
– Bersambung insya Allah -
9. Menelan dahak.
Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak[16] tidak membatalkan puasa karena ia
dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[17]
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Para pembaca Muslim.Or.Id sekalian -yang semoga senantiasa mendapat penjagaan Allah-, insya
Allah dalam beberapa serial ke depan, kami dari pihak redaksi akan mengetengahkan bahasan yang
cukup urgent karena bahasan ini adalah bagian dari rukun Islam, yaitu mengenai zakat. Seluk beluk
zakat akan dipaparkan satu per satu dimulai dari keutamaan zakat, syarat zakat, harta-harta yang
dizakati dan siapakah yang berhak menerima zakat, juga beberapa perincian lainnya yang dianggap
penting untuk dibahas. Semoga para pembaca bisa bersabar menantikan serial ini hingga tuntas dan
moga bermanfaat.
Pengertian Zakat
Zakat –secara bahasa- berarti “ ”الّن ماء والّريع والّز يادةberarti bertambah atau tumbuh. Makna seperti dapat
kita lihat dari perkataan ‘Ali bin Abi Tholib,
العلم يزكو باإلنفاق
“Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”
Zakat secara bahasa juga berarti “”الّصالح, yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita lihat pada firman
Allah Ta’ala,
َف َأَر ْد َن ا َأْن ُيْبِد َلُهَما َر ُّبُهَما َخ ْيًر ا ِم ْن ُه َز َك اًة
“Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih
baik kesuciannya dari anaknya itu” (QS. Al Kahfi: 81).[1]
Secara bahasa, zakat juga berarti “ ”تطهيرmensucikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
َقْد َأْفَلَح َم ْن َز َّك اَها
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy Syams: 9). Zakat
mensucikan seseorang dari sikap bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
ُخ ْذ ِمْن َأْم َو اِلِه ْم َص َد َق ًة ُتَط ِّهُرُه ْم َو ُتَز ِّك يِه ْم ِبَها
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka” (QS. At Taubah: 103).[2]
Secara istilah syar’i, zakat berarti penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dengan cara yang
khusus, dan disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun)
dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang dimaksudkan untuk harta
yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki harta dan
mengeluarkan zakatnya.[3]
Kita dapat mengambil pelajaran dari definisi di atas bahwa zakat dapat disebut zakat karena pokok
harta itu akan tumbuh dengan bertambah barokah ketika dikeluarkan dan juga orang yang
mengeluarkan akan mendapatkan berkah dengan do’a dari orang yang berhak menerima zakat
tersebut. Harta lain yang tersisa juga akan bersih dari syubhat, ditambah dengan terlepasnya dari
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut.[4]
Hukum Zakat
Zakat disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah dekat dengan waktu disyari’atkannya puasa
Ramadhan.[5] Zakat ini merupakan suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam. Hal ini tidak bisa
diragukan lagi karena telah terdapat berbagai dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kata sepakat
ulama).
Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat dalam ayat,
َو َأِقيُموا الَّص اَل َة َو َآُتوا الَّز َكاَة
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” (QS. Al
Baqarah: 43). Perintah zakat ini berulang di dalam Al Qur’an dalam berbagai ayat sampai berulang
hingga 32 kali.[6]
Begitu pula dalam hadits ditunjukkan mengenai wajibnya melalui haditsd dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َو َص ْو ِم َر َمَضاَن، َو اْلَح ِّج، َو ِإيَت اِء الَّز َك اِة، َو ِإَقاِم الَّص َالِة، ُبِنَى اِإلْس َالُم َع َلى َخ ْم ٍس َش َهاَدِة َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو َأَّن ُمَح َّم ًد ا َر ُسوُل ِهَّللا
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak
disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan
zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”[7]
Begitu juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan pada Mu’adz yang
ingin berdakwah ke Yaman,
ُتْؤ َخ ُذ ِمْن َأْغ ِنَياِئِه ْم َو ُتَر ُّد َع َلى ُفَق َر اِئِه ْم، َف ِإْن ُه ْم َأَط اُعوا ِلَذ ِلَك َفَأْع ِلْم ُهْم َأَّن َهَّللا اْف َت َر َض َع َلْي ِه ْم َص َد َق ًة ِفى َأْم َو اِلِه ْم
“… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan menunaikan shalat ), maka
ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana zakat tersebut diambil dari
orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian disebar kembali oleh orang miskin di antara
mereka.”[8]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu kepastian dalam syari’at Islam,
sehingga tidak perlu lagi kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya. Para
ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya. Adapun hukum asalnya telah disepakati
bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”[9]
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at Islam memiliki makna yang sama.
Keduanya terbagi menjadi dua: (1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian masyarakat
bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang sunnah, maka itu adalah
anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.
Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk istilah sedekah yang wajib, yang
sunnah, untuk nafkah, kewajiban dan pemaafan.”[10]
Kedua: Orang yang enggan menunaikan zakat dala rangka bakhil dan pelit.
Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik dan
akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
َو اَّلِذيَن َي ْك ِنُز وَن الَّذ َهَب َو اْلِفَّض َة َو اَل ُيْن ِفُقوَن َها ِفي َس ِبيِل ِهَّللا َفَب ِّش ْر ُه ْم ِبَع َذ اٍب َأِليٍم َي ْو َم ُيْح َمى َع َلْيَها ِفي َن اِر َج َه َّن َم َفُتْك َو ى ِبَها ِجَباُهُهْم َو ُج ُنوُبُهْم َو ُظ ُهوُرُه ْم
َه َذ ا َما َكَن ْز ُتْم َأِلْنُفِس ُك ْم َف ُذ وُقوا َما ُكْنُتْم َت ْك ِنُز وَن
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung
dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At
Taubah: 34-35).
Di dalam beberapa hadits disebutkan ancaman bagi orang yang enggan menunaikan zakat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َفُيْك َو ى ِبَها َج ْب َه ُت ُه، َفُأْح ِمَي َع َلْيَها ِفي َن اِر َج َه َّن َم، َما ِمْن َصاِحِب َذ َهٍب َو َال ِفَّضٍة َال ُيَؤ ِّدي ِم ْن َها َح َّقَها ِإَّال ِإَذ ا َك اَن َي ْو َم الِقَياَمِة ُصِفَح ْت َلُه َص َف اِئُح ِمْن َن اٍر
َأ ُأ
َو ِإَّما ِإَلى الَّن اِر، َفَيَر ى َس ِبْي َلُه ِإَّما ِإَلى الَج َّن ِة، ُكَّلَما َبُرَد ْت ِع ْيَد ْت ِإَلْيِه ِفي َي ْو ٍم َك ان ِم ْق َد اُرُه َخ ْم ِس ْي َن ْلَف َس َن ٍة،َو َج ْن ُبُه َو َظ ْهُرُه
“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari
kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka
Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali
dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama
dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke
neraka.”[3]
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku datang menemui
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berlindung di bawah naungan Ka’bah. Beliau
bersabda, ‘Merekalah orang-orang yang paling merugi, demi Rabb Pemilik Ka’bah’. Beliau
mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Aku pun menjadi sedih, aku menarik nafas lalu
berkata, ‘Ini merupakan peristiwa yang buruk pada diriku. Aku bertanya, Siapakah mereka? Ayah dan
ibuku menjadi tebusannya?’” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
ِإَّال َم ْن َق اَل ِفي ِع َباِد ِهللا َه َك َذ ا َو َه َك َذ ا َو َق ِلْيٌل َما ُه ْم َما ِمْن َر ُج ٍل َي ُمْو ُت َفَي ْت ُرُك َغَن ًما َاْو ِإِبًال َأْو َب َق ًر ا َال ُي َؤ ِّدي َز َك اَت َه ا ِإَّال َج اَء ْت ُه َي ْو َم،اَألْك َث ُرْو َن َأْم َو اًال
َح َّت ى َي ْق ِض َي ُهللا َب ْي َن الَّن اِس ُثَّم َت ُعْو ُد ُأْو َالَها َعلَى ُأْخ َر اَها، َو َت ْن ِط ُحُه ِبُقُرْو ِنَها،الِقَياَمِة َأْع َظ ُم َما َت ُك ْو ُن َو َأْس َمُن َح َّت ى َت َط َأُه ِبَأْظ َالِفَها
“Orang-orang yang banyak hartanya! Kecuali yang menyedekahkannya kepada hamba-hamba Allah
begini dan begini. Namun sangat sedikit mereka itu. Tidaklah seorang lelaki mati lalu ia meninggalkan
kambing atau unta atau sapi yang tidak ia keluarkan zakatnya melainkan hewan-hewan itu akan
datang kepadanya pada hari kiamat dalam bentuk yang sangat besar dan sangat gemuk lalu
menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya dengan tanduknya. Hingga Allah memutuskan
perkara di antara manusia. Kemudian hewan yang paling depan menginjaknya kembali, begitu pula
hewan yang paling belakang berlalu, begitulah seterusnya.”[4]
Panduan Zakat (3): Syarat-Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan
dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2) merdeka.[1]
Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap
dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan
dipilih oleh mayoritas ulama.[2]
Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna,
(2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah
mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut merupakan kelebihan
dari kebutuhan pokok.[3]
Artikel Muslim.Or.Id
—
Kaum muslimin yang ingin menitipkan harta zakatnya, untuk disalurkan kepada saudara-
saudari kita yang termasuk dalam delapan golongan yang berhak menerima zakat,
dapat menunaikannya melalui Layanan Penyaluran Harta Zakat Peduli Muslim.
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 11-12.
[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 12-13 dan Az Zakat, 64-66.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 13 dan Az Zakat, 63.
[4] Tafsir Al Qurthubi, 17: 238
[5] Lihat Az Zakat, 67.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/14-15.
[7] HR. Bukhari no. 1464
[8] Lihat Az Zakat, 69-70.
[9] Satu uqiyah sama dengan 40 dirham. Jadi nishob perak adalah 5 uqiyah x 40 dirham/uqiyah = 200
dirham (Lihat Syarh ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376).
[10] Satu wasaq sama dengan 60 sho’. Jadi nishob zakat tanama adalah 5 wasaq x 60 sho’/wasaq =
300 sho’ (Lihat Syarh ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376). Satu sho’ kira-kira sama
dengan 3 kg. Sehingga nishob zakat tanaman = 300 sho’ x 3 kg/sho’ = 900 kg.
[11] HR. Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979.
[12] HR. Abu Daud no. 1573, Tirmidzi no. 631 dan Ibnu Majah no. 1792. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[13] Lihat Az Zakat, 70-71.
[14] Lihat Az Zakat, 71-72.
Tuntunan Ibadah Haji (1)
Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya
semata, sebagaimana firman-Nya:
وما خلقت الجن و اإلنس إال ليعبدون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz
dzariyat:56)
kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat
menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan hikmah-
Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan
syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah
atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana menetapkan
ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan
ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana
dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah
dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya
telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu
adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim
yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian
mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya
untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.
Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal yang
berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap dan dicita-
citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini
bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak
dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang akan
menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini sebagai bekal
bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak ada pertolongan dan belas kasihan
kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.
1. Definisi Haji
a. Secara Etimologi
Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-
hajj dan Al-Hijj [1]
b. Secara terminologi syariat
Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah
ditetapkan dalam sunnah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam [2] dan ada pula ulama yang
berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu
untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula[3]. Akan tetapi definisi ini kurang pas karena
haji lebih
khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu
ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.
2. Dalil Pensyari’atannya
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan
dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.
Adapun dalil dari Al-Qur’an:
وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيًال ومن كفر فإن هللا غني عن العـالمين
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)
dan firman Allah Ta’ala
وأتموا الحج والعمرة هلل فإن أحصرتم فما استيسر من الهدي وال تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محلة فمن كان منكم مريًضا أو به أًذ ى من رأسه
ام فى الحج وسبعة إذاdة أيdففدية من صيام أو صدقة أو نسك فإذا أمنتم فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد فصيام ثالث
رجعتم تلك عشرة كاملة ذلك لمن لم يكن أهله حاضرى المسجد الحرام واتقوا هللا واعلموا أن هللا شديد العقاب
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh
musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah,
yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih)
kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-
orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk
kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-
Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)
Dalil dari As-Sunnah:
Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
خطبنا رسول هللا فقال يأأيها الناس قد فرض هللا عليكم الحج فحجوا
“Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami dan berkata: “Wahai sekalian
manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah
kalian.” (HR. Muslim)
Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
بني اإلسالم على خمس شهادة أن ال إله إال هللا وأن محمًد ا رسول هللا وإقام الصالة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان
“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa
di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’
Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang telah
bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]
3. Syarat-syarat haji
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan
5. Merdeka
Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu
Abbas Radhiallahu’anhu:
وقت رسول هللا ألهل المدينة ذا الحليفة وألهل الشام الجحفة وألهل النجد قرن وألهل اليمن يلملم قال هن لهن لمن أتى عليهن من غير أهلهن
ممن كان يريد الحج و العمرة فمن كان دونهن مهله من أهله وكذلك أهل مكة يهلون منها
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul
Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli NajdQarn dan bagi ahli
Yamam Yalamlam lalu bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk
orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan umrah.
Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya,
dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.” (H.R Bukhari 2/165,
166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)
Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli
Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di
Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta[7] yang setara kurang lebih 11
km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih 430 Km dan
sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu
tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat yang
sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian
ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari
Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai miqat penduduk Mesir,
Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh
di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melaluiYalamlam maka miqat mereka adalah miqat
ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah
bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari
Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.
Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah
bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan
berkata sebagian ulama sekitar 75 Km* demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya.
[8]Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul
Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah
atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para
ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari perintah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin KhaththabRadhiallahu’anhu?
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits
Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:
أن رسول هللا وقت ألهل العراق ذات العرق
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah
Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]
b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang menetapkannya.
Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar
tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar Radhiallahu’anhu:
haji maka Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar untuk
mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:
أمرني رسول هللا )أن أردف عائشة وأعمرها من التنعم (متفق عليه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan
(Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)
Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari rumah-
rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang
terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati miqat-miqat tersebut, maka
wajib bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat yang terdekat dari jalan
yang dilewati tersebut.
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:
1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia
berikhram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram dan
berihram darinya.
2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya
untuk berhaji dan berumrah.
3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat
b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau
memilih miqat yang terdekat dengannya.
Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:
1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia
masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi
menjadi dua:
a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji dan umrah
ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
إنه ال يدخل إال من كان محرًما
“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat masuk
makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah
mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang
khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”
b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini
adalah madzhab Syafi’i.
Mereka berdalil sebagai berikut:
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
)لمن أراد الحج و العمرة (متفق عليه
“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)
Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang
berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak
berihram jika ingin masuk makkah
Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul Makkah
dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)
Dan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah
tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat
yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-
Mukhtar asy-Syanqithy.
Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah ditentukan
oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram
maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:
1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian kembali
ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena
dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.
2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat,
masalah ini ada dua gambaran:
a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau
kembali dan lain sebagainya.
b.Tidak memiliki udzur syar’i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah
kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.
3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu kembali dan
berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:
a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan
hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab
Syafi’iyah
c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau
kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-
Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.
5. Jenis-jenis Manasik Haji
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:
1. Ifrad
Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa dibarengi
dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian
pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-thawaf maka dia tetap berpakaian ihram
dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak dibebani hadyu
(sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang
lainnya.
Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali
ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
2. Tamattu’
Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada tahun
itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena itu
setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.
3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan)
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga
bentuk:
a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “ ” لبيك عمرًة وحًج اdengan dalil bahwa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u dan berkata:
صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai
thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian
haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah
tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dalam hadits tersebut:
سعيك طوافك لحجك وعمرتك
“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no. 2925/132)
c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama
ada dua pendapat:
Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah:
أهل رسول هللا بالحج
“Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.
dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:
صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامة
“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.
dari sini jelas terpahami sebagai suatu kesalahan apa yang telah dipahami sebagian kaum muslimin
bahwaihram adalah berpakaian dengan kain ihram karena ihram adalah niat masuk kedalam haji atau
umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang
yang telah berihram .
Dan melakukan ihram dari miqat merupakan satu kewajiban dari hal-hal yang wajib dilakukan oleh
seorang yang ingin menunaikan haji atau umrah adalah pengambilan miqat sebagai tempat berihram
sehingga mereka yang tidak berihram dari miqat berarti meninggalkan suatu kewajiban dalam haji
dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan Dam (denda).
Adapun cara berihram , maka seorang yang telah berketetapan untuk haji atau umrah maka
disunnahkan baginya untuk mencontoh RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan hal-
hal yang berhubungan dengan amalannya sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh hadits-hadits
yang shahih .
(Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no.3074.)
Apabila tidak mendapatkan air maka tidak ber-tayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila
tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam
bersuci dari hadats sebagai firman-Nya:
يا أيها الذين ءامنوا اذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحو برؤوسكم وارجلكم إلى الكعبين وان كنتم جنًب ا فاطهروا
وان كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحدمنكم أو الغائط أو لمستم النساء فلم تجد ماء فتيمموا صعيًد ا طيًبا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); “(QS.Al Maidah :6)
maka tidak bisa dianalogikan (di-qiyas-kan) kepada yang lainnya,dan juga tidak ada contoh atau
perintah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk ber-tayammum, apalagi kalau mandi ihram
tersebut adalah untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma bintu Umais yang
sedang haidh untuk mandi tersebut.
2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah:
كنت أطيب النبي الحرامه قبل ان يحرم و لحله قبل أن يطوف بالبيت.
“Aku memakaikan nabi wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya
sebelum thawaf di Ka’bah” (HR, Bukhory no.1539 dan Muslim no. 1189).
Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ال تلبسوا ثوبا مسه الزعفران و ال الورس
“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.”(Muttafaqun
alaih).
Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram,dan ini sepakat tidak ada permasalahan
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka
ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan
pendapatnya.
Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:
كان رسول هللا اذا اراد أن يحرم يتطيب بأطيب ما يجد ثم أرى وبيص الدهن في رأسه و لحيته بعد ذلك رواه مسلم
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling
wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya
setelah itu”.(HR.Muslim no.2830 ).
Dan Aisyah berkata pula:
كأني أنظر الى وبيص المسك في مفرق رسول هللا و هو محرم
“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam sedangkan beliau dan keadaan ihram “. (HR. Muslim no. 2831 dan
Bukhory no. 5923).
Masalah: Apabila sesorang memakai wangi- wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya,
lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau
tidak?
Jawab: Tidak mempengaruhi , karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan
tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan sahabatnya
tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada
keadaan yang dibolehkan 3
Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak
rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia
lakukan
maka akan menempelah minyak tersebut ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka
apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?
Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin dengan mengatakan: “Tidak
perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya demikian juga
tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak
tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan:. 4
3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung (izar) dan selendang (rida’),
sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
ليحرم أحدكم فى إزار و رداء و نعلين
“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta
sepasang sandal.”(H. R Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir)
dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
حير ثيابكم البياض فالبسوها وكفنوا فبها موتكم
“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian
padanya” (H.R Ahmad lihat syarahahmadsyakir 4/2219 dan berkata isnadnyaa shahih)
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitab Manasik (hal. 21): “Dan disunnahkan untuk berihram dengan dua
kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan di bolehkan ihram
dengan segala jenis kain yang dibolehkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dan
dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan,
walaupun berwarna-warni”. 5
Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah
dan telapak tangan.
Akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para
ulama:
a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits
Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma:
صل في هذا الوادي
“Shalatlah di Wadi ini”
b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana
beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah shalat baik fardhu
maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari dua pendapatnya dan
yang lain kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram
shalat yang khusus dan ini yang rajih.”
Dan berkata didalam Al Ikhtiyarat (hal. 116): “Dan berihram setelah shalat fardhu kalau ada atau
sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya”.
Demikianlah tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.
5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan
untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan
Aisyah:
خرجنا مع رسول هللا ا من أهلddرة و منا من اهل بحج و أهل رسول هللا فا مddعام حجة الوداع فمنا من اهل بعمرة و منا من اهل بحج و عم
)بعمرة فحل عنه قدوصه و اما من اهل بحج أو جمع بين الحج والعمرة فلم يحلوا حتى كان يوم النحر (متفق عليه
“Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada tahun haji wada’ maka ada
diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada
yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berihram dengan
haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya dan yang (*)
berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya)
sampai dia berada dihari nahar(**) “ (Mutafaq alaih)
b. )لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل (متفق عليه من تلبية ابن عمر
c. )لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى
d. Talbiyah yang poin “a” namun ditambah kalimat:
)لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل (حديث جابر رواه مسلم
6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Ta’ala.
Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 27.
وأذن في الناس بالحج يأتتوك رجاال وعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang
kepadamudengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh.’ (QS. al-Hajj 22:27)
Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala ini : “Ketika Allah Ta’ala
memerintahkan Ibrahim ‘Alaihissalam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia berkata:
ك (رواهddك اللهم لبيddيا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيًت ا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ فقالوا لبي
)106\17 ابن جرير
“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka’bah) dan
memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu beliau menerima panggilan ini apa saja yang
mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apasaja yang ada, lalu mereka
berkata ( …… لبيك اللهم لبيكH.R Ibnu Jarir 17/106)
Berkata Ibnu Hajar ; ” Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah dari sebagian dari Ulama’:
“Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Ibrahim ‘Alaihissalam ketika memberitahukan manusia
untuk berhaji””, 7
Adapun ma’na dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :
( )اللهم:Wahai Allah
(كddd )لبي:Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih), maka saya mengulang-ulang dan
menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan
kepada-Nya
( )ال شريك لك:Berma’na tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu
( )لبيك:Sebagagi penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena
pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan
tersebut karena Engkau saja
( )إن الحمد و النعمة لك والملك:Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat
itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan
( )ال شريك لك:Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu
Kalau kita melihat kepada ma’na kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya
penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (( )أهل بالتوحيدRasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bertalbiyah dengan tauhid”) Dan hal ini tampak kalau kita mentelaah dan
memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata ( )لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيكterdapat
peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian ( )ال شريك لك لبيكterdapat tauhid rububiyyah karena
kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah Ta’ala semata, dan hal itupun
mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada
tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid uluhiyyah, dan dalam kata ()إن الحمد و النعمة لك
terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada zat dan perbuatan Allah Ta’ala adalah hak dan hal ini
adalah merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah Ta’ala.
Kalau demikian keharusan orang yang bertalbiyah maka dia akan selalu merasakan keagungan Allah
dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar
mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.
6.4. Cara membacanya
Talbiyah ini dibaca dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالتلبية
“Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku
agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah. “
Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjamaah akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam
talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu padahal jumlah mereka sangat
banyak maka hal tersebut sangat memungkinan untuk terjadinya talbiyah dengan suara yang
berbarengan, akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan
menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.
Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan
untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.
6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang
berumroh atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :
1. Ketika masuk haram,dan ini pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al Hasan serta mazdhab
maliki,mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang lafadznya;
كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي كان يفعل ذلك
“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap dzi thuwa dan
beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian”
2. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al Musayyib
3. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (Istilam) hajar aswad dan ini
pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad
dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’:
كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر
“Dia menghentikan talbiyah dalam umoh kalau telah menyentuh (istilam) hajar aswad” (HR Abu
Daud,At Tirmidzy daan Al Baihaqy dan dilemahkan oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297) dan juga hadits
Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:
اعتمر رسول هللا ثالًث ا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzul
qa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” (H.R Ahmad dan Baihaqi
denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh AL-
Albanny dala Irwa’ 4/297)
Dan mereka berkata : “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan
ketika memulai ibadah yaitu thawaf”. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam dan Ibnu 8
Qudamah akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa
9
Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena
melihat Rasulullah telah melakukannya, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah . 10