DISUSUN OLEH :
AMAR ADITYA BASRI (20108030001)
NISA’UL USHOLIKHAH (20108030030)
ALI ATTAQI BA’ABUD (20108030035)
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Ulumul Qur’an
tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang mana
syafa’atnya kita nantikan di yaumil akhir kelak.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah Ulumul Qur’an
ini dapat bermanfaat.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II : PEMBAHASAN
A. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sebuah kalam Allah yang diturunkan ke bumi sebagai petunjuk
bagi umat manusia. Al-Qur’an diturunkan menggunnakan bahasa Arab tetapi bahasa Al-
Qur’an ini berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi tidak sembarang orang bisa mengerti dari
maksud sebenarnya dari firman-firman Allah tersebut. Tidak juga hanya dengan membaca
arti arabnya, karena banyak kata kiasan-kiasan yang dipakai dalam Al-Qur’an. Maka dari itu,
agar bisa mengetahui dan memahami isi kandungan dari Al-Qur’an diperlukanlah ilmu tafsir.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an mempunyai peranan sangat besar dan sangat penting bagi
kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu, perhatian ulama sangat besar
untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur;an
ini. Karenanya lahirlah bermacam-macam tafsir dengan bentuk dan metode penafsiran yang
beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai cermin
perkembangan penafsiran Al-Qur’an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri. Dalam
makalah yang singkat ini kami berusaha membahas tentang sejarah perkembangan tafsir,
macam bentuk, metode dan corak-corak dari tafsir itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu tafsir sehingga bisa sampai saat ini?
2. Apa saja macam-macam bentuk tafsir, metode tafsir, dan corak penafsiran Al-Qur’an?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir
2. Untuk mengetahui macam bentuk, metode dan corak tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
َ َما يُن َذرLقُلْ ِإنَّ َمٓا ُأن ِذ ُر ُكم بِ ْٱل َوحْ ِى ۚ َواَل يَ ْس َم ُع ٱلصُّ ُّم ٱل ُّد َعٓا َء ِإ َذا
ُون
Artinya : “Katakanlah (hai Muhammad) : “Sesungguhnya aku hanya memberi
peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli
mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan.” (QS. Al-Anbiya[21] : 45)
ت بِقُ ۡر ٰا ٍن َغ ۡي ِرِ ال الَّ ِذ ۡي َن اَل يَ ۡرج ُۡو َن لِقَٓا َءنَا ۡائ َ َت ۙ ق ٍ تُ ۡت ٰلى َعلَ ۡي ِهمۡ ٰايَاتُنَا بَي ِّٰنLَواِ َذا
ٰه َذ ۤا اَ ۡو بَ ِّد ۡل هُ ؕ قُ ۡل َما يَ ُك ۡو ُن لِ ۡۤى اَ ۡن اُبَ ِّدلَهٗ ِم ۡن تِ ۡلقَٓاِئ نَ ۡـف ِس ۡى ۚ اِ ۡن اَتَّبِ ُع اِاَّل َما
َ ت َرب ِّۡى َع َذ
اب يَ ۡو ٍم َع ِظ ۡي ٍم َ اف اِ ۡن َع
ُ ص ۡي ُ ى ۚ اِنِّ ۡۤى اَ َخ َّ َي ُۡو ٰۤحى اِل
Artinya : “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami dengan jelas, orang-
orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, "Datangkanlah
kitab selain Al-Qur'an ini atau gantilah." Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah pantas
bagiku menggantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku. Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (Kiamat) jika
mendurhakai Tuhanku." (QS. Yunus[10] : 15)
ُوح ٰى ٓ ٰ ق َع ِن ْٱلهَ َو
َ ِإ ْن هُ َو ِإاَّل َوحْ ٌى ي. ى ُ نط
ِ ََو َما ي
Artinya : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
(QS. An-Najm[53] : 3-4)
Sedangkan ditinjau dari aqli bawah ijtihad ada kemungkinan benar dan salah.
Sementara sebagai pengemban risalah beliau SAW tidak boleh melakukan kesalahan
dalam penyampaian risalah. Oleh karena itu kita selalu melihat Rasul SAW Selalu
Menunggu datangnya Wahyu untuk menetapkan suatu hukum tidak berusaha untuk
berijtihad.
Sedangkan para sahabat ra dalam menafsirkan suatu ayat mereka berpegang kepada :
Al-Qur’an
Misalnya firman Allah Swt
ا يُ ْت ٰلىLام اِاَّل َمL ْ واLْ ُوا اَ ْوفLْٓ ُا الَّ ِذي َْن ٰا َمنLَاَيُّه
ْ َّبِال ُعقُ ْو ۗ ِد اُ ِحل
ِ ةُ ااْل َ ْن َعLت لَ ُك ْم بَ ِه ْي َم
ص ْي ِد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ۗ ٌم اِ َّن هّٰللا َ يَحْ ُك ُم َما ي ُِر ْي ُد
َّ َعلَ ْي ُك ْم َغي َْر ُم ِحلِّى ال
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan
bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah[5] : 1)
Ditafsirkan dengan
هّٰللا
ٖ ِ ِرLا اُهِ َّل لِ َغ ۡيLۤ L ِر َو َمL َّد ُم َولَ ۡح ُم ۡال ِخ ۡن ِز ۡيLحُرِّ َم ۡت َعلَ ۡي ُك ُم ۡال َم ۡيتَةُ َوال
ُةLَبِه َو ۡال ُم ۡن َخنِق
ا ُذ بِ َح َعلَىLLا َذ َّك ۡيتُمۡ َو َمLLبُ ُع اِاَّل َمLالس
َّ لL َ Lا اَ َكLۤ Lَو ۡال َم ۡوقُ ۡو َذةُ َو ۡال ُمتَ َر ِّديَةُ َوالنَّ ِط ۡي َحةُ َو َم
ر ُۡوا ِم ۡنLَس الَّ ِذ ۡي َن َكفَ و َم يَ ِٕٮLۡ Lَق ؕ اَ ۡلي
ٌ L ُم ۡوا بِااۡل َ ۡزاَل ِم ؕ ٰذ لِ ُكمۡ فِ ۡسLب َواَ ۡن تَ ۡستَ ۡق ِس ُ ُّالن
ِ ص
ُ ۡت لَـ ُكمۡ ِد ۡينَ ُكمۡ َواَ ۡت َمم
ۡت َعلَ ۡي ُكم ُ و َم اَ ۡك َم ۡلLL
ۡ َن ؕ اَ ۡلي ۡ ۡوهُمۡ َوLLِد ۡيـنِ ُكمۡ فَاَل تَ ۡخ َش
ِ ۡوLLاخ َش
ف ٍ ِانLL َر ُمتَ َجL ٍة َغ ۡيLص ۡ ت لَـ ُك ُم ااۡل ِ ۡساَل َم ِد ۡينًا ؕ فَ َم ِن
َ اضطُ َّر فِ ۡى َم ۡخ َم ُ ض ۡي
ِ نِ ۡع َمتِ ۡى َو َر
هّٰللا
ِ اِّل ِ ۡث ۙ ٍم فَاِ َّن َ َغفُ ۡو ٌر ر
َّح ۡي ٌم
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging)
hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan
pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik.
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab
itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu,
dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar,
bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. Al-Maidah[5] : 3)
Ditafsirkan dengan
ٌاظ َرة
ِ َِإلَ ٰى َربِّهَا ن
Artinya: “Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah[75]: 23)
Nabi SAW.
Para sahabat ra selalu bertanya kepada Rasul SAW jika ada ayat yang mereka tidak
mengerti. Misalnya firman Allah SWT :
ٰۤ ُ ۡ ُ
ك لَهُ ُم ااۡل َمۡ ُن َوهُمۡ ُّم ۡهتَ ُد ۡو َن
َ ول ِٕٮ اَلَّ ِذ ۡي َن ٰا َمنُ ۡوا َولَمۡ يَ ۡلبِس ُۡۤوا اِ ۡي َمانَهُمۡ بِظل ٍم ا
Artinya : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka
mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am[6]: 82)
Yang ditafsirkan Rasul SAW dengan mengatakan bahwa kata zhalim disini berarti
syirik.
Pemahaman (Ijtihad).
Jika mereka tidak mendapatkan penjelasan dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah SAW
(terutama setelah Rasul SAW wafat) mereka akan melakukan ijtihad sesuai dengan
pemahaman mereka. Namun perlu ditegaskan bahwa dalam penyampaian dan
penafsiran Al-Qur’an, para sahabat melakukannya sebatas hanya pada makna beberapa
ayat dengan penafsiran pada yang samar dan penjelasan pada yang global
1. Bentuk Tafsir
a. Tafsir Bil Ma’sur
Ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan yang shohih menurut urutan penafsiran
Alquran dengan Alquran, Al-Qur’an dengan as-sunnah, Al-Qur’an dengan perkataan
para sahabat, dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in.
Perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir Bil ma'tsur sedikit sekali dan hanya
berkisar pada dua hal. Pertama, perbedaan redaksi sebuah kata yang menunjukkan
maksud yang berbeda tetapi maksud akhirnya sama. misalnya kata Shiratal Mustaqim
ada yang menafsirkan dengan Alquran sedangkan yang lain dengan Islam. Pada
dasarnya keduanya adalah sama. Karena panduan Islam adalah Alquran. Kedua, mufasir
menafsirkan kata-kata yang umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian
banyak macamnya.
Tafsir Bil ma'tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah
Jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari
ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami Alquran.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau ayat dengan ayat adalah firman
Allah dalam Surat Al An’am ayat 82 ditafsirkan oleh surat Luqman ayat 13. Allah SWT
berfirman:
d. Tafsir Fikih
Penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan (tokoh) suatu madzhab untuk dapat dijadikan
sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fikih banyak ditemukan dalam kitab-kitab
fikih karangan imam-imam dari berbagai madzhab yang berbeda, sebagaimana kita
temukan sebagian para ulama mengarang kitab tafsir fikih adalah kitab: “Ahkam al-
Qur’an” karangan al-Jasshash.
e. Tafsir Falsafi
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab
tafsir falsafi adalah kitab:
Mafatih al-Ghaib yang dikarang al-fakhr al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara
ahli filsafat keituhan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam
dan simantik (logika)
f. Tafsir ‘Ilmi
Penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya
dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Diantara kitab
tafsir ‘ilmi adalah kitab: al-Islam Yata’adda, karangan al-‘Allamah Wahid al-Din Khan.
g. Tafsir Adabi
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan
kemu’jizatannya, menjelaskan, makna-makna dan saran yang dituju al-Qur’an,
mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya.
Tafsir adabi merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan
kecintaannya terhadap al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan
rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir adabi adalah kitab tafsir al-Manar, karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
2. Metode Tafsir
a. Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode yang paling awal muncu karena sudah digunakan sejak
Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak
memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmali atau global.
Dengan metode ijmali, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara
ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat
di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang
diungkapkan ayat-ayat dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama
dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak
jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.
b. Metode Tahlili
Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini,
seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai
aspek, mulai dari aspek bahasa, asbab an nuzul, munasabah dan aspek lain yang
memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran
dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai
akhir ayat demi ayat.
c. Metode Muqarin
Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau perbandingan. Dengan
metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau
memilki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan
hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir
dalam menafsirkan Al-Qur’an.
d. Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul adalah metode maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan metode
ijmali dan tahlili yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan
urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini membahas
ayat-ayat yang dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu.
Dengan metode ini seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian
serupa, mengkompromikan antara pengertian yang am dan khas, antara yang muthlaq dan
yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan
ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa
perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada
makna-makna yang sebenarnya tidak tepat
BAB III
PENUTUPAN
C. Kesimpulan
Penafsiran terhadap Al-Qur’an mempunyai peranan sangat besar dan sangat penting
bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu, perhatian ulama sangat besar
untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an
ini.