Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam adalah agama yang diwahyukan kepada Muhammad berupa iman dan amal. Iman
meyerupai aqidah dan ushul (pokok) yang dipondasi oleh syariat islam. Dari syariat Islam ini
cabang ushul muncul. Amal menyerupai syariat dan furu’ (cabang) yang dijadikan iktibar
(pelajaran) dengan mengacu pada iman dan aqidah. Aqidah dan syariat keduanya saling
berhubungan dengan yang lain, ibaratkan hubungan buah dengan pohon atau hubungan musabab
dengan sebab dan kesimpulan dengan pendahuluan.

Aqidah memiliki kedudukan sangat penting di dalam diri seorang muslim. Ibarat suatu
bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran islam yang lainnya seperti ibadah dan
akhlaq merupakan sesuatu yang dibangun di atasnya. Suatu bangunan yang dibangun tanpa
pondasi adalah suatu bangunan yang rapuh. Tak perlu badai atau gempa untuk meruntuhkannya,
bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja bangunan tersebut akan runtuh
dan hancur berantakan. Maka apabila seoran muslim sudah rusak, bagian yang harus direhabilitasi
adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut
kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akhirat. Inilah kunci menuju surga.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah Aqidah itu?
2. Apa itu Iman, Islam, dan Ihsan?
3. Apa itu Rukun Iman dan apa saja Rukun Iman itu?
4. Apa saja sumber Aqidah Islam?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui arti Aqidah
2. Mengetahui arti Iman, Islam, dan Ihsan
3. Mengetahui arti Rukun Iman
4. Mengetahui sumber-sumber Aqidah Islam

1
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Aqidah


Akidah (Bahasa Arab: ‫ ;ا َ ْل َع ِق ْيدَة‬transliterasi: al-'Aqīdah) dalam istilah Islam yang berarti
iman. Semua sistem kepercayaan atau keyakinan bisa dianggap sebagai salah satu akidah.
Fondasi akidah Islam didasarkan pada hadits Jibril, yang memuat definisi Islam, rukun
Islam, rukun Iman, ihsan dan peristiwa hari akhir.

ْ yang berarti ikatan, at-tautsiiqu


Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (‫)العَ ْقد‬
(‫ )الت َّ ْوثِيْق‬yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (‫ )اْ ِإلحْ كَام‬yang
artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (‫)الربْط ِبق َّوة‬
َّ yang berarti
mengikat dengan kuat.

Sedangkan menurut istilah (terminologi), akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang
tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepadaNya, beriman kepada para
malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan
mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin),
perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari
salafush shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara
amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma'
salaf as-shalih.

1.2 Iman, Islam, dan Ihsan

1. Pengertian Iman
Dalam hadits di atas, Rasulullah Saw mengemukakan Rukun Iman (Arkanul Iman), yakni
percaya kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir.

2
Kata iman berasal dari bahasa Arab, yaitu amana-yu'minu yang artinya percaya atau
menerima.
Menurut istilah, iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan
memperbuat dengan anggota badan (beramal). Tashdiqun bil qolbi ikrarun bil lisan wa
'amalun bil arkan.
Orang beriman disebut mukmin.
2. Pengertian Islam
Islam secara bahasa artinya berserah diri dan damai. Islam adalah agama Allah SWT.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam" (QS. Ali Imran:19).
Kata Islam berasal dari bahasa Arab yaitu aslama yang artinya patuh, pasrah, menyerah
diri, atau selamat. Pemeluk Islam atau orang yang tunduk dan patuh berserah diri kepada
Allah disebut Muslim.
3. Pengertian Ihsan
Ihsan berasal dari bahasa Arab yaitu ahsan - yuhsinu - ihsanan yang artinya kebaikan atau
berbuat baik. Menurut istilah, ihsan ialah berbakti dan mengabdikan diri kepada Allah
SWT atas dasar kesadaran dan keikhlasan. Pelakunya disebut Muhsin.
Ihsan atau kebaikan tertinggi adalah seperti disabdakan Rasulullah Saw: "Ihsan hendaknya
kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat
melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.” (HR. Bukhari).

Selain dalam hal ibadah kepada Allah SWT, ihsan juga bermakna akhlak atau perilaku baik
kepada sesama sebagai pengamalan iman dan Islam. Rasulullah Saw bersabda

َ‫ َو َم ْن كَان‬، ُ‫ض ْيفَه‬ َ ‫ فَ ْليُكْر ْم‬، ‫ َو َم ْن كَانَ يُؤْ منُ باهلل َواليَوم اآلخر‬، ُ‫َاره‬
َ ‫ فَالَ يُؤْ ذ ج‬، ‫َم ْن كَانَ يُؤْ منُ باهلل َواليَوم اآلخر‬
‫علَيه‬َ ‫ق‬ ْ َ‫ َف ْليَقُ ْل َخيْرا ً أَ ْو لي‬، ‫يُؤْ منُ باهلل َواليَوم اآلخر‬
ٌ ‫سكُتْ )) ُمت َّ َف‬

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, hendaknya ia tidak
menyakiti tetangganya, barangisiapa yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir,
hendaknya ia memuliakan tamunya, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan kepada
hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.” (Muttafaq ‘alaih).

3
1.3 Rukun Iman
Rukun Iman (Arab: ‫ )اإليمان أركان‬yaitu pilar-pilar keimanan dalam Islam yang harus dimiliki
seorang muslim. Jumlahnya ada enam. Enam rukun iman ini didasarkan dari ayat-ayat Al-
Qur'an dan Hadits Jibril yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab.

Rukun Iman ada 6 (enam), yaitu:


1. Iman kepada Allah: Seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga dia
mengimani 4 hal:
o Mengimani adanya Allah.
o Mengimani rububiah Allah, bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, dan
mengatur alam semesta kecuali Allah.
o Mengimani uluhiah Allah, bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah
selain Allah dan mengingkari semua sembahan selain Allah Ta’ala.
o Mengimani semua nama dan sifat Allah (al-Asma'ul Husna) yang Allah telah
tetapkan untuk diri-Nya dan yang nabi-Nya tetapkan untuk Allah, serta menjauhi
sikap menghilangkan makna, memalingkan makna, mempertanyakan, dan
menyerupakanNya.
2. Iman kepada para malaikat Allah:
o Mengimani adanya malaikat sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, beserta amalan
dan tugas yang diberikan Allah kepada para malaikat.
o Jumlah malaikat tidak ada seorangpun yang tahu dan hanya Allah SWT yang
mengetahuinya
o Malaikat diciptakan oleh Allah SWT dari cahaya
o Orang islam wajib mengimani 10 malaikat yaitu:

1. Malaikat Jibril
2. Malaikat Mikal
3. Malaikat Rakib
4. Malaikat Atid
5. Malaikat Mungkar

4
6. Malaikat Nakir
7. Malaikat Izrail
8. Malaikat Israfil
9. Malaikat Malik
10. Malaikat Ridwan
3. Iman kepada kitab-kitab Allah:

o Mengimani bahwa seluruh kitab Allah adalah Kalam (ucapan) yang merupakan
sifat Allah.
o Mengimami bahwa kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT ada 4 (empat) yaitu:
 Kitab Suci Taurat
 Kita Suci Zabur
 Kitab Suci Injil
 Kitab Suci Al-Qur'an
o Muslim wajib mengimani bahwa Al-Qur'an merupakan penggenapan kitab-kitab
suci terdahulu.

4.Iman kepada para rasul Allah: Mengimani bahwa ada di antara laki-laki dari
kalangan manusia yang Allah Ta’ala pilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan
para makhluknya. Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa yang
sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan, karenanya
menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata. Wajib mengimani bahwa
semua wahyu kepada nabi dan rasul itu adalah benar dan bersumber dari Allah Ta’ala.
Juga wajib mengakui setiap nabi dan rasul yang kita ketahui namanya dan yang tidak
kita ketahui namanya.

5.Iman kepada hari akhir: Mengimani tanda-tanda hari kiamat. Mengimani hari
kebangkitan di padang mahsyar hingga berakhir di Surga atau Neraka.

6.Iman kepada qada dan qadar, yaitu takdir yang baik dan buruk: Mengimani
kejadian yang baik maupun yang buruk, semua itu atas izin dari Allah. Karena seluruh
makhluk tanpa terkecuali, zat dan sifat mereka demikian pula perbuatan mereka
melalui kehendak Ilahi.

5
Dasar hukum
Di antara dasar hukum yang disebut di dalam Al-Qur'an,
“Katakanlah (wahai orang-orang yang beriman): “Kami beriman kepada Allah dan kitab
yang diturunkan kepada kami, dan kitab yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq,
Ya’qub dan anak cucunya, dan kitab yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kitab yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
— QS. Al-Baqarah: 136
“...dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya.”
— QS. Al-Anbiya`: 19-20
Hadits Jibril, tentang seseorang yang bertanya kepada nabi.
"“Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman
kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para rasulNya; hari Akhir, dan beriman
kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” ...Kemudian
lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga nabi bertanya kepadaku: “Wahai,
Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan rasulNya
lebih mengetahui,” Dia bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang
agama kalian.”"
— HR Muslim, no. 8

1.4 Sumber Aqidah Islam

A. Al-Qur’an

1. Pengertian
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar
(infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini
memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu
dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara
istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang
mutawatir, tanpa ada keraguan.

6
Al-Qur’an ( ‫ ) القرآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa
Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi
manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah
wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril,
disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh
siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan
jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu
ibadah
2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan
manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam
segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut
memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup
manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan
berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik
dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana
dan Maha Terpuji
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan
dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah
manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu
memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama
yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah
abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala
gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia
adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau
ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan
kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia
adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
3. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an

7
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam,
yaitu:Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan
dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-
Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan. Kedua, hukum-
hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf
untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan
sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-
perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama)
sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah
yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
a. Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya.
Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan
hamba dengan Tuhan
b. Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan,
transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan
sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan
untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai
perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain
ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat. Hasil
penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang
berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci.
Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak
banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan
hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan
suasana dan lingkungan
c. Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah,
seperti hukum perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah),
internasional (dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-

8
maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan yang
umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang
sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan
yang sangat dihajatkan Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-
ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat
mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan
melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat
itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan
jiwa syari’at
B. As-Sunnah

1. Pengertian
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik
berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw.
Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu
dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
a. Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan
dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik)
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti
kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan
orang lain
b. Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan
beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-
syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya
c. Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di
hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw
atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap
perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai
perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri
2. Kehujjahan atau kedudukan As-Sunnah

9
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para
sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para
ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan
hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah
(dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi
ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah
(yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan,
makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat,
shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum
yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32,
An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36
3. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek
hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-
Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah
sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah
firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64
4. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi
sebagai berikut
a. As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada
dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an
sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya.
Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba
dan sebagainya.
b. As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
c. takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih
mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-

10
Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana,
dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang
bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah
kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
C. Ijma’

1. Pengertian
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat
Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu
masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid
di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu
hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma
2. Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya
peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar
belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan
mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-masa sesudah
Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut perbedaan latar
belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk
diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik
secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum
mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang
syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana
dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah memerintahkan orang yang beriman
untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil
Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya
hukum itu diikuti dan ditaati.
3. macam-macam ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu
a. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu
kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan
dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan

11
b. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan
pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam
hal persesuaiannya atau perbedaannya
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi
menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
a) Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah
dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang
bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai
suatu kejadian setelah adanya ijma sharih
b) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga
berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih
memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat
seluruh mujtahid
D. Qiyas

1. Pengertian
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama
Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada
kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya
kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum
khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash.
Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh
karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr
dan haram meminumnya
2. Rukun-rukun qiyas
Setiap qiyas terdiri dari 4 rukun, yaitu :
a) Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya
disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran)
b) Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya
disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)

12
c) Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai
sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
d) Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u
itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aqidah merupakan diibaratkan pondasi utama dalam bangunan islam dimana
seluruh komponen ajaran islam tegak di atasnya. Aqidah adalah ketetapan yang tidak ada
keraguan pada orang yang mengambil keputusan, atau sebuah keyakinan. Keyakinan yang
kokoh kepada Allah dimana tidak ada keraguan di dalam dirinya. Yakin bahwa Allah itu
Esa, dan tidak berbuat kafir atau menyekutukan Allah. Iman, Islam dan Ihsan kaitannya
erat dengan aqidah karena aqidah lah yang mendasari semua itu. Karena sifatnya keyakinan
maka materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt.
melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad SAW.

Pada hakikatnya dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Quran dan
Sunnah. Bukan dari akal atau pikiran manusia. Akal pikiran itu hanya digunakan untuk
memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah tersebut yang mana wajib
untuk diyakini dan diamalkan. Sedangkan ijma’ dan qiyas menguatkan Al-Quran dan As-
Sunnah guna menghindari terjadinya kesalahan.

3.2 Saran
Semoga ilmu-ilmu yang telah disajikan di makalah ini dapat bermanfaat dan
diterapkan dengan baik sehingga mempunyai keimanan yang kuat, tercermin dalam diri
pribadi orang-orang mu’min dan muttaqin.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Akidah_Islam diakses pada tanggal 1 Maret 2018 pukul 16.35

http://www.risalahislam.com/2018/01/pengertian-iman-islam-dan-ihsan-trilogi.html diakses pada


tanggal 1 Maret 2018 pukul 17.51

https://id.wikipedia.org/wiki/Rukun_Iman diakses pada tanggal 1 Maret 2018 pukul 18.23

http://mtsfalahulhuda.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-alquran-hadist-ijma-dan-qiyas.html
diakses pada tanggal 1 Maret 2018 pukul 19.20

14

Anda mungkin juga menyukai