Anda di halaman 1dari 24

"STUDI EMPIRIS PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL,

PERILAKU BELAJAR, DAN STRES KULIAH TERHADAP


KETERLAMBATAN PENYELESAIAN STUDI
(Studi pada Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Brawijaya Malang)"

Oleh :
Aditya Sukma

Dosen Pembimbing :
Helmy Adam SE., MSA., Ak

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional,


perilaku belajar, dan stress kuliah terhadap keterlambatan penyelesaian studi
(Studi pada Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya Malang).
Penelitian ini merupakan Penelitian ini mengembangkan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Suryaningsum, dkk.(2008), Suryaningsum, dkk.(2005) dan
Suryaningsum dan Trisniwati (2003). Penelitian ini berbeda dari ketiga penelitian
sebelumnya dengan memasukkan variabel lama masa studi mahasiswa sebagai
variabel dependen. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari jawaban atas
fenomena lama penyelesaian masa studi dan keterkaitannya dengan variabel
kecerdasan emosional, perilaku belajar, dan tingkat stres mahasiswa akuntansi di
perguruan tinggi.
Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya
Malang. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas
Brawijaya Malang, angkatan 2006, 2007, dan 2008 atau dengan kata lain yang
telah menempuh masa studi lebih dari 4 tahun (8 semester). Teknik pengambilan
sampel menggunakan purposive sampling. Data penelitian diperoleh melalui
kuesioner. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linear
berganda sebagai satu model analisis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel perilaku belajar dan stress
kuliah berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan penyelesaian studi,
sedangkan variabel kecerdasan emosional tidak berpengaruh secara signifikan.

Kata kunci : perilaku belajar, kecerdasan emosional, stres kuliah, keterlambatan


penyelesaian studi.

1
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan tinggi, sebagai lembaga yang membekali peserta didik dengan
pemahaman yang menghubungkan antara teori dengan pengaplikasiannya dalam
dunia praktik, berperan penting dalam menumbuhkan kemandirian peserta didik
dalam proses pembelajaran yang diikutinya. McClelland (1997) dalam Goleman
(2000) menyatakan bahwa kemampuan akademik bawaan, nilai rapor, dan
prediksi kelulusan pendidikan tinggi tidak memprediksi seberapa baik kinerja
seseorang sudah bekerja atau seberapa tinggi sukses yang dicapainya dalam
hidup. Sebaliknya ia menyatakan bahwa seperangkat kecakapan khusus seperti
empati, disiplin diri, dan inisiatif mampu membedakan orang sukses dari mereka
yang berprestasi biasa-biasa saja.
Goleman (2000) mengungkapkan adanya faktor selain kecerdasaan
kognisi yang dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang. Faktor ini dikenal
sebagai kecerdasaan emosional. Goleman berusaha merubah pandangan tentang
IQ yang menyatakan keberhasilan ditentukan oleh intelektualitas belaka. Peran IQ
dalam dunia kerja ternyata hanya menempati posisi kedua setelah kecerdasaan
emosional dalam menentukan peraihan prestasi puncak. Goleman tidak
mempertentangkan IQ (kecerdasaan kognisi) dan EQ (kecerdasan emosional),
melainkan memperlihatkan adanya kecerdasan yang bersifat emosional, ia
berusaha menemukan keseimbangan kecerdasan antara emosi dan kognisi.
Kecerdasan emosional menentukan seberapa baik seseorang menggunakan
keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, termasuk keterampilan intelektual.
Paradigma lama menganggap yang ideal adalah adanya nalar yang bebas dari
emosi, paradigma baru menganggap adanya kesesuaian antara kepala dengan hati.
Kegiatan belajar mengajar pada perguruan tinggi dalam berbagai aspeknya
bisa jadi meningkatkan kecerdasan emosional mahasiswa. Kecerdasan emosional
ini mampu melatih kemampuan mahasiswa tersebut, yaitu kemampuan untuk
memotivasi dirinya sendiri, kesanggupan untuk tegar dalam menghadapi frustasi,
kesanggupan mengendalikan dorongan dan menunda kepuasan sesaat, mengatur
suasana hati yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama dengan orang
lain. Kemampuan-kemampuan ini mendukung seorang mahasiswa dalam
mencapai tujuan dan cita-citanya. Suwardjono (1991) menyatakan bahwa
mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi dituntut tidak hanya mempunyai
ketrampilan teknis, tetapi juga memiliki daya dan kerangka pikir serta sikap
mental dan kepribadian tertentu sehingga mempunyai wawasan luas dalam
menghadapi masalah-masalah dalam dunia nyata (masyarakat).
Penelitian sebelumnya mengenai stress kuliah pernah diangkat oleh
Suryaningsum, dkk. (2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan
emosional dan perilaku belajar mahasiswa jurusan akuntasi berpengaruh terhadap
stres kuliah. Peningkatan kecerdasan emosional mengakibatkan stress kuliah
semakin menurun, begitu pula sebaliknya jika pada kecerdasan emosional
semakin menurun maka stress kuliah akan semakin meningkat. Penelitian juga
menemukan bahwa perilaku belajar semakin meningkat mengakibatkan stress
3

kuliah semakin menurun, begitu pula sebaliknya jika pada perilaku belajar
semakin menurun maka stress kuliah akan semakin meningkat.
Suryaningsum, dkk. (2004) menemukan bahwa kecerdasan emosional
mahasiswa akuntansi terhadap stres kuliah hanya dipengaruhi oleh variabel, yaitu
pengenalan diri dan variabel keterampilan sosial, sedangkan variabel
pengendalian diri, motivasi, empati, tidak berpengaruh signifikan terhadap stres
kuliah. Suryaningsum dan Trisniwati (2003) menemukan bahwa kecerdasan
emosional secara statistik tidak berpengaruh terhadap tingkat pemahaman
akuntansi. Hal tersebut bisa disebabkan karena banyaknya faktor-faktor diluar
faktor kecerdasan emosial yang berpengaruh dalam kehidupan individual,
misalnya faktor tekanan mental, lingkungan pergaulan, trauma kegagalan,
masalah pribadi, kegiatan diluar kampus (bekerja), budaya, atau bisa saja
disebabkan perilaku belajar mahasiswa.
Penelitian ini mengembangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Suryaningsum, dkk.(2008), Suryaningsum, dkk.(2005) dan Suryaningsum dan
Trisniwati (2003). Penelitian yang menghubungkan kecerdasan emosional dan
perilaku belajar terhadap stres kuliah sangat penting. Mahasiswa terkadang
merasa bosan dan tertekan dengan kuliahnya, yang secara langsung juga
berpengaruh terhadap lama masa studi yang bisa diselesaikan. Penelitian ini
berbeda dari ketiga penelitian sebelumnya dengan memasukkan variabel lama
masa studi mahasiswa sebagai variabel dependen. Penelitian ini dimaksudkan
untuk mencari jawaban atas fenomena lama penyelesaian masa studi dan
keterkaitannya dengan variabel kecerdasan emosional, perilaku belajar dan tingkat
stress mahasiswa akuntansi di perguruan tinggi. Penjabaran kinerja belajar di
perguruan juga telah diadopsi sebelumnya oleh Suwardjono (1991) tentang
perilaku belajar di perguruan tinggi, yang menggugat sistem pembelajaran
perguruan tinggi yang belum memenuhi standar proses belajar mengajar yang
benar dan ideal, sehingga hasil belajar di perguruan tinggi tidak maksimal.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah yang
diangkat pada penelitian ini adalah:
1. Apakah kecerdasan emosional berpengaruh terhadap keterlambatan studi
mahasiswa?
2. Apakah perilaku belajar berpengaruh terhadap keterlambatan studi
mahasiswa?
3. Apakah stres kuliah berpengaruh terhadap keterlambatan studi
mahasiswa?

1.3 Batasan Penelitian


Penelitian ini dibatasi pada beberapa asumsi sebagai berikut:
1. Obyek penelitian dibatasi pada mahasiswa S1 Jurusan Akuntansi
Universitas Brawijaya Malang yang menempuh masa studi lebih dari 4 tahun
(8 semester).
2. Mahasiswa masih terdaftar sebagai mahasiswa aktif (tidak sedang dalam
masa terminal).
4

1.4 Tujuan Penelitian


Sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh empiris kecerdasan emosional terhadap
keterlambatan studi mahasiswa.
2. Mengetahui pengaruh empiris perilaku belajar terhadap keterlambatan
studi mahasiswa.
3. Mengetahui pengaruh empiris stres kuliah terhadap keterlambatan studi
mahasiswa.

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, hasil penelitian diharapkan bisa menjadi rujukan yang
bermanfaat dalam mengenali mahasiswanya sesuai kematangan mereka untuk
menciptakan suasana kelas yang tidak menimbulkan stres kuliah, sementara
bagi mahasiswa dapat merujuk hasil penelitian ini dengan mempelajari
manfaat kecerdasan emosional dan perilaku belajar mahasiswa sehingga
secara tidak langsung mahasiswa akan belajar untuk mengelola kecerdasan
emosional dengan baik dan mengunakan perilaku belajar yang baik dalam
menghadapi stres kuliah.
2. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian diharapkan bisa menjadi
sumber referensi bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pendidikan di Perguruan Tinggi


Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi.
Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidik
perguruan tinggi disebut dosen. Dalam menyelenggarakan proses kegiatan belajar
dan mengajar, perguruan tinggi dapat melaksanakan jenis pendidikan baik yang
bersifat akademik, profesi, maupun advokasi. Pendidikan akademik adalah
pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasaan dan pengembangan
disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu, yang mencakup
program pendidikan sarjana, magister, dan doktor. Pendidikan profesi adalah
pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang mempersiapkan
peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
Lulusan pendidikan profesi akan mendapatkan gelar profesi. Pendidikan vokasi
adalah pendidikan tinggi yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan
tertentu, yang mencakup program pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3,
dan diploma 4, maksimal setara dengan program pendidikan sarjana. Lulusan
pendidikan vokasi akan mendapatkan gelar vokasi

2.2 Sistem Pendidikan S-1 Akuntansi


Program studi Akuntansi (Pendidikan S-1 Akuntansi) adalah kesatuan
rencana belajar yang mengkaji, menerapkan dan mengembangkan konsep praktek
5

bisnis, keuangan serta ilmu akuntansi. Ilmu Akuntansi adalah ilmu yang
mempelajari prinsip-prinsip akuntansi sampai dengan akuntansi keuangan
lanjutan, dan menyajikan laporan keuangan serta analisa laporan keuangan, proses
pemeriksaan akuntansi dan akuntansi perpajakan.
Program studi S-1Akuntansi pada perguruan tinggi diharapkan mampu
menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi utama dalam bidang akuntansi
dengan peminatan auditing, perpajakan, dan manajemen akuntansi. Lulusan
program studi S-1 disamping dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih
tinggi juga dapat bekerja dalam dunia bisnis swasta, pemerintahan, maupun
membuka usaha sendiri.

2.3 Kinerja Belajar di Perguruan Tinggi


Sebagai salah satu wujud tanggung jawab atas kewajibannya, pendidikan
di perguruan tinggi dituntut memilih metode pembelajaran yang paling
akomodatif dan kondusif untuk mencapai sasaran dan filosofi pendidikan.
Beberapa contoh sasaran pembelajaran adalah mendapatkan pengetahuan,
mengembangkan konsep, memahami teknik analisis, mendapatkan skill dalam
menggunakan konsep dan teknik, mendapatkan skill dalam memahami dan
menganalisis masalah, mendapatkan skill dalam mensintesis rencana kegiatan dan
implementasi, mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi,
mengembangkan kemampuan untuk menjalin hubungan saling percaya,
mengembangkan sikap tertentu, dan mengembangkan kualitas pola pikir (Dooley
& Skinner, 1977 dalam Handoko, 2005).
Berkaitan dengan perubahan sistem pengajaran, Ravenscroft (1995)
menyatakan bahwa Accounting Education Change Commission (AECC 1990)
maupun Kantor Akuntan Publik yang tergabung dalam The Big 8 (sekarang The
Big 4, pen.) sangat mendukung sistem yang mendorong teamwork, kemampuan
interpersonal dan komunikasi, dan pembelajaran untuk belajar (learning to learn).
Sistem pembelajaran cooperative learning yang diperkenalkan pertama kali oleh
Robert Slavin pada tahun 1987, merupakan metode yang telah sukses diterapkan
dan konsisten dengan rekomendasi AECC. Pada pertemuan tahunan American
Accounting Association tahun 1998, metode cooperative learning diperkenalkan
secara luas sebagai alternatif pendekatan pengajaran akuntansi pada perguruan
tinggi (Ravenscroft, 1999). Cooperative learning secara umum diartikan sebagai
suatu kelompok kecil yang terdiri dari mahasiswa yang heterogen, yang bekerja
sama untuk saling membantu satu sama lain dalam belajar. Metode pembelajaran
ini merupakan alternatif yang ditawarkan untuk mengatasi kelemahan yang
terdapat pada model pembelajaran tradisional. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa selain dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, cooperative
learning juga dapat meningkatkan kemampuan noncognitive seperti perilaku,
toleransi dan dukungan bagi mahasiswa lain.
Proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan di Indonesia hampir
selalu menempatkan siswa sebagai pendengar pasif, yaitu duduk, datang, mencatat
dikurangi berpikir. Proses tersebut tidak memberikan kebebasan berpikir,
bernalar, dan mengaplikasikan pengetahuan dalam berbagai konteks, sehingga
anak didik kurang atau tidak kreatif dan kritis. Aliran pendidikan kritis dalam
6

dunia pendidikan khususnya akuntansi semakin membuka peluang-peluang untuk


mengkritisi konsep maupun sistem lama yang ada dalam pendidikan akuntansi.
Untuk itu, sistem pendidikan khususnya pendidikan akuntansi seharusnya
dikembangkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003, yaitu
pendidikan yang menjadi media untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran sehingga tumbuh potensi dirinya yang memiliki daya kritis,
kreatifitas dan mentalitas terhadap lingkungan yang berada di sekitarnya.
Ini diartikan bahwa pendidikan yang dikembangkan merupakan
keseluruhan aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan dan memulihkan
kualitas dan keseimbangan hidup manusia. Kualitas disini terletak pada
keseimbangan daya kritis, kreatifitas, dan mentalitas, sehingga menjadikan anak
didik tidak hanya bermodal ekonomi, tetapi juga modal sosial dan spiritual.
Dengan kata lain, penekanan pendidikan tidak hanya sebatas intelligentia quotient
(IQ), tetapi juga bertumpu pada emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient
(SQ). Dengan bersandar pada ketiga kecerdasan tersebut, anak didik akan
mempunyai ketangguhan pribadi, ketangguhan sosial dan ketangguhan
lingkungan. Ini akan menjadikan pendidikan tidak hanya bertumpu pada olah raga
dan olah otak tetapi juga olah rasa.

2.4 Ketidakberhasilan Studi di Perguruan Tinggi


2.4.1 Kegagalan Studi
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran dapat diartikan juga
sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain facilitating, empowering,
enabling, untuk membuat mahasiswa belajar secara aktif, yang menekankan pada
sumber belajar. Pada tahap awal, pembelajaran bermanfaat sebagai pembuka pintu
gerbang kemungkinan untuk menjadi manusia dewasa dan mandiri, berikutnya
pembelajaran memungkinkan seorang manusia akan berubah dari “tidak mampu”
menjadi “mampu” atau dari “tidak berdaya” menjadi “sumber daya.” Kegagalan
studi dalam hal ini jelas mengacu pada efektivitas pembelajaran yang rendah
ataupun mahasiswa mengalami drop out (DO) (Marita dkk., 2008).

2.4.2 Keterlambatan Penyelesaian Studi


Lama masa studi merupakan lama waktu yang ditempuh mahasiswa dalam
menyelesaikan beban studi sampai dinyatakan lulus sebagai sarjana. Beban studi
program sarjana sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat) SKS dan
sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 8
(delapan) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dan 8 (delapan)
semester dan paling lama 14 (empat belas) semester setelah pendidikan menengah
(Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 232/U/2000).
Keterlambatan penyelesaian studi pada penelitian ini mengacu pada
ketidakmampuan mahasiswa dalam menyelesaikan studi sesuai dengan yang
dijadwalkan (8 semester).

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Studi


2.5.1 Kecerdasan Emosional
7

Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosional adalah kemampuan


untuk mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain untuk memotivasi diri sendiri
dan mengelola emosi dengan baik di dalam diri kita dan hubungan kita.
Kemampuan ini saling berbeda dan melengkapi dengan kemampuan akademik
murni, yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Sedangkan
menurut Cooper dan Sawaf (1998), kecerdasan emosional adalah kemampuan
mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman
emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh. Salovely dan Mayer (1990)
dalam Cherniss (2000), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta
menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Temuan
beberapa peneliti, seperti David Wechsler (1958) dalam Cherniss (2000)
mendefinisikan kecerdasaan sebagai keseluruhan kemampuan seeorang untuk
bertindak bertujuan, untuk berfikir rasional, dan untuk berhubungan dengan
lingkungannya secara efektif. Aspek-aspek yang terkait dalam afeksi, personal
dan faktor sosial. Temuan Wechsler ini mengidentifikasikan, selain aspek kognisi,
aspek non-kognisi juga berpengaruh dalam mencapai keberhasilan hidup.
Kematangan dan kedewasaan menunjukkan kecerdasan dalam hal emosi. Mayer,
dalam Golemen (2000), menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi berkembang
sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa, lebih
penting lagi bahwa kecerdasan emosional dapat dipelajari.
McClelland (1997) dalam Goleman (2000) menyatakan bahwa
kemampuan akademik bawaan, nilai rapor, dan prediksi kelulusan pendidikan
tinggi tidak memprediksi seberapa baik kinerja seseorang sudah berkerja atau
seberapa tinggi sukses yang dicapainya dalam hidup. Sebaliknya ia menyatakan
bahwa seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif
mampu membedakan orang sukses dari mereka yang berprestasi biasa-biasa saja.
Selain kecerdasaan kognisi yang dapat mempengaruhi keberhasilan orang dalam
bekerja. Faktor ini dikenal sebagai kecerdasaan emosional. Goleman berusaha
mengubah pandangan tentang IQ yang menyatakan keberhasilan ditentukan oleh
intelektualitas belaka. Peran IQ dalam dunia kerja ternyata hanya menempati
posisi kedua setelah kecerdasaan emosi dalam menentukan peraihan prestasi
puncak. Goleman tidak mempertentangkan IQ (kecerdasaan kognisi) dan EQ
(kecerdasan emosional), melainkan memperlihatkan adanya kecerdasaan yang
bersifat emosional, ia berusaha menemukan keseimbangan cerdas antara emosi
dan kognisi. Kecerdasan emosional menentukan seberapa baik seseorang
menggunakan keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, termasuk
keterampilan intelektual. Paradigma lama menganggap yang ideal adalah adanya
nalar yang bebas dari emosi, paradigma baru menganggap adanya kesesuain
antara kepala dengan hati.

2.5.2 Perilaku Belajar


Dampak kebiasaan belajar yang jelek bertambah berat ketika kebiasaan itu
membiarkan mahasiswa dapat lolos tanpa gagal (Calhoun & Acocella, 1995).
Gagne (1988) dalam Usman (2000) menjelaskan bahwa hasil belajar dapat
dihubungan dengan terjadinya suatu perubahan, kecakapan atau kepandaian
8

seseorang dalam proses pertumbuhan tahap demi tahap. Hasil belajar diwujudkan
dalam lima kemampuan yakni keterampilan intelektual, strategi kognitif,
informasi verbal, keterampilan motorik, dan sikap. Dalam hal ini terdapat tiga
dimensi belejar yaitu dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi psikomotorik
(Benyamin S. Bloom, 1956) dalam Usman (2000). Dimensi kognitif adalah
kemampuan yang berhubungan dengan berfikir, mengetahui, dan memecahkan
masalah. Selanjutnya dimensi ini dibagi menjadi pengetahuan komperhensif,
aplikatif, sintetis, analisis dan pengetahuan evaluatif. Dimensi afektif adalah
kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai, minat, apresiasi. Dimensi
psikomotorik yaitu kemampuan yang berhubungan dengan motorik. Atas dasar
itu hakikatnya hasil belajar adalah memperoleh kemampuan kognitif.

2.5.3 Stres Kuliah


Pengertian umum mengenai konsep stres banyak digunakan untuk
menjelaskan tentang sikap atau tindakan individu yang dilakukanya apabila ia
menghadapi suatu tantangan dalam hidupnya dan dia gagal memperoleh respon
dalam menghadapi tantangan itu. Terjadinya proses stres didahului oleh adanya
sumber stres (stresor) yaitu setiap keadaan yang dirasakan orang mengancam dan
membahayakan dirinya. Istilah stres atau ketegangan memiliki konotasi yang
beragam. Bagi sementara orang, stres dapat menggambarkan keadaan psikhis
yang telah mengalami berbagai tekanan yang melampaui batas ketahanannya.
Sementara orang lain mengatakan stres bersifat subyektif hanya berhubungan
dengan kondsi-kondisi psikologis dan emosi seseorang. Adapula yang
menganggap stres dan ketegangan merupakan faktor sebab akibat. Namun banyak
orang cenderung mengangap stres serbagai tanggapan patologos (proses
penyimpangan kondisi biologis yang sehat) terhadap tekanan-tekanan psikologis
dan sosial yang berhubungan pekerjaan dan lingkungannya.
Dilihat dari sudut pandang orang yang mengalami stres seseorang akan
memberikan tanggapan terhadap hal-hal yang dinilai mendatangkan stres.
Tanggapan orang terhadap sumber stres dapat berpengaruh pada segi psikologi
dan fisiologis. Tanggapan ini disebut strain, yaitu tekanan atau ketegangan.
Seseorang yamg mengalami stres secara psikologis menderita tekanan dan
ketegangan yang membuat pola pikir seseorang menjadi kacau. Dalam proses itu,
hal yang dapat menyebabkan stres dan pengalaman orang yang mengalami stres
akan saling berkaitan. Proses itu merupakan pengaruh timbal balik dan
menciptakan usaha atau penyesuaian atau tepatnya penyeimbangan, yang terus
menerus antara orang yang mengalami stres dan keadaan yang penuh stres.

2.6 Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis


2.6.1 Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Keterlambatan Studi
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal perasaan diri
sendiri dan orang lain untuk memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi dengan
baik di dalam diri kita. Kemampuan ini saling berbeda dan melengkapi dengan
kemampuan akademik murni yang diukur dengan IQ. Hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku belajar yang baik dapat dilihat dari kebiasaan mengikuti
9

pelajaran, kebiasaan membaca buku, kunjungan ke perpustakaan dan kebiasaan


menghadapi ujian.
Dengan adanya kecerdasan emosional yang ditandai oleh kemampuan
pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan kemampuan sosial
akan mempengaruhi perilaku belajar mahasiswa yang nantinya juga
mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam menyelesaikan studi. Yang menjadi
tanggungjawab bagi seorang mahasiswa di lingkungan kampus adalah
mengendalikan suasana hati mereka sendiri.Suasana hati bisa sangat berkuasa atas
pikiran, ingatan dan wawasan.
Keterampilan ini tidak mudah untuk dilakukan terutama mewujudkan
emosi yang tidak mencolok. Tanda-tandanya meliputi ketegaran saat menghadapi
stres atau menghadapi seseorang yang bersikap bermusuhan tanpa membalas
dengan sikap serupa. Contoh lain yang berhubungan dengan ini adalah
manajemen waktu untuk seorang mahasiswa. Agar bisa taat pada jadwal kuliah
dan tugas-tugas yang diberikan dosen maka mahasiswa memerlukan kendali-diri,
kemampuan menolak sesuatu yang penting padahal remeh, kemampuan untuk
menolak godaan untuk menikmati kesenangan yang memboroskan waktu atau
godaan untuk mengalihkan perhatian. Jika prinsip kecakapan ini sudah dimiliki
mahasiswa maka ia akan mampu menyeimbangkan semangat, ambisi dan
kemampuan keras mereka dengan kendali diri, sehingga mampu memadukan
kebutuhan pribadi dalam meraih prestasi belajar. Berdasarkan uraian di atas maka
hipotesis dinyatakan sebagai berikut:
H1: Kecerdasan emosional berpengaruh terhadap keterlambatan studi

2.6.2 Pengaruh Perilaku Belajar Terhadap Keterlambatan Studi


Prestasi akademik yang dicapai seorang mahasiswa merupakan hasil
interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik dari dalam diri
mahasiswa (faktor internal) maupun dari luar diri mahasiswa (faktor eksternal).
Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dan prestasi
akademik diperlukan untuk memahami bagaimana perubahan dalam determinan
tersebut yang dapat berhubungan dengan perubahan prestasi dan lama masa studi
dari masing-masing mahasiswa, sehingga pada akhirnya menjadi rekomendasi
bagi pengambilan kebijakan dalam kegiatan belajar mengajar.
Menurut Hamalik (1983:139), salah satu faktor yang bersumber dari dalam
diri sendiri adalah kebiasaan belajar, atau lebih tepatnya perilaku belajar.
Rampengan (1997) berpendapat bahwa perilaku belajar merupakan kebiasaan
belajar yang dilakukan oleh individu secara berulang-ulang sehingga menjadi
otomatis atau berlangsung secara spontan. Perilaku belajar tidak dirasakan sebagai
beban, tetapi sebagai kebutuhan. Hal ini tercipta karena terus-menerus dilakukan
dengan bimbingan dan pengawasan serta keteladanan dalam semua aspek dan
kreatifitas pendidikan. Selain itu, terdapat kondisi dan situasi perkuliahan yang
memang diciptakan untuk mendukung berlangungnya pemunculan kreatifitas dan
kegiatan-kegiatan lain dalam konteks pembelajaran.
Para mahasiswa yang memiliki upaya meningkatkan diri menunjukkan
semangat juang ke arah penyempurnaan diri yang merupakan inti dari motivasi
untuk meraih prestasi. Setiap kali mahasiswa belajar secara rutin untuk
10

menemukan cara peningkatan diri, mereka mewujudkan hasrat kolektif mereka


untuk berprestasi. Sebaliknya, ketika harus menetapkan sasaran-sasaran atau
standar-standar bagi diri sendiri, mahasiswa dengan kecakapan peraihan
prestasinya rendah biasanya tidak serius atau tidak realistis, yakni mencari tugas-
tugas yang entah terlalu rendah atau terlalu ambisius. Mereka yang terdorong oleh
kebutuhan untuk meraih prestasi selalu mencari jalan untuk menemukan sukses.
Berdasarkan uraian ini, dapat diasumsikan bahwa perilaku belajar sangat
mempengaruhi tingkat kesuksesan mahasiswa dalam studi. Seseorang mahasiswa
yang termotivasi untuk berprestasi akan lebih jeli menemukan cara-cara untuk
belajar lebih baik, untuk berusaha, untuk membuat inovasi, atau menemukan
keunggulan kompetitif. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis dinyatakan
sebagai berikut:
H2: Perilaku belajar berpengaruh terhadap keterlambatan studi

2.6.3 Pengaruh Stres Kuliah Terhadap Keterlambatan Studi


Ivianchevic dan Martinson (1993) dalam Yulianti (2002) mendifinisikan
stres secara sederhana sebagai interaksi individu dengan lingkungan. Kemudian
difinisi tersebut dirinci lebih jauh sebagai respon yang adaptif ditengahi oleh
perbedaan individual dan proses psikologis yang merupakan konsekuensi dari
tindakan dan sistem internal atau kejadian yang meminta kondisi psikologis dan
fisik seseorang secara berlebihan. Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang
mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang. Stres yang terlalu
besar dapat mengancam kemampuan atau kondisi seseorang dalam menghadapi
lingkungan (Handoko, 2005). Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis
dinyatakan sebagai berikut:
H3: Stres kuliah berpengaruh terhadap keterlambatan studi

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian penjelasan atau explanatory
research, yang menjelaskan tentang pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat melalui pengujian hipotesis (Singarimbun dan Effendi, 1995:3). Penelitian
ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian survey.
Menurut Singarimbun dan Effendi (1995:3) penelitian survey adalah penelitian
yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpul data yang pokok.

3.2 Jenis Data


Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder sebagai obyek
penelitian. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari
obyek penelitian, baik yang diperoleh melalui kuesioner ataupun melalui
wawancara langsung. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari
literatur, internet, dan catatan-catatan yang berhubungan dengan penelitian, yang
secara tidak langsung memberikan tambahan data kepada peneliti.
11

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan beberapa jenis teknik pengumpulan data, yaitu
meliputi:
1. Wawancara.
Merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab secara
langsung kepada responden guna mendapatkan data dan keterangan yang
menunjang dalam penelitian
2. Kuesioner
Adalah pengumpulan data yang berisi sejumlah pertanyaan tertulis dan
terstruktur (daftar) yang diberikan kepada responden dengan maksud untuk
mendapatkan jawaban yang sesuai dengan tujuan penelitian.

3.4 Populasi dan Sampel


3.4.1 Populasi
Menurut Sugiyono (2003: 72), “Populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas: obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya”. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa S1 Jurusan Akuntansi
Universitas Brawijaya Malang, angkatan 2006, 2007, dan 2008 atau dengan kata
lain yang telah menempuh masa studi lebih dari 4 tahun (8 semester), dengan
jumlah populasi sebanyak 109 mahasiswa (http://siskafeb.ub.ac.id).

3.4.2 Sampel
Penentuan ukuran sampel dalam penelitian dapat dilakukan berdasarkan
beberapa cara. Salah satunya adalah berdasarkan pendapat ahli. Menurut Gay
(dalam Hasan, 2002:68): “ukuran sampel minimum yang dapat diterima bisa
dilihat berdasarkan pada desain atau metode penelitian yang digunakan. Jika
desain penelitiannya deskriptif-korelasional, maka sampel minimum adalah 30”.
Berdasarkan pendapat tersebut jumlah sampel yang ditentukan oleh peneliti
adalah sebesar 30 orang dengan pertimbangan terbatasnya waktu, dana dan
tenaga.
Teknik pengambilan sampel adalah cara bagaimana peneliti mengambil
sampel atau contoh yang representatif dari populasi yang tersedia. Teknik
pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu teknik pengambilan
sampel yang dibatasi pada jenis orang tertentu yang dapat memberikan informasi
yang diinginkan, baik karena mereka adalah satu-satunya yang memilikinya, atau
memenuhi beberapa kriteria yang ditentukan oleh peneliti (Sekaran: 2003).
Kriteria pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa tercatat sebagai mahasiswa S1 Jurusan Akuntansi Universitas
Brawijaya Malang angkatan 2006, 2007, dan 2008. Pemilihan angkatan
tersebut dengan pertimbangan bahwa masa studi yang ditempuh telah lebih
dari 4 tahun (8 semester) sebagai ukuran rata-rata masa studi yang harus
ditempuh mahasiswa jenjang S1.
2. Mahasiswa tercatat masih aktif, tidak sedang dalam masa terminal.
12

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel


3.5.1 Variabel Independen (X)
Variabel independen merupakan variabel yang berfungsi sebagai prediktor
terhadap perubahan nilai variabel dependen. Penelitian ini menggunakan beberapa
variabel independen yaitu:
1. Kecerdasan Emosional (X1), merupakan kompentensi personal yang
meliputi pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi diri dan kompetensi
sosial yang terdiri dari empati dan ketrampilan sosial. Variabel kecerdasan
emosional diukur menggunakan sub-variabel:
a. Pengenalan Diri, yakni mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu
saat dan menggunakannya untuk memandu mengambil keputusan diri
sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan
kepercayaan diri yang kuat. Pengenalan diri diukur dalam 2 item
pernyataan.
b. Pengendalian Diri, yakni menguasai diri sendiri sedemikian rupa
sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap
kata hati, dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya
sasaran, dan mampu pilh kembali dari tekanan emosi. Pengendalian
diri diukur dalam 2 item pernyataan.
c. Motivasi Diri, yakni menggunakan hasrat kita yang paling dalam
untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu
kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk
menghadapi kegagalan dan frustasi. Motivasi diri diukur dalam 2 item
pernyataan.
d. Empati, yakni merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu
memahami perspektif mereka, menumbuhkan saling percaya, dan
menyelaraskan ide dengan berbagai macam orang. Empati diukur
dalam 2 item pernyataan.
e. Kemampuan Sosial, yakni menguasai dengan baik ketika berhubungan
dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan
sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-
keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin,
bermusyawarah, dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk bekerja
sama dan bekerja dalam tim. Kemampuan sosial diukur dalam 2 item
pernyataan.
2. Perilaku Belajar (X2), merupakan kegiatan individual, kegiatan yang
dipilih secara sadar karena seseorang mempunyai tujuan individual
tertentu. Variabel perilaku belajar diukur menggunakan sub-variabel:
a. Kebiasaan Mengikuti Pelajaran, yaitu seberapa besar perhatian dan
keaktifan seorang mahasiswa dalam belajar.
b. Kebiasaan Membaca Buku, yaitu berapa lama seorang mahasiswa
membaca setiap hari dan jenis bacaan yang dibaca.
c. Kebiasaan mengatur waktu belajar, yaitu seberapa baik mahasiswa
dalam disiplin belajarnya.
d. Keaktifan didalam perkuliahan, yaitu seberapa baik mahasiswa
berinteraksi didalam kelas.
13

3. Stres Kuliah (X3), adalah suatu keadaan yang membuat mahasiswa merasa
tertekan dalam kuliahnya sehingga konsentrasi belajar terganggu,
penyebabnya adalah adanya kesalahan perilaku belajar atau keadaan lain
misalnya lingkungan. Stres kuliah diukur dalam 5 item pernyataan.

3.5.2 Variabel Dependen (Y)


Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keterlambatan studi
mahasiwa, yang diproksikan terhadap lama masa studi mahasiswa. Lama masa
studi bisa dikategorikan sebagai keterlambatan apabila mahasiswa menempuh
masa studi melebihi 8 (delapan) semester. Variabel diukur secara kuantitatif
menggunakan jumlah semester yang telah ditempuh oleh mahasiswa sejak
semester pertama di bangku kuliah.

3.6 Skala Pengukuran Variabel


Pengukuran merupakan penetapan atau pemberian angka terhadap obyek
atau fenomena tertentu. Secara sederhana Singarimbun dan Effendi (1995: 101)
membagi tingkat ukuran ke dalam empat kategori antara lain : nominal, ordinal,
interval dan rasio. Pengukuran yang digunakan dalam tingkat ukuran ordinal dan
skala yang digunakan adalah skala Likert.
Skala Likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial
(Sugiyono, 2003:86). Dalam penelitian ini menggunakan jenis data interval. Skala
Likert mempunyai skala jawaban antara 1-5 adalah:
5= Sangat Puas (SP)
4= Puas (P)
3= Cukup Puas (CP)
2= Kurang Puas (KP)
1= Tidak puas (TP)

3.7 Pengujian Instrumen Kuesioner


3.7.1 Uji Validitas
Validitas data penelitian ditentukan melalui proses pengukuran yang
akurat. Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen tersebut mengukur sesuai
dengan harapan peneliti dan tujuan penelitiannya. Dalam Masri Singarimbun
(1995:139), pengujian validitas suatu instrumen dilakukan dengan teknik
mengkorelasikan masing-masing pernyataan dengan skor total, atau dengan kata
lain membandingkan angka korelasi yang diperoleh dengan angka kritik tabel.
Setelah nilai r diperoleh, selanjutnya membandingkan antara hasil nilai r
perhitungan dengan tabel nilai kritis r pada taraf signifikan (α = 0,05). Apabila r
hitung yang diperoleh berada diatas nilai kritis berarti alat ukur yang digunakan
telah valid.

3.7.2 Uji Reliabilitas


Uji reliabilitas bertujuan untuk menguji konsistensi alat ukur yang
digunakan. Kualitas suatu teknik yang dipakai berulang kali terhadap obyek yang
14

sama akan menghasilkan data-data yang sama pula. Uji realiabilitas yang
digunakan adalah Alpha Cronbach bila alpha lebih kecil dari 0,5 maka dinyatakan
tidak reliabel dan sebaliknya bila lebih besar dari 0,5 maka dinyatakan reliabel.

3.8 Metode Analisis Data


3.8.1 Uji Asumsi Klasik
1. Asumsi Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah residual model
regresi yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Metode yang digunakan untuk
menguji normalitas adalah dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Dengan
proses pengambilan keputusan:
H0 : data berdistribusi normal
H1 : data tidak berdistribusi normal
Dasar pengambilan keputusan dengan menggunakan tabel kolmogorov-smirnov
atau dengan angka probabilitas.
- Jika signifikansi (p) > 0,05 maka Ha ditolak
- Jika signifikansi (p) < 0,05 maka Ha diterima
2. Asumsi Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan yang masing-masing kesalahan
pengganggu mempunyai varian yang berlainan. Heteroskedastisitas diuji dengan
menggunakan uji koefisiensi korelasi Rank Spearman yaitu mengkorelasi antara
absolut residual hasil regresi dengan semua variabel bebas. Bila signifikansi hasil
korelasi lebih kecil dari 0,05 (5%) maka persamaan tersebut mengandung
heteroskedastistas dan sebaliknya berarti non heteroskedastisitas atau dengan kata
lain homoskedasititas.
3. Asumsi Multikolinearitas.
Pengujian ini menyatakan terdapat korelasi yang tinggi (mendekati
sempurna) di antara dua atau lebih variabel bebas. (Gujarati, 1995).
Multikolinearitas diuji dengan menghitung nilai VIF (Variance Inflating Factor).
Bila nilai VIF lebih kecil 5 maka tidak terjadi terjadi multikolinearitas atau
nonmultikol (Santoso, 2004).

3.8.2 Uji Hipotesis


Pengujian terhadap hipotesis penelitian dilakukan menggunakan uji regresi
linier berganda, pada tingkat α sebesar 5%. Pengujian dilakukan menggunakan
model sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e
Keterangan:
Y = keterlambatan studi
a = konstanta
b1-b3 = koefisien regresi
X1 = kecerdasan emosional
X2 = perilaku belajar
X3 = stres kuliah
e = standar eror
15

Pengujian hipotesis dilakukan secara parsial terhadap masing-masing


variabel independen dengan kaidah pengambilan keputusan sebagai berikut:
- Apabila nilai probabilitas (p) dari t-hitung ≤ α maka hipotesis alternatif diterima
- Apabila nilai probabilitas (p) dari t-hitung > α maka hipotesis alternatif ditolak

3.8.3 Koefisien Determinasi


Koefisien determinasi berganda (R2) dapat digunakan untuk mengetahui
besarnya sumbangan atau kontribusi dari keseluruhan variabel bebas terhadap
variabel terikat (Y), sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel bebas yang tidak
dimasukkan kedalam model. Model dianggap baik koefisien determinasi sama
dengan satu atau mendekati satu (Gujarati, 1995:131).

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Responden Penelitian


Responden penelitian ini adalah mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya Jurusan Akuntansi. Dalam penelitian ini, peneliti menyebarkan 30
kuesioner secara langsung kepada responden. Responden penelitian ini dibatasi
pada mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya Malang yang
menempuh masa studi lebih dari 4 tahun (8 semester). Adapun gambaran
karakteristik responden berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada
tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1
Umur dan Jenis Kelamin Responden
Karakteristik Responden Jumlah Persentase
Ukuran Sampel 30 100%
Jenis Kelamin Laki-Laki 23 76.67%
Perempuan 7 23.33%
Umur ≤ 23 Tahun 15 50.0%
> 23 Tahun 15 50.0%
Sumber: Data Diolah 2013
Karakteristik responden berdasarkan data pendidikan sesuai dengan
angkatan responden dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini:
Tabel 4.2
Responden Berdasarkan Angkatan

Angkatan Jumlah Persentase


2008 15 50.00%
2007 10 33.3 %
2006 5 16.7 %
Sumber: Data Diolah 2013
Pada Tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa responden terbanyak adalah
mahasiswa angkatan 2008 yaitu sebanyak 15 responden (50%) dan yang paling
sedikit adalah 2006 yaitu sebanyak 5 responden (16.7%).

4.2 Gambaran Statistik Deskriptif Variabel yang Diteliti


Gambaran statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran
mengenai variabel-variabel penelitian (kecerdasan emosional, perilaku belajar,
16

dan stres kuliah). Hasil statistik deskriptif distribusi frekuensi jawaban responden
dari item pertanyaan variabel yang diteliti dapat dilihat pada tabel berikut:
1. Variabel kecerdasan emosional (X1)
Berikut ini akan dijelaskan dalam tabel tentang jawaban pertanyaan-
pertanyaan kuesioner mengenai variabel kecerdasan emosional (X1) yang
ditanyakan kepada responden. Adapun jawaban dari responden penelitian dapat
disajikan dalam tabel 4.3 berikut ini:
Tabel 4.3
Distribusi kecerdasan emosional (X1)
Item/Jawaban STS TS N S SS Rata
F % F % F F % F % Rata
X1.1 1 3.3 3 10.0 7 23.3 14 46.7 5 16.7 3.63
X1.2 7 23.3 14 46.7 4 13.3 3 10.0 2 6.7 2.30
X1.3 1 3.3 5 16.7 12 40.0 9 30.0 3 10.0 3.26
X1.4 - - 4 13.3 11 36.7 13 43.3 2 6.7 3.43
X1.5 - - 5 16.7 11 36.7 12 40.0 2 6.7 3.36
X1.6 - - 6 20.0 16 53.3 7 23.3 1 3.3 3.10
X1.7 - - 8 26.7 9 30.0 8 26.7 5 16.7 3.33
X1.8 1 3.3 4 13.3 4 13.3 17 58.7 4 13.3 3.63
X1.9 1 3.3 4 13.3 14 46.7 9 30.0 2 6.7 3.23
X1.10 1 3.3 6 20.0 6 20.0 15 50.0 2 6.7 3.36
Rata-Rata X1 3.26
Sumber : Data diolah, 2013
Dari seluruh pertanyaan tentang kecerdasan emosional (X1) pada diri
mahasiswa didapatkan rata-rata jawaban responden sebesar 3,26 hal ini
menunjukkan bahwa mayoritas responden telah memberikan respon cukup positif
menyatakan bahwa kecerdasan emosional ini mampu melatih kemampuan
mahasiswa tersebut, yaitu kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri,
kesanggupan untuk tegar dalam menghadapi frustasi, kesanggupan
mengendalikan dorongan dan menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati
yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama dengan orang lain.

2. Variabel perilaku belajar (X2)


Berikut ini akan dijelaskan dalam tabel tentang jawaban pertanyaan-
pertanyaan kuesioner mengenai variabel perilaku belajar (X2) yang tanyakan
kepada responden. Adapun jawaban dari responden penelitian dapat disajikan
dalam tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4
Distribusi Perilaku Belajar (X2)
Item/Jawaban STS TS N S SS Rata
F % F % F % F % F % Rata
X2.1 - - 4 13.3 17 56.7 9 30.0 - - 3.16
X2.2 - - 6 20.0 17 56.7 5 16.7 2 6.7 3.10
X2.3 - - 7 23.3 7 23.3 14 46.7 2 6.7 3.36
X2.4 - - 8 26.7 17 56.7 5 16.7 - - 2.9
X2.5 6 20.0 16 53.3 7 23.3 - - 1 3.3 2.13
Rata-Rata X2 2.93
Sumber : Data diolah, 2013
Dari seluruh pertanyaan tentang perilaku belajar (X2) pada diri mahasiswa
didapatkan rata-rata jawaban responden sebesar 3,93 hal ini menunjukkan bahwa
17

mayoritas responden telah memberikan respon cukup positif menyatakan bahwa


belajar merupakan kegiatan individual, kegiatan yang dipilih secara sadar karena
seseorang mempunyai tujuan individual tertentu. Belajar adalah proses perubahan
perilaku akibat interaksi individu dengan lingkungan dan merupakan suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkunganya.

3. Variabel Stress Kuliah (X3)


Berikut ini akan dijelaskan dalam tabel tentang jawaban pertanyaan-
pertanyaan kuesioner mengenai variabel Stress Kuliah (X3) yang tanyakan kepada
responden. Adapun jawaban dari responden penelitian dapat disajikan dalam tabel
4.5 berikut ini:
Tabel 4.5
Distribusi Stress Kuliah (X3)
Item/Jawaban STS TS N S SS Rata
F % F % F % F % F % Rata
X3.1 3 10.0 2 6.7 23 76.7 1 3.3 1 3.3 2.83
X3.2 - - 5 16.7 4 13.3 19 63.3 2 6.7 3.60
X3.3 - - 11 36.7 15 50.0 3 10.0 1 3.3 2.80
X3.4 9 30.0 11 36.7 3 10.0 - - 7 23.3 2.50
X3.5 1 3.3 6 20.0 13 43.3 8 26.7 2 6.7 3.13
Rata-Rata X3 2.97
Sumber : Data diolah, 2013
Dari seluruh pertanyaan tentang stress kuliah (X3) pada diri mahasiswa
didapatkan rata-rata jawaban responden sebesar 2,97 hal ini menunjukkan bahwa
mayoritas responden telah memberikan respon cukup positif menyatakan bahwa
stress kuliah merupakan suatu keadaan yang membuat mahasiswa merasa
tertekan dalam kuliahnya sehingga konsentrasi belajar terganggu, penyebabnya
adalah adanya kesalahan perilaku belajar atau keadaan lain misalnya lingkungan.

4.4 Uji Instrumen Penelitian


1. Uji Validitas
Hasil uji tersebut dibandingkan dengan nilai R tabel, dengan taraf
signifikan (α = 5%) dan sample N = 30 dengan nilai R tabel yaitu sebesar 0,361.
Jika Rhitung > Rtabel maka Valid, sedangkan Jika Rhitung < Rtabel maka Tidak Valid.
Berikut di bawah ini hasil validitas instrumen/kuisioner :
Tabel 4.6
Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian

Corrected r tabel Keterangan Hasil


No Item Total Item  = 0,05
Corelation
1. X1.1 0.522 0.361 Valid
X1.2 0.453 0.361 Valid
X1.3 0.466 0.361 Valid
X1.4 0.591 0.361 Valid
X1.5 0.590 0.361 Valid
X1.6 0.516 0.361 Valid
X1.7 0.581 0.361 Valid
18

X1.8 0.564 0.361 Valid


X1.9 0.741 0.361 Valid
X1.10 0.450 0.361 Valid
2. X2.1 0.468 0.361 Valid
X2.2 0.688 0.361 Valid
X2.3 0.529 0.361 Valid
X2.4 0.454 0.361 Valid
X2.5 0.492 0.361 Valid
3. X3.1 0.605 0.361 Valid
X3.2 0.406 0.361 Valid
X3.3 0.455 0.361 Valid
X3.4 0.418 0.361 Valid
X3.5 0.589 0.361 Valid
Sumber : Data Primer (diolah), 2013.

Hasil analisis pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa butir pertanyaan


mempunyai nilai korelasi yang lebih besar dari r tabel (lebih besar dari 0,361)
sehingga butir pertanyaan yang diajukan dinyatakan valid dan layak dianalisis.
2. Uji Reliabilitas
Ancok dalam Singarimbun dan Effendi (2002: 140) mengemukakan
bahwa reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan formula Alpha
Cronbach, dimana hasil ujinya disajikan pada tabel 4.7 berikut:
Tabel 4.7
Hasil Uji Reliabilitas Instrumen
Variabel Koefisien Alpha
X1 0.836
X2 0.716
X3 0.602
Sumber: Data primer diolah, 2013
Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan pada item-item pertanyaan
yang memiliki validitas. Instrumen dinyatakan reliabel jika nilai koefisien
reliabilitas yang diperoleh paling tidak mencapai 0,6. Hasil uji reliabilitas yang
disajikan pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa masing-masing nilai koefisien
reliabilitas lebih besar dari 0,6 sehingga instrumen yang digunakan reliabel.

4.5 Analisis Data


Berdasarkan hasil analisis yang dihitung dengan menggunakan Program
SPSS for Windows dapat disusun ringkasan hasil analisis regresi linier berganda
sebagai berikut:
1. Analisis Regresi Linier Berganda
Tabel 4.11
Rekapitulasi Analisis Regresi Berganda
Variabel Koefisien T hitung Probabilitas
Regresi (Sig t)
X1 Kecerdasan Emosional -0,099 -0,249 0.805
X2 Perilaku Belajar -1,061 -2,371 0.025
19

X3 Stres Kuliah 1,403 4,549 0.000


Konstata (a) 10.598
F Hitung 13.506
R 0.780
2
R Square (R ) 0.609
Adjusted R 0.564
Sumber : Data primer yang diolah, 2013.
Dari tabel 4.11 di atas dapat dibuat persamaan regresi linier berganda
sebagai berikut:
Y = 10,598 - 0,099X1 - 1,061X2 + 1,403X3
a. Konstata (a) sebesar 10,598 menunjukkan besarnya nilai variabel y jika
variabel bebasnya dianggap nol, artinya jika tanpa dipengaruhi oleh variabel
kecerdasan emosional, perilaku belajar, stres kuliah maka besarnya keterlambatan
studi adalah sebesar 10,598. Nilai pengaruh kecerdasan emosional, dan perilaku
belajar adalah negatif artinya semakin rendah kecerdasan emosional, dan perilaku
belajar akan menyebabkan keterlambatan studi semakin tinggi pula. Nilai
pengaruh stress kuliah adalah positif artinya semakin tinggi tingkat stress kuliah
akan menyebabkan keterlambatan studi semakin tinggi pula.
b. Koefisien regresi kecerdasan emosional (b 1) menunjukkan variabel
kecerdasan emosional X1 mempunyai pengaruh sebesar -0,099 terhadap tingkat
keterlambatan studi. Koefisien regresi variabel bebas kecerdasan emosional (X 1)
menunjukkan pengaruh negatif yang berarti ada kecenderungan setiap penurunan
variabel kecerdasan emosional akan dapat meningkatkan keterlambatan studi.
c. Koefisien regresi perilaku belajar (b2) menunjukkan variabel perilaku
belajar X2 mempunyai pengaruh sebesar -1,061 terhadap tingkat keterlambatan
studi. Koefisien regresi variabel bebas perilaku belajar (X 2) menunjukkan
pengaruh negatif yang berarti ada kecenderungan setiap penurunan variabel
perilaku belajar akan dapat meningkatkan keterlambatan studi.
d. Koefisien regresi stress kuliah (b3) menunjukkan variabel stress kuliah X3
mempunyai pengaruh sebesar 1,403 terhadap tingkat keterlambatan studi.
Koefisien regresi variabel bebas stress kuliah (X3) menunjukkan pengaruh positif
yang berarti ada kecenderungan setiap peningkatan variabel stress kuliah akan
dapat meningkatkan keterlambatan studi.
e. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,609 dan setelah diadakan
penyesuaian (adjusted R2) menjadi 0,564 menunjukkan bahwa kombinasi variabel
Kecerdasan emosional, Perilaku belajar dan Stress kuliah secara bersama-sama
memberikan kontribusi sebesar 56,4% terhadap keterlambatan studi mahasiswa,
sedangkan sisanya sebesar 43,4% merupakan sumbangan/kontribusi variabel lain
yang tidak diamati dalam penelitian ini.

2. Uji F (Uji Simultan)


Untuk menguji hipotesis tentang adanya pengaruh yang signifikan antara
variabel Kecerdasan emosional, Perilaku belajar Dan Stress kuliah secara
bersama-sama terhadap keterlambatan masa studi digunakan analisis Uji F,
dengan cara membandingkan F hitung dengan F tabel. Pada tingkat kepercayan
95% ( = 0,05) dan df = 3 : 26 diperoleh nilai F tabel sebesar = 2,975 sedangkan
20

nilai F hitung = 13,506. Dengan demikian nilai F hitung > Ftabel sehingga
terbukti bahwa ada pengaruh yang nyata antara Kecerdasan emosional, Perilaku
belajar Dan Stress kuliah secara bersama-sama terhadap keterlambatan studi.

3. Uji t (Uji Parsial)


Untuk menguji hipotesis yang menyatakan bahwa diduga variabel
Kecerdasan emosional (X1), Perilaku belajar (X2) dan Stress kuliah(X3) secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan studi, maka dalam
penelitian ini melihat besarnya masing-masing koefisien regresi dari variabel
bebas. Adapun signifikasi dari masing-masing koefisien itu diuji dengan
menggunakan uji parsial t-test tampak pada tabel sebagai berikut:
a. Uji Hipotesis I
Dari tabel 4.12 dapat diketahui bahwa koefisien regresi sebesar -0,099 untuk
variabel Kecerdasan emosional (X1) dengan taraf signifikan 0.805 >  =0,05
sehingga terbukti bahwa variabel variabel Kecerdasan emosional (X1) tidak
berpengaruh terhadap keterlambatan studi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
Hipotesis (H1) yang menyatakan variabel Kecerdasan emosional (X1)
berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan studi (Y) tidak terbukti.
Tabel 4.12
Perbandingan t-hitung dengan taraf signifikan (α = 5%)
Coefficientsa
Model Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 10.598 1.646 6.438 .000
Kec. Emosional -.099 .399 -.040 -.249 .805
Perilaku Bel. -1.061 .448 -.377 -2.371 .025
Stress kul. 1.403 .305 .583 4.594 .000
a. Dependent Variable: Keterlambatan Studi
Sumber : Data primer yang diolah, 2013.

b. Uji Hipotesis II
Koefisien regresi variabel Perilaku belajar (X2) sebesar -1,061 dengan taraf
signifikan 0.025 <  =0,05 sehingga terbukti bahwa variabel variabel Perilaku
belajar (X2) berpengaruh terhadap keterlambatan studi. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa Hipotesis (H2) yang menyatakan diduga variabel Perilaku
belajar (X2) berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan studi (Y) dapat
terbukti secara statistik.
c. Uji Hipotesis III
Koefisien regresi variabel Stress kuliah(X3) sebesar 1,403 dengan taraf
signifikan 0.000 <  =0,05 sehingga terbukti bahwa variabel variabel Stress
kuliah (X3) berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan studi. Hasil analisis
ini menunjukkan bahwa Hipotesis (H3) yang menyatakan diduga variabel Stress
kuliah(X3) berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan studi (Y) dapat
dibuktikan secara statistik. Dari hasil koefisien regresi yang ada ternyata variabel
stress kuliah (X3) koefisien regresinya paling besar (1,403) dibandingkan dengan
21

nilai koefisien regresi variabel bebas lainnya dan signifikan pada taraf nyata  =
0,05 (r < 0,05).

C. Pembahasan
1. Kecerdasan Emosinal
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif antara
kecerdasan emosional dengan keterlambatan studi mahasiswa akuntansi, hal ini
menunjukkan semakin rendah kecerdasan emosional akan mengakibatkan tingkat
kelambatan studi semakin tinggi, namun kecerdasan emosional tidak berpengaruh
signifikan terhadap keterlambatan studi mahasiswa akuntansi. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Goleman (2000), kecerdasan emosional adalah
kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain untuk
memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi dengan baik di dalam diri kita dan
hubungan kita. Kemampuan ini tentunya saling berbeda dan saling melengkapi
dengan kemampuan akademik murni, yaitu kemampuan kognitif murni yang
diukur dengan IQ. McClelland (1997) dalam Goleman (2000) lebih dalam
menyatakan bahwa Kecerdasan emosional menentukan seberapa baik seseorang
menggunakan keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, termasuk
keterampilan intelektual. Paradigma lama menganggap yang ideal adalah adanya
nalar yang bebas dari emosi, paradigma baru menganggap adanya kesesuain
antara kepala dengan hati. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pada diri seorang
mahasiswa kecerdasan emosional dan kemampuan akademik saling berpengaruh
terhadap keterlambatan masa studi sehingga apabila variabel kecerdasan
emosional dilepas sendiri menjadi satu variabel bebas maka kecenderungan
pengaruhnya terhadap lama penyelesaian studi akan sangat lemah.
2. Perilaku Belajar
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif antara perilaku
belajar dengan keterlambatan studi mahasiswa akuntansi, hal ini menunjukkan
semakin menurun tingkat perilaku belajar akan mengakibatkan tingkat
keterlambatan studi semakin tinggi, pengaruh yang signifikan antara perilaku
belajar dan tingkat keterlambatan studi ini juga sesuai dengan pendapat Ali, dalam
Hanifah dan Syukriy (2002) menjelaskan bahwa hasil belajar dapat dihubungkan
dengan terjadinya suatu perubahan, kecakapan atau kepandaian seseorang dalam
proses pertumbuhan tahap demi tahap sehingga akan berdampak terhadap hasil
perkuliahan. Perilaku belajar yang baik akan berdampak nyata terhadap prestasi
akademis seseorang, dan hal ini tentu saja berkaitan erat dengan waktu tempuh
seseorang mahasiswa didalam penyelesaian masa studinya. Prestasi akademik
yang dicapai seorang mahasiswa merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor
yang mempengaruhinya, baik dari dalam diri mahasiswa (faktor internal) maupun
dari luar diri mahasiswa (faktor eksternal). Menurut Hamalik (1983:139), salah
satu faktor yang bersumber dari dalam diri sendiri adalah kebiasaan belajar, atau
lebih tepatnya perilaku belajar.
3. Stress Kuliah
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh positif antara stress kuliah
terhadap keterlambatan masa studi mahasiswa akuntansi. Hasil ini menunjukkan
bahwa stress kuliah yang diproksikan dengan kegelisahan mahasiswa, tingkat
22

kejenuhan ketika berada di dalam kelas yang tidak ada teman se-angkatan,
komunikasi yang kurang baik dengan dosen maupun mahasiswa lain,
permasalahan pribadi di luar lingkungan akademis, maupun suasana lingkungan
belajar yang kurang menunjang dapat mempengaruhi proses belajar. Jika proses
belajar terpengaruh maka keterlambatan penyelesaian studi akan semakin tinggi.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Handoko (2005) bahwa Stres
adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan
kondisi seseorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan atau
kondisi seseorang dalam menghadapi lingkungan, dalam hal ini konteksmya
adalah lingkungan pendidikan.

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan perilaku
belajar mempunyai negatif terhadap tingkat keterlambatan studi. Hal ini
berarti ada kecenderungan setiap penurunan kecerdasan emosional dan
perilaku belajar akan dapat meningkatkan keterlambatan studi.
2. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh positif stress kuliah
terhadap keterlambatan studi hal ini menunjukkan ada kecenderungan
setiap peningkatan variabel stress kuliah akan dapat meningkatkan
keterlambatan studi.
3. Penelitian ini menunjukkan bahwa Kecerdasan emosional tidak
berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan studi sehingga Hipotesis
yang menyatakan di duga variabel Kecerdasan emosional berpengaruh
signifikan terhadap keterlambatan studi tidak terbukti secara statistik.
4. Penelitian ini menunjukkan bahwa Perilaku belajar berpengaruh signifikan
terhadap keterlambatan studi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
Hipotesis (H2) yang menyatakan di duga variabel Perilaku belajar
berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan studi dapat teruji secara
statistik.
5. Penelitian ini menunjukkan bahwa Stress kuliahberpengaruh signifikan
terhadap keterlambatan studi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
Hipotesis (H3) yang menyatakan di duga variabel Stress kuliahberpengaruh
signifikan terhadap keterlambatan studi dapat dibuktikan secara statistik.
6. Penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh yang nyata
antara Kecerdasan emosional, Perilaku belajar Dan Stress kuliah secara
bersama-sama terhadap keterlambatan studi.
7. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kombinasi variabel Kecerdasan
emosional, Perilaku belajar dan Stress kuliah secara bersama-sama
memberikan kontribusi sebesar 56,4% terhadap keterlambatan studi
mahasiswa, sedangkan sisanya sebesar 43,4% merupakan
sumbangan/kontribusi variabel lain yang tidak diamati dalam penelitian ini.
23

5.2. Keterbatasan
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain :
1. Responden yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada mahasiswa S1
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Oleh karena itu, jika
dimungkinkan untuk penelitian selanjutnya responden dapat diperluas
misalnya menjadi mahasiswa akuntansi di Kota Malang.
2. Beberapa instrumen penelitian dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan
keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya
diharapkan dapat mengembangkan instrumen penelitian yang lebih baik lagi
dan jika dimungkinkan penambahan variabel penelitian.

5.3. Arah Penelitian Berikutnya


Arah penelitian berikutnya dapat dilakukan dengan menambah variabel
penelitian yang lain, karena hasil penelitian masih menunjukkan bahwa
kombinasi variabel Kecerdasan emosional, Perilaku belajar dan Stress kuliah
secara bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 56,4% terhadap
keterlambatan studi mahasiswa, sedangkan sisanya sebesar 43,4% merupakan
sumbangan/kontribusi variabel lain yang tidak diamati dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraita, Gita. 2000. Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Kemampuan Teknis dan
Penalaran Yang Didapatkan Melalui Proses Pengajaran Akuntansi Di Perguruan Tinggi.
Skripsi FE-UGM.
Arini, Sri Hermawati Dwi. Musik Merupakan Stimulasi Terhadap Keseimbangan Aspek Kognitif
dan Kecerdasan Emosi. http://www.depdiknas.co.id/jurnal/30/editorial.htm-32k.
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka. Cipta. Jakarta.
Ariyanti, Ika M P. 2005. Pengaruh Kecerdasan Emosional Mahasiswa Akuntansi Terhadap Stres
Kuliah, Skripsi Fakultas Ekonomi, UPN “Veteran”. Yogyakarta.
Bulo, William. 2002, Pengaruh Tingkat Pendidikan Tinggi Terhadap Kecerdasan Emosional.
Skripsi Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Cherniss, Cary. 2000. Emotional Intelligence: What it is and Way it Matters. Makalah, Society for
Indusrial and Organizational Psychology. New Orleans, LA.
Cooper, R.K. dan Sawaf A. 1998. Executive EQ: Kecerdasan emosional dalam Kepemimpinan
Organisasi, (Terjemahan T. Hermaya). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Calhoun, J & Acocella, J. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan
(Edisi ketiga). PT IKIP Semarang Press. Semarang.
Gagne, R.M, Briggs. L.J., and Wanger, W.W. 1988. Principles Of Instructional Design. Holt
Rinehart and Witson. New York.
Goleman, Daniel. 2000, Working With Emotional Intelegence, (Terjemahan Alex Tri Kantjono
W). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Gottman, John. 2001. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional
(terjemahan). PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Gujarati, Damodar. 1995. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hamalik, Oemar. 1983. Metode Belajar Dan Kesulitan Kesulitan Belajar. Tarsito: Bandung.
Handoko, T. Hani. 2005. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Edisi 2. BPFE.
Yogyakarta.
Hanifah, Syukriy Abdullah. 2001, Pengaruh Perilaku Belajar Terhadap Prestasi Akademik
Mahasiswa Akuntansi, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Volume 1, No. 3,
63-86.
Hasan, Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
24

Juliana. 2004. Pengaruh Kecerdasan Emotional Terhadap Perilaku Etis Mahasiswa Akuntansi,
Skripsi Fakultas Ekonomi, UPN “Veteran”. Yogyakarta.
McClelland, D. C. 1997. Human Motivation. Cambridge University Press. New York.
Rampengan, MJ. 1997. Faktor-faktor Penentu dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Mahasiswa
PGSD IKIP Manado. Jurnal MKP IKIP. Manado.
Ravenscroft, Susan P., et al. 1995. Incentives In Student Team Learning: an Experiment In
Cooperative Group Learning, Issues In Accounting Education. Sarasota, Vol. 10, issue
2;97. New York.
Ravenscroft, Susan P., Frank A. Buckless and Trevor Hassal. 1999. Cooperative Learning
Literature Guide. Accounting Education 8. New York.
Rock, Michael E. 2001. Avoiding Costly Hiring Mistakes: EQ and the New Workplace. New York.
Santoso, S. 2004. Aplikasi Statistik Dengan Menggunakan SPSS. Erlangga. Jakarta.
Sekaran, Uma. 2003. Research Methods for Business : A Skill Building Approach 2nd Edition.
John Wiley and Son. New York.
Shapiro, Laurence E. 1997. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Gramedia. Jakarta.
Singarimbun, M & S. Efendi. 1995. Metode Penelitian Survey. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 2002. Metode Penelitian Survei (Editor). LP3ES,
Singgih, Santoso. 2001, SPSS Versi 10.0 Mengelola Data Statistik Secara Profesional. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sugiyono. 1991. Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alfabeta. Bandung.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suryaningsum, Sri, Sucahyo Heriningsih dan Afifah Afuwah. 2004. Pengaruh Pendidikan Tinggi
Akuntansi Terhadap Kecerdasan Emosional Mahasiswa, SNA VII. Denpasar Bali.
Suryaningsum, Sri, Sucahyo Heriningsih. 2005. Kajian Empiris Atas Pengaruh Kecerdasan
Emosional Mahasiswa Akuntansi Terhadap Stres Kuliah. Siposium Nasional Mahasiswa
Dan Alumni Pascasarjana Ilmu-Ilmu Ekonomi, MM UGM. Yogyakarta.
Suryaningsum, Sri. Shalih,Hening Naafi & Marita. 2008. Kajian Empiris Atas Perilaku Belajar
Dan Kecerdasan Emosional Dalam Mempengaruhi Stress Kuliah Mahasiswa Akuntansi.
SNA 11.
Sutrisno, Hadi. 1991. Statistika, Edisi ke 6, Jilid ke 2. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suwardjono. 1991. Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi, Jurnal Akuntansi, edisi Maret. STIE
YKPN. Yogyakarta.
Trisnawati, Eka Indah. & Suryaningsum, Sri. 2003, Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap
Tingkat Pemahaman Akuntansi. SNA VI. Surabaya.
Usman, Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Rosda Karya. Bandung.
Wechsler, David. 1958. The Measurement and Appraisal of Adult Intelligence (fourth ed.).
Baltimore (MD): Williams & Witkins.

Anda mungkin juga menyukai