Anda di halaman 1dari 5

Fenomena Jilbab: Jilbab sebagai Syari’at atau Fashion

(Hermeneutika Friedrich D.E. Schleiermacher sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an)

Abdullah Azzam Milenia

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga

Abdullahazzam928@gmail.com

Friedrich Daniel Ernst seorang sarjana terkenal dalam bidang filsafat, ia juga merupakan
seorang teolog Protestan ternama di Jerman. Schleirmacher dikenal sebagai seorang teolog yang
produktif melahirkan karya-karyanya. Schleirmacher menekankan pada dua metode dalam
pemahaman teks yaitu hermeneutika gramatikal dan psikologis. Sebuah teks hendaknya dipahami
dengan pemahaman yang dimiliki author. Oleh karena itu si pembaca harus mengerti dengan jelas
bahasa yang digunakan dan memahami kepribadian author.1

Sebelum masuk ke penerapan metode hermeneutika Schleirmacher pada ayat al-Qur‘an, ada
baiknya untuk memperhatikan terlebih dahulu argumen yang dibangun Sahiron Syamsuddin dalam
penerapan metode ini pada ayat al-Qur‘an, seorang penafsir harus memahami bahasa yang digunakan
author dan audiens historis. Seorang penafsir al-Qur'an yang ingin mengungkapkan isinya harus benar-
benar memahami bahasa dan kaidah kebahasaan yang digunakan al-Qur'an ketika al-Qur'an diturunkan
kepada Nabi Muhammad di abad ke-7. Ini menjadi penting karena bahasa Arab, yang sebenarnya
adalah bahasa yang digunakan oleh al-Qur'an, ia juga memiliki diakroni dan sinkroni, diakroni adalah
bagian dari bahasa yang mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu (mutaghayirat), dan sinkroni
adalah aspek bahasa yang selalu tetap (thawabit).2

Salah satu isu yang masih ramai diperbincangkan saat ini adalah jilbab. Jilbab adalah kewajiban
seorang wanita muslim untuk menutupi auratnya. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk makan,
minum, dan berpakaian.3 Fenomena jilbab terus menjadi perdebatan dan kontroversi setelah
berkembangnya ilmu pengetahuan seperti feminisme dan isu gender. Seiring berjalannya waktu, hal itu
juga mempengaruhi nilai dari berjilbab. Berjilbab yang dulunya memiliki nilai etis, kini banyak
kaitannya dengan tujuan mencapai nilai estetika sebagai model berjilbab. Ini karena kemajuan

1
Shafwatul Bary, “Hermeneutika Friedrich D.E. Schleiermacher Sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an (Kajian Ayat
Ikhlas; Jilbab; Sayyarah; Dan Al-Huda),” Hlm 53.
2
Shafwatul Bary, Hlm 62.
3
Astutik, “Jilbab Dalam Pandangan Fatima Mernissi (Studi Kasus Perkembangan Jilbab Di Iain Sunan Ampel
Surabaya Tahun 1982-2002),” Hlm 1.
teknologi, ekonomi dan lainnya. Gaya jilbab yang ada saat ini memiliki model yang sangat berbeda
dengan zaman dahulu yang lebih sederhana dan hanya dikenakan oleh orang tua. Berbagai model jilbab
yang ada di masyarakat menimbulkan pertanyaan apakah jilbab merupakan tanda ketaatan seseorang
dan apakah jilbab sekedar mengikuti trend fashion yang ada.

Di Indonesia, pada tahun 1980-an, ada kasus seorang siswi yang harus memakai jilbab di
sekolah umum dan harus memilih tetap bersekolah di sana tanpa berjilbab atau terus berjilbab dan
akibatnya, ia mendapati dirinya keluar dari sekolah yang dimaksud. Alasannya sangat klasik, untuk
memudahkan komunikasi dan proses produksi. Situasi ini berbalik pada 1990-an, larangan berjilbab
bagi siswi sekolah umum dicabut dan pemerintah mengizinkan siswi belajar tanpa meninggalkan jilbab
mereka.

Saat itu, jilbab hanya dianggap sebagai simbol pakaian kaum pinggiran. Selain batasan ruang
dan waktu, hal ini berarti jilbab hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu yang berkaitan dengan
upacara keagamaan seperti shalat ke masjid, Idul Fitri/Adha, dan berkabung. Selain itu, jilbab hanya
dikenakan oleh wanita muslim yang telah berhaji. Jilbab pada waktu itu adalah simbol kedalaman dan
keyakinan agama. Namun, di akhir tahun 90-an, istilah jilbabber (pemakai jilbab) menjadi populer dan
menjadi tren tersendiri. Ketika dampak kebebasan berbicara mulai terbuka, banyak yang mulai
mengungkapkan kebutuhan mereka yang telah lama tertahan. Banyak wanita muslimah yang memilih
untuk berjilbab.4

Maraknya globalisasi ekonomi, informasi dan budaya telah mempengaruhi berbagai aktivitas
manusia, termasuk pilihan pakaian (fashion). Interaksi interpersonal dan lintas budaya yang melampaui
batas geografis, budaya dan agama menambah kekuatan dan kompleksitas konsumsi fashion itu sendiri.
Hal ini akhirnya menyebabkan penyebaran jilbab bagi sebagian besar orang Indonesia. Salah satu
akibat penggunaan jilbab adalah maraknya penggunaan jilbab pada acara-acara formal dan informal
tertentu. Masyarakat tidak lagi takut berjilbab. Sangat mudah untuk menemukan wanita berjilbab di
pasar, terminal, sekolah, kantor, bank, bahkan restoran cepat saji. Seolah-olah jilbab sudah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab 33: 59,

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
“Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu agar mereka
lebih mudah untuk dikenali, sehingga, mereka tidak diganggu, Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

4
Budiati, “Jilbab: Gaya Hidup Baru Kaum Hawa,” Hlm 62.
Ayat di atas menyebutkan kata jalabib yang dalam bahasa Indonesia artinya jilbab. Teori
hermeneutika aspek gramatikal dari diakroni teks memerintahkan pembaca untuk terlebih dahulu
melihat apa arti kata tersebut di audiens sejarah. Dan karena ketidakmampuan untuk mendapatkan
akses langsung ke 15 abad terakhir yang belum mengenal tradisi tekstual, satu-satunya cara adalah
dengan melihat kembali beberapa kamus yang dianggap cukup mumpuni dalam menyajikan makna
otentik bahasa Arab klasik.

Dengan cara ini, akan ditemukan serangkaian makna terminologi dari kata jilbab. Lisan al-'Arab
karya Ibn Manzhur misalnya, beliau mengartikan jilbab (jama': jalabib) dengan al-qamis atau pakaian
yang lebih lebar dari al-khimar, tetapi bukan selimut atau selendang. Beliau juga menambahkan bahwa
arti dari jilbab adalah apa yang sering dipakai wanita untuk menutupi kepala dan dada mereka. Ibnu
Manzhur mengartikan kata jilbab sebagai al-qamis, menjadi penting juga untuk melihat penggunaan
kata al-qamis dalam al-Qur'an untuk melihat hubungan antar bagian teks. Setidaknya kata ini didapati
dalam al-Qur'an sebanyak enam kali, Q.S Yusuf 12:18; 25; 26; 27; 28; dan 93. Semuanya mengandung
arti sandang atau pakaian. Jadi, dapat dipahami dalam hal ini, bahwa pengertian jilbab adalah seperti
yang telah dijelaskan di atas. yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur adalah pakaian atau sandang.5

Menyadari bahwa sebuah kata sangat mungkin mengalami diakroni, dan menggunakannya
sebagai paradigma untuk memahami maknanya sebuah teks dari masa lalu, dalam hal kata jilbab
terdapat dalam QS. Al-Ahzab 33: 59. Pembaca harus lebih bijak dalam menyajikan pemahaman yang
akurat dan mendekati makna aslinya. Berharap makna aslinya adalah makna yang diinginkan
pengarangnya. Di sisi lain, kedekatan waktu dan kesamaan bahasa adalah jaminan keaslian.

Dari ayat di atas, salah satu tujuan dari agama adalah menjaga kehormatan manusia. Salah satu
cara manusia dapat melindungi kehormatan mereka adalah dengan menutupi aurat mereka. Prinsip
dasar menutup aurat yang dijelaskan dalam al-Qur'an adalah zahir, namun dalam arti pakaian tertutup,
maksud dalam al-Qur'an tidak hanya zahir untuk menutup aurat, tetapi juga seimbang dengan prinsip
bathiniyah (pakaian taqwa), inilah prinsip yang biasa dikenal dengan inner beauty (kecantikan batin). Oleh
karena itu, dengan menyeimbangkan kedua prinsip ini, manusia menjadi insan kamil (manusia
seutuhnya) sebagaimana yang diklaim oleh Muthahhari bahwa insan kamil adalah orang-orang teladan
dan ideal.6

Pakaian yang bermanfaat bagi manusia memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi dasar untuk
menutupi aurat. Dalam hal ini, orang tersebut tidak boleh memperlihatkan bagian tubuh yang terdapat
pada aurat kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, jika ketika sedang mencari pengobatan,
penanganan kecelakaan atau kesaksian. Seperti diketahui, batas antara aurat pria dan wanita sangat
berbeda. Aurat laki-laki berada di antara pusar dan lutut dan perlu ditutup. Aurat wanita menutupi

5
Shafwatul Bary, “Hermeneutika Friedrich D.E. Schleiermacher Sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an (Kajian Ayat
Ikhlas; Jilbab; Sayyarah; Dan Al-Huda),” Hlm 63.
6
Syahridawati, “Fenomena Fashion Hijab Dan Niqab Perspektif Tafsir Maqāsidi,” Hlm 146.
seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan wanita untuk
memakai jilbab, pakaian longgar yang dapat menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.7

Kedua, fungsi ganda (bilateral), yaitu melindungi laki-laki dan perempuan dari bahaya
iklim/cuaca, baik panas maupun dingin. Juga, untuk melindungi diri dari kerugian sosial akibat
ketidaksetujuan terhadap adat dan kondisi setempat. Misalnya daerah Aceh yang masyarakatnya
mayoritas beragama Islam dan ada qanun khusus yang memuat perempuan wajib memakai jilbab dan
busana Islami ketika berada di luar rumah dan yang melanggar aturan tersebut diberikan sanksi oleh
pihak yang berwenang. Selain itu, menutup aurat memiliki manfaat lain. Dengan kata lain, terhindar
dari tatapan yang mengundung syahwat akibat terbukanya aurat. Oleh karena itu, Allah memerintahkan
agar menundukkan pandangan, tidak hanya berlaku bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan,
disebabkan adanya kesamaan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam menjaga keamanan dan
perlindungan terhadap fitnah, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S al-Nur [24]: 30-31.8 Ketiga,
memperbaiki penampilan sebagai hiasan tambahan, yaitu sebagai penghias manusia agar terlihat indah.
Namun, jika hiasan lebih dari yang diperlukan, itu dianggap buruk.

Fenomena jilbab secara keseluruhan sudah cukup karena telah menjalankan perintah untuk
menutupi aurat. Namun jika dilihat dari fenomena fashion jilbab yang digunakan di Indonesia, tidak
semuanya sesuai dengan ketentuan syara’. Hal ini dikarenakan beragamnya fashion jilbab dan tutorial
memakainya, maka dari itu wanita cenderung mengikuti model yang ada, namun tidak semua. Tidak
semua model yang mengikuti sesuai dengan konteks syari’at, misalnya model jilbab tidak menutup
dada. Esensi yang paling penting dari berpakaian adalah untuk menutupi aurat, bukan agar terlihat
cantik dan kekinian (trendy). Signifikansi dari tafsir maqashidi terkait topik jilbab adalah tafsir ini
mempertimbangkan fungsi jilbab tidak hanya secara zahir tetapi juga batinniyah. Oleh karena itu, selain
adanya perintah untuk menutup aurat dengan sempurna, secara tidak langsung juga ada anjuran untuk
memperbaiki moral.

Daftar Pustaka

Astutik, Rita Dwi Puji. “Jilbab dalam Pandangan Fatima Mernissi (Studi Kasus Perkembangan Jilbab
Di IAIN Sunan Ampel Surabaya Tahun 1982-2002).” Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2019.
Budiati, Atik Catur. “Jilbab: Gaya Hidup Baru Kaum Hawa.” Jurnal Sosiologi Islam 1, no. 1 (2011): 60–
70.
Shafwatul Bary, Zakirman. “Hermeneutika Friedrich D.E. Schleiermacher Sebagai Metode Tafsir Al-
Qur’an (Kajian Ayat Ikhlas; Jilbab; Sayyarah; Dan Al-Huda).” Journal Of Qur’Ᾱn And HadῙth
Studies 9, no. 1 (2020): 51–70. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/journal-of-quran-and-
hadith/article/view/13389.
Syahridawati, Syahridawati. “Fenomena Fashion Hijab Dan Niqab Perspektif Tafsir Maqāsidi.”
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 22, no. 2 (2020): 135–50.

7
Syahridawati, Hlm 146.
8
Syahridawati, Hlm 147.
https://doi.org/10.22373/substantia.v22i2.8206.

Anda mungkin juga menyukai