Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“ Pandangan Agama Islam Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan (keperswatan)


dan Pentingnya Pelayanan Kesehatan (keperawatan) Berdasarkan Al’Quran Hadist
dan Para Ulama”

Di susun Oleh

Kelompok : II

1. Reta Anggraini

2. Aisha Putri Meidah

3. Raodiatun

4. Nurma Ayunda Nerisa

5. Rosdiana Puspita

6. Ahmad ajkafuad

7. Siti Nurhijrah

8. Sohibul Hamdi

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1

MATARAM

T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah “ Pandangan Agama
Islam Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan (keperswatan) dan Pentingnya
Pelayanan Kesehatan (keperawatan) Berdasarkan Al’Quran Hadist dan Para Ulama”

Shalawat berserta salam kami aturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam berilmu pengetahuan seperti yang kita
rasakan sekarang ini.

Kami juga menyadari bahwa tugas makalah ini masih banyak kekurangan baik dari
segi isi, maupun dari segi penulisan, untuk itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan tugas makalah ini. Terima kasih.
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A.Latar belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2

C. Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A. ............................................................................................................. 3

B ............................................................................................................... 4

C ............................................................................................................... 5

D. ............................................................................................................. 6

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 27

A. KESIMPULAN .................................................................................. 27

B. SARAN ............................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tempat pelayanan kesehatan merupakan salah satu tempat umum dimana seluruh kalangan
masyarakat akan berinteraksi disana. Diantaranya seperti Rumah sakit, Puskesmas, Klinik, dan
lain-lain. Rumah sakit (hospital) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Beberapa
pasien bisa hanya datang untuk diagnosis atau terapi ringan untuk kemudian meminta
perawatan jalan, atau bisa pula meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan.
Rumah sakit dibedakan dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya memberikan diagnosa
dan perawatan medis secara menyeluruh kepada pasien.

Di tempat pelayanan kesehatan seperti itulah batasan antara laki-laki dan perempuan menurut
islam akan dikesampingkan. Maksudnya dikesampingkan pada kalimat barusan adalah
kaburnya hijab antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ini. Dapat kita lihat di
tempat pelayanan kesehatan bahwa baik dokter, perawat ataupun petugas pelayanan kesehatan
lainnya akan melakukan berbagai interaksi dengan pasien. Tindakan-tindakan tersebut
merupakan serangkaian prosedur yang mesti dijalani menurut profesi masing- masing.
Diantaranya seperti dokter atau perawat yang harus melakukan pemeriksaan fisik terhadap
pasiennya yang pastinya harus menyentuh tubuh pasien, melakukan injeksi (suntikan) dibagian
tertentu yang kadang harus mmbuat pasien membuka pakaiannya. Tidak hanya itu, bahkan
kadang dokter atau perawat harus memegang alat vital dari kliennya untuk berbagai keperluan
seperti pada pemasangan kateter atau operasi pada bagian tersebut yang tidak jarang bahwa
petugas medis yang berlainan jenis kelaminlah yang melakukan tindakan tersebut.

Sedangkan yang kita ketahui bahwa islam melarang hamba-hambaNya untuk menjaga dirinya
dari orang yang bukan muhrimnya. Selain itu juga dikuatkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam : "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum
besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak
diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam Kitab Al-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad
hasan]. Jadi sebenarnya bagaimanakah pandangan islam mengenai fenomena yang ada di
tempat pelayanan kesehatan ini. Suatu kondisi yang sangat tidak mungkin untuk ditinggalkan
sebab keurgentannya. Lalu bagaimana pula sosok seorang tenaga medis dan para medis yang
seharusnya agar dalam menjalankan tugasnya tetap berjalan pada syariat agama Islam dan
benar-benar akan mendatang kan kemaslahatan bagi para pasien yang datang untuk berobat di
tempat pelayanan kesehatan tersebut. Serta bagaimana pula peran serta dari lembaga
berwenang kedokteran menyikapi aturan yang sesuai dengan syariat islam ini.

Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini mencoba untuk membahas mengenai dilema yang
ada ini. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil
alamin serta tsabat wa muruna dan Al-basathah yaitu perpaduan antara tetap dan menerima
perubahan.
BAB II PEMBAHASAN

A. Perintah islam untuk menjaga diri dan hijabnya terhadap non muhrim

Dienul Islam adalah sebuah agama yang mengatur segala seluk beluk yang ada di kehidupan
manusia dan semua ciptaan Allah. Adapun yang termasuk yang dibahas adalah mengenai
hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di dalam agama ini diatur
bagaimana hubungan antar seorang wanita dan laki-laki selayaknya menurut pandangan Islam.

Adapun perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita
pada (QS. Al-Ahzab : 53). Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus
disampaikan dari balik tabir pembatas

Banyak pendapat dari berbagai ulama mengenai hubungan antara laki-laki dan wanita ini,
antara lain:

Asy Syaikh berkata, Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya
diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila
dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz
(berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka KEHARAMAN berjabat
tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - YAITU
TIADANYA SYAHWAT DAN AMAN DARI FITNAH – meskipun jabatan tangan itu antara
seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya,
mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.Bahkan
berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak
terpenuhi. Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang
disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi
hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan TIDAK BAIK hal ini diperluas kepada
orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati,
dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah
berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya
– IALAH TIDAK MEMULAI BERJABAT TANGAN DENGAN LAIN JENIS. Tetapi,
apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.[1]
Dari Ma'qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda: "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan
jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak
diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam KitabAl-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad
hasan].

Dari ‘Aisyah ia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membai’at para perempuan
dengan perkataan. Tidak pernah tangan Rasulullah SAW memegang tangan para perempuan,
kecuali tangan perempuan yang telah menjadi miliknya (artinya perempuan yang telah
dinikahinya = istri Nabi). [Bukhari]

Tidak hanya itu, dalam islam juga melarang agar kaum muslimin tidak berdua-duan
(LARANGAN BERKHALWAT) seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpidato: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita
kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali
bersama mahramnya”. Tiba-tiba seorang lelaki bangkit berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya isteriku pergi untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kewajiban
mengikuti peperangan ini dan itu. Beliau bersabda: “Berangkatlah untuk berhaji bersama
isterimu”. [Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]

Hendaklah para muslimah tidak duduk-duduk dengan lelaki lain, hanya untuk sekedar ngobrol
tanpa ada maksud dan tujuan tertentu. Duduk-duduk yang diperbolehkan hanya bila ada
kebutuhan yang bersifat syar’I (dibolehkan agama).[2]

Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:

“Madzhab Hanafi :

Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman
dari syahwat.

Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi
berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun
aman dari syahwat.
Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem- bangkitkan syahwat
daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu ash-Shana`i']

Madzhab Maliki:

Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-
Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.

Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin
Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.

Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan
muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-
Syahush Shaghir IV/760].

Madzhab Syafi’i :

Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-
Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim.

Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram, maka
menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin
VII/28].

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para sahabat kami (dari
kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang
pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah
dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada saat
hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada saat mengambil barang dan menyerahkannya
dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya
pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.

Madzhab Hanbali:

Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan
muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua:

Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak

dibolehkan).

Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak
kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.

Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: “Aku pernah bertanya
kepada Ahmad bin Hanbal. ” Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non
muhrim)?”" Beliau menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih
banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan
dengan wanita bukan Muhrim.”(A.Shihabuddin. Telaah Kritis atas Doktrin paham
Salafi/Wahabi.[3]------

Dari berbagai mazhab para ulama diatas dapat kita lihat ada persamaan dan perbedaan
pandangan dari setiap ulama.

Namun untuk saat ini orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan
muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramahan dan kesopanan
yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan
lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang
lain (kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-
habisnya, yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani
perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syari’at
Islam.

B. Fenomena yang ada di tempat pelayanan kesehatan saat ini

Dalam ilmu kedokteran / kesehatan untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit, dokter perlu
melaksanakan pemeriksaan pada pasien seluruh tubuhnya, baik diluar, maupun dari dalam,
sehingga pada umumnya pasien harus bersedia menanggalkan pakaiannya. Pemeriksaan
dilakukan oleh dokter di ruang pemeriksaan, di mana dokter dapat memeriksa pasien dengan
leluasa tanpa dapat dilihat dan didengar oleh orang lain. Dokter dan tenaga para medis
diwajibkan secara etis memelihara kehormatan manusia, baik dalam ruang pemeriksaan,
maupun dalam ruang perawatan[4].

Dalam prakteknya di tempat pelayanan itu sendiri banyak sekali kondisi yang membuat
interaksi antara tenaga medis dengan pasiennya yang kadang membuat kita bertanya mengenai
hal tersebut dalam pandangan Islam seperti yang telah kita bahas pada bagian A sebelumnya.
Adapun prosedur-prosedur yang sering dilaksanakan dalam tahap pemeriksaan di Rumah Sakit
atau tempat pelayanan kesehatan lain tersebut antara lain:

a. Mengambil anamnesa (riwayat penyakit)

Pasien diharapkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter secara jujur dan
jelas, karena kadang –kadang pasien tidak ingin menceritakan riwayat penyakitnya karena
merasa malu.

b. Melakukan inspeksi

Inspeksi ini sudah dilakukan sejak pasien memasuki kamar kerja dokter, cara dia berjalan,
normal atau dipapah, napas sesak, kemudian bentuk badan,emosionalnya,dan lain-lain

c. Melakukan palpasi

Yaitu meraba tubuh dengan telapak tangan. Untuk ini perlulah pasien diminta untuk membuka
pakaiannya terutama bagian atas, kalau nanti ternyata diperlukan pemeriksaan yang lebih
lengkap barulah si pasien diminta untuk membuka celana, gune pemeriksaan dalam, baik
melalui vagina maupun anus (dubur).

d. Melakukan perkusi

Yaitu dengan memukulkan jari tengah kanan diatas jari tengah tangan kiri yang diletakkan
dibagian atas tubuh yang diperiksa. Pada perkusi akan menimbulkan suara sehingga dapat
ditentukan batas konfigurasi jantung, paru- paru dan sebagainya. Apakah ada cairan di rongga
dada atau pada rongga perut.

e. Melakukan aukultasi
Dengan alat pendengar stetoskop dokter dapat mendengar bunyi-bunyi udara di dalam paru-
paru, baik yang normal maupun yang tidak normal, bunyi jantung yang normal dan yang tidak
normal, bunyi bising, bunyi gerakan usus dan sebagainya.

f. Pemeriksaan Pelengkap

Dilakukan dengan alat-alat seperti Reflek hamer dan Elektro Cardiograf, alat yang untuk
mencatataktivitas jantung yang mengungkapkan peristiwa- peristiwa abnormal yang tidak
diketahui dengan cara-cara diatas.

g. Pemeriksaan Laboratorium

Permeriksaan darah untuk mengetahui sel-sel darah, berbagai macam zat-zat dalam darah
seperti gula, empedu , kolesterol, asam urat, dan sebagainya.

Pendek kata dengan berbagai cara pemeriksaan ini dokter mendapat bahan- bahan dalam
menegakkan suatu diagnosa penyakit.

Yang jelas ialah bahwa dalam pemeriksaan ini:

i. Dokter dan pasien berada berduaan di dalam suatu ruangan.

ii. Dokter melihat dan meraba sebagian atau seluruh badan penderita, termasuk bagian
auratnya.

iii. Dokter yang memeriksa dapat sejenis dengan penderita yaitu dokter laki-laki memeriksa
penderita laki-laki atau tidak sejenis yaitu dokter wanita memeriksa penderita laki-laki dan
sebaliknya.[5]

Tidak hanya itu, dalam pelayanan kesehatan masih banyak sekali tindakan medis yang
membuat antara tenaga medis dan petugas kesehatan terjadi interaksi yang “melanggar” aturan
agama yang telah kita bahas sebelumnya pada bagian A. Contohnya seperti tindakan operasi.
Tidak jarang para dokter atau pun perawatnya yang berlawanan jenis dengan pasien. Belum
lagi jika yang dilakukan operasi adalah bagian vital dari pasien. Seperti operasi pengangkatan
rahim ataupun operasi kanker payudara. Atau tindakan pemasangan kateter( pemasangan suatu
alat ke bagian alat pengeluaran urin untuk mempermudah pasien
buang air kecil). Dan disini lah terlihat sekali peran tenaga medis yang membuat mereka harus
melihat bahkan memegang alat kelamin pasiennya, dan tidak jarang pula yang melakukan itu
adalah tenaga medis yang bukan muhrim dengan pasiennya.

Belum lagi pada kasus dokter kandungan yang dokternya adalah seorang laki-laki. Dalam
pemeriksaannya maupun proses kelahiran itu dokter tersebut akan sering berinteraksi dengan
kliennya,yaitu para wanita. Dan mungkin masih banyak fenomena lain di tempat pelayanan
kesehatan yang melibatkan interaksi antara tenaga medis atau para medis dengan pasiennya
yang bukan muhrim.

C. pandangan islam terhadap fenomena dalam dunia kesehatan

Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang lainnya, karena
Allah sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di jelaskan Allah dalam surat
Al Isra’ :70.

Maka dokter maupun paramedis haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada pasien, segala
tindakan yang harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan atas keyakinan.

Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka dokter berkhalwat,
melihat aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan hanya didasarkan pada keadaan
darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul fiqh yang berbunyi : yang darurat dapat
membolehkan yang dilarang.

Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa
dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran).
Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi
mubah’.[6]

Berbicara mengenai kaidah fiqhiyyah tentang darurat maka terdapat dua kaidah yaitu kaidah
pokok dan kaidah cabang. Kaidah pokok disini menjelaskan bahwa kemudharatan harus
dilenyapkan yang bersumber dari Q.S Al- Qashash : 77), contohnya meminum khamar dan zat
adiktif lainnya yang dapat merusak akal, menghancurkan potensi sosio ekonomi, bagi
peminumnya kan menurunkan produktivitasnya. Demikian pula menghisap rokok, disamping
merusak diri penghisapnya juga mengganggu orang lain disekitarnya. Para ulama
menganggap keadaan darurat sebagai suatu kesempitan, dan jika kesempitan itu datang agama
justru memberikan keluasan. [7]

Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan. Umumnya
darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada
alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya.

Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya sewaktu dokter
memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun dari tenaga medis itu
sendiri.[8]

Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien perempuan diperiksa oleh
dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki. Karena dalam dunia
kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh dunia, di mana terjadi praktek
asusila baik yang tak sejenis hetero seksual, maupun yang sejenis homoseksual antara dokter
dan pasien.[9]

Dalam batas-batas tertentu, mayoritas ulama memperbolehakan berobat kepada lawan jenis
jika sekiranya yang sejenis tidak ada, dengan syarat ditunggui oleh mahram atau orang yang
sejenis. Alasannya, karena berobat hukumnya hanya sunnah dan bersikap pasrah (tawakkal)
dinilai sebagai suatu keutamaan (fadlilah). Ulama sepakat bahawa pembolehan yang
diharamkan dalam keadaan darurat, termasuk pembolehan melihat aurat orang lain,ada
batasnya yang secara umum ditegaskan dalam al-qur’an ( Q.S Al-baqarah : 173; Al-an’am :
145 ;An-nahl : 115) dengan menjauhi kezaliman dan lewat batas.[10]

Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang sangat diperlukan, karena itu,
bagian tubuh yang lain yang tidak terkait langsung tetap berlaku ketentuan umum tidak boleh
melihatnya. Namun, untuk meminimalisir batasan darurat dalam pemeriksaan oleh lawan jenis
sebagai upaya sadd al-Dzari’at (menutup jalan untuk terlaksananya kejahatan), disarankan
disertai mahram dan prioritas diobati oleh yang sejenis.

Pembolehan dan batasan kebolehanya dalam keadaan darurat juga banyak disampaikan oleh
tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama mazhab hanbali menyatakan boleh bagi
dokter/ tabib laki-laki melihat aurat pasien lain jenis yang bukan mahram khusus pada bagian
tubuh yang menuntut untuk itu termasuk aurat
vitalnya, demikian pula sebaliknya, dokter wanita boleh melihat aurat pasien laki-laki yang
bukan mahramnya dengan alasan tuntutan.[11]

Di Indonesia, dalam fatwa MPKS disebutkan, tidak dilarang melihat aurat perempuan sakit
oleh seorang dokter laki-laki untuk keperluan memeriksa dan mengobati penyakitnya. Seluruh
tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki, bahkan hingga genetalianya, tetapi jika
pemeriksaan dan pengobatan itu telah mengenai genitalian dan sekitarnya maka perlu ditemani
oleh seorang anggota keluarga laki-laki yang terdekat atau suaminya. Jadi, kebolehan berobat
kepada lain jenis dopersyaratkan jika yang sejenis tidak ada. Dalam hal demikian, dianjurakan
bagi pasien untuk menutup bagian tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter atau yang
sejenisnya harus membatasi diri tidak melihat organ pasien yang tidak berkaitan langsung[12].

D. Kode etik kedokteran dan sifat-sifat yang harus dimiliki tenaga medis

Yang dimaksud dengan tenaga medik, ialah para dokter, sedang tenaga para medik ialah
perawat, bidan, laboran dan sebaginya. Mereka merupakan manusia-manusia yang mempunyai
keahlian yang terdidik dalam mengobati penyakit, dan merawat penderita, tingkah laku mereka
yang baik dapat mempercepat kesembuhan. Haruslah ada hubungan kejiwaan yang akrab
antara mereka dan penderita. Islam mengajarkan supaya usaha mulia ini haruslah didasarkan
atas iman dan pengbdian diri kepada-Nya.[13]

1. Sumpah Dokter dan Etika Kedokteran

Sejak permulaan sejarah umat manusia, orang sudah mengenal hubungan kepercayaan antara
dua insane yaitu si penderita dan sang pengobat, yang pada zaman modern ini disebut sebagai
hubungan dokter dengan pasien.

Rumusan-rumusan disiplin untuk para dokter itu mula pertama dikenal sebagai “Sumpah
Hippocrates”. Sumpah Hippocrates itu mengandung 6 buah nasehat atau peringatan yaitu :

a. mengajarkan ilmu kedokteran kepada mereka yang berhak menerimanya.

b. mempraktikkan ilmu kedokteran hanya untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi


pasien.

c. tidak mengerjakan sesuatu yang berbahaya bagi pasien.


d. tidak melakukan keguguran buatan yang bersifat kejahatan.

e. menyerahkan perasat-perasat tertentu kepada teman-teman sejawat ahli dalam lapangan yang
bersangkutan.

f. Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau godaan yang mungkin
timbul dalam mengerjakan praktik kedokteran.

g. Hidup dalam keadaan suci dan sopan santun. h. Memelihara rahasia jabatan.

Setiap nasihat dan peringatan tersebut diatas adalah dasar dari pada susila kedokteran dewasa
ini.[14]

Pada kode etik kedokteran terdapat point-point pada tiap-tiap babnya yaitu antara lain;
kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap team sejawat,
dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.

Dalam kode etik kedokteran ( Islamic code of medical Etyhics), yang merupakan hasil dari
First international conferenceon Islamic Medicine yang diselenggarakan pada 6-10 Rabi’al
awwal 1401 M di Kuwait dan selajutnya disepakati sebagai kode etik kedokteran islam,
dirumuskan beberapa karakteristik yang semestinya dimiliki oelh dokter muslim (tenaga
kesehatan umumnya). Isi kode etik kedokteran islam tersebut terdiri atas dua belas pasal.
Rinciannya disebutkan : Pertama, definisi profesi kedokteran. Kedua, ciri-ciri para dokter.
Ketiga, hubungan dokter dengan dokter. Keempat, hubungan dokter dengan pasien. Kelima,
rahasia profesi. Keenam, peranan dokter di masa perang. Ketujuh, taggung jawab dan
pertanggungjawaban. Kedelapan, kesucian jiwa manusia. Kesembilan, dokter dan masyarakat.
Kesepuluh, dokter dan kemajuan biomedis modern. Kesebelas, pendidikan kedokteran.
Keduabelas, sumpah dokter.[15]

Melihat bagaimana besarnya amal dan pengabdian yang diberikan oleh dokter dan tenaa para
medik, maka islam menganjurkan beberapa sifat-sifat yang harus dipunyai antara lain :

1. Beriman

Sebab tanpa iman segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga para medis akan hilang sia-sia
dimata Allah. (Q.S Al ashr : 1-3)
2. Tulus-ikhlas karena Allah (Q.S Al-bayyinah :5) 3. penyantun

Artinya ikut merasakan penderitaan orang lain dan Karena itu suka menolong orang lain dalam
kesukaran. (Q.S Al-baqarah : 263)

4. Peramah

Bergaul dengan tidak kaku dan menyenangkan. (Q.S Ali Imran : 159)

5. Sabar

Tidak lekas emosionil dan lekas marahQ.S Asy syura :43)

6. Tenang

Tidak gugup betapa pun keadaan gawat. (Dalam sabda Rasulullah : “Tetaplah kamu bersikap
tenang” riwayat At thabrani dan Bhaiqi)

7. Teliti

Berhati-hati, cermat dan rapi

8. Tegas

Terang,nyata, dan tidak ragu-ragu. 9. Patuh pada peraturan

Suka menurut perintah

10. bersih, apik , suci. (Q.S At taubah : 108) 11. Penyimpan rahasia (Q.S An-nisa 148)

12. dapat dipercaya (Q.S Al mu’minun : 1-11) 13. bertanggung jawab (Q.S Al isra’ : 36)[16]

Di dalam literatur lain, terdapat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang tenaga
kesehatan, khususnya dokter adalah menurut Ja’far Khadim Yamani, ilmu kedokteran dapat
dikatan islami, mempersyaratkan dengan 9 karakteristik, yaitu : pertama, dokter harus
mesngobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Al-
Qur’an. Kedua, tidak menggunakan bahan haram atau dicampur dengan unsure haram. Ketiga,
dalam pengobatan tidak boleh mengakibatkan mencacatkan tubuh pasien, kecuali sudah tidak
ada alternative lain. Keempat, pengobatannya tidak berbau takhayyul, khurafat, atau bid’ah.
Kelima, hanya dilakukan oleh tenaga medis yang ,menguasai di bidang medis. Keenam, dokter
memiliki sikap-sikap terpuji, tidak pemilik rasa iri, riya, tkabbur, senang merendahkan orang
lain, serta sikap hina lainnya. Ketujuh, harus berpenampilan rapid an bersih. Kedelapan,
lembaga-lembaga pelayanan kesehatan mesti bersikap simpatik. Kesembilan, menjauhkan dan
menjaga diri dari pengaruh atau lambing-lambang non-islami. [17]

Disamping itu menurut Dr. Zuhair Ahmad al- Sibai dan Dr. Muhammad ‘ali al-Ba dalam
karyanya Al-Thabib, Adabu wa Fiqhuh (dokter, Etika, dan Fiqih Kedokteran), antara lain
dikemukan bahawa dokter muslim harus berkeyakinan atas kehormatan profesi , menjernihkan
nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai, menggunaka metode ilmiah dalam berfikir, kasih
sayang,benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas diri.[18]

a. Berkeyakinan dan kehormatan atas profesi

Bahwa profesi kedokteran adalah salah satu profesi yang sangat mulia tapi tergantung dengan
dua syarat, yaitu :

- dilakukan dengan sngguh-sumngguh dan dengan penuh keikhlasan

- menjaga akhlak mulia dalamperilaku dan tindakan-tindakan sebagai dokter

Disamping itu, dokter selalu menjadi tumpuan pasien, keluarga, masyarakat , bahkan bangsa.
Mengingat kedudukan profesi kedokteran tersebut, seharusnya dalam menjalankan profesinya
tidak hanya berfikir tentang materi tetapi lebih kepada pengabdian dan perbaikan umat.
Keyakinan akan kehormatan profesi tersebut merupakan motivator untuk memelihara akhlak
yang baik dalam hubungannya dengan masyarakat.

b. berusaha menjernihkan jiwa

Kejernihan jiwa akan menentukan kualitas perbuatan manusia secara keseluruhan, jika
seseorang termasuk dokter hatinya jernih maka perbuatan akan selalu positif.

c. lebih mendalami ilmu yang dikuasai

Dalam hadist nabi disebutkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban sepanjang hidup.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu pengetahuan iytu dari hari ke hari selalu mengalami
perkembangan. Karena itu, agar setiap dokter tidak ketinggalan informasi dan ilmu
pengetahuan dan lebih mendalami bidang profesinya, maka dituntut untuk selalu belajar.
Dalam islam sangat ditekankan dalam mengamalkan segala sesuatu agar dilakukan secara
professional dan penuh ketelitian.

d. Menggunakan metode ilmiah dalam berfikir

Bagi dokter muslim diharuskan dalam berfikir menggunakan metode ilmiah sesuai dengan
kaidah logika ilmiah sebagaimana terjabar dalam disiplin ilmu kedokteran modern. Ajaran
islam sangat menekankan agar berfikir atau merenung terhadap berbagai sebab, tujuannya agar
mendapat keyakinan yang benar.

e. Memiliki rasa cinta kasih

Rasa cinta kasih adalah cahaya yang timbul dari hati yang terdalam, dia akan dapat menyinari
orang lain, alam semesta dan segala sesuatu. Cahaya itu kemudian memantul kepada dirinya
sendirinya dan melimpah kepadanya kejernihan, kerelaan, dan kemantapan.

f. Keharusan Brsikap Benar dan Jujur

Benar dan jujur bagi seorang dokter yang selalu berkomunikasi dengan masyarakat merupakan
keharusan agar mendapat kepercayaan dari pasien dan masyarakat. Yang dimaksud dengan
benar dan jujur disini adalah sifat yang komprehensif mempunyai banyak makna, termasuk
menepati janji dan menunaikan amanah. Al-qur’an sangat menekankan sikap benar dan jujur,
diantaranya terdapat dalam firman Allah SWT ( Q.S At-taubat : 119)

g. Berendah hati (tawadhu)

Setiap orang, terutama orang yang melayani kepentingan umum termasuk dokter dituntut
bersifat rendah hati. Sifat yang sering membuat seseorang dijauhi dalam pergaulan biasanya
karena kesombongan dan keangkuhan. Kesombongan dan keangkuhan biasanya lahir karena
ada perasaan, ilmu, atau pengaruhnya. Ajaran islam sangat mengecam perbuatan angkuh dan
sombong. Disisi lain dijelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat ornag yang
merendahkan diri (tawadhu).

h. keadilan dan keseimbangan

dokter termasuk orang yang banyak berurusan dengan masalah manusia dan kemanusiaan.
Kehidupan seseorang termasuk dokter sangat ditentukan oleh kualitas hubungan dengan
masyarakat itu. Ajaran islam sangat menganjurkan untuk berperilaku adil dan
berkeseimbangan dalam berbagai urusan, tidak berkelebihan atau over acting dalam gaya
hidup, khususnya dalam masalah tarif praktek,dan bayaran seghingga mengurangi dan
menodaiprinsip-prinsip yang mesti dijunjung tinggi sebagai pelayan masyarakat.

i. Mawas diri

Mengingat tugas dokter melayani masyarakat dan tanggung jawab menyangkut nyawa dan
keselamatan seseorang. Mereka sering menjadi sasaran tuduhan, itu dsebabkan adanya
anggapan masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah ornag yang paling mengetahui
rahasia kehidupan dan kematian. Dengan senantiasa mawas diri, seorang dokter muslim akan
sadar atas segala kekurangannya sehingga di masa mendatang akan memperbaikinya, juga akan
terhindar dari berbagai sifat tercela lain seperti sombong, riya, angkuh, dan lainnya.

j. ikhlas, penyantun, ramah, sabar, dan tenang.

Dokter muslim juga harus ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya, semua dilakukan sebagai
ibadah untuk mencari ridha Allah. Berbuat ikhlas sangat dituntut dalam islam, sebagai mana
dinyatakan dalam Al-Qur’an (Q.S Al-Bayyinat:5).

Dokter muslim juga dituntut penyantun, ikut merasakan penderitaan orang lain sehingga
berkeinginan untuk menolongnya. Dokter muslim juga dituntut ramah, bergaul dengan luwes,
dan menyenangkan. Juga dituntuk bersikap sabar, tidak emosional dan lekas marah, tenang
penyantun, ramah, sebagaimana dianjurkan dalam ayat Al-Qur’an (Q.S ali imran: 159)[19]

Dokter muslim juga dituntut bersikap tenang, tidak gugup dalam menghadapi segawat apapun.

Demikianlah konsep tenaga kesehatan muslim khususnya untuk dokter yang dapat
mencerminkan nilai-nilai islam sesungguhnya. Diharapkan dengan mengetahui nilai-

[1] Salafytobat, Bersentuhan dengan wanita, bacaan alfatihah, haji/umrah, gerakan jari shalat
(Jakarta, 2008)

[2] AMR abdul Mun’im. 30 Larangan agama bagi wanita (Jakarta, 1998). Hal 42.

[3] Salafytobat, Bersentuhan dengan wanita, bacaan alfatihah, haji/umrah, gerakan jari shalat
(Jakarta, 2008)
[4] Dr. H. .Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 113

[5] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 114-117.

[6] A. sihabuddin. Telaah kritis atas doktris faham salafi/wahabi (www.google.com , 2009) [7]
Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.

108.

[8] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 122.

[9] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995),
hal. 122 dan 125.

[10] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
130.

[11] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
132.

[12] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
133.

[13] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta,
1995), hal. 89.

[14] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta,
1995), hal. 91-92.

[15] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal.
88.

[16] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta,
1995), hal. 97-108.
[17] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal.
87-88.

[18] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal.
90.

[19] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal.

Anda mungkin juga menyukai