Assalamu’alaikum….
Alhamdulillah untuk pertama kalinya Liza bisa ngePOsting sesuatu d BLOG liza
ini..hehehe.. maklum rada sibuk..halah…kyak apa aj..
Semoga apa yang Liza tulis ini bias memberikan suatu gambaran kepada semuanya
tentang judul yang liza angkat yaitu Pandangan Islam dalam Pelayanan Kesehatan…
insyaAllah jadi bahan pemikiran kita juga kedepannya,khususnya untuk tenaga
kesehatan ^_^
Latar Belakang
Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini mencoba untuk membahas
mengenai dilema yang ada ini. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa Islam
merupakan agama yang rahmatan lil alamin serta tsabat wa muruna dan Al-basathah
yaitu perpaduan antara tetap dan menerima perubahan.
A. Perintah islam untuk menjaga diri dan hijabnya
terhadap non muhrim
Dienul Islam adalah sebuah agama yang mengatur segala seluk beluk yang
ada di kehidupan manusia dan semua ciptaan Allah. Adapun yang termasuk yang
dibahas adalah mengenai hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lain. Di dalam agama ini diatur bagaimana hubungan antar seorang wanita dan laki-
laki selayaknya menurut pandangan Islam.
Adapun perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara
lelaki dan wanita pada (QS. Al-Ahzab : 53). Kalau ada sebuah keperluan terhadap
lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas
Banyak pendapat dari berbagai ulama mengenai hubungan antara laki-laki dan
wanita ini, antara lain:
Asy Syaikh berkata, Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan
perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman
dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai
syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.)
maka KEHARAMAN berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua
syarat ini tidak terpenuhi - YAITU TIADANYA SYAHWAT DAN AMAN DARI
FITNAH – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti
bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka
berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.Bahkan berjabat tangan dengan
anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang
disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang
terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan TIDAK BAIK hal ini
diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat,
mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang
menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat
atau tidak mempunyai hubungan yang erat). Dan yang lebih utama bagi seorang
muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – IALAH TIDAK
MEMULAI BERJABAT TANGAN DENGAN LAIN JENIS. Tetapi, apabila diajak
berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.[1]
Tidak hanya itu, dalam islam juga melarang agar kaum muslimin tidak
berdua-duan (LARANGAN BERKHALWAT) seperti yang dijelaskan sebagai
berikut:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berpidato: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan)
dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah
seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Tiba-tiba seorang lelaki
bangkit berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku pergi untuk
menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kewajiban mengikuti peperangan ini
dan itu. Beliau bersabda: “Berangkatlah untuk berhaji bersama isterimu”. [Bukhari,
Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]
Hendaklah para muslimah tidak duduk-duduk dengan lelaki lain, hanya untuk
sekedar ngobrol tanpa ada maksud dan tujuan tertentu. Duduk-duduk yang
diperbolehkan hanya bila ada kebutuhan yang bersifat syar’I (dibolehkan agama).[2]
“Madzhab Hanafi :
Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim,
sekalipun aman dari syahwat.
Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-
Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata
tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
Madzhab Maliki:
Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-
Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.
Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat
Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita
(bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki lagi keinginan (hasrat)
kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir IV/760].
Madzhab Syafi’i :
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para sahabat kami
(dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat,
maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi
urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita
yang bukan muhrimnya pada saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada
saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut
di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk
menyentuhnya”.
Madzhab Hanbali:
Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan
bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan
(tidak dibolehkan).
Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan
dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.
Dari berbagai mazhab para ulama diatas dapat kita lihat ada persamaan dan
perbedaan pandangan dari setiap ulama.
Namun untuk saat ini orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan
dengan yang bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai,
padahal keramahan dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah
terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita
sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang
sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang
penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani
perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh
syari’at Islam.
Dalam prakteknya di tempat pelayanan itu sendiri banyak sekali kondisi yang
membuat interaksi antara tenaga medis dengan pasiennya yang kadang membuat kita
bertanya mengenai hal tersebut dalam pandangan Islam seperti yang telah kita bahas
pada bagian A sebelumnya. Adapun prosedur-prosedur yang sering dilaksanakan
dalam tahap pemeriksaan di Rumah Sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain
tersebut antara lain:
b. Melakukan inspeksi
c. Melakukan palpasi
Yaitu meraba tubuh dengan telapak tangan. Untuk ini perlulah pasien
diminta untuk membuka pakaiannya terutama bagian atas, kalau nanti
ternyata diperlukan pemeriksaan yang lebih lengkap barulah si pasien
diminta untuk membuka celana, gune pemeriksaan dalam, baik
melalui vagina maupun anus (dubur).
d. Melakukan perkusi
Yaitu dengan memukulkan jari tengah kanan diatas jari tengah tangan
kiri yang diletakkan dibagian atas tubuh yang diperiksa. Pada perkusi
akan menimbulkan suara sehingga dapat ditentukan batas konfigurasi
jantung, paru-paru dan sebagainya. Apakah ada cairan di rongga dada
atau pada rongga perut.
e. Melakukan aukultasi
f. Pemeriksaan Pelengkap
g. Pemeriksaan Laboratorium
ii. Dokter melihat dan meraba sebagian atau seluruh badan penderita,
termasuk bagian auratnya.
iii. Dokter yang memeriksa dapat sejenis dengan penderita yaitu dokter
laki-laki memeriksa penderita laki-laki atau tidak sejenis yaitu
dokter wanita memeriksa penderita laki-laki dan sebaliknya.[5]
Tidak hanya itu, dalam pelayanan kesehatan masih banyak sekali tindakan
medis yang membuat antara tenaga medis dan petugas kesehatan terjadi interaksi
yang “melanggar” aturan agama yang telah kita bahas sebelumnya pada bagian A.
Contohnya seperti tindakan operasi. Tidak jarang para dokter atau pun perawatnya
yang berlawanan jenis dengan pasien. Belum lagi jika yang dilakukan operasi adalah
bagian vital dari pasien. Seperti operasi pengangkatan rahim ataupun operasi kanker
payudara. Atau tindakan pemasangan kateter( pemasangan suatu alat ke bagian alat
pengeluaran urin untuk mempermudah pasien buang air kecil). Dan disini lah terlihat
sekali peran tenaga medis yang membuat mereka harus melihat bahkan memegang
alat kelamin pasiennya, dan tidak jarang pula yang melakukan itu adalah tenaga
medis yang bukan muhrim dengan pasiennya.
Belum lagi pada kasus dokter kandungan yang dokternya adalah seorang laki-
laki. Dalam pemeriksaannya maupun proses kelahiran itu dokter tersebut akan sering
berinteraksi dengan kliennya,yaitu para wanita. Dan mungkin masih banyak
fenomena lain di tempat pelayanan kesehatan yang melibatkan interaksi antara tenaga
medis atau para medis dengan pasiennya yang bukan muhrim.
C. pandangan islam terhadap fenomena dalam dunia
kesehatan
Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada
kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan
kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat
menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’.[6]
Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya
sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun
dari tenaga medis itu sendiri.[8]
Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien
perempuan diperiksa oleh dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh
dokter laki-laki. Karena dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita
bertebaran di seluruh dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang tak sejenis
hetero seksual, maupun yang sejenis homoseksual antara dokter dan pasien.[9]
Yang dimaksud dengan tenaga medik, ialah para dokter, sedang tenaga para
medik ialah perawat, bidan, laboran dan sebaginya. Mereka merupakan manusia-
manusia yang mempunyai keahlian yang terdidik dalam mengobati penyakit, dan
merawat penderita, tingkah laku mereka yang baik dapat mempercepat kesembuhan.
Haruslah ada hubungan kejiwaan yang akrab antara mereka dan penderita. Islam
mengajarkan supaya usaha mulia ini haruslah didasarkan atas iman dan pengbdian
diri kepada-Nya.[13]
1. Sumpah Dokter dan Etika Kedokteran
Setiap nasihat dan peringatan tersebut diatas adalah dasar dari pada susila
kedokteran dewasa ini.[14]
Pada kode etik kedokteran terdapat point-point pada tiap-tiap babnya
yaitu antara lain; kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap pasien,
kewajiban dokter terhadap team sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri.
1. Beriman
Sebab tanpa iman segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga
para medis akan hilang sia-sia dimata Allah. (Q.S Al ashr : 1-3)
4. Peramah
5. Sabar
6. Tenang
7. Teliti
8. Tegas
Di dalam literatur lain, terdapat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang
tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah menurut Ja’far Khadim Yamani, ilmu
kedokteran dapat dikatan islami, mempersyaratkan dengan 9 karakteristik, yaitu :
pertama, dokter harus mesngobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Kedua, tidak menggunakan bahan haram atau
dicampur dengan unsure haram. Ketiga, dalam pengobatan tidak boleh
mengakibatkan mencacatkan tubuh pasien, kecuali sudah tidak ada alternative lain.
Keempat, pengobatannya tidak berbau takhayyul, khurafat, atau bid’ah. Kelima,
hanya dilakukan oleh tenaga medis yang ,menguasai di bidang medis. Keenam,
dokter memiliki sikap-sikap terpuji, tidak pemilik rasa iri, riya, tkabbur, senang
merendahkan orang lain, serta sikap hina lainnya. Ketujuh, harus berpenampilan rapid
an bersih. Kedelapan, lembaga-lembaga pelayanan kesehatan mesti bersikap
simpatik. Kesembilan, menjauhkan dan menjaga diri dari pengaruh atau lambing-
lambang non-islami.[17]
Disamping itu menurut Dr. Zuhair Ahmad al- Sibai dan Dr. Muhammad ‘ali
al-Ba dalam karyanya Al-Thabib, Adabu wa Fiqhuh (dokter, Etika, dan Fiqih
Kedokteran), antara lain dikemukan bahawa dokter muslim harus berkeyakinan atas
kehormatan profesi , menjernihkan nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai,
menggunaka metode ilmiah dalam berfikir, kasih sayang,benar dan jujur, rendah hati,
bersahaja dan mawas diri.[18]
a. Berkeyakinan dan kehormatan atas profesi
Bahwa profesi kedokteran adalah salah satu profesi yang sangat mulia tapi
tergantung dengan dua syarat, yaitu :
Rasa cinta kasih adalah cahaya yang timbul dari hati yang terdalam, dia
akan dapat menyinari orang lain, alam semesta dan segala sesuatu. Cahaya itu
kemudian memantul kepada dirinya sendirinya dan melimpah kepadanya
kejernihan, kerelaan, dan kemantapan.
Benar dan jujur bagi seorang dokter yang selalu berkomunikasi dengan
masyarakat merupakan keharusan agar mendapat kepercayaan dari pasien dan
masyarakat. Yang dimaksud dengan benar dan jujur disini adalah sifat yang
komprehensif mempunyai banyak makna, termasuk menepati janji dan
menunaikan amanah. Al-qur’an sangat menekankan sikap benar dan jujur,
diantaranya terdapat dalam firman Allah SWT ( Q.S At-taubat : 119)
dokter termasuk orang yang banyak berurusan dengan masalah manusia dan
kemanusiaan. Kehidupan seseorang termasuk dokter sangat ditentukan oleh
kualitas hubungan dengan masyarakat itu. Ajaran islam sangat menganjurkan
untuk berperilaku adil dan berkeseimbangan dalam berbagai urusan, tidak
berkelebihan atau over acting dalam gaya hidup, khususnya dalam masalah
tarif praktek,dan bayaran seghingga mengurangi dan menodaiprinsip-prinsip
yang mesti dijunjung tinggi sebagai pelayan masyarakat.
i. Mawas diri
Dokter muslim juga dituntut bersikap tenang, tidak gugup dalam menghadapi
segawat apapun.