Anda di halaman 1dari 21

Pandangan Islam dalam Pelayanan Kesehatan

Assalamu’alaikum….

Alhamdulillah untuk pertama kalinya Liza bisa ngePOsting sesuatu d BLOG liza
ini..hehehe.. maklum rada sibuk..halah…kyak apa aj..

Semoga apa yang Liza tulis ini bias memberikan suatu gambaran kepada semuanya
tentang judul yang liza angkat yaitu Pandangan Islam dalam Pelayanan Kesehatan…
insyaAllah jadi bahan pemikiran kita juga kedepannya,khususnya untuk tenaga
kesehatan ^_^

Latar Belakang

Tempat pelayanan kesehatan merupakan salah satu tempat umum dimana


seluruh kalangan masyarakat akan berinteraksi disana. Diantaranya seperti Rumah
sakit, Puskesmas, Klinik, dan lain-lain. Rumah sakit (hospital) adalah sebuah institusi
perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat,
dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Beberapa pasien bisa hanya datang untuk
diagnosis atau terapi ringan untuk kemudian meminta perawatan jalan, atau bisa pula
meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Rumah sakit dibedakan
dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya memberikan diagnosa dan perawatan
medis secara menyeluruh kepada pasien.

Di tempat pelayanan kesehatan seperti itulah batasan antara laki-laki dan


perempuan menurut islam akan dikesampingkan. Maksudnya dikesampingkan pada
kalimat barusan adalah kaburnya hijab antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim ini. Dapat kita lihat di tempat pelayanan kesehatan bahwa baik dokter,
perawat ataupun petugas pelayanan kesehatan lainnya akan melakukan berbagai
interaksi dengan pasien. Tindakan-tindakan tersebut merupakan serangkaian prosedur
yang mesti dijalani menurut profesi masing-masing. Diantaranya seperti dokter atau
perawat yang harus melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasiennya yang pastinya
harus menyentuh tubuh pasien, melakukan injeksi (suntikan) dibagian tertentu yang
kadang harus mmbuat pasienmembuka pakaiannya. Tidak hanya itu, bahkan kadang
dokter atau perawat harus memegang alat vital dari kliennya untuk brbagi keperluan
seperti pada pemasangan kateter atau operasi pada bagian tersebut yang tidak jarang
bahwa petugas medis yang berlainan jenis kelaminlah yang melakukan tindakan
tersebut.

Sedangkan yang kita ketahui bahwa islam melarang hamba-hambaNya untuk


menjaga dirinya dari orang yang bukan muhrimnya. Selain itu juga dikuatkan oleh
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Andaikan ditusukkan ke kepala
salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik
daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya". [Thabrani
dalam Kitab Al-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan]. Jadi sebenarnya
bagaimanakah pandangan islam mengenai fenomena yang ada di tempat pelayanan
kesehatan ini. Suatu kondisi yang sangat tidak mungkin untuk ditinggalkan sebab
keurgentannya. Lalu bagaimana pula sosok seorang tenaga medis dan para medis
yang seharusnya agar dalam menjalankan tugasnya tetap berjalan pada syariat agama
Islam dan benar-benar akan mendatang kan kemaslahatan bagi para pasien yang
datang untuk berobat di tempat pelayanan kesehatan tersebut. Serta bagaimana pula
peran serta dari lembaga berwenang kedokteran menyikapi aturan yang sesuai dengan
syariat islam ini.

Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini mencoba untuk membahas
mengenai dilema yang ada ini. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa Islam
merupakan agama yang rahmatan lil alamin serta tsabat wa muruna dan Al-basathah
yaitu perpaduan antara tetap dan menerima perubahan.
A. Perintah islam untuk menjaga diri dan hijabnya
terhadap non muhrim

Dienul Islam adalah sebuah agama yang mengatur segala seluk beluk yang
ada di kehidupan manusia dan semua ciptaan Allah. Adapun yang termasuk yang
dibahas adalah mengenai hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lain. Di dalam agama ini diatur bagaimana hubungan antar seorang wanita dan laki-
laki selayaknya menurut pandangan Islam.

Adapun perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara
lelaki dan wanita pada (QS. Al-Ahzab : 53). Kalau ada sebuah keperluan terhadap
lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas

Banyak pendapat dari berbagai ulama mengenai hubungan antara laki-laki dan
wanita ini, antara lain:

Asy Syaikh berkata, Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan
perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman
dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai
syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.)
maka KEHARAMAN berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua
syarat ini tidak terpenuhi - YAITU TIADANYA SYAHWAT DAN AMAN DARI
FITNAH – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti
bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka
berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.Bahkan berjabat tangan dengan
anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang
disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang
terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan TIDAK BAIK hal ini
diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat,
mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang
menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat
atau tidak mempunyai hubungan yang erat). Dan yang lebih utama bagi seorang
muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – IALAH TIDAK
MEMULAI BERJABAT TANGAN DENGAN LAIN JENIS. Tetapi, apabila diajak
berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.[1]

Dari Ma'qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah


Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: "Andaikan ditusukkan ke kepala salah
seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia
harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam
KitabAl-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan].

Dari ‘Aisyah ia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membai’at para


perempuan dengan perkataan. Tidak pernah tangan Rasulullah SAW memegang
tangan para perempuan, kecuali tangan perempuan yang telah menjadi miliknya
(artinya perempuan yang telah dinikahinya = istri Nabi). [Bukhari]

Tidak hanya itu, dalam islam juga melarang agar kaum muslimin tidak
berdua-duan (LARANGAN BERKHALWAT) seperti yang dijelaskan sebagai
berikut:

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berpidato: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan)
dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah
seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Tiba-tiba seorang lelaki
bangkit berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku pergi untuk
menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kewajiban mengikuti peperangan ini
dan itu. Beliau bersabda: “Berangkatlah untuk berhaji bersama isterimu”. [Bukhari,
Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]

Hendaklah para muslimah tidak duduk-duduk dengan lelaki lain, hanya untuk
sekedar ngobrol tanpa ada maksud dan tujuan tertentu. Duduk-duduk yang
diperbolehkan hanya bila ada kebutuhan yang bersifat syar’I (dibolehkan agama).[2]

Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar


diantaranya:

“Madzhab Hanafi :

 Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim,
sekalipun aman dari syahwat.

 Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-
Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata
tidak halal sekalipun aman dari syahwat.

Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem- bangkitkan


syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu ash-Shana`i']

Madzhab Maliki:

 Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-
Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.

Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat
Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
 Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita
(bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki lagi keinginan (hasrat)
kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir IV/760].

Madzhab Syafi’i :

 Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama


as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim.

 Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram,


maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat .” [Roudhotu
ath-Thalilibin VII/28].

 Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para sahabat kami
(dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat,
maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi
urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita
yang bukan muhrimnya pada saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada
saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut
di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk
menyentuhnya”.

Madzhab Hanbali:

 Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan
bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”

 Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua:

Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan
(tidak dibolehkan).
Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan
dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.

 Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: “Aku pernah


bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. ” Apakah anda membenci jabat tangan dengan
kaum wanita (non muhrim)?”" Beliau menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il
Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang
mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan Muhrim.”(A.Shihabuddin.
Telaah Kritis atas Doktrin paham Salafi/Wahabi.[3]------

Dari berbagai mazhab para ulama diatas dapat kita lihat ada persamaan dan
perbedaan pandangan dari setiap ulama.

Namun untuk saat ini orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan
dengan yang bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai,
padahal keramahan dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah
terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita
sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang
sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang
penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani
perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh
syari’at Islam.

B. Fenomena yang ada di tempat pelayanan kesehatan saat


ini

Dalam ilmu kedokteran / kesehatan untuk menegakkan diagnosa suatu


penyakit, dokter perlu melaksanakan pemeriksaan pada pasien seluruh tubuhnya, baik
diluar, maupun dari dalam, sehingga pada umumnya pasien harus bersedia
menanggalkan pakaiannya. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter di ruang pemeriksaan,
di mana dokter dapat memeriksa pasien dengan leluasa tanpa dapat dilihat dan
didengar oleh orang lain. Dokter dan tenaga para medis diwajibkan secara etis
memelihara kehormatan manusia, baik dalam ruang pemeriksaan, maupun dalam
ruang perawatan[4].

Dalam prakteknya di tempat pelayanan itu sendiri banyak sekali kondisi yang
membuat interaksi antara tenaga medis dengan pasiennya yang kadang membuat kita
bertanya mengenai hal tersebut dalam pandangan Islam seperti yang telah kita bahas
pada bagian A sebelumnya. Adapun prosedur-prosedur yang sering dilaksanakan
dalam tahap pemeriksaan di Rumah Sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain
tersebut antara lain:

a. Mengambil anamnesa (riwayat penyakit)

Pasien diharapkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan


dokter secara jujur dan jelas, karena kadang –kadang pasien tidak
ingin menceritakan riwayat penyakitnya karena merasa malu.

b. Melakukan inspeksi

Inspeksi ini sudah dilakukan sejak pasien memasuki kamar kerja


dokter, cara dia berjalan, normal atau dipapah, napas sesak, kemudian
bentuk badan,emosionalnya,dan lain-lain

c. Melakukan palpasi

Yaitu meraba tubuh dengan telapak tangan. Untuk ini perlulah pasien
diminta untuk membuka pakaiannya terutama bagian atas, kalau nanti
ternyata diperlukan pemeriksaan yang lebih lengkap barulah si pasien
diminta untuk membuka celana, gune pemeriksaan dalam, baik
melalui vagina maupun anus (dubur).
d. Melakukan perkusi

Yaitu dengan memukulkan jari tengah kanan diatas jari tengah tangan
kiri yang diletakkan dibagian atas tubuh yang diperiksa. Pada perkusi
akan menimbulkan suara sehingga dapat ditentukan batas konfigurasi
jantung, paru-paru dan sebagainya. Apakah ada cairan di rongga dada
atau pada rongga perut.

e. Melakukan aukultasi

Dengan alat pendengar stetoskop dokter dapat mendengar bunyi-bunyi


udara di dalam paru-paru, baik yang normal maupun yang tidak
normal, bunyi jantung yang normal dan yang tidak normal, bunyi
bising, bunyi gerakan usus dan sebagainya.

f. Pemeriksaan Pelengkap

Dilakukan dengan alat-alat seperti Reflek hamer dan Elektro


Cardiograf, alat yang untuk mencatataktivitas jantung yang
mengungkapkan peristiwa-peristiwa abnormal yang tidak diketahui
dengan cara-cara diatas.

g. Pemeriksaan Laboratorium

Permeriksaan darah untuk mengetahui sel-sel darah, berbagai macam


zat-zat dalam darah seperti gula, empedu , kolesterol, asam urat, dan
sebagainya.

Pendek kata dengan berbagai cara pemeriksaan ini dokter mendapat


bahan-bahan dalam menegakkan suatu diagnosa penyakit.
Yang jelas ialah bahwa dalam pemeriksaan ini:

i. Dokter dan pasien berada berduaan di dalam suatu ruangan.

ii. Dokter melihat dan meraba sebagian atau seluruh badan penderita,
termasuk bagian auratnya.

iii. Dokter yang memeriksa dapat sejenis dengan penderita yaitu dokter
laki-laki memeriksa penderita laki-laki atau tidak sejenis yaitu
dokter wanita memeriksa penderita laki-laki dan sebaliknya.[5]

Tidak hanya itu, dalam pelayanan kesehatan masih banyak sekali tindakan
medis yang membuat antara tenaga medis dan petugas kesehatan terjadi interaksi
yang “melanggar” aturan agama yang telah kita bahas sebelumnya pada bagian A.
Contohnya seperti tindakan operasi. Tidak jarang para dokter atau pun perawatnya
yang berlawanan jenis dengan pasien. Belum lagi jika yang dilakukan operasi adalah
bagian vital dari pasien. Seperti operasi pengangkatan rahim ataupun operasi kanker
payudara. Atau tindakan pemasangan kateter( pemasangan suatu alat ke bagian alat
pengeluaran urin untuk mempermudah pasien buang air kecil). Dan disini lah terlihat
sekali peran tenaga medis yang membuat mereka harus melihat bahkan memegang
alat kelamin pasiennya, dan tidak jarang pula yang melakukan itu adalah tenaga
medis yang bukan muhrim dengan pasiennya.

Belum lagi pada kasus dokter kandungan yang dokternya adalah seorang laki-
laki. Dalam pemeriksaannya maupun proses kelahiran itu dokter tersebut akan sering
berinteraksi dengan kliennya,yaitu para wanita. Dan mungkin masih banyak
fenomena lain di tempat pelayanan kesehatan yang melibatkan interaksi antara tenaga
medis atau para medis dengan pasiennya yang bukan muhrim.
C. pandangan islam terhadap fenomena dalam dunia
kesehatan

Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang


lainnya, karena Allah sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di
jelaskan Allah dalam surat Al Isra’ :70.

Maka dokter maupun paramedis haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada


pasien, segala tindakan yang harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan
atas keyakinan.

Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka


dokter berkhalwat, melihat aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan
hanya didasarkan pada keadaan darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul
fiqh yang berbunyi : yang darurat dapat membolehkan yang dilarang.

Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada
kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan
kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat
menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’.[6]

Berbicara mengenai kaidah fiqhiyyah tentang darurat maka terdapat dua


kaidah yaitu kaidah pokok dan kaidah cabang. Kaidah pokok disini menjelaskan
bahwa kemudharatan harus dilenyapkan yang bersumber dari Q.S Al- Qashash : 77),
contohnya meminum khamar dan zat adiktif lainnya yang dapat merusak akal,
menghancurkan potensi sosio ekonomi, bagi peminumnya kan menurunkan
produktivitasnya. Demikian pula menghisap rokok, disamping merusak diri
penghisapnya juga mengganggu orang lain disekitarnya. Para ulama menganggap
keadaan darurat sebagai suatu kesempitan, dan jika kesempitan itu datang agama
justru memberikan keluasan. [7]
Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan.
Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan
menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko
fitnah dan sebagainya.

Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya
sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun
dari tenaga medis itu sendiri.[8]

Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien
perempuan diperiksa oleh dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh
dokter laki-laki. Karena dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita
bertebaran di seluruh dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang tak sejenis
hetero seksual, maupun yang sejenis homoseksual antara dokter dan pasien.[9]

Dalam batas-batas tertentu, mayoritas ulama memperbolehakan berobat


kepada lawan jenis jika sekiranya yang sejenis tidak ada, dengan syarat ditunggui
oleh mahram atau orang yang sejenis. Alasannya, karena berobat hukumnya hanya
sunnah dan bersikap pasrah (tawakkal) dinilai sebagai suatu keutamaan (fadlilah).
Ulama sepakat bahawa pembolehan yang diharamkan dalam keadaan darurat,
termasuk pembolehan melihat aurat orang lain,ada batasnya yang secara umum
ditegaskan dalam al-qur’an ( Q.S Al-baqarah : 173; Al-an’am :145 ;An-nahl : 115)
dengan menjauhi kezaliman dan lewat batas.[10]

Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang sangat


diperlukan, karena itu, bagian tubuh yang lain yang tidak terkait langsung tetap
berlaku ketentuan umum tidak boleh melihatnya. Namun, untuk meminimalisir
batasan darurat dalam pemeriksaan oleh lawan jenis sebagai upaya sadd al-Dzari’at
(menutup jalan untuk terlaksananya kejahatan), disarankan disertai mahram dan
prioritas diobati oleh yang sejenis.
Pembolehan dan batasan kebolehanya dalam keadaan darurat juga banyak
disampaikan oleh tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama mazhab hanbali
menyatakan boleh bagi dokter/ tabib laki-laki melihat aurat pasien lain jenis yang
bukan mahram khusus pada bagian tubuh yang menuntut untuk itu termasuk aurat
vitalnya, demikian pula sebaliknya, dokter wanita boleh melihat aurat pasien laki-laki
yang bukan mahramnya dengan alasan tuntutan.[11]

Di Indonesia, dalam fatwa MPKS disebutkan, tidak dilarang melihat aurat


perempuan sakit oleh seorang dokter laki-laki untuk keperluan memeriksa dan
mengobati penyakitnya. Seluruh tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki,
bahkan hingga genetalianya, tetapi jika pemeriksaan dan pengobatan itu telah
mengenai genitalian dan sekiatarnya maka perlu ditemani oleh seorang anggota
keluarga laki-laki yang terdekat atau suaminya. Jadi, kebolehan berobat kepada lain
jenis dopersyaratkan jika yang sejenis tidak ada. Dalam hal demikian, dianjurakan
bagi pasien untuk menutup bagian tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter
atau yang sejenisnya harus membatasi diri tidak melihat organ pasien yang tidak
berkaitan langsung[12].

D. Kode etik kedokteran dan sifat-sifat yang harus dimiliki


tenaga medis

Yang dimaksud dengan tenaga medik, ialah para dokter, sedang tenaga para
medik ialah perawat, bidan, laboran dan sebaginya. Mereka merupakan manusia-
manusia yang mempunyai keahlian yang terdidik dalam mengobati penyakit, dan
merawat penderita, tingkah laku mereka yang baik dapat mempercepat kesembuhan.
Haruslah ada hubungan kejiwaan yang akrab antara mereka dan penderita. Islam
mengajarkan supaya usaha mulia ini haruslah didasarkan atas iman dan pengbdian
diri kepada-Nya.[13]
1. Sumpah Dokter dan Etika Kedokteran

Sejak permulaan sejarah umat manusia, orang sudah mengenal


hubungan kepercayaan antara dua insane yaitu si penderita dan sang
pengobat, yang pada zaman modern ini disebut sebagai hubungan dokter
dengan pasien.

Rumusan-rumusan disiplin untuk para dokter itu mula pertama dikenal


sebagai “Sumpah Hippocrates”. Sumpah Hippocrates itu mengandung 6
buah nasehat atau peringatan yaitu :

a. mengajarkan ilmu kedokteran kepada mereka yang berhak menerimanya.

b. mempraktikkan ilmu kedokteran hanya untuk memberi manfaat sebanyak-


banyaknya bagi pasien.

c. tidak mengerjakan sesuatu yang berbahaya bagi pasien.

d. tidak melakukan keguguran buatan yang bersifat kejahatan.

e. menyerahkan perasat-perasat tertentu kepada teman-teman sejawat ahli dalam


lapangan yang bersangkutan.

f. Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau godaan


yang mungkin timbul dalam mengerjakan praktik kedokteran.

g. Hidup dalam keadaan suci dan sopan santun.

h. Memelihara rahasia jabatan.

Setiap nasihat dan peringatan tersebut diatas adalah dasar dari pada susila
kedokteran dewasa ini.[14]
Pada kode etik kedokteran terdapat point-point pada tiap-tiap babnya
yaitu antara lain; kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap pasien,
kewajiban dokter terhadap team sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri.

Dalam kode etik kedokteran ( Islamic code of medical Etyhics), yang


merupakan hasil dari First international conferenceon Islamic Medicine yang
diselenggarakan pada 6-10 Rabi’al awwal 1401 M di Kuwait dan selajutnya
disepakati sebagai kode etik kedokteran islam, dirumuskan beberapa
karakteristik yang semestinya dimiliki oelh dokter muslim (tenaga kesehatan
umumnya). Isi kode etik kedokteran islam tersebut terdiri atas dua belas pasal.
Rinciannya disebutkan : Pertama, definisi profesi kedokteran. Kedua, ciri-ciri
para dokter. Ketiga, hubungan dokter dengan dokter. Keempat, hubungan
dokter dengan pasien. Kelima, rahasia profesi. Keenam, peranan dokter di
masa perang. Ketujuh, taggung jawab dan pertanggungjawaban. Kedelapan,
kesucian jiwa manusia. Kesembilan, dokter dan masyarakat. Kesepuluh,
dokter dan kemajuan biomedis modern. Kesebelas, pendidikan kedokteran.
Keduabelas, sumpah dokter.[15]

Melihat bagaimana besarnya amal dan pengabdian yang diberikan oleh


dokter dan tenaa para medik, maka islam menganjurkan beberapa sifat-sifat
yang harus dipunyai antara lain :

1. Beriman

Sebab tanpa iman segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga
para medis akan hilang sia-sia dimata Allah. (Q.S Al ashr : 1-3)

2. Tulus-ikhlas karena Allah (Q.S Al-bayyinah :5)


3. penyantun

Artinya ikut merasakan penderitaan orang lain dan Karena itu


suka menolong orang lain dalam kesukaran. (Q.S Al-baqarah :
263)

4. Peramah

Bergaul dengan tidak kaku dan menyenangkan. (Q.S Ali Imran :


159)

5. Sabar

Tidak lekas emosionil dan lekas marahQ.S Asy syura :43)

6. Tenang

Tidak gugup betapa pun keadaan gawat. (Dalam sabda


Rasulullah : “Tetaplah kamu bersikap tenang” riwayat At
thabrani dan Bhaiqi)

7. Teliti

Berhati-hati, cermat dan rapi

8. Tegas

Terang,nyata, dan tidak ragu-ragu.

9. Patuh pada peraturan

Suka menurut perintah


10. bersih, apik , suci. (Q.S At taubah : 108)

11. Penyimpan rahasia (Q.S An-nisa 148)

12. dapat dipercaya (Q.S Al mu’minun : 1-11)

13. bertanggung jawab (Q.S Al isra’ : 36)[16]

Di dalam literatur lain, terdapat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang
tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah menurut Ja’far Khadim Yamani, ilmu
kedokteran dapat dikatan islami, mempersyaratkan dengan 9 karakteristik, yaitu :
pertama, dokter harus mesngobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Kedua, tidak menggunakan bahan haram atau
dicampur dengan unsure haram. Ketiga, dalam pengobatan tidak boleh
mengakibatkan mencacatkan tubuh pasien, kecuali sudah tidak ada alternative lain.
Keempat, pengobatannya tidak berbau takhayyul, khurafat, atau bid’ah. Kelima,
hanya dilakukan oleh tenaga medis yang ,menguasai di bidang medis. Keenam,
dokter memiliki sikap-sikap terpuji, tidak pemilik rasa iri, riya, tkabbur, senang
merendahkan orang lain, serta sikap hina lainnya. Ketujuh, harus berpenampilan rapid
an bersih. Kedelapan, lembaga-lembaga pelayanan kesehatan mesti bersikap
simpatik. Kesembilan, menjauhkan dan menjaga diri dari pengaruh atau lambing-
lambang non-islami.[17]

Disamping itu menurut Dr. Zuhair Ahmad al- Sibai dan Dr. Muhammad ‘ali
al-Ba dalam karyanya Al-Thabib, Adabu wa Fiqhuh (dokter, Etika, dan Fiqih
Kedokteran), antara lain dikemukan bahawa dokter muslim harus berkeyakinan atas
kehormatan profesi , menjernihkan nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai,
menggunaka metode ilmiah dalam berfikir, kasih sayang,benar dan jujur, rendah hati,
bersahaja dan mawas diri.[18]
a. Berkeyakinan dan kehormatan atas profesi

Bahwa profesi kedokteran adalah salah satu profesi yang sangat mulia tapi
tergantung dengan dua syarat, yaitu :

- dilakukan dengan sngguh-sumngguh dan dengan penuh keikhlasan

- menjaga akhlak mulia dalamperilaku dan tindakan-tindakan sebagai dokter

Disamping itu, dokter selalu menjadi tumpuan pasien, keluarga, masyarakat ,


bahkan bangsa. Mengingat kedudukan profesi kedokteran tersebut, seharusnya
dalam menjalankan profesinya tidak hanya berfikir tentang materi tetapi lebih
kepada pengabdian dan perbaikan umat. Keyakinan akan kehormatan profesi
tersebut merupakan motivator untuk memelihara akhlak yang baik dalam
hubungannya dengan masyarakat.

b. berusaha menjernihkan jiwa

Kejernihan jiwa akan menentukan kualitas perbuatan manusia secara


keseluruhan, jika seseorang termasuk dokter hatinya jernih maka perbuatan akan
selalu positif.

c. lebih mendalami ilmu yang dikuasai

Dalam hadist nabi disebutkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban


sepanjang hidup. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu pengetahuan iytu dari
hari ke hari selalu mengalami perkembangan. Karena itu, agar setiap dokter
tidak ketinggalan informasi dan ilmu pengetahuan dan lebih mendalami
bidang profesinya, maka dituntut untuk selalu belajar. Dalam islam sangat
ditekankan dalam mengamalkan segala sesuatu agar dilakukan secara
professional dan penuh ketelitian.
d. Menggunakan metode ilmiah dalam berfikir

Bagi dokter muslim diharuskan dalam berfikir menggunakan metode


ilmiah sesuai dengan kaidah logika ilmiah sebagaimana terjabar dalam
disiplin ilmu kedokteran modern. Ajaran islam sangat menekankan agar
berfikir atau merenung terhadap berbagai sebab, tujuannya agar mendapat
keyakinan yang benar.

e. Memiliki rasa cinta kasih

Rasa cinta kasih adalah cahaya yang timbul dari hati yang terdalam, dia
akan dapat menyinari orang lain, alam semesta dan segala sesuatu. Cahaya itu
kemudian memantul kepada dirinya sendirinya dan melimpah kepadanya
kejernihan, kerelaan, dan kemantapan.

f. Keharusan Brsikap Benar dan Jujur

Benar dan jujur bagi seorang dokter yang selalu berkomunikasi dengan
masyarakat merupakan keharusan agar mendapat kepercayaan dari pasien dan
masyarakat. Yang dimaksud dengan benar dan jujur disini adalah sifat yang
komprehensif mempunyai banyak makna, termasuk menepati janji dan
menunaikan amanah. Al-qur’an sangat menekankan sikap benar dan jujur,
diantaranya terdapat dalam firman Allah SWT ( Q.S At-taubat : 119)

g. Berendah hati (tawadhu)

Setiap orang, terutama orang yang melayani kepentingan umum termasuk


dokter dituntut bersifat rendah hati. Sifat yang sering membuat seseorang
dijauhi dalam pergaulan biasanya karena kesombongan dan keangkuhan.
Kesombongan dan keangkuhan biasanya lahir karena ada perasaan, ilmu, atau
pengaruhnya. Ajaran islam sangat mengecam perbuatan angkuh dan sombong.
Disisi lain dijelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat ornag yang
merendahkan diri (tawadhu).

h. keadilan dan keseimbangan

dokter termasuk orang yang banyak berurusan dengan masalah manusia dan
kemanusiaan. Kehidupan seseorang termasuk dokter sangat ditentukan oleh
kualitas hubungan dengan masyarakat itu. Ajaran islam sangat menganjurkan
untuk berperilaku adil dan berkeseimbangan dalam berbagai urusan, tidak
berkelebihan atau over acting dalam gaya hidup, khususnya dalam masalah
tarif praktek,dan bayaran seghingga mengurangi dan menodaiprinsip-prinsip
yang mesti dijunjung tinggi sebagai pelayan masyarakat.

i. Mawas diri

Mengingat tugas dokter melayani masyarakat dan tanggung jawab


menyangkut nyawa dan keselamatan seseorang. Mereka sering menjadi
sasaran tuduhan, itu dsebabkan adanya anggapan masyarakat yang
menganggap bahwa mereka adalah ornag yang paling mengetahui rahasia
kehidupan dan kematian. Dengan senantiasa mawas diri, seorang dokter
muslim akan sadar atas segala kekurangannya sehingga di masa mendatang
akan memperbaikinya, juga akan terhindar dari berbagai sifat tercela lain
seperti sombong, riya, angkuh, dan lainnya.

j. ikhlas, penyantun, ramah, sabar, dan tenang.

Dokter muslim juga harus ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya, semua


dilakukan sebagai ibadah untuk mencari ridha Allah. Berbuat ikhlas sangat
dituntut dalam islam, sebagai mana dinyatakan dalam Al-Qur’an (Q.S Al-
Bayyinat:5).
Dokter muslim juga dituntut penyantun, ikut merasakan penderitaan orang
lain sehingga berkeinginan untuk menolongnya. Dokter muslim juga dituntut
ramah, bergaul dengan luwes, dan menyenangkan. Juga dituntuk bersikap
sabar, tidak emosional dan lekas marah, tenang penyantun, ramah,
sebagaimana dianjurkan dalam ayat Al-Qur’an (Q.S ali imran: 159)[19]

Dokter muslim juga dituntut bersikap tenang, tidak gugup dalam menghadapi
segawat apapun.

Demikianlah konsep tenaga kesehatan muslim khususnya untuk dokter yang


dapat mencerminkan nilai-nilai islam sesungguhnya. Diharapkan dengan
mengetahui nilai-

Anda mungkin juga menyukai