Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“ ADAB MENIKAH “

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah agama ll

Dosen pembimbing : herdiansyah, Lc,MA

KELOMPOK 4:

RIA AMELIA (301211010031)

GALIH RAKASIWI (301211010043)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNOVERSITAS


ISLAM INDRAGIRI
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang masalah

Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Wanita itu


dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan
agamanya. Namun dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian
adalah masalah agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan
selamat." (HR. Bukhari Muslim). 

Mencari pasangan hidup dalam Islam mempunyai pedoman tersendiri.


Ustadz Firman Arifandi, dalam bukunya "Serial Hadist Nikah 3 : Melamar
dan Melihat Calon Pasangan" mengatakan, menurut Imam al-Nawawi
bahwa maksud hadits ini adalah Nabi mengabarkan tentang apa yang
menjadi kebiasaan orang-orang yaitu dalam urusan pernikahan, di mana
mereka memandang dari empat perkara ini. Dan menjadikan perkara agama
sebagai kriteria terakhir. "Oleh karena itu pilihlah wanita karena agama yang
baik niscaya akan beruntung," katanya.   

Ustadz Firman mengatakan, kandungan hadits ini sama sekali tidak


bermakna bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk menikahi wanita
yang kaya, terpandang dan cantik sehingga menjadikan agama sebagai poin
terakhir dalam memilih. Hal ini sejalan dengan hadits yang melarang
menikahi seorang perempuan selain karena faktor agamanya. 
Perempuan boleh dipinang bilamana memenuhi dua syarat yaitu :

1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang


melarang dilangsungkannya pernikahan.

2. Belum dipinang orang lain secara sah.

Bilamana terdapat halangan-halangan hukum, seperti perempuan yang


haram untuk dikawin baik selamanya atau sementara ataupun telah dipinang
lebih dulu oleh orang lain, maka tidak boleh orang lain meminangnya,
adapun pendapat dari Imam Malik, beliau berpendapat tidak dibolehkannya
meminang pinangan orang lain atau saudaranya, dan apabila hal itu terjadi
maka akan berpengaruh pada keharaman seseorang yang meminang
pinangan saudaranya yang berarti ia telah menyerang hak dan menyakiti hati
peminang pertama, dan serta bisa memecah belah hubungan kekeluargaan
dan menganggu ketentraman dari saudaranya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal yang dirumuskan
tentang hukum peminangan yaitu:
Pasal 11 : Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh tetapi dapat pula
dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.

Pasal 12 : (1) Peminangan dilakukan terhadap seorang wanita yang masih


perawan atau janda yang telah habis masa ‘iddahnya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa
‘iddah Raj’i haram dan dilarang untuk dipinang.

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang


dipinang pria lain selama pinangan pria tersebut belum putus
atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

(4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan


tentang putusnya hubungan pinangan atau diam-diam pria yang
meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
dipinang.

Pasal 13 : (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak
bebas memutuskan hubungan peminangan.

(2)Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan


dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan agama dan
kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan
saling menghargai.

ADAB-ADAB PERNIKAHAN

1. DIANJURKAN KHUTBAH NIKAH


At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami
Tasyahhud dalam shalat dan Tasyahhud dalam suatu keperluan. Beliau bersabda:
‘Tasyahhud dalam shalat…’ dan ayat seterusnya hingga sampai pada kalimat,
“sedangkan tasyahhud dalam suatu keperluan ialah:
ِ ‫ فَالَ ُم‬-ُ‫َأيْ هللا‬- ْ‫ َم ْن يَ ْه ِدي‬،‫ت َأ ْع َمالِنَا‬
‫ َّل‬A‫ض‬ ِ ‫ َونَعُوْ ُذ بِاهللِ ِم ْن ُشرُوْ ِر َأ ْنفُ ِسنَـا َو َسيَِّئا‬،ُ‫ نَ ْست َِع ْينُهُ َونَ ْستَ ْغفِ ُره‬،ِ‫ِإ َّن ْال َح ْم َدهلل‬
ُ‫د َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُه‬Aُ َ‫ َوَأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوَأ ْشه‬،ُ‫ي لَه‬
َ ‫لَهُ َو َم ْن يُضْ لِلْ فَالَ هَا ِد‬.
Artinya: ‘Segala puji bagi Allah, kami memohon pertolongan dan me-mohon
ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami dan
keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk (oleh Allah),
maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya,
maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada
ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan aku bersaksi
bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.'”
Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu beliau membaca tiga ayat.” ‘Abtsar berkata, Sufyan
ats-Tsauri menafsirkannya sebagai:
َ‫م ُم ْسلِ ُمون‬Aُْ‫ق تُقَاتِ ِه َواَل تَ ُموتُ َّن ِإاَّل َوَأ ْنت‬
َّ ‫اتَّقُوا هَّللا َ َح‬
“Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali
‘Imran/3: 102].
‫َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي تَ َسا َءلُونَ بِ ِه َواَأْلرْ َحا َم ۚ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (pelihara-lah) hubungan silaturahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’/4: 1].
‫اتَّقُوا هَّللا َ َوقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا‬
“Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” [Al-
Ahzaab/33: 70].[1]

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia


menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ْس فِ ْيهَا تَ َشهُّ ٌد فَ ِه َي َك ْاليَ ِد ْال َج ْذمضا ِء‬ ْ ‫ ُكلُّ ُخ‬.
َ ‫طبَ ٍة لَي‬
‘Setiap khutbah yang di dalamnya tidak berisi Tasyahhud, maka itu seperti tangan
yang buntung.”[2]
Menurut sebagian ulama, nikah itu boleh (dilaksanakan) tanpa khutbah. Dan
yang menunjukkan kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari Isma’il bin Ibrahim, dari seseorang yang berasal dari Bani Sulaim, ia
mengatakan: “Aku meminang Umamah binti ‘Abdil Muththalib kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menikahkanku tanpa adanya khutbah.”[3]
Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h, mengomentari hadits Sahl
bin Sa’d as-Sa’idi Radhiyallahu anhu : “Tidak disyaratkan mengenai sahnya akad
pernikahan didahului dengan khutbah nikah.”

2. DIANJURKAN MENIKAH PADA BULAN SYAWWAL.


Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ummul
Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawwal dan tinggal bersamaku pada
bulan Syawwal. Lalu adakah di antara isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang lebih beruntung di sisi beliau daripada aku?”[4] An-Nawawi
rahimahullah berkata: “Hadits ini berisi anjuran menikah di bulan Syawwal.
‘Aisyah bermaksud -dengan ucapannya ini- menolak tradisi Jahiliyyah dan
anggapan mereka bahwa menikah pada bulan Syawwal tidak baik. Ini adalah bathil
yang tidak memiliki dasar. Mereka meramalkan demikian karena kata Syawwal
mengandung arti menanjak dan tinggi…”[5]
3.PENGANTIN WANITA BOLEH MEMINJAM PAKAIAN DAN PERHIASAN.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdul Wahid bin Aiman, ia mengatakan,
ayahku bercerita kepadaku, ia mengatakan: “Aku menemui ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma dan dia memakai pakaian terbuat dari katun tebal yang harganya lima
dirham, lalu dia mengatakan: ‘Angkatlah pandanganmu kepada sahaya wanitaku,
lihatlah ia, sebab ia merasa senang bila memakainya di rumah. Dahulu aku
mempunyai pakaian pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah
seorang wanita dirias untuk pernikahan di Madinah, melainkan ia datang kepadaku
untuk me-minjamnya.’”[6] Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h,
“Dalam hadits ini (menjelaskan) bahwa meminjam pakaian untuk pengantin wanita
adalah perkara yang diperintahkan serta dianjurkan, dan itu bukan dianggap
sebagai aib. Hadits ini berisi ketawadhuan ‘Aisyah, dan mengenai perangainya ini
cukup masyhur, serta kesantunan ‘Aisyah terhadap pembantunya.[7] Kita
memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi petunjuk kepada
wanita-wanita kita agar meminjam pakaian pengantin daripada berfoya-foya dan
membebani pengantin pria terhadap apa yang tidak sanggupi dipikulnya.

4. MENGUMUMKAN PERNIKAHAN DENGAN MEMUKUL REBANA.


Pengantin boleh memberi izin kepada para wanita dalam pernikahan untuk
memeriahkan pernikahan dengan memukul rebana saja dan nyanyian mubah yang
tidak menggambarkan kecantikan dan menyebut-nyebut kemesuman.[8] a. Hadits
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ar-Rabi’ binti Mu’awwadz bin ‘Afra’, ia
mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk masuk ketika aku
menikah, lalu beliau duduk di atas tempat tidurku seperti kamu duduk di dekatku.
[9] Lalu gadis-gadis kami memukul rebana dan mengenang kebaikan bapak-bapak
kami yang gugur dalam perang Badar. Ketika seorang dari mereka mengatakan,
‘Dan di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok’,
maka beliau bersabda: ‘Tinggalkan (perkataan) ini, dan ucapkanlah dengan apa
yang telah engkau ucapkan sebelumnya.'”[10] b. Dari ‘Aisyah, bahwa dia
membawa seorang wanita kepada seorang pria dari Anshar, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
‫م اللَّ ْه ُو؟‬Aُ ُ‫ْجبُه‬
ِ ‫ار يُع‬
َ ‫ص‬َ ‫ َما َكانَ َم َع ُك ْم لَ ْه ٌو؟ فَِإ َّن اَْأل ْن‬،ُ‫يَا عَاِئ َشة‬
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada nyanyian yang menyertai kalian? Sesungguhnya
kaum Anshar menyukai nyanyian?”[11] Dalam suatu riwayat lain (disebutkan)
dengan lafazh: Maka beliau bersabda: “Apakah kalian mengirimkan bersamanya
seorang gadis (kecil) untuk memukul rebana dan menyanyi?” Aku bertanya: “Ia
akan mengucapkan apa?” Beliau menjawab: “Ia mengucapkan: ‫م فَ َحيُّوْ نَـا‬Aْ ‫َأتَ ْينَـا ُك ْم َأتَ ْينَـا ُك‬
‫ار ْي ُك ْم‬ َّ ُ‫ة‬Aَ‫وْ الَ ْال ِح ْنط‬AAَ‫ َوا ِد ْي ُك ْم ل‬Aِ‫ت ب‬
ْ ‫ ِمن‬A‫ا َس‬AA‫ ْم َرا ُء َم‬A‫الس‬
ِ ‫ َذ‬A‫َت َع‬ ْ َّ‫ا َحل‬AA‫ ُر َم‬A‫ذهَبُ اَْألحْ َم‬A
َّ A‫وْ الَ ال‬AAَ‫ نُ َحيِّ ْي ُك ْم ل‬Kami datang
kepada kalian, kami datang kepada kalian Hormatilah kami, maka kami akan
menghormati kalian Seandainya bukan karena emas merah Niscaya kampung
kalian tidak mempesona Seandainya bukan karena gandum yang berwarna coklat
Niscaya gadis-gadis kalian tidak menjadi gemuk [12] c. Dari Abu Balj Yahya bin
Sulaim, ia mengatakan, Aku mengatakan kepada Muhammad bin Hathib: “Aku
menikahi dua wanita tanpa ada suara pada saat menikahi seorang dari keduanya -
yaitu suara rebana-.” Mendengar hal itu, Muhammad (bin Hathib) Radhiyallahu
anhu mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Yang
membedakan antara halal dan haram ialah, (memeriahkan pernikahan ) dengan
(memukul) rebana.’”[13] Baca Juga Aib Pada Wanita Yang Dinikahi Para ulama
berbeda pendapat mengenai pengertian suara, tapi hal ini dijelaskan oleh hadits
pertama yang disebutkan oleh Rabi’ binti Mu’awwadz, yang di dalamnya
disebutkan: “Lalu para gadis kecil kami menabuh rebana.” Al-Muhlib
Radhiyallahu anhu berkata, “Hadits ini mengizinkan untuk memeriahkan
pernikahan dengan rebana dan nyanyian yang mubah.” d. At-Tirmidzi
meriwayatkan dari Qarzhah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud al-Anshari, keduanya
mengatakan, “Sesungguhnya beliau memberi keringanan kepada kami untuk
bersenang-senang pada saat pesta pernikahan.”[14] Syaikh al-Albani rahimahullah
berkata, “Ini -wallaahu a’lam- adalah penafsiran terbaik tentang makna ‘suara’,
yaitu memukul rebana dan nyanyian yang mubah.” e. Ibnu Hibban meriwayatkan
dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin az-Zubair, dari ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, bahwa beliau bersabda: ‫ا َح‬A‫وا النِّ َك‬Aُ‫َأ ْعلِن‬. “Meriahkanlah pernikahan.”[15]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya tentang hukum menari di antara sesama wanita
dalam berbagai kegembiraan. Jawaban: “Aku menganggap ringan mengenai
menari di antara sesama wanita, mengingat hal ini masuk dalam perkara yang
diberi keringanan, yaitu bergembira dalam cara tersebut. Tetapi telah sampai
kepadaku bahwa di dalamnya terjadi berbagai ke-munkaran, maka karena itu, aku
memakruhkan tari-tarian.” [16] 5. ORANG YANG MENIKAH DISUNNAHKAN
BERDO’A MEMINTA KEBAIKAN DAN KEBERKAHAN. a. Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Tsabit, dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bekas warna kuning [17] pada
‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Ia menjawab:
“Sesungguhnya aku menikahi seorang wanita dengan mahar emas seberat biji.”
Beliau berucap: ‫ َأوْ لِ ْم َولَوْ بِ َشا ٍة‬، َ‫بَا َركَ هللاُ لَك‬. “Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah
walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.”[18] b. At-Tirmidzi
meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa apabila Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang oleh seseorang ketika menikah, maka
ِ ‫ا فِي ْالخَ ي‬AAA‫ َع بَ ْينَ ُك َم‬AAA‫ َو َج َم‬، َ‫ك‬AAA‫ا َركَ َعلَ ْي‬AAAَ‫ َوب‬، َ‫ك‬AAAَ‫ا َركَ هللاُ ل‬AAAَ‫ب‬. “Semoga Allah
beliau berucap: ‫ر‬AAAْ
memberkahimu, dan semoga memberkahi atasmu, serta mengumpulkan kalian
berdua dalam kebaikan.”[19] c. Ath-Thabrani meriwayatkan dari Buraidah
Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Segolongan orang Anshar berkata kepada
‘Ali, ‘Di sisimu ada Fathimah.’ Dia pun datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau bertanya:
‘Apa keperluan putera Abu Thalib?’ Dia menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku
teringat Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mendengar hal
itu, beliau berucap: ‘Marhaban wa Ahlan (selamat datang)!’ Beliau tidak
menambah dari kata-kata itu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib keluar untuk menemui
segolongan Anshar yang menantinya. Mereka bertanya: ‘Apa hasil yang engkau
bawa?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak tahu, selain ucapan beliau kepadaku: ‘Marhaban
wa Ahlan!’ Mereka mengatakan: ‘Sudah cukup bagimu dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam salah satu dari keduanya. Beliau memberimu ucapan selamat dan
keluasan.’ Kemudian setelah beliau menikahkannya (dengan puterinya, Fathimah),
beliau bersabda: ‘Wahai ‘Ali, untuk pernikahan itu harus ada walimah.’ Sa’ad
mengatakan: ‘Aku mempunyai seekor domba.’ Sedangkan segolongan dari Anshar
mengumpulkan beberapa gantang (sha’) gandum. Ketika malam pengantin, beliau
bersabda: ‘Jangan terjadi sesuatu, hingga engkau menemuiku.’ Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air untuk berwudhu’ dengannya, kemudian
menuangkannya pada ‘Ali seraya berucap: ‫ار ْك لَهُ َما فِ ْي بِنَـاِئ ِه َما‬ ِ َ‫اَللَّهُ َّم ب‬. ‘Ya
ِ َ‫ َوب‬،‫ـار ْك فِ ْي ِه َما‬
Allah, berkahilah keduanya dan berkahilah keduanya dalam percampuran
keduanya.’”[20] 6. DISUNNAHKAN BERDO’A SEBELUM BERDUAAN
DENGANNYA. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari
‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: : ْ‫ل‬AAُ‫ َو ْليَق‬،)‫ ِة‬A‫ع بِ ْالبَ َر َك‬ ُ ‫ ْد‬Aَ‫(و ْلي‬ ِ ‫ِإ َذا تَ َز َّو َج َأ َح ُد ُك ُم ا ْم َرَأةً َأ ِو ا ْشتَ َرى خَا ِد ًما (فَ ْليَْأ ُخ ْذ بِن‬
َ : َ‫ ِّم هللا‬A‫ َو ْلي َُس‬،)‫يَتِهَا‬A‫َاص‬
‫ ِه‬A‫ا َعلَ ْي‬AAَ‫رِّ َما َجبَ ْلتَه‬A‫رِّ هَا َو َش‬A‫ َوَأ ُعوْ ُذ بِكَ ِم ْن َش‬،‫اَللَّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ْسَألُكَ ِم ْن َخي ِْرهَا َو َخي ِْر َمـا َجبَ ْلتَهَا َعلَ ْي ِه‬. “Jika salah
seorang dari kalian menikahi wanita atau membeli pelayan (hamba sahaya), (maka
peganglah ubun-ubunnya), (dan sebutlah Nama Allah Azza wa Jalla), (dan
berdo’alah untuk meminta keberkahan), serta ucapkanlah: ‘Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan watak
yang telah Engkau jadikan padanya, serta aku berlindung kepada-Mu dari
keburukannya dan keburukan watak yang telah Engkau jadikan padanya.'” [21] 7.
KEDUA PENGANTIN BARU, DIANJURKAN MELAKSANAKAN SHALAT
DUA RAKAAT BERSAMA. a. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
‘Abdurrazzaq dari Abu Sa’ad, maula Abu Usaid, ia mengatakan: “Aku menikah
sedangkan aku seorang hamba sahaya, lalu aku memanggil sejumlah Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ialah Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr dan Abu
Hudzaifah. Lalu shalat didirikan. Ketika Abu Dzarr maju, mereka mengatakan:
‘Engkau saja!’ Ia bertanya: ‘Apa memang demikian?’ Mereka menjawab: ‘Ya.'[22]
Kemudian aku maju menjadi imam mereka, padahal aku hanyalah seorang hamba
sahaya, dan mereka mengajarkan kepadaku dengan per-nyataannya, ‘Jika isterimu
menemuimu, maka shalatlah dua rakaat. Kemudian mohonlah kepada Allah
kebaikan apa yang terdapat pada diri wanita tersebut dan berlindung-lah kepada
Allah dari keburukannya. Kemudian, setelah itu, urusanmu dengan isterimu.”[23]
b. Ibnu Abi Syaibah dan ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Syaqiq, ia mengatakan:
“Seseorang yang biasa dipanggil Abu Huraiz, datang lalu mengatakan: ‘Aku
menikah dengan seorang gadis dan aku khawatir dia membenciku.’ Mendengar hal
itu, ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) mengatakan: ‘Cinta itu berasal dari Allah, sedangkan
kebencian itu berasal dari syaitan yang bermaksud memasukkan rasa benci ke
dalam hatimu terhadap apa yang dihalalkan Allah. Jika dia (isterimu) datang
kepadamu, maka perintahkanlah untuk menunaikan shalat di belakangmu dua
rakaat.”[24] Dalam bab ini terdapat sejumlah hadits yang tidak luput dari komentar
dan pendapat, maka saya lebih memilih untuk tidak menyebutkannya. 8. SUAMI
WAJIB MENYAYANGI DAN BERSIKAP LEMAH LEMBUT,
SEBAGAIMANA DILAKUKAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA
SALLAM. Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Asma’ binti Yazid bin
as-Sakn, ia menuturkan: “Aku merias ‘Aisyah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kemudian aku datang kepada beliau lalu memanggil beliau supaya
melihat dandanannya. Beliau pun datang lalu duduk di sisinya. Beliau datang
membawa segelas susu lalu meminumnya, kemudian memberikan kepadanya, tapi
ia menundukkan kepalanya dan malu.” Asma’ melanjutkan: “Aku menegurnya dan
mengatakan kepadanya, ‘Ambillah dari tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Lalu ia mengambilnya dan meminumnya sedikit. Kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya: ‘Berikan kepada temanmu.’ Aku
mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, bahkan ambillah lalu minumlah darinya
kemudian berikan kepadaku dari tanganmu.’ Beliau mengambil lalu meminumnya
kemudian memberikannya kepadaku. Kemudian aku duduk, lalu meletakkannya di
atas kedua lututku. Kemudian aku segera (meminumnya, sambil) memutarnya
dengan menempelkan kedua bibirku, agar aku mengenai bekas minum Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada para wanita yang
berada di sisiku: ‘Berikan kepada mereka.’ Mereka menjawab: ‘Kami tidak
menginginkannya.’ Beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian menghimpun rasa lapar
dan dusta.'”[25]

II. RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang yang telah dipaparkan dapat dirumuskan inti
pokok masalah ini yaitu:
1. Dalam kondisi bagaimanakah seseorang dibolehkan meminang
pinangan orang ?
2. Bagaimana hukum yang digunakan dalam menentukan hukum
pinangan atas pinangan orang lain ?
III. TUJUAN

Anda mungkin juga menyukai