PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNOVERSITAS
ISLAM INDRAGIRI BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar belakang masalah
Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Wanita itu
dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Namun dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian adalah masalah agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat." (HR. Bukhari Muslim).
Mencari pasangan hidup dalam Islam mempunyai pedoman tersendiri.
Ustadz Firman Arifandi, dalam bukunya "Serial Hadist Nikah 3 : Melamar dan Melihat Calon Pasangan" mengatakan, menurut Imam al-Nawawi bahwa maksud hadits ini adalah Nabi mengabarkan tentang apa yang menjadi kebiasaan orang-orang yaitu dalam urusan pernikahan, di mana mereka memandang dari empat perkara ini. Dan menjadikan perkara agama sebagai kriteria terakhir. "Oleh karena itu pilihlah wanita karena agama yang baik niscaya akan beruntung," katanya.
Ustadz Firman mengatakan, kandungan hadits ini sama sekali tidak
bermakna bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk menikahi wanita yang kaya, terpandang dan cantik sehingga menjadikan agama sebagai poin terakhir dalam memilih. Hal ini sejalan dengan hadits yang melarang menikahi seorang perempuan selain karena faktor agamanya. Perempuan boleh dipinang bilamana memenuhi dua syarat yaitu :
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang
melarang dilangsungkannya pernikahan.
2. Belum dipinang orang lain secara sah.
Bilamana terdapat halangan-halangan hukum, seperti perempuan yang
haram untuk dikawin baik selamanya atau sementara ataupun telah dipinang lebih dulu oleh orang lain, maka tidak boleh orang lain meminangnya, adapun pendapat dari Imam Malik, beliau berpendapat tidak dibolehkannya meminang pinangan orang lain atau saudaranya, dan apabila hal itu terjadi maka akan berpengaruh pada keharaman seseorang yang meminang pinangan saudaranya yang berarti ia telah menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, dan serta bisa memecah belah hubungan kekeluargaan dan menganggu ketentraman dari saudaranya. Dalam Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal yang dirumuskan tentang hukum peminangan yaitu: Pasal 11 : Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
Pasal 12 : (1) Peminangan dilakukan terhadap seorang wanita yang masih
perawan atau janda yang telah habis masa ‘iddahnya. (2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa ‘iddah Raj’i haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang
dipinang pria lain selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
(4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan
tentang putusnya hubungan pinangan atau diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13 : (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2)Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan
dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
ADAB-ADAB PERNIKAHAN
1. DIANJURKAN KHUTBAH NIKAH
At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami Tasyahhud dalam shalat dan Tasyahhud dalam suatu keperluan. Beliau bersabda: ‘Tasyahhud dalam shalat…’ dan ayat seterusnya hingga sampai pada kalimat, “sedangkan tasyahhud dalam suatu keperluan ialah: ِ فَالَ ُم-َُأيْ هللا- ْ َم ْن يَ ْه ِدي،ت َأ ْع َمالِنَا َّلAض ِ َونَعُوْ ُذ بِاهللِ ِم ْن ُشرُوْ ِر َأ ْنفُ ِسنَـا َو َسيَِّئا،ُ نَ ْست َِع ْينُهُ َونَ ْستَ ْغفِ ُره،ِِإ َّن ْال َح ْم َدهلل ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهAُ َ َوَأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوَأ ْشه،ُي لَه َ لَهُ َو َم ْن يُضْ لِلْ فَالَ هَا ِد. Artinya: ‘Segala puji bagi Allah, kami memohon pertolongan dan me-mohon ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk (oleh Allah), maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.'” Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu beliau membaca tiga ayat.” ‘Abtsar berkata, Sufyan ats-Tsauri menafsirkannya sebagai: َم ُم ْسلِ ُمونAُْق تُقَاتِ ِه َواَل تَ ُموتُ َّن ِإاَّل َوَأ ْنت َّ اتَّقُوا هَّللا َ َح “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran/3: 102]. َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي تَ َسا َءلُونَ بِ ِه َواَأْلرْ َحا َم ۚ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (pelihara-lah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’/4: 1]. اتَّقُوا هَّللا َ َوقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا “Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” [Al- Ahzaab/33: 70].[1]
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ْس فِ ْيهَا تَ َشهُّ ٌد فَ ِه َي َك ْاليَ ِد ْال َج ْذمضا ِء ْ ُكلُّ ُخ. َ طبَ ٍة لَي ‘Setiap khutbah yang di dalamnya tidak berisi Tasyahhud, maka itu seperti tangan yang buntung.”[2] Menurut sebagian ulama, nikah itu boleh (dilaksanakan) tanpa khutbah. Dan yang menunjukkan kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Isma’il bin Ibrahim, dari seseorang yang berasal dari Bani Sulaim, ia mengatakan: “Aku meminang Umamah binti ‘Abdil Muththalib kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menikahkanku tanpa adanya khutbah.”[3] Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h, mengomentari hadits Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Radhiyallahu anhu : “Tidak disyaratkan mengenai sahnya akad pernikahan didahului dengan khutbah nikah.”
2. DIANJURKAN MENIKAH PADA BULAN SYAWWAL.
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawwal dan tinggal bersamaku pada bulan Syawwal. Lalu adakah di antara isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih beruntung di sisi beliau daripada aku?”[4] An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini berisi anjuran menikah di bulan Syawwal. ‘Aisyah bermaksud -dengan ucapannya ini- menolak tradisi Jahiliyyah dan anggapan mereka bahwa menikah pada bulan Syawwal tidak baik. Ini adalah bathil yang tidak memiliki dasar. Mereka meramalkan demikian karena kata Syawwal mengandung arti menanjak dan tinggi…”[5] 3.PENGANTIN WANITA BOLEH MEMINJAM PAKAIAN DAN PERHIASAN. Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdul Wahid bin Aiman, ia mengatakan, ayahku bercerita kepadaku, ia mengatakan: “Aku menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan dia memakai pakaian terbuat dari katun tebal yang harganya lima dirham, lalu dia mengatakan: ‘Angkatlah pandanganmu kepada sahaya wanitaku, lihatlah ia, sebab ia merasa senang bila memakainya di rumah. Dahulu aku mempunyai pakaian pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah seorang wanita dirias untuk pernikahan di Madinah, melainkan ia datang kepadaku untuk me-minjamnya.’”[6] Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h, “Dalam hadits ini (menjelaskan) bahwa meminjam pakaian untuk pengantin wanita adalah perkara yang diperintahkan serta dianjurkan, dan itu bukan dianggap sebagai aib. Hadits ini berisi ketawadhuan ‘Aisyah, dan mengenai perangainya ini cukup masyhur, serta kesantunan ‘Aisyah terhadap pembantunya.[7] Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi petunjuk kepada wanita-wanita kita agar meminjam pakaian pengantin daripada berfoya-foya dan membebani pengantin pria terhadap apa yang tidak sanggupi dipikulnya.
4. MENGUMUMKAN PERNIKAHAN DENGAN MEMUKUL REBANA.
Pengantin boleh memberi izin kepada para wanita dalam pernikahan untuk memeriahkan pernikahan dengan memukul rebana saja dan nyanyian mubah yang tidak menggambarkan kecantikan dan menyebut-nyebut kemesuman.[8] a. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ar-Rabi’ binti Mu’awwadz bin ‘Afra’, ia mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk masuk ketika aku menikah, lalu beliau duduk di atas tempat tidurku seperti kamu duduk di dekatku. [9] Lalu gadis-gadis kami memukul rebana dan mengenang kebaikan bapak-bapak kami yang gugur dalam perang Badar. Ketika seorang dari mereka mengatakan, ‘Dan di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok’, maka beliau bersabda: ‘Tinggalkan (perkataan) ini, dan ucapkanlah dengan apa yang telah engkau ucapkan sebelumnya.'”[10] b. Dari ‘Aisyah, bahwa dia membawa seorang wanita kepada seorang pria dari Anshar, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: م اللَّ ْه ُو؟Aُ ُْجبُه ِ ار يُع َ صَ َما َكانَ َم َع ُك ْم لَ ْه ٌو؟ فَِإ َّن اَْأل ْن،ُيَا عَاِئ َشة “Wahai ‘Aisyah, apakah ada nyanyian yang menyertai kalian? Sesungguhnya kaum Anshar menyukai nyanyian?”[11] Dalam suatu riwayat lain (disebutkan) dengan lafazh: Maka beliau bersabda: “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (kecil) untuk memukul rebana dan menyanyi?” Aku bertanya: “Ia akan mengucapkan apa?” Beliau menjawab: “Ia mengucapkan: م فَ َحيُّوْ نَـاAْ َأتَ ْينَـا ُك ْم َأتَ ْينَـا ُك ار ْي ُك ْم َّ ُةAَوْ الَ ْال ِح ْنطAAَ َوا ِد ْي ُك ْم لAِت ب ْ ِمنAا َسAA ْم َرا ُء َمAالس ِ َذAَت َع ْ َّا َحلAA ُر َمAذهَبُ اَْألحْ َمA َّ Aوْ الَ الAAَ نُ َحيِّ ْي ُك ْم لKami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian Hormatilah kami, maka kami akan menghormati kalian Seandainya bukan karena emas merah Niscaya kampung kalian tidak mempesona Seandainya bukan karena gandum yang berwarna coklat Niscaya gadis-gadis kalian tidak menjadi gemuk [12] c. Dari Abu Balj Yahya bin Sulaim, ia mengatakan, Aku mengatakan kepada Muhammad bin Hathib: “Aku menikahi dua wanita tanpa ada suara pada saat menikahi seorang dari keduanya - yaitu suara rebana-.” Mendengar hal itu, Muhammad (bin Hathib) Radhiyallahu anhu mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Yang membedakan antara halal dan haram ialah, (memeriahkan pernikahan ) dengan (memukul) rebana.’”[13] Baca Juga Aib Pada Wanita Yang Dinikahi Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian suara, tapi hal ini dijelaskan oleh hadits pertama yang disebutkan oleh Rabi’ binti Mu’awwadz, yang di dalamnya disebutkan: “Lalu para gadis kecil kami menabuh rebana.” Al-Muhlib Radhiyallahu anhu berkata, “Hadits ini mengizinkan untuk memeriahkan pernikahan dengan rebana dan nyanyian yang mubah.” d. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Qarzhah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud al-Anshari, keduanya mengatakan, “Sesungguhnya beliau memberi keringanan kepada kami untuk bersenang-senang pada saat pesta pernikahan.”[14] Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Ini -wallaahu a’lam- adalah penafsiran terbaik tentang makna ‘suara’, yaitu memukul rebana dan nyanyian yang mubah.” e. Ibnu Hibban meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin az-Zubair, dari ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: ا َحAوا النِّ َكAَُأ ْعلِن. “Meriahkanlah pernikahan.”[15] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya tentang hukum menari di antara sesama wanita dalam berbagai kegembiraan. Jawaban: “Aku menganggap ringan mengenai menari di antara sesama wanita, mengingat hal ini masuk dalam perkara yang diberi keringanan, yaitu bergembira dalam cara tersebut. Tetapi telah sampai kepadaku bahwa di dalamnya terjadi berbagai ke-munkaran, maka karena itu, aku memakruhkan tari-tarian.” [16] 5. ORANG YANG MENIKAH DISUNNAHKAN BERDO’A MEMINTA KEBAIKAN DAN KEBERKAHAN. a. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Tsabit, dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bekas warna kuning [17] pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku menikahi seorang wanita dengan mahar emas seberat biji.” Beliau berucap: َأوْ لِ ْم َولَوْ بِ َشا ٍة، َبَا َركَ هللاُ لَك. “Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.”[18] b. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang oleh seseorang ketika menikah, maka ِ ا فِي ْالخَ يAAA َع بَ ْينَ ُك َمAAA َو َج َم، َكAAAا َركَ َعلَ ْيAAAَ َوب، َكAAAَا َركَ هللاُ لAAAَب. “Semoga Allah beliau berucap: رAAAْ memberkahimu, dan semoga memberkahi atasmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”[19] c. Ath-Thabrani meriwayatkan dari Buraidah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Segolongan orang Anshar berkata kepada ‘Ali, ‘Di sisimu ada Fathimah.’ Dia pun datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau bertanya: ‘Apa keperluan putera Abu Thalib?’ Dia menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku teringat Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mendengar hal itu, beliau berucap: ‘Marhaban wa Ahlan (selamat datang)!’ Beliau tidak menambah dari kata-kata itu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib keluar untuk menemui segolongan Anshar yang menantinya. Mereka bertanya: ‘Apa hasil yang engkau bawa?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak tahu, selain ucapan beliau kepadaku: ‘Marhaban wa Ahlan!’ Mereka mengatakan: ‘Sudah cukup bagimu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satu dari keduanya. Beliau memberimu ucapan selamat dan keluasan.’ Kemudian setelah beliau menikahkannya (dengan puterinya, Fathimah), beliau bersabda: ‘Wahai ‘Ali, untuk pernikahan itu harus ada walimah.’ Sa’ad mengatakan: ‘Aku mempunyai seekor domba.’ Sedangkan segolongan dari Anshar mengumpulkan beberapa gantang (sha’) gandum. Ketika malam pengantin, beliau bersabda: ‘Jangan terjadi sesuatu, hingga engkau menemuiku.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air untuk berwudhu’ dengannya, kemudian menuangkannya pada ‘Ali seraya berucap: ار ْك لَهُ َما فِ ْي بِنَـاِئ ِه َما ِ َاَللَّهُ َّم ب. ‘Ya ِ َ َوب،ـار ْك فِ ْي ِه َما Allah, berkahilah keduanya dan berkahilah keduanya dalam percampuran keduanya.’”[20] 6. DISUNNAHKAN BERDO’A SEBELUM BERDUAAN DENGANNYA. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: : ْلAAُ َو ْليَق،) ِةAع بِ ْالبَ َر َك ُ ْدAَ(و ْلي ِ ِإ َذا تَ َز َّو َج َأ َح ُد ُك ُم ا ْم َرَأةً َأ ِو ا ْشتَ َرى خَا ِد ًما (فَ ْليَْأ ُخ ْذ بِن َ : َ ِّم هللاA َو ْلي َُس،)يَتِهَاAَاص ِهAا َعلَ ْيAAَرِّ َما َجبَ ْلتَهAرِّ هَا َو َشA َوَأ ُعوْ ُذ بِكَ ِم ْن َش،اَللَّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ْسَألُكَ ِم ْن َخي ِْرهَا َو َخي ِْر َمـا َجبَ ْلتَهَا َعلَ ْي ِه. “Jika salah seorang dari kalian menikahi wanita atau membeli pelayan (hamba sahaya), (maka peganglah ubun-ubunnya), (dan sebutlah Nama Allah Azza wa Jalla), (dan berdo’alah untuk meminta keberkahan), serta ucapkanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan watak yang telah Engkau jadikan padanya, serta aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang telah Engkau jadikan padanya.'” [21] 7. KEDUA PENGANTIN BARU, DIANJURKAN MELAKSANAKAN SHALAT DUA RAKAAT BERSAMA. a. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Abu Sa’ad, maula Abu Usaid, ia mengatakan: “Aku menikah sedangkan aku seorang hamba sahaya, lalu aku memanggil sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ialah Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr dan Abu Hudzaifah. Lalu shalat didirikan. Ketika Abu Dzarr maju, mereka mengatakan: ‘Engkau saja!’ Ia bertanya: ‘Apa memang demikian?’ Mereka menjawab: ‘Ya.'[22] Kemudian aku maju menjadi imam mereka, padahal aku hanyalah seorang hamba sahaya, dan mereka mengajarkan kepadaku dengan per-nyataannya, ‘Jika isterimu menemuimu, maka shalatlah dua rakaat. Kemudian mohonlah kepada Allah kebaikan apa yang terdapat pada diri wanita tersebut dan berlindung-lah kepada Allah dari keburukannya. Kemudian, setelah itu, urusanmu dengan isterimu.”[23] b. Ibnu Abi Syaibah dan ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Syaqiq, ia mengatakan: “Seseorang yang biasa dipanggil Abu Huraiz, datang lalu mengatakan: ‘Aku menikah dengan seorang gadis dan aku khawatir dia membenciku.’ Mendengar hal itu, ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) mengatakan: ‘Cinta itu berasal dari Allah, sedangkan kebencian itu berasal dari syaitan yang bermaksud memasukkan rasa benci ke dalam hatimu terhadap apa yang dihalalkan Allah. Jika dia (isterimu) datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk menunaikan shalat di belakangmu dua rakaat.”[24] Dalam bab ini terdapat sejumlah hadits yang tidak luput dari komentar dan pendapat, maka saya lebih memilih untuk tidak menyebutkannya. 8. SUAMI WAJIB MENYAYANGI DAN BERSIKAP LEMAH LEMBUT, SEBAGAIMANA DILAKUKAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM. Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Asma’ binti Yazid bin as-Sakn, ia menuturkan: “Aku merias ‘Aisyah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku datang kepada beliau lalu memanggil beliau supaya melihat dandanannya. Beliau pun datang lalu duduk di sisinya. Beliau datang membawa segelas susu lalu meminumnya, kemudian memberikan kepadanya, tapi ia menundukkan kepalanya dan malu.” Asma’ melanjutkan: “Aku menegurnya dan mengatakan kepadanya, ‘Ambillah dari tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu ia mengambilnya dan meminumnya sedikit. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya: ‘Berikan kepada temanmu.’ Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, bahkan ambillah lalu minumlah darinya kemudian berikan kepadaku dari tanganmu.’ Beliau mengambil lalu meminumnya kemudian memberikannya kepadaku. Kemudian aku duduk, lalu meletakkannya di atas kedua lututku. Kemudian aku segera (meminumnya, sambil) memutarnya dengan menempelkan kedua bibirku, agar aku mengenai bekas minum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada para wanita yang berada di sisiku: ‘Berikan kepada mereka.’ Mereka menjawab: ‘Kami tidak menginginkannya.’ Beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian menghimpun rasa lapar dan dusta.'”[25]
II. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah dipaparkan dapat dirumuskan inti pokok masalah ini yaitu: 1. Dalam kondisi bagaimanakah seseorang dibolehkan meminang pinangan orang ? 2. Bagaimana hukum yang digunakan dalam menentukan hukum pinangan atas pinangan orang lain ? III. TUJUAN