Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah HUKUM PERKAWINAN ISLAM 1.
Shalawat serta salam kita panjatkan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW., yang
telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan Sunnah sehingga membawa
kita dari alam kegelapan kepada alam yang penuh ilmu.
Seraya mengucapkan syukur Alhamdulillah, makalah yang berjudul
“KHITBAH/PEMINANGAN” ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.
Membahas tentang khitbah, ketika seseorang ingin melangsungkan pernikahan,
maka sebelumnya akan dilaksanakannya khitbah/peminangan. Namun, permasalahan
khitbah sering dianggap sepele oleh masyarakat tanpa mengacu kepada hukum-hukum
Islam yang ada.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini, kami selaku kelompok 2 akan membahas
mengenai pengertian khitbah, hukum khitbah, lafal khitbah, batasan aurat dalam
khitbah, wanita yang halal dan haram di khitbah, keabsahan mengkhitbah wanita yang
telah dikhitbah orang lain dan bagaimana hubungan antara khitbah dan tunangan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam
penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

1
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN HUKUM KHITBAH


Perkawinan dalam Islam dilaksanakan atas dasar suka sama suka dan
atas dasar kerelaan bukan paksaan. Prinsip perkawinan dalam Islam adalah
untuk selama hidup, bukan untuk sementara. Untuk mencapai prinsip tersebut
Islam mengatur adanya khitbah/peminangan sebelum pelaksanaan nikah, yaitu
seorang ikhwan menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi
calon istrinya.
Boleh dibilang khitbah merupakan jenjang yang memisahkan antara
pemberitahuan persetujuan seorang gadis yang sedang dipinang oleh seorang
pemuda dan pernikahannya. Keduanya sepakat untuk menikah, namun ini
hanya sekedar janji untuk menikah yang tidak mengandung akad nikah. Seperti
yang disebutkan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 13 ayat (1)
“Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan”.1
Secara bahasa khitbah artinya lamaran atau pinangan. 2 Secara Istilah
Khitbah artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki
kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang
dipercayai.3

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqhus Sunnah, memberikan definisi


meminang sebagai berikut :

‫طلبها للزواج با لواسيلة المعروفة الناس‬

“Meminang artinya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan


untuk menjadi isterinya dengan cara-cara yang sudah berlaku di tengah-
tengah masyarakat.”

1
KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.
2
S.A.H (Sudahi atau Halakan); @NikahAsik, Jakarta: Wahyu Qolbu, 2016. Hlm. 42
3
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cetakan ke 49, 2010. Hlm. 380

2
Peminangan dalam ilmu fiqh disebut Khitbah, artinya permintaan.
Menurut istilah artinya pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki
kepada seorang perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki
itu secara langsung atau dengan perantara pihak yang dipercayainya sesuai
dengan keetentuan-ketentuan agama4. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Pasal 11 “Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat
dipercaya.”5

Meminang bukan syarat sah suatu pernikahan. Apabila pernikahan


berlangsung tanpa didahului pinangan, maka oleh manusia dijadikan sebagai
sarana menuju pernikahan. Namun, mayoritas ulama mengatakan, khitbah
(pinangan) merupakan syariat bagi orang yang hendak menikah.

Adapun hadits yang menyebutkan anjuran melaksanakan khitbah serta


dijadikan dasar bagi ulama dalam menentukan hukum khitbah yaitu:

‫عن جابر قال قال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم اذا خطب احدكم المراة فان استطاع ان ينظر الي ما‬
( ‫يدعوه الي نكاحها فليفعل ) رواه ابوا داود‬

“Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang dari kalian
meminang seorang wanita, maka bila dia mampu (mendapat kesempatan untuk
) melihat apa yang menarik hatinya untuk dapat mengawininya, dia harus mel
akukan itu.”

(H.R. Abu Daud)

Adapun dalam sebuah riwayat Al-Bukhari dalam kitab Shahih Bukhori,


dari hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi ra. Ia menuturkan bahwa seorang wanita
datang kepada Rasulullah SAW. Ia berkata : “ Wahai Rasulullah, aku datang
untuk memberikan diriku kepadamu.” Maka Rasulullah melihat ke arah
wanita tersebut dengan seksama dari atas sampai bawah. Kemudian kepala

4
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993. Hlm. 13
5
KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.

3
beliau menunduk. Setelah wanita itu mengetahui bahwa Rasulullah tidak
berkenan dengannya, ia pun tunduk.

Maka seorang pria dari kalangan sahabat Nabi berdiri, “Wahai Rasulullah,
kalau engkau tidak berkenan dengannya , tolong nikahkanlah aku
kepadanya.”Beliau bersabda : apa-apaan engkau memiliki sesuatu?” “Demi
Allah, tidak, wahai Rasulullah!” Rasulullah SAW pun bersabda kepadanya, “
Carilah, meskipun itu hanya sebuah cincin dari besi.”

Pria itu lalu pergi. Tidak lama ia kembali lagi dan berkata, “ Wahai
Rasulullah, demi Allah, aku tidak menemukan apa-apa, meskipun itu hanya
sebuah cincin dari besi.” “apa yang kamu bisa didalam Al-Quran?” tanya
beliau. “aku mampu membaca surat ini dan surat ini, “jawab pria itu. “
apakah kamu membacanya diluar kepala?”tanya beliau lagi. “Ya,”jawab pria
itu singkat. Akhirnya beliau bersabda,”pergilah, aku telah menikahkan kamu
kepadanya dengan mahar hafalan Al-Quran yang kamu kuasai6.

Pendapat yang dapat dijadikan dalil dari hadits diatas adalah, bahwa
Nabi SAW. menikahkan pria itu kepada seorang wanita tanpa melalui
pinangan (Khitbah). Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa
pinangan adalah mubah dapat dibenarkan.

Adapun praktik yang dilakukan oleh beliau saat meminang Aisyah,


sebagaimana hadits riwayat Al-BukhAri dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa
Nabi SAW. Meminang Aisyah kepada Abu Bakar. Ketika itu, Abu Bakar
berkata, “Aku adalah saudara engkau.” Nabi menjawab,”Anda adalah
saudaraku seagama dengan sekitab. Sekarang Aisyah halal bagiku.”7 Begitu
pula hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dalam kitabnya Shahih Al-
Bukhori, bahwa Rasulullah SAW. Meminang Hafshah.8

Hadits diatas, kendati menunjukan bahwa pinangan merupakan suatu


kesunahan (anjuran), hanya saja hadits tentang wanita yang menyerahkan
dirinya kepada Rasulullah SAW. Telah menjadikan hukum pinangan dari
sunah menjadi mubah (boleh).

6 Hadits Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5149), HR. Muslim, (no. 1425).
7
Hadits Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5081).
8
Hadits Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5122)

4
Dalam kitab Raudhah At-Thalibin dikatakan bahwa tidak ada seorang
pun ulama yang menghukumi pinangan sebagai suatu kewajiban. Memang
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa pinangan adalah sunnah, tetapi Imam
An-Nawawi menegaskan, “Pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i
menghukuminya sebagai suatu kebolehan9.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa mayorutas ulama


berpendapat bahwa pinangan (Khitbah) hukumnya adalah mubah (suatu
kebolehan) bukan wajib atau sunnah.10.

B. LAFAL KHITBAH
Dalam melakukan khitbah tidak terdapat keterangan tertentu tentang
bagaimana lafal khitbah, malah penetapan lafal tertentu bisa tergolong bid’ah.
Namun ada beberapa macam cara peminangan, diantaranya:
Secara langsung, yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus
terang seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu”.
Secara tidak langsung (ta’rif), yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan
tidak terus terang atau dengan istilah Kinayah. Denngan perngertian lain,
ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti ucapan. “tidak ada
orang yang tidak sepertimu”
Firman Allah SWT.,

َ ِ‫ضتُم ِبِۦه ِم ۡن ِخ ۡطبَ ِة ٱلن‬


(235 : ‫( البقرة‬...... ‫سا ٓ ِء‬ ۡ ‫َو ََل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُك ۡم فِي َما َع َّر‬

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran.... (Q.S. Al- Baqarah : 235)11
Adapun sindiran selain ini yang dipahami oleh wanita bahwa laki-laki
tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua diperbolehkan asal
sesuai syari’at.
Adapun peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, adalah yang
dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman bin ‘Auf yang mengkhitbah
Ummu Hakim Qarizh.

9 Raudhah At-Thalibin, 2/30; Mughnil Muhtaj, 3/128


10 Shahih Fiqh As-Sunnah, 3/107
11
AL-Qur’an al-Karim

5
“Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:
”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab “Baiklah!”,
maka Ia (Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya
nikahi.” (HR. Bukhari)

C. BATASAN AURAT DALAM KHITBAH


Meskipun wajah dan kedua tangan hingga pergelangan bukan termasuk
aurat, namun yang lebih dianjurkan bagi laki-laki agar menahan atau
membatasi pandangannya kepada wanita yang bukan mahramnya. Allah SWT
berfirman:

‫ار ِه ْم‬
ِ ‫ص‬َ ‫قُل ِل ْل ُمؤْ ِمنِينَ يَغُضُّوا ِم ْن أَ ْب‬

Katakanlah kepada orang-orang yang beriman bahwa haruslah mereka


menahan pandangannya. (QS. An-Nur : 30) 12

Namun dalam konteks seseorang ingin menikah, maka memandang


yang seharusnya dihindari justru malah disyariatkan.Tujuannya adalah agar
mengetahui keadaan wanita yang akan dikhitbah agar tidak ada alasan untuk
menceraikan istri dengan alasan tersebut (misalnya cacat dls).
َ َ‫إِأَن‬:‫ِرأَةًا‬
ُ ‫اِذْهَبْ فَا ْن‬:‫قَا َل‬.‫ال‬: ‫ظ ْرتَ لَ ْي َها ؟ قَا َل‬
‫ظ ْر إِلَ ْي َها‬ َّ ِ‫َع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ أ َ َّن اَلنَّب‬
َ ِ ‫ي قَا َل ِل َر ُجل ت َزَ َّو َج ْم‬

Didalam Kitab Bulughul Maram dijelaskan, Dari Abu Hurairah R.A.,


dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki
kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan
dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat
wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,”
pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin
ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)13.

Disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang dan boleh melihat apa-
apa yang mendorong si muslim untuk menikahi wanita itu. Rasulullah SAW
Bersabda:
‫َاح َها فَ ْليَ ْفعَ ْل‬ ُ ‫ع أ َ ْن يَ ْن‬
ِ ‫ظ َر ِم ْن َها َما يَدْعُوهُ إِلَى نِك‬ َ َ ‫ب أَ َحد ُ ُك ُم ْال َم ْرأَة َ فَإ ِ ْن اِ ْست‬
َ ‫طا‬ َ ‫إِذَا َخ‬
َ ‫ط‬

12
AL-Qur’an al-Karim
13
Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulugul Maram, Haramain: Singapura. Hlm. 209-210.

6
“Jika seseorang di antara kalian meminang seorang wanita apabila dia bisa
melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka
lakukanlah!”14
Al-Mughirah bin Syu’bah r.a pernah meminang seorang wanita, maka
Nabi berkata kepadanya:
َْ َ ‫أ ُ ْنظُ َْر فَإِنَّ َه ُ أَحْ َرى أ‬،‫إِلَ ْي َها‬
‫ن يُؤْ َد ََم بَ ْينَ ُك َما‬
“lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan cinta
kasih antar kalian berdua.”15
Tentang batasan aurat wanita yang dikhitbah, terjadi ikhtilaf (perbedaan
pendapat) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat boleh melihat selain
muka dan kedua telapak tangan yaitu melihat rambut, betis, dan selainnya.
Namun yang disepakati ialah muka dan kedua tangannya. Rasulullah Saw
bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, maka
tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya
semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu
ataupun tidak.”
(H.R Ahmad)

D. WANITA YANG HALAL DAN HARAM DI KHITBAH


1. Wanita yang halal dikhitbah
Khitbah yang halal adalah khitbah kepada wanita yang hidup single
atau melajang, yaitu para perawan yang belum pernah menikah
sebelumnya.
Kalaupun pernah bersuami, asalkan yang sudah bercerai dengan
suaminya atau suaminya telah wafat. Tentunya khitbah baru boleh
dilakukan apabila wanita itu telah habis masa iddahnya. Seperti disebutkan
di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 12 ayat (1) bahwa
“Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih
perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.”16

14
Hadits shahih: HR. Ahmad (III/334,360), Abu Dawud (no. 2082), dan al-Hakim (II/165) dari Jabir
bin Abdillah.
15
Hadits shahih: HR. At-Timidzi (no. 1087), an-Nasa’i (VI/69-70), al-Darimi (II/134), dan yang
lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
16
KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.

7
2. Wanita yang haram dikhitbah
Khitbah yang diharamkan adalah khitbah yang diajukan kepada wanita
yang tidak boleh dikhitbah, diantaranya:
a. yang masih mahramnya sendiri,
b. khitbah kepada wanita yang masih bersuami,
c. khitbah kepada wanita yang sudah tidak bersuami namun masih dalam
masa iddah. KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 12 ayat (2) “Wanita
yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram
dan dilarang untuk dipinang.”17
d. khitbah kepada wanita yang sedang dikhitbah orang lain,
Ibnu Umar r.a menuturkan:
Nabi SAW melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar
(untuk dibeli) saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita
yang telah dipinang sampai orang yang meminang itu
meninggalkannya atau mengizinkannya.”18
KHI (kompilasi Hukum Islam) Pasal 12 ayat (3) “Dilarang juga
meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan
pihak wanita.”19
e. dan khitbah yang dilakukan pada saat menjalankan ihram.
َ‫طبُ َوالَ يُ ْن َك ُح َوالَ ْال ُمحْ ِر ُم يَ ْن ِك ُح ال‬
ُ ‫يَ ْخ‬
Dari Utsman bin Al-Affan r.a yang diriwayatkan secara marfu’,
“Janganlah orang yang sedang berihram menikahkan orang atau
menikah untuk dirinya sendiri, dan jangan pula melakukan khitbah”.
(HR. Muslim)

E. KEABSAHAN MENGKHITBAH WANITA YANG TELAH DIKHITBAH


ORANGLAIN
Tidak boleh mengkhitbah seorang wanita yang telah dikhitbah lelaki
lain, kecuali apabila telah jelas khitbah/lamarannya itu telah dibatalkan. Dalam
hal ini maksudnya adalah ketika seorang wanita dikhitbah seorang lelaki, dan

17
Ibid. Hlm 326.
18
Hadits shahih: HR. AL-Bukhari (no.5141) dan Muslim (no. 1412) dari Ibnu Umar. Lafazh ini milik
al-Bukhari.
19
KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.

8
si wanita menerima lamarannya, maka lelaki lain tidak boleh melamarnya,
kecuali apabila lamaran yang pertama dibatalkan oleh salahsatu pihak. Kecuali
apabila seorang lelaki melamar seorang wanita, namun si wanita belum
menerima lamaran itu (masih memikirkan), maka lelaki lain boleh maju
melamarnya.
Ibnu Umar r.a menuturkan:

ْ ِ‫علَى خ‬
‫ َحتَّى‬، ‫طبَ َِة أَخِ ْي َِه‬ َُ ‫الر ُج‬
َ ‫ل‬ َّ ‫ب‬ََ ُ‫لَ يَ ْخط‬
َ ‫بَ ْعضَ َو‬، ‫علَى بَي َِْع‬
َ ‫ض ُك َْم ََب‬
ُ ‫ن يَبِ ْي ََع ْع‬ َْ َ ‫سلَّ ََم أ‬
َ ‫علَ ْي َِه َو‬ َ ‫صلَّى‬
َ ُ‫للا‬ َ
َ‫يَتْ ُركََ ْالخَاطِ بَُ قَ ْبلَ َه ُ أَيَ َْو أْذَنََ لَ َه ُ ْالخَاطِ بَُ نَ َهى النَّبِي‬

“Nabi SAW melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk
dibeli) saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah
dipinang sampai orang yang meminang itu meninggalkannya atau
mengizinkannya.”20

Dari “Abdurrahman bin Syamasah bahwa dia mendengar Uqbah bin


Amir berdiri di atas mimbar seraya berucap: Rasulullah SAW bersabda:

“Mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak halal
bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan tidk pula
meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya.”21

Dari Hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa


mengkhitbah/meminang wanita yang telah dikhitbah orang lain adalah haram.

F. ANTARA TUNANGAN DAN KHITBAH


Khitbah ini berbeda dengan pertunangan. Dalam Islam tidak ada yang
namanya tunangan, yang dianjurkan dalam Islam setelah ta’aruf adalah
khitbah. didalam bertunangan identik dengan bertukar cincin, namun dalam
khitbah bertukar cincin hukumnya mubah. Jadi bukan suatu kewajiban.
Namun, apabila hendak memebrikan cincin pada si calon, niatkan saja sebagai
suatu hadiah. Karena bila memberikan cincin tapi niatnya salah, yang jelas
dilarang. Seperti :
1. Ikut-ikutan tren kaum non-muslim, hal ini menyerupai kebiasaan mereka.

20
Hadits shahih: HR. AL-Bukhari (no.5141) dan Muslim (no. 1412) dari Ibnu Umar. Lafazh ini milik
al-Bukhari.
21
Hadits shahih: HR. AL-Bukhari (no.5142).

9
Rasulullah SAW., bersabda: “Siapa yang meneyrupai suatu kaum, maka
dia termasuk bagian dari merka.” (H.R Abu Dawud)
2. Meyakini bahwa dengan bertukar cincin bisa menumbuhkan cinta dan
keharmonisan hubunganm maka hal itu bisa dikategorikan keyakinan
jahiliyah.
3. Cincin untuk pihak laki-laki tidak terbuat dari emas, karena laki laki
diharamkan memakai emas.
“Dua perkara ini (emas dan sutra) haram bagi laki-laki umatku.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
4. Pihak laki-laki sengaja memakaikan cincin kepada si wanita yang belum
halal.
Aisyah berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh
tangan perempuan (asing), sama sekali.” (HR. Bukhari dan Muslim)22

G. ADAB SETELAH KHITBAH


1. Tidak boleh berdua-duan (berkhalwat). Kecuali ditemani mahram.
“Tidak boleh berdua-duan laki-laki dan perempuan kecuali perempuan itu
disertai mahram. Seorang perempuan tidak boleh bepergian, kecuali
disertai mahram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Tidak boleh menyentuh perempuan yang sudah dikhitbah walau hanya
bersalaman.
“Aisyah berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh
tangan perempuan (asing), sama sekali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Menghindari hal-hal yang bisa menjadi pintu masuk setan, seperti senda
gurau dan komunikasi yang terlalu intensif.
“Tidaklah salahsatu diantara kalian berduaan (khalwat) dengan
perempuan. Sesungguhnya setan ketiganya.” (HR. Ahmad)23

Diusahakan jarak antara khitbah dan akad pernikahan tidak terlalu lama

22
S.A.H (Sudahi atau Halakan); @NikahAsik, Jakarta: Wahyu Qolbu, 2016. Hlm. 43
23
Ibid. Hlm. 49

10
KHITBAH

DEFINISI HUKUM KHITBAH

LAFAL KHITBAH BATASAN AURAT


KHITBAH

WANITA YANG HALAL WANITA YANG HARAM


DI KHITBAH DI KHITBAH

KEABSAHAN ANTARA TUNANGAN


DAN KHITBAH
MENGKHITBAH
WANITA YANG TELAH
DIKHITBAH ADAB SETELAH
ORANGLAIN KHITBAH

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al Karim

Ahmad bin Abdul Aziz. Zawaj Mubarak (Risalah Nikah). (Jakarta: Darul Haq, 2013).

Al-Asqolani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. (Singapura: Haramain)

H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cetakan ke 49, 2010.

KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015

Muhamad Fauzi, Abu Buraidah. Meminang Dalam Islam. (Jakarta Timur: Pustaka

Alkautsar, 2009)

Nur, Djaman. Fiqih Munakahat. (Semarang : Dina Utama, 1993).

Pramudji R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Rhedbook Publisher, cet 1,


2008).

Raudhah At-Thalibin, 2/30; Mughnil Muhtaj, 3/128

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II. (Beirut: Darul Fikri, 2005).

S.A.H (Sudahi atau Halakan); @NikahAsik, Jakarta: Wahyu Qolbu, 2016.

Shahih Fiqh As-Sunnah, 3/107

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Keluarga Sakinah, Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2011.

Zuhaili, Wahbah. Fiqh Imam Syafi’I. (Jakarta Timur: Almahira, 2010).

12

Anda mungkin juga menyukai