Anda di halaman 1dari 14

A.

Walimah Al-‘Ursy
1. Pengertian Walimah
Walimah artinya Al-jam’u = kumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul,
bahkan sanak saudara, kerabat, dan para tetangga.
Walimah berasal dari kata Arab: ‫ الولم‬artinya makanan pengantin, maksudnya
adalah makanan yang disediakan khusus dalam acar pesta perkawinan. Bias juga
diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.
Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung atau sesudahnya, atau
ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Walimah bisa juga
diadakan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

2. Dasar Hukum Walimah


Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunah
mu’akkad. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW:

“Dari Anas, ia berkata “Rasulullah SAW belum pernah mengadakan walimah untuk
istri-istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk zainab, beliau mengadakan
walimah untuknya dengan seekor kambing.” (HR Bukhari dan Muslim)

“Dari Budairah, ia berkata, “ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah SAW bersabda,
“sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.”(HR Ahmad)

“Anas r.a. berkata, “ Rasulullah SAW tidak pernah mengadakan walimah untuk istri-
istrinya, seperti walimah untuk Zainab. Beliau menyuruhku agar aku mengundang
orang-orang, kemudian beliau menyajikan makanan berupa roti dan daging hingga
mereka kenyang semuanya.” (Al-Hadis)

“Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud
gandum.” (HR Bukhari)

Beberapa hadis tersebut di atas menunjukan bahwa walimah itu boleh diadakan
dengan makanan apasaja, sesuai kemampuan. Hal itu ditunjukkan oleh Nabi SAW
bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau melebihkan
salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit
atau lapang.
a. Hukum Menghadiri Undangan Walimah
Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang
yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:
 Tidak ada udzur Syar’i
 Dalam walimah tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar
 Tidak membedakan kaya atau miskin

Dasar hokum wajibnya mendatangi undangan walimah adalah hadis Nabi SAW,
sebagai berikut:

”Jika salah seseorang diantaramu diundang makan, hendaklah diijabah


(dikabulkan, jika ia menghendaki makanlah, jika ia menghendaki tinggalkanlah.”
(HR Bukhari dan Ahmad)

”Dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW bersabda “andaikata aku diundang
untuk makan kambing, niscahya aku datangi, dan andaikata aku dihadiahi kaki
depan kambing, niscaya aku terima.” (HR Bukhari)

Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu, maka
tidak wajib mendatangi, tidak juga sunah. Misalnya orang yang mengundang
berkata “Wahai orang banyak! Datangilah setiap orang yang kamu temui.”

Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Anas berkata, “Nabi SAW menikah lalu masuk bersama istrinya. Kemudian
ibuku, Ummu Sulaim membuat kue, lalu menempatkannya pada bejana. Lalu ia
berkata, “wahai saudaraku, bawalah ini kepada Rasulullah SAW, lalu aku bawa
kepada beliau. Maka, sabdanya “Letakanlah” Kemudian, sabdanya lagi
“Undanglah si nu dan si anu, dan orang-orang yang kamu temui”. Lalu saya
mengundang orang-orang yang disebutkan dan saya temui.” (HR Bukhari)

Secara rimci undangan wajib didatangi, apabila memenuhi syarat sebagai


berikut:

 Pengundangnya mukallaf, merdeka, dan berakal sehat


 Undangannya tidak dikhususkan kepada orang-orang kaya saja, sedangkan
orang miskin tidak
 Undangan tidak ditunjukkan hanya kepada orang yang disenangi dan
dihormati
 Pengundangnya beragama islam (pendapat yang lebih sah)
 Khusus pula di hari pertama (pendapat yang terkenal)
 Belum didahului oleh undangan lain. Kalau ada undangan lain, maka yang
pertama harus didahulukan
 Tidak diselenggarakan kemungkaran dan hal-hal lain yang menghalangi
kehadirannya
 Yang diundang tidak ada udzur syarak

Memerhatikan syarat-syarat tersebut, jelas bahwa apabila walimah dalam


pesta perkawinan hanya mengundang orang-orang kaya saja, hukumnya adalah
makruh.

3. Bentuk Walimah
a. Bentuk Walimah yang Sederhana
Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan pernikahan untuk
mengadakan walimah, tetapi tidak memberikan bentuk minimum atau bentuk
maksimum dari walimah itu, sesuai dengan sabda-sabda Rasulullah SAW di atas.
Hal ini memberi isyarat bahwa walimah itu diadakan sesuai dengan
kemampuan seseorang yang melaksanakan perkawinannya, dengan catatan, agar
dalam pelaksanaan walimah tidak ada pemborosan, kemubadziran, lebih-lebih
disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri.
Sebagai perbandingan dikemukakan beberapa bentuk walimah yang diadakan
di zaman Rasulullah SAW seperti disebutkan dalam hadis berikut:
“dari Aisyah, setelah seseorang mempelai perempuan dibawa ke rumah
mempelai laki-laki dari golongan Anshar, maka Nabi SAW bersabda: “ya Aisyah,
tidak adakah kamu mempunyai permainan; maka sesungguhnya orang Anshar
tertarik kepada permainan” (HR Bukhari dan Ahmad).
b. Pernikahan Menyimpang dari Ajaran Agama di Zaman Modern
Modernis, oleh para modernis muslim, sering kali di terjemahkan sebagai
dorongan untuk menguasai pendidikan, teknologi, dan industry barat, ide
demokrasi, dan pemerintahan yang representative. Oleh karenanya, kaum
modernis berusaha melakukan sintetis dan mencari keselarasan antar posisi
mereka dan posisi Eropa. Sehingga, yang menjadi isu sentral dari modernism
adalah mengupayakan agar keyakinan-keyakinan agama sesuai dengan pemikiran
modern.
Adapun pandangan Manhaj Salaf tentang proses dan tata cara pelaksanaan
pernikahan yang menyimpang dari ajaran islam di zaman modern adalah sebagai
berikut:
1) Khitbah
a) Meminang wanita yang sudah dipinang oleh orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
”Dari Ibnu r.a. katanya: Rasulullah SAW melarang orang menawar
barang yang sedang ditawar orang lain, atau meminang wanita yang
sedang dipinang saudaranya sampai orang meminang pertama pergi atau
memberi izin kepadanya” (HR Bukhari).
b) Meminang uuntuk dinikahi dalam waktu tertentu
Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai sekalian manusia, sungguh saya pernah mengizinkan kalian untuk
kawin muf’ah, ingatlah bahwa sekarang Allah telah mengharamkan
sampai hari kiamat” (HR Ahmad dan Muslim).
c) Meminang wanita yang ditalak raj’i

Salah satu larangan bagi orang yang hendak meminang adalah


meminang istri orang lain yang ditalak raj’I sebelum habis masa idahnya.
Pinangan itu tidak boleh ditawarkan, baik secara terang-terangan ataupun
secara sendirian. Wanita, dalam hal ini masih sebagai istri orang yang
menceraikannya dan bisa ditarik kembali kapanpun ia mau, asalkan masih
dalam masa idah. Firman Allah SWT:

“Wa
nita-
wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) itu menghendaki ishlah, dan para wanita mempunyai hak
yang simbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan
tetapi para suami, mempunyaii suatu tingkatan kelebihan daripadanya
istrinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]:
228)
d) Meminang wanita dalam masa idah talak bâ’in kubrâ
Islam melarang seseorang meminang wanita yang masih dalam masa
idah, baik karena dicerai atau karena ditinggal mati suaminya. Pinangan
yang dilarang adalah menyatakan peminangan secara terang-terangan,
adapun apabila dilakukan dengan isyarat yang dimengerti maksudnya tapi
tidak terang-terangan dalam mengucapkannya, maka hukumnya boleh
sebagaimana firman Allah SWT:


D a
n

tidak ada dosa bagii kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu menggadakan janji kawin dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan
yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad
nikah, sebelum habis idahnya dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS
Al-Baqarah [2]: 235)

e) Meminang dengan tukar cincin


Diantara tradisi orang kafir yang banyak diikuti oleh kaum muslimin
adalah bertukar cincin ketika bertunangan. Padahal, banyak hadis
menjelaskan tentang larangan memakai cincin emas bagi pria, dan
larangannya mengikuti perilaku orang-orang kafir. Rasulullah SAW
bersabda: “Salah seorang dari diantara kalian menyadarkan diri pada
bara api neraka lalu ia meletakannya di atas tangannya.” (HR Muslim)
dan beliau berkata tentang emas dan sutra: “Kedua hal ini haram bagi
kaum laki-laki dari umatku dan halalbagi perempuannya.” (HR Ahmad
dan Ibnu Majah).
f) Kebebasan berpergian diantara wanita dan pria yang sudah bertunangan
Dalam sebuah hadis disebutkan sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata: tidak dihalalkan bagi kaum wanita
beriman kepada Allah dan hari kemudian berpergian dalam perjalanan
yang harus ditempuh sehari semalaman kecuali bersama mahramnya.”
(Muttafakun Alaih)
g) Kebebasan bergaul antara wanita dan pria yang sudah bertunangan
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan:
“Dari Ibnu Abbas r.a. telah mendengar Nabi SAW bersabda: “Janganlah
menyendiri seorang laki-laki dengan perempuan melainkan harus ada
mahram yang menyertainya…..” (Muttafakun Alaih)
h) Mengembalikan hadiah yang diberikan pada saat pinangan
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat dalam mengembalikan
barang tersebut: Mazhab Hanafi berpendapat bahwa barang-barang yang
diberikan oleh berbagai pihak kepada perempuan pinangannya dapat
diminta kembali apabila barangnya masih utuh, misalnya gelang, cincin,
kalunng jam tangan dan sebagainya. Apabila sudah berubah, hilang, dijual
atau berubah dengan bertambah atau kurang, misalnya makanan lantas
dimakan atau pakaian kemudian sudah dipotong dan dijahit, maka si laki-
laki sudah tidak berhak meminta kembali atau meminta ganti barang yang
di hadiahkan.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila pembatalan itu dating dari
pihak calon suami maka barang-barang yang pernah ia berikan tidak boleh
ia minta kembali, baik pemberian itu masih utuh atau sudah berubah.
Apabila rusak wajib diganti, kecuali apabila sudah menjadi adat atau
syarat maka adat dan syarat itulah yang harus diikuti.
Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa hadiah dikembalikan kepada
pemberinya baik barangnya masih utuh ataupun sudah berubah, baik
pembatalan itu dating dari pihak laki-laki maupun perempuan. Apabila
barangnya masih utuh, supaya dikembalikan dan kalua sudah rusak atau
berubah, supaya diganti dengan barang yang sama harganya.
2) Sekitar Walimah
a) Wanita bermake-up (tabarruj)
Make-up (tabarruj) ialah mengungkapkan atau menunjukkan
kecantikan wajah. Baik kecantikan itu di bagian wajah atau pada anggota-
anggota badan yang lain. Al-Bukhari pernah berkata “tabarruj adalah
seorang wanita yang memperlihatkan kecantikan wajahnya.” Untuk
menjaga kehormatan, seorang wanita yang telah berakal lagi balig
hendaklah ia menghidarkan dirinya dari make-up (tabarruj).
b) Nyanyian dan hiburan dalam walimah
Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai Aisyah, apakah tidak ada permainan pada kalian sesungguhnya
kaum Anshar sangat menyayangi permainan.” (HR Bukhari).
Hiburan tersebut maksudnya adalah pada batasan-batasan yang islami,
akan tetapi bila mengeksploitasi kekejian yang mengandung birahi dalam
hiburan dan nyanyiannya maka haram hukumnya.
c) Bercampurnya wanita dan pria (ikhthilâth)
Salah satu yang menyimpang dari ajaran islam adalah bercampurnya
wanita dan pria (ikhtthilath). Hal ini adalah haram hukumnya.
d) Standing party (makan sambal berdiri)
Menyuguhkan makanan sambil berdiri tidak menyediakan tempat
duduk untuk makan dilarang oleh islam. Alasannya, ajaran islam
mempunyai tata cara yang sopan, yaitu bila mana seseorang makan atau
minum haruslah duduk dengan baik.
e) Hanya mengundang orang-orang kaya saja
Rasulullah SAW bersabda:
“Abu Hurairah r.a. berkata sesungguhnya: Nabi SAW telah bersabda:
“seburuk-buruknya jaminan walimah adalah jaminan walimah yang
hanya mengandung orang-orang fakir. Dan barangsiapa yang tidak hadir
ketika diundang, ia telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya.” (HR
Bukhari dan Muslim)
3) Biaya Pernikahan
Biaya pernikahan yang tidak boleh dan menyimpang dengan ajaran islam ialah
apabila pernikahan tersebut dilangsungkan secara berlebih-lebihan, bermegah-
megahan, serta memaksakan diri dengan berhutang kepada orang lain dan
saling membangga-banggakan diri dengannya. Bentuk penyimpangannya
adalah:
a) Tardisi ini bukan tradisi umat islam bahkan tradisi inii diambil dari umat
Nasrani pada tata cara pernikahan mereka. Dan merupakan hal yang telah
maklum bahwa tidak diperkenakan menyerupai orang-orang kafir
berdasarkan sabda Nabi: Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk darinya.” (HR Abu Daud)
b) Mubazir dan sikap berlebih-lebihan dalam menyiapkan tradisi ini jelas
bertentangan dengan ajaran islam
4. Hikmah Walimah
Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa keuntungan
(hikmah); antara lain sebagai berikut:
a) Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT
b) Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya
c) Sebagai tanda resminya adanya akad nikah
d) Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri
e) Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah
f) Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi
menjadi suami istri sehingga masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang
dilakukan oleh kedua mempelai
Disamping itu, dengan adanya walimatul Arusy kita dapat melaksanakan perintah
Rasulullah SAW, yang menganjurkan kaum muslimin untuk melaksanakan
“Walimatul Arusy” walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing.

(Munakahat, 2009, hal. 131-151)

B. Akad Pernikahan
1. Pengertian akad dan shigat
Dalam pernikahan, ridanya laki-laki dan perempuan serta persetujuan antara
keduanya merupakan hal yang pokok untuk mengikat hidup berkeluarga. Perasaan
rida dan setuju bersifar kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan jelas. Karena itu,
harus ada perlambang yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan
bersuami istri. Perlambang itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak
yang melangsungkan akad. Inilab yang merupakan sighat dalam pernikahan.
Pernyataan pertama untuk menunjukka kemauan membentuk hubungan suami
istri dari pihak perempuan disebut ijab. Sedangkan pernyataan kedua yang diucapkan
oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk mengatakan rasa rida dan setuju
disebut kabul. Kedua pernyataan Antara ijab dan kabul inilah yang dinamakan akad
dalam pernikahan.
2. Kata-kata dalam dalam ijab-kabul
Dalam melaksanakan ijab dan kabul harus digunakan kata-kata yang dapat
dipahami oleh masing-masing pihak yang melangsungkan akad nikah sebagai
pernyataan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak, dan tidak boleh
menggunakan Kata-kata yang samar atau tidak dimengerti maksudnya.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijab-kabul dalam akad nikah boleh
dilakukan dengan bahasa, kata-kata, atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat
umum dianggap sudah menyatakan terjadinya pernikahan, sama halnya dalam semua
transaksi.
Para ulama fikih sependapat bahwa dalam kabul boleh digunakan kata-kata
dengan bahasa apapun. Tidak terikat satu bahasa atau dengan kata-kata khusus
asalkan menunjukkan rasa rida dan setuju, misalnya "saya terima, saya setuju, saya
laksanakan, dan sebagainya."
Adapun dalam masalah ijab, ulama sepakat boleh dengan menggunakan kata-
kata nikah atau tazwij atau bentuk lain dari dua kata tersebut seperti zawwajatuka,
ankahtuka yang keduanya, secara jelas, menunjukkan pengertian nikah, akan tetapi
mereka berbeda pendapat tentang kata-kata dalam ijab selain dengan kedua kata
tersebut (nikah dan tazwij). Misalnya: saya serahkan, saya jual, saya milikkan atau
saya sedekahkan.
Golongan Hanafi, Al-Tsauri, Abu Ubaid, dan Abu Dawud membolehkan
penggunaan kata nikah dan tazwij. Sebab, hal yang penting dalam ijab adalah niatnya
dan tidak disyaratkan menggunakan kata-kata khusus, maka semua lafal yang
dianggap cocok dengan maknanya, dan secara hukum, dapat dimengerti, yaitu antara
kata-kata tadi dengan maksud agana maknanya sama, hukumnya tetap sah, karena
Nabi pernah mengijabkan seorang sahabat pasangannya, dengan sabdanya:
"Aku telah milikkan dia kepadamu dengan mahar ayat-ayat Al-quran yang kamu
mengerti" (HR Bukhari).
Kata-kata memberikan juga pernah digunakan dalan ijab kabul pernikahan
Nabi sendiri, maka bagi umatnya boleh menggunakan juga.
Allah SWT, berfirman dalan surat Al-Ahzab ayat 51:
"Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya... Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya
kepada Nabi..." (QS Al-Ahzab [33] : 51)
Jika kata-kata dalam ijab kabul dapat diganti dengan kata-kata kiasan,
hukumnya sah seperti halnya menyatakan cerai dengan menggunakan kata-kata
kiasan.
Imam Syafi'i, Said Mussayab, dan Atha' berpendapat bahwa ijab tidak sah, kecuali
dengab menggunakan kata-kata nikah atau tazwij atau bentuk lain dari kedua kata
tersebut, karna kata-kata yang lain seperti milikkan, atau memberikan, tidak jelas
menunjukkan pengertian nikah. Menurut mereka, mengucapkan pernyataan
merupakan salah satu syarat pernikahan. Jadi, jika digunakan umpamanya lafal
memberi maka nikahnya tidak sah.
3. Syarat ucapan ijab-kabul
Para ulama fikih sepakat bahwa syarat ucapan ijab-kabul itu harus dengan
lafal fi’il madhi yang menunjukkan kata kerja telah lalu, atau dengan salah satunya
fi”il madhi yang lain fi’il mustaqbal yang menunjukkan kata kerja yang sedang
berlaku.
Contoh ijab-kabul yang menggunakan fi’il madhi:
 Ijab:
“Saya nikahkan engkau kepada anak perempuan saya.”
 Kabul: “Saya terima”

Contoh ijab-kabul yang salah satunya fi’il madhi dan lainnya fi’il
mustaqbal:

 Ijab: “Sekarang saya nikahkan engkau kepada anak perempuan


saya”
 Kabul: “Saya terima”

Mereka menyaratkan hal tersebut karena keridaan dan kerelaan kedua belah pihak
merupakan hal yang pokok dalam akad nikah. Dengan demikian, bisa diketahui
dengan jelas, dan karena ijab kabul merupakan lambang keridaan kedua belah pihak,
maka harus diucapkan dengan lafal yang pasti menunjukkan keridaan dan secara
konkret dinyatakan dengan tegas pada saat akad nikah berlangsung.
Bentuk ucapan dalam ijab kabul yang dipergunakan oleh agama adalah fi’il
madhi, karena menyatakan secara tegas lahirnya pernyataan setuju dari kedua belah
pihak dan tidak mungkin mengandung arti yang lain. Berbeda dengan ucapan yang
dinyatakan dengan fi’il mustaqbal yang tidak secara tegas menunjukkan adanya
keridaan ketika dinyatakan.

Andaikata salah seorang dari mereka berkata:

“sekarang saya nikahkan anak perempuan saya kepada kamu”.


Lalu penerima menjawab: “saya terima sekarang”. Ucapan kedua
belah pihak ini tidak secara tegas menyatakan terjadinya akad nikah dengan sah,
karena masih ada kemungkinan bahwa yang dimaksudkan hanya merupakan suatu
perjanjian semata. Sedangkan perjanjian untuk pernikahan dimasa mendatang bukan
berarti telah terjadi ikatan pernikahan pada saat sekarang.

4. Syarat-syarat ijab kabul


Untuk terjadinya suatu akad yang mempunyai akibat hukum pada suami-istri, maka
syarat-syarat ijab-kabul harus dipenuhi, yaitu:
a. Kedua belah pihak sudah tamyiz
Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila maka pernikahannya tidak
sah.
b. Ijab kabul dilaksanakan dalam satu majelis
Artinya ketika mengucapkan ijab-kabul tersebut, tidak boleh diselingi dengan
kata-kata lain, atau menurut kebiasaan setempat ada penyelingan yang
menghalangi peristiwa ijab-kabul. Akan tetapi, dalam ijab kabul tidak ada syarat
harus langsung. Bila majelisnya berjalan lama dan antara kedua ada tenggang
waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab-kabul, maka tetap dianggap satu
majelis. Hal ini sama dengan pendapat golongan hanafi dan hambali.
Dalam kitab Al-Mugni disebutkan: bila ada tenggang waktu antara ijab-kabul,
maka hukumnya tetap sah, apalagi salam satu majelis tersebut tidak diselingi
sesuatu yyang mengganggu. Dipandang satu majelis selama terjadinya akad nikah,
dengan alasan, sama dengan penerimaan tunai bagi barang yang disyaratkan
diterima tunai. Sedangkan bagi barang yang tidak syaratkan tunai penerimaannya,
barulah dibenarkan hak khiyar (tetap jadi atau dibatalkan).
Apabila sebelum dilakukan ijab telah berpisah, maka ijabnya batal, karena makna
ijab disini, telah hilang. Sebab, dengan sendirinya kabul tidak terlaksana. Begitu
juga kalau keduanya sibuk dengan sesuatu yang mengakibatkan terputusnya ijab
kabul, maka ijabnyya batal, lantaran kabulnya hilang.
Golongan syafi’i mensyaratkan cara tersebut asalkan dilakukan dengan segera.
Para ulama fikih berkata “andaikata kabul itu diselingi khutbah oleh si wali,
misalnya: saya kawinkan kamu, lalu mempelai laki-laki menjawab “bismillah.
Alhamdulillah wassalatu wassalamu ala rasulullah, saya terima akad nikahnya.
“Dalam hal ini ada dua pendapat.
 Pertama, Syekh Abu Hamid Asfaray, ini berpendapat sah karena khutbah dan
akad nikah diperintahkan agama, dan perbuatan ini bukan merupakan
penghalang bagi sahnya akad nikah, seperti halnyya orang yang bertayamum
antara dua shalat yang dijamak.
 Tidak sah, sebab memisahkan antara ijab dan kabul, sebagaimana halnya kalau
antara ijab dan kabul itu dipisahkan oleh hal-hal lain di luar khutbah. Hal ini
berbeda dengan tayamum karena tayamum diantara dua shalat yang dijamak
itu memang diperintahkan oleh agama, sedangkan khutbah nikah
diperintahkan sebelum ijab kabul.
c. Ucapan kabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab, artinya, maksud dan tujuan
adalah sama, kecuali kalau kabulnyya sendiri lebih baik daripada ijabnya dan
menunjukkan pernyataan persetujuuan yang lebih tegas. Jika pengijab
mengatakan, “saya kawinkan kamu dengan anak perempuan saya, dengan mahar
seratus ribu rupiah.” Lalu penerima menjawab, “ aku menerima nikahnya dengan
dua ratus ribu rupiah.” Maka nilainya sah, sebab kabulnya memuat hal yang
dinyatakan pengijab.
d. Pihak-pihak yang mengadakan akad harus dapat mendengarkan pernyataan
masing-masing. Pernyataan kedua belah pihak tersebut harus dengan kalimat yang
maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah sekalipun kata-katanya
ada yang tidak dapat dipahami. Karena yang menjadi pertimbangan disini adalah
maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan
kabul.

(Munakahat, 2009, hal. 79-84)

5. Pelaksanaan Akad Nikah


Hal yang harus dilakukan juga oleh penghulu adalah melihat dokumen-dokumen
admistrative sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam kehidupan
bernegara. Hal ini sebagai bukti-bukti yang akan membantu jika dikeesokan harinya
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti; cerai, hak waris, dan sebaginya.
Setelah semua syarat syar’i dengan undang-undang telah terpenuhi, dan semua orang
yang menjadi syarat sah dari suatu akad telah hadir maka proses selanjutnya adalah
pelaksanaan akad nikah. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Pemeriksaan berkas-berkas administrasi pernikahan oleh Pegawai Pejabawa
Pernikahan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
b. Pembacaan khuttbah nikah (bagi yang menghadiri)
c. Ijab kabul antara wali dengan calon pengantin pria
d. Ceramah/ tausiah pernikahan
e. Doa penutup

(Bidin, Habi, Dimytathi, & Oktaviano, 2007, hal. 42-43)

Anda mungkin juga menyukai