Walimah Al-‘Ursy
1. Pengertian Walimah
Walimah artinya Al-jam’u = kumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul,
bahkan sanak saudara, kerabat, dan para tetangga.
Walimah berasal dari kata Arab: الولمartinya makanan pengantin, maksudnya
adalah makanan yang disediakan khusus dalam acar pesta perkawinan. Bias juga
diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.
Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung atau sesudahnya, atau
ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Walimah bisa juga
diadakan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
“Dari Anas, ia berkata “Rasulullah SAW belum pernah mengadakan walimah untuk
istri-istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk zainab, beliau mengadakan
walimah untuknya dengan seekor kambing.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Dari Budairah, ia berkata, “ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah SAW bersabda,
“sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.”(HR Ahmad)
“Anas r.a. berkata, “ Rasulullah SAW tidak pernah mengadakan walimah untuk istri-
istrinya, seperti walimah untuk Zainab. Beliau menyuruhku agar aku mengundang
orang-orang, kemudian beliau menyajikan makanan berupa roti dan daging hingga
mereka kenyang semuanya.” (Al-Hadis)
“Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud
gandum.” (HR Bukhari)
Beberapa hadis tersebut di atas menunjukan bahwa walimah itu boleh diadakan
dengan makanan apasaja, sesuai kemampuan. Hal itu ditunjukkan oleh Nabi SAW
bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau melebihkan
salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit
atau lapang.
a. Hukum Menghadiri Undangan Walimah
Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang
yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:
Tidak ada udzur Syar’i
Dalam walimah tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar
Tidak membedakan kaya atau miskin
Dasar hokum wajibnya mendatangi undangan walimah adalah hadis Nabi SAW,
sebagai berikut:
”Dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW bersabda “andaikata aku diundang
untuk makan kambing, niscahya aku datangi, dan andaikata aku dihadiahi kaki
depan kambing, niscaya aku terima.” (HR Bukhari)
Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu, maka
tidak wajib mendatangi, tidak juga sunah. Misalnya orang yang mengundang
berkata “Wahai orang banyak! Datangilah setiap orang yang kamu temui.”
“Anas berkata, “Nabi SAW menikah lalu masuk bersama istrinya. Kemudian
ibuku, Ummu Sulaim membuat kue, lalu menempatkannya pada bejana. Lalu ia
berkata, “wahai saudaraku, bawalah ini kepada Rasulullah SAW, lalu aku bawa
kepada beliau. Maka, sabdanya “Letakanlah” Kemudian, sabdanya lagi
“Undanglah si nu dan si anu, dan orang-orang yang kamu temui”. Lalu saya
mengundang orang-orang yang disebutkan dan saya temui.” (HR Bukhari)
3. Bentuk Walimah
a. Bentuk Walimah yang Sederhana
Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan pernikahan untuk
mengadakan walimah, tetapi tidak memberikan bentuk minimum atau bentuk
maksimum dari walimah itu, sesuai dengan sabda-sabda Rasulullah SAW di atas.
Hal ini memberi isyarat bahwa walimah itu diadakan sesuai dengan
kemampuan seseorang yang melaksanakan perkawinannya, dengan catatan, agar
dalam pelaksanaan walimah tidak ada pemborosan, kemubadziran, lebih-lebih
disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri.
Sebagai perbandingan dikemukakan beberapa bentuk walimah yang diadakan
di zaman Rasulullah SAW seperti disebutkan dalam hadis berikut:
“dari Aisyah, setelah seseorang mempelai perempuan dibawa ke rumah
mempelai laki-laki dari golongan Anshar, maka Nabi SAW bersabda: “ya Aisyah,
tidak adakah kamu mempunyai permainan; maka sesungguhnya orang Anshar
tertarik kepada permainan” (HR Bukhari dan Ahmad).
b. Pernikahan Menyimpang dari Ajaran Agama di Zaman Modern
Modernis, oleh para modernis muslim, sering kali di terjemahkan sebagai
dorongan untuk menguasai pendidikan, teknologi, dan industry barat, ide
demokrasi, dan pemerintahan yang representative. Oleh karenanya, kaum
modernis berusaha melakukan sintetis dan mencari keselarasan antar posisi
mereka dan posisi Eropa. Sehingga, yang menjadi isu sentral dari modernism
adalah mengupayakan agar keyakinan-keyakinan agama sesuai dengan pemikiran
modern.
Adapun pandangan Manhaj Salaf tentang proses dan tata cara pelaksanaan
pernikahan yang menyimpang dari ajaran islam di zaman modern adalah sebagai
berikut:
1) Khitbah
a) Meminang wanita yang sudah dipinang oleh orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
”Dari Ibnu r.a. katanya: Rasulullah SAW melarang orang menawar
barang yang sedang ditawar orang lain, atau meminang wanita yang
sedang dipinang saudaranya sampai orang meminang pertama pergi atau
memberi izin kepadanya” (HR Bukhari).
b) Meminang uuntuk dinikahi dalam waktu tertentu
Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai sekalian manusia, sungguh saya pernah mengizinkan kalian untuk
kawin muf’ah, ingatlah bahwa sekarang Allah telah mengharamkan
sampai hari kiamat” (HR Ahmad dan Muslim).
c) Meminang wanita yang ditalak raj’i
“Wa
nita-
wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) itu menghendaki ishlah, dan para wanita mempunyai hak
yang simbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan
tetapi para suami, mempunyaii suatu tingkatan kelebihan daripadanya
istrinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]:
228)
d) Meminang wanita dalam masa idah talak bâ’in kubrâ
Islam melarang seseorang meminang wanita yang masih dalam masa
idah, baik karena dicerai atau karena ditinggal mati suaminya. Pinangan
yang dilarang adalah menyatakan peminangan secara terang-terangan,
adapun apabila dilakukan dengan isyarat yang dimengerti maksudnya tapi
tidak terang-terangan dalam mengucapkannya, maka hukumnya boleh
sebagaimana firman Allah SWT:
“
D a
n
tidak ada dosa bagii kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu menggadakan janji kawin dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan
yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad
nikah, sebelum habis idahnya dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS
Al-Baqarah [2]: 235)
B. Akad Pernikahan
1. Pengertian akad dan shigat
Dalam pernikahan, ridanya laki-laki dan perempuan serta persetujuan antara
keduanya merupakan hal yang pokok untuk mengikat hidup berkeluarga. Perasaan
rida dan setuju bersifar kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan jelas. Karena itu,
harus ada perlambang yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan
bersuami istri. Perlambang itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak
yang melangsungkan akad. Inilab yang merupakan sighat dalam pernikahan.
Pernyataan pertama untuk menunjukka kemauan membentuk hubungan suami
istri dari pihak perempuan disebut ijab. Sedangkan pernyataan kedua yang diucapkan
oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk mengatakan rasa rida dan setuju
disebut kabul. Kedua pernyataan Antara ijab dan kabul inilah yang dinamakan akad
dalam pernikahan.
2. Kata-kata dalam dalam ijab-kabul
Dalam melaksanakan ijab dan kabul harus digunakan kata-kata yang dapat
dipahami oleh masing-masing pihak yang melangsungkan akad nikah sebagai
pernyataan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak, dan tidak boleh
menggunakan Kata-kata yang samar atau tidak dimengerti maksudnya.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijab-kabul dalam akad nikah boleh
dilakukan dengan bahasa, kata-kata, atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat
umum dianggap sudah menyatakan terjadinya pernikahan, sama halnya dalam semua
transaksi.
Para ulama fikih sependapat bahwa dalam kabul boleh digunakan kata-kata
dengan bahasa apapun. Tidak terikat satu bahasa atau dengan kata-kata khusus
asalkan menunjukkan rasa rida dan setuju, misalnya "saya terima, saya setuju, saya
laksanakan, dan sebagainya."
Adapun dalam masalah ijab, ulama sepakat boleh dengan menggunakan kata-
kata nikah atau tazwij atau bentuk lain dari dua kata tersebut seperti zawwajatuka,
ankahtuka yang keduanya, secara jelas, menunjukkan pengertian nikah, akan tetapi
mereka berbeda pendapat tentang kata-kata dalam ijab selain dengan kedua kata
tersebut (nikah dan tazwij). Misalnya: saya serahkan, saya jual, saya milikkan atau
saya sedekahkan.
Golongan Hanafi, Al-Tsauri, Abu Ubaid, dan Abu Dawud membolehkan
penggunaan kata nikah dan tazwij. Sebab, hal yang penting dalam ijab adalah niatnya
dan tidak disyaratkan menggunakan kata-kata khusus, maka semua lafal yang
dianggap cocok dengan maknanya, dan secara hukum, dapat dimengerti, yaitu antara
kata-kata tadi dengan maksud agana maknanya sama, hukumnya tetap sah, karena
Nabi pernah mengijabkan seorang sahabat pasangannya, dengan sabdanya:
"Aku telah milikkan dia kepadamu dengan mahar ayat-ayat Al-quran yang kamu
mengerti" (HR Bukhari).
Kata-kata memberikan juga pernah digunakan dalan ijab kabul pernikahan
Nabi sendiri, maka bagi umatnya boleh menggunakan juga.
Allah SWT, berfirman dalan surat Al-Ahzab ayat 51:
"Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah
kamu berikan mas kawinnya... Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya
kepada Nabi..." (QS Al-Ahzab [33] : 51)
Jika kata-kata dalam ijab kabul dapat diganti dengan kata-kata kiasan,
hukumnya sah seperti halnya menyatakan cerai dengan menggunakan kata-kata
kiasan.
Imam Syafi'i, Said Mussayab, dan Atha' berpendapat bahwa ijab tidak sah, kecuali
dengab menggunakan kata-kata nikah atau tazwij atau bentuk lain dari kedua kata
tersebut, karna kata-kata yang lain seperti milikkan, atau memberikan, tidak jelas
menunjukkan pengertian nikah. Menurut mereka, mengucapkan pernyataan
merupakan salah satu syarat pernikahan. Jadi, jika digunakan umpamanya lafal
memberi maka nikahnya tidak sah.
3. Syarat ucapan ijab-kabul
Para ulama fikih sepakat bahwa syarat ucapan ijab-kabul itu harus dengan
lafal fi’il madhi yang menunjukkan kata kerja telah lalu, atau dengan salah satunya
fi”il madhi yang lain fi’il mustaqbal yang menunjukkan kata kerja yang sedang
berlaku.
Contoh ijab-kabul yang menggunakan fi’il madhi:
Ijab:
“Saya nikahkan engkau kepada anak perempuan saya.”
Kabul: “Saya terima”
Contoh ijab-kabul yang salah satunya fi’il madhi dan lainnya fi’il
mustaqbal:
Mereka menyaratkan hal tersebut karena keridaan dan kerelaan kedua belah pihak
merupakan hal yang pokok dalam akad nikah. Dengan demikian, bisa diketahui
dengan jelas, dan karena ijab kabul merupakan lambang keridaan kedua belah pihak,
maka harus diucapkan dengan lafal yang pasti menunjukkan keridaan dan secara
konkret dinyatakan dengan tegas pada saat akad nikah berlangsung.
Bentuk ucapan dalam ijab kabul yang dipergunakan oleh agama adalah fi’il
madhi, karena menyatakan secara tegas lahirnya pernyataan setuju dari kedua belah
pihak dan tidak mungkin mengandung arti yang lain. Berbeda dengan ucapan yang
dinyatakan dengan fi’il mustaqbal yang tidak secara tegas menunjukkan adanya
keridaan ketika dinyatakan.