Anda di halaman 1dari 4

Tata Cara Pernikahan Dalam Islam Sesuai Syariat

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tata cara pernikahan dalam islam yang
penting untuk umat muslim ketahui :

1. Khitbah (Peminangan)
Khitbah atau peminangan adalah proses meminta atau bisa disebut melamar yang
dilakukan oleh keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan yang akan ia nikahi nanti.
Hal ini dimaksudkan sebagai penegasan bahwa sang perempuan telah resmi menjadi
calon istri dari seorang laki-laki yang artinya jika pinangan lelaki tersebut diterima oleh
pihak keluarga perempuan maka perempuan tersebut tidak boleh dipinang atau menerima
pinangan dari laki-laki lain, kecuali pinangan dari laki-laki pertama dibatalkan secara
baik-baik dan telah diterima oleh kedua belah pihak keluarga.
Sebuah hadis menjelaskan tentang hal ini dimana Umar radhiyallaahu ‘anhuma
menceritakan bahwa:
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang
ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang
telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau
mengizinkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam proses khitbah sendiri pihak sang peminang (calon suami) disunahkan untuk
melihat wajah wanita yang akan dipinang bahkan ia boleh melihat atau bertanya apa-apa
yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu, dengan catatan apa yang dilihat
masih dalam batasan-batasannya sesuai dengan syariat Islam.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diceritakan oleh Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma bahwa:
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat
apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” (HR Ahmad,
Abu Dawud dan al-Hakim)
Kemudian dalam hadis lain juga diceritakan tentang bagaimna Al-Mughirah bin Syu’bah
radhiyallaahu ‘anhu yang meminang seorang wanita, kala itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepadanya:
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih)
antara kalian berdua.” (at-Tirmidzi, an-Nasa-i, ad-Darimi dan lainnya)
Dalam perkara meminang seseorang, laki-laki shalih sangat dianjurkan untuk mencari
wanita muslimah yang baik agamanya. Demikian pula dengan orangtua atau wali dari
kaum wanita, mereka berkewajiban untuk mencari laki-laki shalih untuk dinikahkan
dengan anak wanitanya tersebut.
Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu menceritakan bahwa:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika datang kepada kalian seseorang
yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika
tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR at-Tirmidzi)
Kemudian orangtua atau wal dari seorang wanita juga diperbolehkan untuk menawarkan
putri atau saudara perempuannya kepada laki-laki shalih untuk dijadikan seorang istri
dengan cara yang halal.
Hal ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:
“Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama
Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal
di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk
menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah
beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan
untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar
ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar
denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku
lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman. Maka berlalulah beberapa
hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan
puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah
engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak
berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak
ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui
bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan
rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya
aku akan menerima tawaranmu.’” (HR al-Bukhari dan an-Nasa-i)

2. Shalat Istikharah
Setelah pihak laki-laki dan wanita telah saling melihat satu sama lain dalam proses
khitbah atau peminangan, maka sebelum memberikan jawaban untuk menerima atau
melanjutkan lamaran tersebut ke tahap selanjutnya sangat dianjurkan untuk melakukan
shalat istikharah bagi keduanya memohon petunjuk kepada Allah subhana hua ta’ala.
Perihal anjuran dari shalat istikharah ini dikisahkan dalam hadis dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk
memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur’an. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Apabila seseorang di antara kalian mempunyai
rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua
raka’at, kemudian membaca do’a: Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang
tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk
mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu
dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak
kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang
Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini
(orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam
agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku,
mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau
mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku,
penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku ‘…di dunia atau akhirat’) maka
singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan
(tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah
keridhaan-Mu kepadaku.” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu
Majah, Ahmad, al-Baihaqi)
Kemudian Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu juga mengisahkan bahwa:
“Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’
Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab,
bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu. Zainab
berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik
kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. Lalu turunlah ayat Al-Qur’an Qs. Al-
Ahzaab:37 dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk
menemuinya.” (HR Muslim dan an-Nasa-i)
3. Aqad Nikah
Jika prosesi khitbah telah mendapatkan jawaban maka langkah selanjutnya adalah akad
nikah yakni prosesi tersakral dan terinti yang membuat sepasang manusia yang tadinya
asing menjadi satu, menjadi sah dalam ikatan pernikahan yang halal dimana mempelai
pria akan mengucapkan ijab qabul terhadap wali dari mempelai wanita dan akan
ditentukan dengan pengesahan dari seluruh saksi serta diakhiri dengan doa ataupun
makan-makan bersama sebagai bentuk syukur atas keberhasilan aqad nikah. Sebelum
prosesi akad tentunya perlu diadakan rapat atau musyawarah kedua belah pihak keluarga
untuk mempersiapkan dan menyesuaikan adat dan teknis dari aqad nikah.

4. Walimah
Walimatul ‘urus adalah sebuah resepsi atau pesta pernikahan yang dilakukan sebagai
bentuk syukur dan berbagi kebahagiaan dengan mengundang saudara dan teman lainnya.
Meskipun begitu cara dan kemewahan dari resepsi ini disesuaikan dengan kemampuan
keluarga dari kedua mempelai
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ahmad, ath-Thayalisi dan
lainnya)

5. Malam Pertama / Bersenggama


Setelah sah menjadi sepasang suami istri maka diwajibkan bagi mereka untuk melakukan
hubungan suami istri dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai