Anda di halaman 1dari 5

1.

Pengertian
Kata al-Zari’ah, dalam bahasa Arab, berarti jalan yang menuju kepada
sesuatu.1 Zari’ah artinya washilah, atau jalan yang menyampaikan kepada tujuan.
Jalan yang menyampaikan kepada tujuan yang haram, maka hukumnyapun
menjadi haram. Sedangkan jalan yang menyampaikan kepada tujuan yang halal, maka
hukumnya pun menjadi halal.
Dalam pandangan ulama, hukum dibagi menjadi dua bagian;
1) Maqashid (tujuan), yaitu maqashid al-syari’ah yang berupa
kemashlahatan, dan
2) Wasa’il (cara dan sarana), yaitu jalan yang menuju kepada pencapaian
hukum.
Dalam hal ini, Imam al-Qarafi menyatakan;
"Wasilah (cara/alat) yang menyampaikan kepada tujuan yang paling utama adalah
alat yang paling utama, dan yang menyampaikan kepada tujuan yang paling buruk
adalah alat yang paling buruk, dan yang menyampaikan pada tujuan yang tengah-
tengah adalah alat yang tengah-tengah juga".
Secara terminologis, al-zari'ah definisikan dengan sesuatu yang membawa
pada sesuatu yang dilarang, karena mengandung kemudharatan.2
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ahli fiqih mazhab Hambali, mengatakan
bahwa pembatasan pengertian al-zariah pada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat,
karena ada pula al-zari'ah yang bertujuan pada yang dianjurkan. Oleh sebab itu,
pengertian al-zari'ah bersifat umum, bisa dilarang dan bisa pula dituntut untuk
dilaksanakan.3
Dalam ilmu Ushul Fiqih, dikenal dua istilah yang berkaitan dengan al-zari'ah,
yaitu; Sadd al-Zari'ah dan Fath al-Zari'ah.
Kata sadd al-zari’ah (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk prase idhafah yang terdiri
dari dua kata yaitu sadd (‫ )سد‬dan al-zari’ah (‫)الذريعة‬. Kata sadd merupakan berarti
yang ‫ سد – یسد – سد ا‬dari masdar menutup sesuatu yang cacat atau rusak.4
Imam al-Syatibi mendefinisikan dzariah dengan:

‫التوسل بماهومصحلةالى مفسدة‬


Artinya; “Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk
menuju kepada suatu kemafsadatan.”
Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya
dibolehkan karena mengandung kemaslahatan, tetapi tujuan (goal and ending) yang
akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan dan kemudharatan.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendefinisikan fath al-dzariah dengan: suatu
perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan
1
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, jilid 3, hal 352
2
Abu bakar Al-Razi, Mukhtar al-Shihah, (Beirut: Daar Shadir, 20 08), hal 156.
3
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’laam al-M waqqi’in ‘an rabbil alamin, hal 147
4
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi, Lisan al-Arabi, (Beirut : Dar Shadir, tt), juz 3, h. 207
syara’. Apa yang dikemukakan di atas merupakan makna yang sangat popular dari
dzariah, akan tetapi arti dari maalat al-ahkam tidak hanya berarti bahwa melarang
hal-hal yang sebenarnya dilarang karena membawa kepada mafsadat dan mudharat,
tetapi pemaknaannya lebih diperluas lagi bahwa dalam maalat ahkam diperbolehkan
hal-hal yang dilarang jika diprediksikan bahwa itu membawa kepada manfaat atau
kemaslahatan.

‫ فقال النبي‬،‫ خطبت امرأةعلى عهدرسول\ هللا صلي هللا عليه وسلم‬:‫عن مغيرة بن شعبةقال‬
‫ فانظر إليها فإنه أجدرأن يؤدم بينكما‬:‫ قال‬،‫ ال‬:‫ أنظرت إليها؟ قلت‬:‫صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya; “Dari Mugirah bin Syu‟bah beliau berkata: Saya pernah meminang seorang
perempuan pada zaman nabi, lalu nabi bertanya: Sudah pernah kah anda
melihatnya? Aku menjawab: Belum. Kemudian beliau bersabda: Lihatlah dia karena
itu merupakan jalan terbaik yang dapat melanggengkan rumah tangga di antara
kalian berdua.”
Dari hadis yang dipaparkan di atas dipahami bahwa sebenarnya hukum asal
dalam ajaran agama yaitu menahan mata untuk tidak melihat kepada perempuan.
Akan tetapi tujuan yang paling agung disyariatkannya pernikahan adalah untuk
menggapai kebahagian dan kasih sayang. Oleh karena itu, syariat agama membuka
jalan dan membolehkan untuk melihat pinangan bagi orang yang meminang seorang
perempuan. Dari sini dipahami adanya korelasi yang sangat erat antara konsep fath
al-zari’ah dengan I’tibar al-ma’alat oleh karena syariat itu sangat hati-hati dalam
mempertimbangan kemafsadatan yang bakal terjadi dan memperhatikan kemaslahatan
yang sering dilupakan oleh banyak kalangan mujtahid. Caranya adalah membolehkan
sarana-sarana yang bekerja dalam kerangka memelihara tujuan dan maksud syariat
sambil mempertimbangkan dengan matang dan cermat hal-hal yang bakal terjadi pada
masamasa yang akan datang.5
2. Kehujjahan
Kalangan Ushuliyyin berbeda pendapat tentang sad al-dzarai sebagai dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa Sadd al-
Dzarai dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Adapun dalil al-Qur’an dan Hadist yang dapat dijadikan sebagai dasar teori sadd al-
zari’ah dan fath al-zari’ah ini, yaitu;
1. Q.S Al-An’am (26): 108

‫َواَل تَ ُسبُّوا\ الَّ ِذ ْينَ يَ ْد ُعوْ نَ ِم ْن ُدوْ ِن هّٰللا ِ فَيَ ُسبُّوا هّٰللا َ َع ْد ًو ۢا بِ َغي ِْر ِع ْل ۗ ٍم َك ٰذلِكَ َزيَّنَّا لِ ُكلِّ اُ َّم ٍة َع َملَهُ ۖ ْم ثُ َّم اِ ٰلى‬
َ‫َربِّ ِه ْم َّمرْ ِج ُعهُ ْم فَيُنَبُِّئهُْ\م بِ َما َكانُوْ ا يَ ْع َملُوْ ن‬

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.
Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka
apa yang telah mereka kerjakan.”

5
Misbahuddin, Ushul Fiqh I, hal.208
Dalam ayat ini Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum musyrik, karena
kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan makian yang sama bahkan lebih.

2. Q.S An-Nur (24): 31

َ‫َواَل يَضْ ِر ْبنَ بِاَرْ ُجلِ ِه َّن لِيُ ْعلَ َم َما ي ُْخفِ ْينَ ِم ْن ِز ْينَتِ ِه ۗ َّن َوتُوْ ب ُْٓوا اِلَى هّٰللا ِ َج ِم ْيعًا اَيُّهَ ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬
Artinya:
“Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang
beriman, agar kamu beruntung.”
3. Hadis Rasulullah saw., di antaranya adalah:

‫ يسب أبا‬:‫ يارسول هللا كيف يلعن الرجل والديه؟ قال‬:‫ قيل‬،‫إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه‬
‫ ويسب أمه فيسب أمه‬،‫الرجل فييسب أباه‬
Artinya;
“Sesungguhnya bahagian dari dosa besar adalah seorang melaknat kedua orang
tuanya. Lalu Rasulullah saw. ditanya orang, “Wahai Rasulullah saw. bagaimana
mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?. Rasulullah menjawab, Seseorang
mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang itu dan
seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci maki orang itu.
(HR. al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud).”
Selain dari ayat-ayat al-Qur’an diatas, dapat ditemukan juga dasar hukum Sadd al-
Zari’ah dan Fath al-Zari’ah dari sunnah nabi sebagai berikut;
1) Nabi melarang para sahabat untuk membunuh orang munafik, karena
membunuh mereka dapat mengakibatkan nabi dituduh membunuh sahabatnya
sendiri.
2) Nabi melarang kepada para kreditur mengambil/ menerima hadiah dari debitur
karena yang demikian dapat membawa kepada riba. Dari segi lain ini adalah
ihtiyath.
3) Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan
ditangguhkan sampai selesainyaperang, karena memotong tangan pencuri pada
waktu perang membawa akibat tentara lari bergabung dengan musuh,
sebagaimana sabda nabi;
‫ال تقطع األيدفي الغزو‬
“jangan potong tangan (pencuri) pada waktu peperangan.” (HR Abu Daud).
4) Nabi melarang penimbunan karena penimbunan menjadi zari’ah kepada
kesempitan/ kesulitan manusia.
5) Nabi melarang fakir miskin dari Bani Hasyimmenerima bagian dari zakat,
kecuali apabila ia berfungsi sebagai amil karena zari’ah, agar jangan timbul
fitnah, nabi memperkaya diri dan keluarganya dengan zakat.
6) SabdaRasulullah saw; “Haram berkhalwat (berdua-duaan) bagiseorang
wanita dan seorang pria yang bukan mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
7) Sabda Rasulullah saw; “Dilarang bagiseorang wanita untuk melakukan
perjalanan tanpa didampingi mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
8) Sabda Rasulullah saw; “Dilarang membangun masjid di atas kuburan dan
melaksanakan shalat di atasnya.” (HR Bukhari dan Muslim).6
9) Sabda Rasulullah saw; “Larangan mengawiniseorang wanita sekaligus
dengan bibinya, karena perbuatan ini akan membuat putusnya hubungan
kekerabatan antara wanita-wanita tersebut.” (HR Ahmad, Muslim Abu Daud,
Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
10) Sabda Rasulullah saw: “Larangan melaksanakan puasa pada hari raya idul
Fithri.” (HR Ahmad)
Semua larangan pada hadits di atas muncul karena perbuatanperbuatan tersebut akan
membawa kemafsadatan,yang kadang-kadang masih bersifat dugaan.
Sebagai contoh, kepergianseorangwanita bukan dengan mahramnya. Menurut ulama
Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali, akan terjadinya fitnah terhadap wanita tersebut masih
bersifat dugaan, tetapi Rasulullah saw melarang perbuatan tersebut.7
4. Kedudukan
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan Sadd al-Zara’i dan Fath al-
Zara’i sebagai dasar atau dalil dalam hukum Islam. Secara umum berbagai pandangan
ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok.
1. Ulama yang menerima sepenuhnya
Ulama yang menerima sepenuhnya penggunaan sadd al-zara’i dan fath al-zara’i
sebagai metode dalam menetapkan hukum adalah ulama Malikiyah dan Hanabilah.
Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam QS. Al-An’am
(6): 108

َ ِ‫َواَل تَ ُسبُّوا الَّ ِذ ْينَ يَ ْد ُعوْ نَ ِم ْن ُدوْ ِن هّٰللا ِ فَيَ ُسبُّوا هّٰللا َ َع ْد ًو ۢا بِ َغي ِْر ِع ْل ۗ ٍم َك ٰذل‬
‫ك زَ يَّنَّا لِ ُكلِّ اُ َّم ٍة َع َملَهُ ۖ ْم‬

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.”
2. Ulama yang tidak menerima sepenuhnya
Ulama yang tidak menerima sepenuhnya penggunaan sadd al-zara’i dan fath al-
zara’i sebagai metode dalam menetapkan hukum adalah mazhab Syafi’I dan mazhab
Hanafi. Ulama kelompok kedua ini menolak sadd al-zara’i dan fath al-zara’i pada
kasus-kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus lain.
Contoh kasus tentang wanita yang masih dalam masa iddah karena ditinggal mati
suaminya dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan
6
Dr. H. Zamakhsyari, Lc,. MA, Teori-teori Hukum Islam hal.154
7
Muhammad Hisyam al-Burhani, Sadd al-Zari’ah fi al-syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: mathba’ah ar-Raihani,
1985), hal 69.
pakaian yang mencolok. Larangan tersebut karena di khawatirkan wanita itu akan
menarik perhatian lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi.
3. Ulama yang menolak sepenuhnya
Ulama yang menolak sadd al-zara’i secara mutlak adalah ulama Zahiriyyah.
Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum
berdasarkan makna tekstual nass (zahir al-lafz). Itu berarti bertentangan dengan sadd
al-zara’i yang merupakan hasil penalaran terhadap suatu perbuatan yang masih dalam
tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai daam tingkatan dugaan yang kuat. Karena
itu, menurut Zahiriyyah penggunaan sadd al-zara’i dalam penetapan hukum adalah
semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nass secara langsung.
Ketegasan penolakan ulama Zahiriyyah ini dapat kita baca dalam kitab al-
Ihkam fi Usul al-Ahkam yang ditulis oleh Ibnu Hazm (w. 1064) yang di dalamnya ada
satu pembahasan khusus untuk menolak sadd al-zara’i dalam bab al-ihtiyat.8

8
Akhmad Farid, Ushul Fikih Kelas X MA Peminatan Agama, hal.195

Anda mungkin juga menyukai