Anda di halaman 1dari 23

No :FRM-SKP/045

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN Tanggal :


Revisi : 00
MUHAMMADIYAH GOMBONG Halaman : 1 dari 1

FORM LAPORAN
KAJIAN KLINIK KEISLAMAN

Nama mahasiswa : Mabruroh Hari/ Tanggal 08 Maret 2021


Tempat pelaksanaan : Ruang Bougenvile Tema : Profesi Dokter Kandungan
Laki-laki dalam Perspektif
Hukum Islam

Komponen Uraian
1. Tema Profesi Dokter Kandungan Laki-laki dalam Perspektif Hukum Islam

2. Nara Sumber -

3. Kajian Ke- Pelayanaan kesehatan merupakan salah satu upaya dalam


Islaman melestarikan kehidupan sosial yang baik. Masyarakat akan memilih
Rumah Sakit atau Puskesmas sebagai tempat berobat. Sehingga tidak
bisa dipungkiri dengan berkumpulnya masyarakat dalam satu wadah
untuk mencapai status hidup yang sehat sudah menghilangkan batas-
batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian Ulama mengharamkan wanita untuk memperlihatkan
auratnya kepada yang bukan mahram, namun sebagian ulama juga
membolehkan aurat perempuan dilihat oleh orang yang bukan
mahramnya dengan berbagai pertimbangan sesuai tingkat kesulitan
yang mereka rasakan.
Agama Islam adalah agama yang tidak memberikan umatnya
kesukaran namun lebih mengutamakan maslahat dan kemudahan untuk
umatnya (Q. S Al-Baqarah ayat 185). Sehingga dalam hal ini, seorang
dokter kandungan laki-laki diperbolehkan untuk melihat, memeriksa
dan menyentuh anggota tubuh pasien wanitanya tetapi hanya pada
kondisi darurat dan pada area-area tertentu yang memerlukan
pengobatan. Pengobatan tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat-
syarat berikut :
1. Dokter harus bertakwa kepada Allah SWT, dapat dipercaya, adil,
mempunyai keistimewaan dan ilmu pengetahuan pada bidangnya.
2. Tidak membuka bagian tubuh pasien yang lain kecuali dengan
keperluan pemeriksaan
3. Selama proses pengobatan harus didampingi oleh mahramnya
(suami, ibu, dan atau saudara wanitanya)
4. Utamakan dokter yang muslim

Nara Sumber,

(…………………………)
LAPORAN

KAJIAN KLINIK ISLAM ( KKI )

PROFESI DOKTER KANDUNGAN LAKI-LAKI


DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Di susun Oleh :

Mabruroh

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

GOMBONG

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah


Ta’ala, demikian pula salam dan shalawat di peruntukkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi waSallam, sahabat–sahabat dan seluruh ahlul bait
di dunia dan akhirat.

Dengan selesainya penyusunan makalah KKI (Kajian Klinik Islam) yang


berjudul Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki Dalam Perspektif Hukum
Islam, kami sampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang sedikit
atau banyaknya bantuan dari mereka, menjadikan terselesaikannya makalah ini
secara tepat waktu. Semoga Allah SWT, memberikan balasan yang berlipat ganda
kepada semuanya.

Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan


kami terima dengan senang hati. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT, kami
serahkan segalanya, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi kita semua.

Kebumen, Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR .................................................................................ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................iii
KASUS PEMICU ........................................................................................iv
BAB I : PENDAHULUAN ..........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1


B. Rumusan Masalah ..............................................................................3
C. Tujuan ................................................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN ...........................................................................4
A. Pandangan Ulama Tentang Aurat Perempuan ...................................4
B. Faktor-Faktor Yang Membolehkan Melihat Aurat ............................7
C. Perspektif Hukum Islam Tentang Dokter Kandungan Laki-Laki ....10
BAB III : PENUTUP .................................................................................17
A. Kesimpulan .....................................................................................17
B. Saran ................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................18

iii
KASUS PEMICU

Pada tanggal 08 Maret 2021 pukul 10.55 WIB pasien Ny. N (25 tahun)
datang ke ruang VK RSUD DR SOEDIRMAN KebumenFbersama suaminya Tn.
J (29 tahun) menggunakan brankar. Pasien mengatakan perutnya mulas, terasa
kencang-kencang sejak pukul 07.30 WIB disertai dengan perdarahan. Ibu
mengatakan sekarang hamil yang kedua dengan usia kehamilan 11 minggu, tidak
pernah melakukan aborsi dan pada persalinan yang pertama dilakukan secara
normal. Saat dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah,
kesadaran compos mentis (E4M6V5), gestasi G2P1A0 UK 11 minggu. Hasil TTV
: TD 80/60 mmHg, N 90x/menit, RR 24 x/menit, dan S 36,80C.

Pukul 11.10 suami pasien datang ke ruang bidan mengeluhkan istrinya


sudah tidak kuat menahan rasa sakit dan kontraksi dan menanyakan tindakan yang
sebaiknya dilakukan itu apa. Lalu bidan melakukan pemeriksaan dalam
didapatkan hasil bahwa hanya gumpalan darah yang ada di jalan lahir bukan
janinnya sehingga hasil tersebut dilaporkan ulang ke dr. P. Sehingga dari advice
dr. P pasien Ny. N dianjurkan untuk dilakukan kuretase pukul 14.00 WIB di ruang
IBS

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanaan kesehatan merupakan salah satu upaya dalam
melestarikan kehidupan sosial yang baik. Dalam rangka pemenuhan
pelayanan yang baik dan teratur, maka dibuatlah tempat bagi para
masyarakat untuk berinterkasi dalam hal pemenuhan kesehatan.
Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik dan berbagai tempat untuk berobat
merupakan bentuk dimana keseriusan pemerintah dalam menyediakan
fasilitas para pasien untuk berobat.
Pada umumnya, masyarakat yang mengerti dan paham tentang
pengobatan yang layak bagi mereka akan memilih Rumah Sakit atau
Puskesmas sebagai tempat berobat. Di tempat itulah mereka
berkumpul demi kesembuhan yang mereka inginkan mulai dari anak
bayi yang menjadi pasien rumah sakit sampai dengan usia lanjut.
Tidak bisa dipungkiri dengan berkumpulnya masyarakat dalam satu
wadah demi tujuan yang sama yaitu hidup sehat sudah menghilangkan
batas-batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Beberapa kata
mempunyai makna baru dan bahkan ada yang meluas
penggunaannya. Salah satu adalah kata “percampuran atau
pergaulan”.1
Islam menganjurkan untuk setiap orang yang sedang tertimpa
musibah dalam arti terkena penyakit untuk berobat. Berobat untuk
meraih kesembuhan merupakan salah satu bentuk memelihara jiwa
sebagaimana tujuan hukum Islam yaitu maqa>sid shari’ah. Menjadi
seorang mukmin yang kuat dan sehat merupakan salah satu bentuk
sunnah Nabi.

1 Yusuf Qardhawi, Fiqh Wanita Segala Hal Mengenai Wanita, Cet.


Ke-1, (Bandung: Jabal, 2006), 99.

1
2

Sebagian Ulama mengharamkan wanita untuk memperlihatkan


auratnya kepada yang bukan mahram. Sebagian ulama juga
membolehkan memperlihatkan aurat perempuan kepada yang bukan
mahramnya dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan sesuai
tingkat kesulitan yang mereka rasakan. Di sinilah kita bisa
melihat bagaimana tindakan para pemedis yang bekerja dalam suatu
instansi kesehatan dalam hal ini Dokter dan Perawat. Dalam keadaan
serta kondisi yang tidak memungkinkan, mau tidak mau para tenaga
medis yaitu Dokter dan Perawat akan bercampur baur dengan para
pasien baik yang laki-laki maupun perempuan. Ketika
dalam kondisi tersebut tingkat untuk menghindari bersentuhnya antara
laki-laki dan perempuan sangatlah susah.
Tindakan yang dilakukan Dokter dan Perawat merupakan
serangkaian prosedur dan etika yang harus dilakukan oleh para tenaga
medis tersebut. Misalnya ketika seorang dokter memeriksa pasien
laki-laki atau perempuan atau seorang Suster yang
menyuntik pasien yang bukan mahramnya. Kesemuanya itu
merupakan prosedur yang harus dihadapi bagi para tenaga medis guna
memberikan pelayanan maksimal terhadap pasien. Bahkan, tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa di dunia modern sekarang ini keberadaan
Profesi Dokter dan Perawat kian tahun semakin bertambah.
Lulusan-lulusan Dokter inilah yang akan menangani pasien sesuai
dengan prosedur yang ada. Misalnya saja Dokter Spesialis Kandungan
Laki-Laki yang sekarang ini lagi menjadi salah satu pilihan para
sarjana kedokteran. Profesi ini terkadang sebagian orang tidak
sepaham karena dalam proses penanganannya pihak Dokter
diharuskan untuk memeriksa seorang pasien dari segi fisiknya. Tidak
hanya itu, terkadang seorang pasien harus memperlihatkan aurat dan
kehormatannya demi lancarnya prosedur yang telah diatur, misalnya
saja dalam kondisi seorang pasien mau melahirkan atau aborsi yang
diperbolehkan sesuai dengan ketentuan yang ada.
3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan ulama tentang aurat perempuan?
2. Apa saja faktor-faktor yang membolehkan melihat aurat?
3. Bagaimana perspektif hukum islam tentang dokter kandungan laki-
laki?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pandangan ulama tentang aurat perempuan.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang membolehkan
melihat aurat.
3. Untuk mengetahui perspektif hukum islam tentang dokter
kandungan laki-laki.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan Ulama Tentang Aurat Perempuan


Aurat merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang berasal dari
kara “arayauru-auran” yang bermakna tampak, lahir, muncul. Kata
ini juga bisa bermakna aib/cela, juga bisa bermakna menimbun
dengan tanah hingga terhambat mata airnya.2
Ini berarti bahwa aurat adalah suatu yang harus ditutup dan ditimbun
agar tidak dapat dilihat dan dipandang.3 Kata yang bermakna aurat
juga ada pada kata “sauah” seperti
yang tercantum dalam Qs. T}aha ayat 121 yang artinya : “Maka
keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi
keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan
daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam
kepada Tuhan dan sesatlah ia”.
Dalam pengertian istilah, aurat adalah sesuatu yang menimbulkkan
birahi atau syahwat, membangkitkan nafsu angkara murka, sedangkan
ia mempunyai kehormatan yang dibawa oleh rasa malu supaya
ditutupi dan dipelihara dengan tidak mengganggu
manusia lainnya, serta menimbulkan kemurkaan, padahal ketentraman
hidup dan kedamaian hendaklah dijaga sebaik-baiknya.4
Dalam pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian dari
tubuh manusia yang pada prinsipnya tidak boleh kelihatan, kecuali
dalam keadaan darurat atau kebutuhan yang mendesak.5

2
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), 984.
3
Fuad Moh. Fahruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Islam (Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, 1984), 10-11.
4
Fuad Moh. Fahruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Islam, 10.
5
Quraisy Shihab, Jilbab Pakaian Muslimah (Jakarta: 1 Lentera Hati, 2004), 44.

4
5

Rasulullah Saw. juga bersabda yang artinya


“Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh), tidak
boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga
pergelangan tangan” (HR Abu Da>wud). Dalil-dalil ini dengan jelas
menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah
dan kedua telapak tangannya. Juga dengan jelas menunjukkan bahwa
wanita wajib menutupi auratnya, yakni menutupi seluruh tubuhnya,
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.6
Pengertian di atas dapat kita pahami bahwa aurat merupakan
sesuatu yang wajib kita tutupi baik laki-laki maupun perempuan guna
menjaga kehormatan dimata orang yang memandangnya. Sehingga
menutup aurat itu dianjurkan oleh agama terkecuali dalam keadaan
serta kondisi tertentu yang dibolehkan membuka aurat.
Bertrand Russell menyatakan bahwa menutup aurat adalah sesuatu
yang tabu. Dia bertanya: “karena para bapak dan ibu harus menutup
auratnya di hadapan anakanaknya, bukankah ini yang menyebabkan
rasa ingin tahu si anak timbul?. Kalaulah orang tua itu tidak berusaha
menutupi auratnya, tentunya rasa ingin tahu tersebut tidak akan
timbul. Orang tua harus menunjukkan auratnya di hadapan anak-
anaknya agar mereka tahu segala sesuatunya dari pertama. Paling
tidak seminggu sekali, para orang tua pergi ke tempat-tempat umum,
misalnya pemandian atau sahara dan
menunjukkan auratnya di hadapan anak-anaknya.”7

6
Taqiyudin an-Nabhani, Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3 (Jakarta: Hizbut
Tahrir Indonesia, 2007), 66.
7
Bertrand Russell, dalam Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah
(Bandung: Mizan, 2002), 36-37.
6

Para ‘ulama masih memperdebatkan masalah tentang aurat yang


harus ditutupi oleh kaum wanita ketika mereka bertemu dan
berinteraksi dengan kaum pria.
1. Pendapat Al-Ahnaf (pengikut Hanafi) berpendapat bahwa
wanita boleh membuka muka dan kedua telapak tangan namun
pria tetap haram melihat kepadanya dengan
pandangan syahwat
2. Dalam mazhab Maliki terdapat tiga pendapat:
a) Mengatakan wajib menutup muka dan kedua telapak tangan
b) Tidak wajib menutup muka dan kedua telapak tangan, tetapi
pria wajib menundukan pandanganya.
c) Perbedaan cantik dan tidak cantiknya seorang wanita, jika ia
cantik maka ia wajib menutup muka dan kedua telapak
tangan. Sedangkan wanita yang tidak cantik tidak wajib
menutupnya atau disunahkan.
3. Jumhur (golongan terbesar): Mazhab Shafi’i mengatakan tidak
wajib menutup wajah dan kedua telapak tangan sekalipun
mereka berfatwa untuk menutupinya.
4. Mazhab Hambali : mengatakan wajib menutup keduaanya.
5. Jumhur Fuqaha (golongan terbesar ahli-ahli fiqh) berpendapat
bahwa muka dan dua telapak tangan bukan aurat karena itu
tidak wajib menutupnya tetapi wajib ditutup jika dirasa tidak
aman.8
8
Haya binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir
Hamzah Fachrudin (Jakarta: Darul Falah, 1422 H), 149.

B. Faktor-Faktor Yang Membolehkan Melihat Aurat


7

Islam memandang pergaulan antara laki-laki dan wanita sebagai


suatu hal yang amat penting. Tetapi bagaimanapun juga, Islam telah
menetapkan hukum secara umum mengenai masalah ini. Islam Justru
memperhatikan dengan melihat tujuan atau kebaikan yang hendak
diwujudkan, atau bahaya yang dimungkinkan, gambarannya dan
syarat-syaratnya yang harus dipenuhi atau lainnya. Sebaik-sebaik
petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Rasulullah petunjuk para
sahabat yang menjadi pedoman. Orang yang ingin memperhatikan
petunjuk ini, niscaya akan tahu bahwa Islam tidaklah memenjarakan
kaum wanita atau mengisolasi mereka seperti yang terjadi zaman
kemunduran Islam9.
Pada dasarnya, Qs. An-Nur (24):31 tidak memberikan batasan
yang tegas mana aurat wanita yang boleh terlihat di hadapan wanita-
wanita kafir. Hanya saja, seorang wanita muslimah mesti menjaga
kehormatan dirinya dengan tidak membuka aurat yang tabu (seperti
payudara, kemaluan, paha, dan lain sebagainya) di hadapan wanita-
wanita kafir. Hendaklah dia mengenakan pakaian yang sopan dan
tidak merendahkan maruah dirinya.10
Allah telah membolehkan adanya interaksi di antara keduanya,
baik dalam kehidupan khusus maupun dalam kehidupan umum. Allah
misalnya, telah membolehkan kaum wanita untuk melakukan jual-beli
serta mengambil dan menerima barang; mewajibkan mereka untuk
menunaikan ibadah haji; membolehkan mereka untuk hadir dalam
shalat berjamaah, berjihad melawan orang-orang kafir, memiliki harta
dan mengembangkannya, dan sejumlah aktivitas lain yang dibolehkan
atas mereka.

9
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer (Jakarta: Gema Insani, 2006).
10
Hukum wanita Muslimah menampakkan auratnya di hadapan wanita kafir, 5.
8

Semua aktivitas yang dibolehkan atau diwajibkan oleh syariah


Islam terhadap kaum wanita, harus dilihat dulu. Jika pelaksanaan
berbagai aktivitas di atas menuntut interaksi/pertemuan (ijtima’)
dengan kaum pria, boleh pada saat itu ada interaksi dalam batas-batas
hukum syariah dan dalam batas aktivitas yang dibolehkan atas
mereka. Ini misalnya aktivitas jual-beli, akad tenaga kerja (ija>rah),
belajar, kedokteran, paramedis, pertanian, industri, dan sebagainya.
Sebab, dalil tentang kebolehan atau keharusan aktivitas itu berarti
mencakup kebolehan interaksi karena adanya aktivitas-aktivitas itu.
Namun, jika pelaksanaan berbagai aktvitas di atas tidak menuntut
adanya interaksi di antara keduanya seperti berjalan bersama-sama di
jalan-jalan umum; pergi bersama-sama ke masjid, ke pasar,
mengunjungi sanak-famili, atau bertamasya; dan yang sejenisnya,
boleh seorang wanita melakukan interaksi dengan seorang pria. Sebab,
dalil-dalil tentang keharusan pemisahan kaum pria dari kaum wanita
bersifat umum. Tidak ada satu dalil yang membolehkan adanya
interaksi di antara pria dan wanita dalam perkara-perkara di atas, dan
interaksi itu pun tidak dituntut oleh perkara yang dibolehkan oleh
syariah untuk dilakukan seorang wanita.11
Seorang dokter boleh melihat aurat wanita pada tempat-tempat
yang memerlukan pengobatan. Pengobatan terhadap wanita tidak
diperbolehkan kecuali dengan beberapa syarat:
1. Dokter haruslah bertakwa, dapat dipercaya, adil, mempunyai
keistimewaan dan ilmu pengetahuan pada bidangnya.
2. Jangan membuka bagian-bagian tubuh pasien wanitanya kecuali
dengan keperluan pemeriksaan.

11
Taqiyudin an-Nabhani Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3 (Jakarta: Hizbut
Tahrir Indonesia, 2007), 54.
9

3. Selama pengobatan harus didampingi mahramnya, suami atau


wanita yang dapat dipercaya seperti ibunya atau saudara wanitanya.
4. Seorang dokter tidak boleh non muslim selama masih ada yang
muslim.
Apabila syarat-syarat tadi terpenuhi maka dokter boleh melihat atau
menyentuh bagian-bagian aurat tersebut, karena Islam adalah agama
yang tidak memberikan umatnya kesukaran namun mengutamakan
maslahat dan kemudahan untuk ummatnya.12 Dasar hukumnya adalah
Qs. Al-Baqarah ayat 185, yang artinya
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”, serta kaidah fiqih yaitu:
13 ‫ضرار ال و ضرر ال‬
Pembolehan melihat aurat untuk pengobatan ini juga dinyatakan
dalam berbagai fatwa ulama, baik klasik maupun modern. Ahmad ibn
Hanbal (164-241 H) misalnya, ia membolehkan dokter atau yang
sejenisnya laki-laki melihat aurat pasien wanita yang bukan mahram
khusus pada bagian tubuh yang menuntutnya meski aurat vitalnya,
demikian pula sebaliknya, dengan alasan “tuntutan”. 14 Ibn Muflih
(816-884H), Ulama Hanabilat berfatwa membolehkan menyikap dada
perempuan yang lengannya terluka dan menyentuhnya karena darurat.
Demikian juga, jika seorang wanita sakit dan tidak diketahui sakitnya
kecuali oleh dokter laki-laki, maka dokter tersebut, jika kondisinyaa
sangat menuntut demikian dibolehkan melihat tempat sakitnya itu,
bahkan hingga bagian aurat vitalnya. Hal yang sama disampaikan pula
oleh Qadli Abu Ya’la al-Hanbali, Ibn Abidin al-Hanafi dan lain-lain.15

12 Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai keluarga Sakinah, alih bahasa Ida Mursida (Bandung, Penerbit Mizan,

1992), 204-206.

13 Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Ashbah Wa an-Nazair (Bairut: Da>r al-Kutu>b al- ‘Ilmiyah), 165.

14Muwaffiq al-Din, al-}T}ibb min al-Kitab wa al-Sunnat (Beirut, Da>r al-Ma’rifat, 1996), 193.

15 Ibn Muflih al-Hanbali, Adab ash-Shar’iyyat (tt; ‘Alam al-Kutub,tth), II, 464.
10

Ibnu Qudamah berkata: "seorang dokter dibolehkan melihat bagian


tubuh wanita yang sakit bila perlu diperiksa. Sebab bagian tubuh itu
memang perlu dilihat. Diriwayatkan dari Uthman bahwa dibawa ke
hadapannya seorang bocah yang didapati telah mencuri, beliau
berkata: "periksalah dalam sarungnya!" yakni bulu kemaluannya yang
menunjukkan apakah ia sudah baligh atau belum. Setelah diperiksa
ternyata bulu kemaluannya belum tumbuh, beliaupun tidak memotong
tangannya."16
Mengenai pemahaman penafsiran tentang menutup aurat bagi
wanita dan laki-laki, masing-masing penafsir atau ulama memahami
secara berbeda karena kondisi serta zaman yang berbeda. Oleh karena
itu, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan membuka aurat.
Meskipun pada dasarnya, menutup aurat itu wajib ketika berhadapan
yang bukan mahramnya.
C. Perspektif Hukum Islam tentang Dokter Kandungan Laki-Laki
Memposisikan Ilmu Kedokteran dalam kerangka ajaran Islam
dilihat dari segi sumbernya, Abu al-Ashbal al-Zuhairi secara
dikotomis membagi Ilmu atas dua kategori, ilmu syari’at (al-‘ilm al-
shar’i) dan ilmu kealaman (al-‘ilm al-kauni). Sumber ‘ilm Shar’i
adalah al-Qur’an, Hadith, dan Ijmak. Sedangkan Ilmu kealaman
merupakan jenis ilmu dari hasil pengamatan, penelitian, percobaan,
observasi, dan sejenisnya.17 Berdasarkan pembagian ini, posisi ilmu
kedokteran termasuk jenis al-‘ilm al-kauni. Dari segi peringkat
keutamaannya, sebagian ulama membagi ilmu menjadi 3 kategori:
pertama, tertinggi (al-a’la) yaitu yang bersumber (langsung) dari al-
Qur’an dan Hadith. Kedua, pertengahan (al-ausat}) yaitu ilmu-ilmu
duniawi hasil penelitian, pengamatan, observasi, dan sejenisnya,
seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, dan sebagainya.

16
lihat kitab Al-Mughni VII/459 dan kitab Ghadza>ul Albab I/97.
17
Abd. Al-Barr, Jami’ Baya>n al-‘Ilm wa Fad}luh (Kairo: Maktabat Ibn Taimiyat, 1996), 37.
11

Ketiga, ilmu rendah (al-asfal) yaitu ilmu-ilmu jenis olah keterampilan,


seperti olahraga, menjahit dan sebagainya.18
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama dalam memposisikan ilmu
kedokteran dalam bingkai ajaran Islam bersifat mengikat atau tidak,
secara faktual ajaran Islam sangat memperhatikan masalah
kedokteran, baik yang bersifat represif maupun preventif
(pencegahan). Nampaknya, perbandingan perhatian ajaran Islam
terhadap usaha preventif terlihat lebih menonjol, lebih terurai, dan
lebih aplikatif seperti dapat dilihat dari peran Rasulullah pembawa
risalah yang sangat menekankan kesehatan sebagaimana dijabarkan
dalam buku-buku sejarah dan hadith, juga dapat digali dari sisi
h}ikmat al-tashri’.19
Dalam kehidupan kaum Muslim, dalam segala kondisi mereka
secara umum, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syariah, baik
yang tercantum dalam al-Quran maupun as-Sunnah bahwa kehidupan
kaum pria terpisah dari kaum wanita. Ketentuan ini berlaku dalam
kehidupan khusus seperti di rumah-rumah dan yang sejenisnya,
ataupun dalam kehidupan umum, seperti di pasar-pasar, di jalan-jalan
umum, dan yang sejenisnya. Ketentuan tersebut merupakan ketetapan
berdasarkan sekumpulan hukum Islam (majmu’ al-ahka>m) yang
berkaitan dengan pria, wanita, atau kedua-duanya; juga diambil dari
seruan al-Quran kepada kaum wanita dalam kedudukannya sebagai
wanita dan kepada kaum pria dalam kedudukannya sebagai pria.20

18
Abd. Al-Barr, Jami’ Baya>n al-‘Ilm wa Fad}luh (Kairo: Maktabat Ibn Taimiyat, 1996), 37.
19
Hikmat al-Tashri’ dalam konteks ini didefenisikan sebagai suatu motivasi dalam
pengsyariatkan hukum dalam rangka mencapai suatu mas}lahat atau menolak suatu mafsadat.
Lihat ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tashri’ wa falsafatuh, (Beirut: Da>r al-Fikr,tth), j. I,
5. Muhammad Rasyid Ridla’, Tafsi>r al-Qur’an al-Haki>m al-Mashhir bi Tafsir al-Mana>r,
(Beiru>t: Da>r alMa’arif, tth), j. III, 310.
20
Taqiyudin an-Nabhani Sistem Pergaulan Dalam Islam, Cet. Ke-3 (Jakarta: Hizbut Tahrir
Indonesia, 2007), 51.
12

Allah Swt. berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 35 yang artinya :


“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-
laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Terdapat kesenjangan antara pemahaman dokter berkaitan dengan
filsafat moral, karena dokter bukan filosof dengan pakar filsafat.
Karena itu diperlukan panduan praktis yang merupakan hasil
pemikiran mendalam dari filosof, tetapi dapat langsung diaplikasikan
tanpa membuat dokter merasa bersalah atau berdosa. Panduan atau
pedoman praktis itu termuat dalam kaidah dasar bioetika; sebagian
filosof menyebutkannya dengan istilah principalism.21 Terdapat 4
kaidah dasar moral (bioetika), meliputi:22
1. Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy).
2. Berbuat baik (benefi cence).
3. Tidak berbuat merugikan (non-malefi cence).
4. Keadilan (justice).

21
Gillon R. Medical ethics: four principles plus attention to scope, (BMJ, 1994),
309:184 – 8.
22
Yusuf Alam Romadhon, Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran, CDK 206/
Vol. 40 No. 7, 2013, 549.
13

Sedangkan menurut kaidah dasar Bioetika Islam meliputi:


1. Kaidah Niat (Qaidah Niyya>t).
Prinsip ini meminta dokter agar berkonsultasi dengan hati
nuraninya.
2. Kaidah Kepastian (qaidah al-yaqi>n).
Tidak ada yang benar-benar pasti (yaqi>n) dalam ilmu kedokteran,
artinya tingkat kepastian dalam ilmu kedokteran tidak mencapai
standar yaqi>n yang diminta oleh hukum.
3. Kaidah Kerugian (Qaidah al-D{arar)
a) Intervensi medis untuk menghilangkan al-d}arar (luka,
kerugian, kehilangan hari-hari sehat pasien).
b) Tidak boleh menghilangkan al-d}arar dengan al-d}arar yang
sebanding (al-d}arar la
yuza>l bi mithlihi).
c) Keseimbangan antara kerugian dan keuntungan.
d) Keseimbangan antara yang dilarang dan diperbolehkan
e) Pilihan antara dua keburukan.
4. Kaidah Kesulitan (Qoidah al-Mashaqqat)
a) Kebutuhan melegalisir yang dilarang.
b) Batas-batas prinsip kesulitan: dalam melanggar syari’ah tersebut
tidak melewati batas-batas yang diperlukan (secukupnya saja).
c) Aplikasi sementara dari prinsip kesulitan.
Dalam menentukan hukum pengobatan oleh lawan jenis,
sekurangnya ada 4 hal yang menjadi pertimbangan, yaitu
berhubungan dengan khalwat, berpandangan dengan lain jenis,
melihat aurat pasien, dan terbukanya aib pasien. Masalah yang
muncul, biasanya pertimbangan tersebut terkalahkan oleh
kezaliman. Pasien biasanya dalam berobat, akan memilih orang
yang telah teruji kemampuannya dan diyakini akan dapat
menyembuhkan penyakitnya tanpa memandang jenisnya. Dokter
atau yang sejenisnya, biasanya dalam berpraktik berlaku umum
14

dan professional, tidak melihat jenis kelamin pasiennya. Apalagi


bagi dokter yang terikat dengan Kode Etik Kedokteran dalam
menunaikan tugasnya tidak dibenarkan membedakan pasien.
Masalahnya disini, dalam praktiknya kadang dituntut melakukan
inspeksi (periksa pandang), palpasi (perabaan), perkusi
(memukulkan jari kebagian tubuh yang diperiksa), bahkan jika
diperlukan mesti melihat atau memegang bagian alat vital
pasien, disinilah masalah yang muncul dari perspektif hukum
Islam.23
Dokter mengobati secara langsung dengan menyentuh bagian tubuh
pasien hukumnya adalah boleh jika dalam keadaan darurat. Mafhum-
nya, jika tidak dalam keadaan darurat, maka tidak boleh. Meskipun
demikian, perlu dipahami bahwa bolehnya seorang dokter melihat
aurat yang bukan mahramnya perlu dikaji secara mendalam. Dokter
mengobati secara langsung dengan menyentuh bagian tubuh pasien
hukumnya adalah boleh jika dalam keadaan darurat. Mafhum-nya, jika
tidak dalam keadaan darurat, maka tidak boleh. Metode yang
digunakan dalam istinbat} hukumnya yaitu dengan menggunakan
istihsan bil maslahah sebagaimana Ulama Hanafi membagi istihsan
dengan 6 yaitu 24:
1. Istihsan bil Ijma’ yaitu Istihsan yang didasarkan pada ijma’.
Contoh : Jasa pemandian umum
2. Istihsan bil Qiyas Khofi yaitu Istihsan yang didasarkan pada
Qiyas yang tersembunyi. Contoh: wakaf lahan pertanian karena
adanya hak melewati dan
mengalirkan air di atas lahan walau tidak terantum dalam akad.

23 Zuhroni, Desertasi “Respon Ulama Indonesia Terhadap Isu-Isu Kedokteran dan Kesehatan Modern” (Jakarta:

Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2007), 95

24 Haroen Nasution, Us}ul Fiqh (Jakarta: Logos Publising Hoese, 1996),102-107.


15

3. Istihsan bil Mas}lahah yaitu Istihsan yang didasarkan pada


kemaslahatan. Contoh: Bolehnya dokter melihat aurat pasiennya
4. Istihsan bil Urf’ yaitu Istihsan yang didasarkan pada adat
kebiasaan yang berlaku umum. Contoh : penggunaan air
pemandian umum yang tidak dibatasi
banyaknya.
5. Istihsan bil D}arurah yaitu Istihsan yangdidasrkan pada keadaan
darurat. Contoh: Sumur yang kemasukan najis.
Kebolehan tersebut harus diikuti tentang prosedur yang ada serta
pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Hendaklah seorang dokter
atau paramedis ketika akan melakukan tindakan pengobatan
sebaiknya mengkonsultasikan dulu kepada pihak keluarga guna tidak
terjadi fitnah dalam penanganan tersebut. Kewenangan seorang dokter
dalam menangani seorang pasien termasuk ke dalam masalah
daruriyyah, karena pembentukan hukum ini semata-mata
dimaksudkan untuk tujuan pemeliharaan agama (hifz ad-di>n),
pemeliharaan keturunan (hifz al-nasl), pemeliharaan jiwa (hifz an-
nafs), dan pemeliharaan akal (hifz al-‘aql), pemeliharaan harta (hifz
al-ma>l).
Adapun syarat-syarat untuk bisa dijadikan hujjah adalah:
1. Harus merupakan suatu kemaslahatan yang hakiki, dan bukan
suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja
2. Maslahah itu bersifat umum, bukan bersifat perorangan atau
kelompok
3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak
berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan
Ijma’.25

25
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Us}ul al-Fiqh (ttp: Da>r al-Qalam, 1978), 119- 120.
16

Maqa>sid shari’ah Bidang Kedokteran ditegakkannya hukum


dalam Islam secara umum, atau secara khusus tujuan dokter
memberikan tindakan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
pada pasien baik pribadi maupun dalam komunitas adalah untuk:26
1. Hifdh al-di>n (memberikan perlindungan terhadap agama)
2. Hifdh al-nafs (memberikan perlindungan terhadap kehidupan)
3. Hifdh al-nasl (memberikan perlindungan terhadap keturunan)
4. Hifdh al-‘aql (memberikan perlindungan terhadap akal sehat
5. Hifdh al-ma>l (memberikan perlindungan terhadap kekayaan
pribadi).
6. Dalil yang menjelaskan kebolehan seorang dokter mengobati
seorang pasiennya dalam keadaan darurat adalah hadith pada saat
Nabi pergi berperang. Artinya: “Telah menceritakan kepada kami
‘Ali bin ‘Abdillah: telah menceritakan kepada kami Bishr bin Al-
Mufadldlal: telah menceritakan kepada kami Khalid bin
Dzakwan, dari Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidh, ia berkata : “Kami
pernah bersama Rasulullah s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam (dalam
satu peperangan), memberi minum, mengobati orang-orang yang
terluka, serta memulangkan jenazah ke Madinah”.27 Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya: Telah
mengabarkan kepada kami Ja’far bin Sulaimaan, dari Thabit, dari
Anas bin Malik, ia berkata : “Dulu. Rasulullah s}allalla>hu
‘alaihi wa sallam berperang dengan membawa serta Ummu
Sulaim dan beberapa wanita Ans}ar lain bersama beliau. Apabila
beliau berperang, mereka (para wanita) memberi air untuk minum
dan mengobati pasukan yang terluka”.28
26
Yusuf Alam Romadhon, Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran, CDK 206/ Vol.
40 No. 7, 2013, h. 54
27
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy No. 28.
28
Diriwayatkan oleh Muslim No. 1810.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Profesi dokter kandungan laki-laki ditinjau dari perspektif hukum
Islam, intinya ada kesamaan pandangan ulama yang membolehkan untuk
melihat bagian tubuh pasien yang mana saja untuk kepentingan
pengobatan, namun untuk menghindari adanya fitnah, disarankan
didampingi mahramnya. Selain itu, ada beberapa syarat yang diperhatikan
ketika seorang dokter akan mengobati pasiennya, diantaranya adalah: 1)
Dokter harus bertakwa kepada Allah, dapat dipercaya, adil, mempunyai
keistimewaan dan ilmu pengetahuan pada bidangnya. 2) Jangan membuka
bagian-bagian tubuh pasien wanitanya kecuali dengan
keperluanpemeriksaan. 3) Selama pengobatan harus didampingi
mahramnya, suami atau wanita yang dapat dipercaya seperti ibunya atau
saudara wanitanya. 4) Seorang dokter tidak boleh non muslim selama
masih ada yang muslim.
Apabila syarat-syarat tadi terpenuhi maka dokter boleh melihat
atau menyentuh bagian-bagian aurat tersebut. Hal ini dipandang sebagai
manifestasi dari Islam adalah agama yang tidak memberikan kesukaran,
namun mengutamakan maslahat dan kemudahan untuk ummatnya.
B. Saran
Semoga makalah yang penulis susun ini dapat memberikan manfaat
dan pengetahuan bagi pembaca tentang perspektif hukum Islam terhadap
dokter kandungan laki-laki. Penulis mengetahui bahwa dalam penyusunan
makalah masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisan,
bahasa dan segi lainnya. untuk itu saran dari pembaca yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan agar didapatkan makalah yang baik
dan memberi pengetahuan yang benar pula bagi para pembaca.

17
DAFTAR PUSTAKA

Qardhawi, Yusuf. 2006. Fiqh Wanita Segala Hal Mengenai Wanita, Cet. Ke-
1. Bandung: Jabar.

Romadhon, Yusuf Alam. 2013. Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran.
CDK-206/vol.40 no. 7.

Mulawarman, Harun. 2014. Profesi Dokter Kandungan Laki-Laki Dalam


Perspektif Hukum Islam. Jakarta : Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah. Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Hal 107-
124.

18

Anda mungkin juga menyukai