Anda di halaman 1dari 7

Etika Dokter Muslim

OPINI | 16 January 2011 | 06:03 862 6


3 dari 3 Kompasianer menilai Bermanfaat

Sebagaimana telah menjadi karakter umum sarjana Muslim di bidang-bidang


ilmu pengetahuan lainnya, ahli-ahli medis Muslim adalah penerima waris yang baik
dan sekaligus pemberi waris yang produktif. Mereka dengan penuh antusias dan
apresiasi mempelajari khasanah ilmu pengetahuan dari berbagai tradisi dan peradaban
pra-Islam. Kemudian, secara kreatif mereka pun mengembangkan ilmu pengetahuan
dengan berbagai cabang yang baru dalam sebuah cara pandang, paradigma atau
pandangan dunia yang sesuai dengan nilai-nilai Tauhid dan Islam.
Pada jaman yang kian berkembang ini telah banyak terjadi berbagai macam
kasus yang memperburuk nama banyak dokter. Beberapa di antaranya mungkin
dikarenakan oleh sikap dan perilaku seorang dokter dalam menghadapi dan melayani
pasiennya. Oleh karena itu, dalam bertugas dan bekerja, seorang dokter memerlukan
suatu etika untuk menjalankan profesinya. Agar dapat tercapai suatu keserasian,
kecocokan dan komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien dan lingkungannya.
Dalam hal ini kita membahas tentang etika dokter muslim.
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat, budi pekerti (bahasa
Inggris = ethics). Di sini etika dapat dipahami sebagai ilmu mengenai kesusilaan.
Dalam filsafat pengertian etika adalah telah dan penilaian kelakuan manusia ditinjau
dari kesusilaannya. Kesusilaan yang baik merupakan ukuran kesusilaan yang disusun
bagi diri seseorang atau merupakan kumpulan keharusan, kumpulan kewajiban yang
dibutuhkan oleh masyarakat atau golongan masyarakat tertentu bagi anggota-
anggotanya.
Dalam hal ini, diperlukan etika bagi para dokter Muslim. Kadang kesusilaan
didasarkan pada agama, sehingga bilamana yang berkuasa itu agama, maka agama
menjadi guru etika. Dalam melaksanakan etika terkandung unsur-unsur pengorbanan
bagi sesama manusia dan unsur dedikasi atau pengabdian terhadap
sesama manusia.
Sebagai suatu pendidikan profesi, pendidikan kedokteran diharapkan dapat
menghasilkan dokter yang menguasai teori-praktik kedokteran beserta perilaku dan
etika yang mulia. Saat upacara wisuda, semua calon dokter harus mengucapkan
sumpah dokter disaksikan oleh dekan, Direktur Rumah Sakit, Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan, para dosen dan anggota keluarga.
Dalam mengikrarkan sumpah yang didampingi oleh para pemuka agama, calon
dokter berjanji akan mengamalkan Kode Etik Kedokteran. Dengan adanya hal tersebut
diharapkan kelak para calon dokter akan menjadi dokter yang beretika mulia,
bertanggungjawab dan taat pada hukum yang berlaku.
Etika bagi para dokter Muslim
Dalam etika kedokteran Islam, tercantum nilai-nilai Alquran dan Hadits yang
merupakan sumber segala macam etika yang dibutuhkan untuk mencapai hidup
bahagia dunia akhirat.
Etika kedokteran mengatur kehidupan, tingkah laku seorang dokter dalam
mengabdikan dirinya terhadap manusia baik yang sakit maupun yang sehat. Etika
kedokteran islam terkumpul dalam Kode Etik Kedokteran Islam yang bernama
Thibbun Nabawi, yang mengatur hubungan dokter dengan orang sakit dan dokter
dengan rekannya.
Berikut ini dibahas mengenai etika seorang Dokter muslim terhadap sang
Pencipta, terhadap pasien, dan terhadap sejawatnya:

1. Etika Dokter Muslim terhadap sang Pencipta


Seorang dokter muslim haruslah benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah
hamba Allah SWT. Dan betapa tidak berarti dirinya beserta ilmunya tanpa diiringi
ridha Allah SAW.
Adapun contoh etika terhadap sang Pencipta disebutkan bahwa:
 Dokter muslim harus meyakini dirinya sebagai khalifah fungsionaris Allah
dalam bidang kesehatan dan kedokteran.
 Melaksanakan profesinya hanya karena Allah.
 Hanya melakukan pengobatan, penyembuhan adalah hak Allah.
 Melaksanakan profesinya dengan iman supaya jangan merugi.

2. Etika Dokter Muslim terhadap pasien:


Hubungan antara dokter dengan pasien merupakan hubungan antarmanusia dan
manusia. Dalam hubungan ini mungkin timbul pertentangan antara dokter dan pasien,
karena masing-masing mempunyai nilai yang berbeda.
Masalah semacam ini akan dihadapi oleh Dokter yang bekerja di lingkungan
dengan suatu sistem yang berbeda dengan kebudayaan profesinya. Untuk
melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak jarang dokter harus berjuang lebih dulu
melawan tradisi yang telah tertanam dengan kuat. Dalam hal ini, seorang dokter
Muslim tidak mungkin memaksakan kebudayaan profesi yang selama ini dianutnya.
Mengenai etika kedokteran terhadap orang sakit antara lain disebutkan bahwa
seorang dokter muslim wajib:
 Memperlihatkan jenis penyakit, sebab musabab timbulnya
penyakit, kekuatan tubuh orang sakit, keadaan resam tubuh yang tidak
sewajarnya, umur si sakit dan obat yang cocok dengan musim itu, negeri si sakit
dan keadaan buminya, iklim di mana ia sakit, daya penyembuhan obat itu.
 Di samping itu dokter harus memperhatikan mengenai tujuan pengobatan, obat
yang dapat melawan penyakit itu, cara yang mudah dalam mengobati penyakit.
 Selanjutnya seorang dokter hendaknya membuat campuran obat yang
sempurna, mempunyai pengalaman mengenai penyakit jiwa dan pengobatannya,
berlaku lemah lembut, menggunakan cara keagamaan dan sugesti, tahu
tugasnya.

3. Etika Dokter Muslim terhadap Sejawatnya:


Para Dokter di seluruh dunia mempunyai kewajiban yang sama. Mereka adalah
kawan-kawan seperjuangan yang merupakan kesatuan aksi dibawah panji
perikemanusiaan untuk memerangi penyakit, yang merupakan salah satu pengganggu
keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Penemuan dan pengalaman baru
dijadikan milik bersama.
Panggilan suci yang menjiwai hidup dan perbuatan telah mempersatukan
mereka menempatkan para dokter pada suatu kedudukan yang terhormat dalam
masyarakat. Hal-hal tersebut menimbulkan rasa persaudaraan dan kesediaan tolong-
menolong yang senantiasa perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Mengenai etika yang bagi Dokter Muslim kepada Sejawatnya yaitu:
 Dokter yang baru menetap di suatu tempat, wajib mengunjungi teman
sejawatnya yang telah berada di situ. Jika di kota yang terdapat banyak praktik
dokter, cukup dengan memberitahukan tentang pembukaan praktiknya kepada
teman sejawat yang berdekatan.
 Setiap Dokter menjadi anggota IDI setia dan aktif. Dengan menghadiri
pertemuan-pertemuan yang diadakan.
 Setiap Dokter mengunjungi pertemuan klinik, seminar, workshop, bila ada
kesempatan. Sehingga dapat dengan mudah mengikuti perkembangan ilmu
teknologi kedokteran.

Sifat-sifat penting lain yang harus dimiliki oleh seorang Dokter Muslim ialah:
 Adanya belas kasihan dan cinta kasih terhadap sesama manusia, perasaan sosial
yang ditunjukkan kepada masyarakat.
 Harus berbudi luhur, dapat dipercaya oleh pasien, dan memupuk keyakinan
profesional.
 Seorang dokter harus dapat dengan tenang melakukan pekerjaannya dan harus
percaya diri.
 Bersikap mandiri dan orisinal karena pengetahuan yang diwarisi secara turun
temurun dari buku-buku masih jauh memadai.
 Ia harus mempunyai kepribadian yang kuat, sehingga dapat melakukan
pekerjaanya di dalam keadaan yang serba sulit. Dan tentunya tidak menyimpang
dari ketentuan-ketentuan agama.
 Seorang dokter muslim dilarang membeda-bedakan antara pasien kaya dan
pasien miskin.
 Seorang dokter muslim harus hidup seimbang, tidak berlebih-lebihan, tidak
membuang waktu serta energi dengan menikmati kesenangan dan kenikmatan
yang menyebabkan lupa kepada Allah SWT.
 Seorang dokter muslim harus lebih banyak mendengar dan lebih sedikit bicara.
 Seorang dokter muslim tidak boleh berkecil hati dan harus merasa bangga akan
profesinya karena semua agama menghormati profesi dokter.

Istilah Arab untuk menyebut dokter adalah hakim, salah satu nama Allah yang
berarti orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan. Kasus yang menyangkut
etika dokter muslim dalam praktek. Kesalehan seorang dokter ditekankan oleh
kalangan pengobatan Yunani, sebagaimana seorang dokter dianggap sebagai penjaga
tubuh dan jiwa. Ihwal etika medis dalam islam, seperti halnya etika secara umum,
terdapat dua pengaruh langsung, yaitu dari bangsa Yunani dan Iran.

Banyak kasus-kasus yang dipertentangkan. Seperti misalnya:


Bolehkah seorang dokter meminta bayaran?
Jika boleh, seberapa besar? Hal tersebut merupakan masalah yang terus
diperdebatkan dalam islam. Masalah ini tampaknya merupakan bagian dari masalah
yang lebih besar: Bolehkah seorang guru, terutama guru agama, menerima bayaran.
Bahkan dewasa ini sebagian kalangan tetap mengharamkan meminta bayaran dalam
pengajaran Al Qur’an dan penyebarluasan ilmu keagamaan.
Menurut sebuah hadits, diperbolehkan membayar seorang dokter untuk
pelayanan medisnya. Al-Dzahabi mengisahkan suatu hari sekelompok sahabat Muslim
tiba di suku tertentu, yang memperlakukan mereka dengan ramah. Tiba-tiba salah satu
anggota suku tersebut digigit ular dan para pengembara itu dimintai tolong untuk
menyembuhkan. Kemudian orang yang tergigit tersebut sembuh dan suku membayar
sejumlah seratus ekor kambing. Sebuah transaksi yang dibolehkan oleh Rasulullah.
Dari sinilah legalitas untuk meminta bayaran atas perawatan itu bermula. Namun
banyak kalangan yang tidak setuju untuk mencari nafkah dari orang sakit.

Bolehkah seorang dokter Muslim melakukan transplantasi organ?


Seringkali terdapat kasus mengenai organ tubuh seorang pasien yang tidak dapat
berfungsi dengan baik lagi. Tidak ada cara untuk mengobatinya kecuali dengan
transplantasi organ (seperti mata, jantung dan lain sebagainya) dari orang yang telah
meninggal. Hingga kini pendapat agama menentang keras praktik ini. Terdapat suatu
hukum klasik yang menyebutkan bahwa “Kebutuhan manusia hidup menjadi prioritas
dibandingkan manusia mati.” Tetapi ketika seorang ulama terkemuka ditanya mengenai
persoalan tersebut, Beliau menjawab negatif. Namun sikap masyarakat secara umum
positif terhadap masalah transplantasi organ tubuh, meskipun ada ketidaksetujuan dari
kaum ulama.

Bolehkah seorang dokter Muslim melakukan pengembangan bayi tabung?


Pengembangan bayi tabung tidak dilarang dalam Islam asalkan penyatuan
terjadi antara gen suami dan istri. Kekhawatiran bahwa proses ini “mencampuri
kehendak Allah” sama sekali tidak berdasar. Prosesnya sama dengan pembenihan bibit
tanaman dalam suatu kondisi terkendali, kemudian dipindahkan ketempat yang tepat
ketika bibit tersebut telah cukup kuat untuk tumbuh di tempat itu. Yang dikhawatirkan
bukanlah bahwa orang mencoba “menyaingi Allah” dengan melakukan hal tersebut,
melainkan jika orang mencoba bersaing dengan setan dan menyimpangkan sifat
manusia. Islam tidak mengizinkan penyatuan gen antara laki-laki dan wanita yang
bukan suami istri karena itu merupakan perzinaan.

Bolehkah seorang Dokter Muslim melakukan tindakan euthanasia?


Euthanasia merupakan suatu masalah yang banyak menarik perhatian dan
banyak dibicarakan orang. Euthanasia (dari bahasa Yunani, eu = baik, thanatos = mati)
secara etimologi berarti “mati yang baik” atau “mati yang tenang”. Kemudian definisi
euthanasia berkembang, karena adanya perbedaan titik pandang dalam menjelaskan
“mati yang baik”.
Akibatnya timbul berbagai definisi mengenai euthanasia. Euthanasia banyak
dilakukan sejak jaman dahulu kala dan banyak memperoleh dukungan tokoh-tokoh
besar dalam sejarah. Namun dalam agama terdapat beberapa pendapat yang tidak
membenarkan hal tersebut. Berdasar bahwa Allah-lah yang menentukan kapan
seseorang harus mati.
Etika pasien terhadap dokter
Menurut pendapat Abu Bakar Al-Razi, baik pasien maupun dokter harus
memenuhi etika.
Beliau menganjurkan pasien agar mengikuti dangan ketat perintah dokter,
menghormati dokter, dan menganggap dokter sebagai sahabat terbaiknya. Pasien harus
berhubungan langsung dengan dokter dan tidak boleh merahasiakan penyakit yang
dideritanya.
Tentu akan lebih baik jika orang meminta nasihat dokter tentang cara menjaga
kesehatan sebelum membutuhkan pengobatan. Bahwa pencegahan lebih baik daripada
pengobatan merupakan sebuah prinsip yang dianjurkan oleh semua dokter.

Sifat Etika Kedokteran Islam


Pakar andrologi, Prof. dr. Muhammad Kamil Tadjudin, Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Jakarta, mengatakan, etika kedokteran dalam Islam
mempunyai sifat yang tetap. Berbeda dengan etika kedokteran sekuler yang cenderung
berubah-ubah.
Etika kedokteran Islami, menurutnya mempunyai perbedaan secara mendasar
dengan etika kedokteran sekuler. Etika kedokteran Islami diturunkan dari tradisi dan
kepercayaan agama, sehingga bentuknya akan tetap untuk selamanya.
Sebaliknya etika kedokteran sekuler dirumuskan oleh masyarakat yang sikapnya
berubah-ubah. “Contohnya adalah sikap tentang aborsi yang berkisar antara sikap
melarang semua bentuk aborsi sampai diperbolehkannya aborsi atas permintaan,”
paparnya. Demikian pula halnya sikap terhadap “gay” dan euthanasia, yang juga
berkisar dari pelarangan penuh sampai diperbolehkan dengan indikasi tertentu.
Beliau juga mengatakan, antara etika kedokteran Islami dan kedokteran sekuler
memiliki perbedaan mendasar, misalnya etika tentang pemberian nasihat moral
terhadap seorang pasien. Sebagai contoh, jika ada seorang pasien yang mengadakan
“chek up” pada seorang dokter Muslim dan dia mendapat keterangan bahwa orang itu
sering minum alkohol, maka, walaupun orang itu sehat, wajib bagi dokter Muslim
memberi nasihat untuk tidak minum alkohol. Sementara dalam etika kedokteran
sekuler, nasihat moral itu mungkin tidak dilakukan, meskipun alkohol menimbulkan
bahaya, baik bagi diri maupun masyarakat sekitar. Contoh nasihat moral lainnya adalah
tentang pencegahan penyakit kelamin terhadap para lelaki “hidung belang”.
Menurut Tadjudin, seorang dokter sekuler mungkin akan menganjurkan
penggunaan kondom, sedangkan seorang dokter Muslim akan menasihatkan abstinensi.
Kasus yang sama juga terjadi terhadap isu-isu kontemporer kedokteran, seperti
reproduksi berbantuan atau pembuahan telur di luar rahim melalui fertilisasi (bayi
tabung). Dalam kasus ini, menurut Tadjudin, dalam pandangan etika kedokteran Islam
hal itu dibolehkan jika dilakukan dengan sel kelamin (sperma dan telur) yang berasal
dari suami-istri yang sah. “Tapi jika penggunaan sperma atau telur itu bukan berasal
dari suami-istri yang sah tidak dapat dibenarkan, termasuk penggunaan rahim yang lain
dari wanita yang mempunyai telur untuk membesarkan blastosis,” jelasnya.
Alasan tidak boleh rahim wanita lain yang mempunyai telur untuk
membesarkan blastosis, jelas Tadjudin, karena akan timbul masalah keturunan, yakni
siapa ibu sebenarnya (dari “anak” hasil pembuahan itu). Padahal, Alquran surat al-
Furqan ayat 5 menyebutkan: “Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia
menjadikannya mempunyai keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu senantiasa Maha
Kuasa.”
Selain tidak jelasnya masalah keturunan tadi, tambah Ketua Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) itu, juga timbul masalah baru, apakah
memasukkan sperma atau blastosis asing ke dalam rahim seorang wanita tidak
merupakan tindakan yang dapat digolongkan zina? Meski demikian, Tadjudin tidak
menampik bila sementara kalangan yang berpendapat bahwa menanamkan blastosis
yang berasal dari sperma dan telur sepasang suami-istri ke perempuan lain adalah
analog dengan menyusui anak orang lain atau bagi perempuan penerima blastosis itu
analog dengan ibu susu.

Kode etik islam bidang kedokteran


Kode etik islam untuk bidang kedokteran akan segera diberlakukan. Hal ini
telah dibahas melalui Konferensi ke-8 Organisasi Ilmu Kedokteran Islam, yang
berlangsung di Kairo, Mesir.
Konferensi ini ditutup dengan disetujuinya draft pedoman etika ilmu
kedokteran internasional pertama yang berbasis pada perspektif Islam. Draft yang
berjudul ‘Kode etik Islam bidang kedokteran dan kesehatan’ tersebut, materinya akan
disempurnakan, diedit dan akan diterbitkan oleh Organisasi Ilmu Kedokteran Islam
(IOMS). Ide untuk menerbitkan kode etik Islam di bidang kedokteran ini muncul sejak
tahun 1981, ketika IOMS berinisiatif untuk mengadaptasi dokumen tentang etika
kedokteran Islam hasil dari konferensi di Kuwait.
Dokumen itu antara lain menyebutkan, ‘Manusia harus diperlakukan seperti apa
yang digariskan Tuhan di mana Dia menetapkan bahwa umatnya sebagai khalifahNya
di bumi.’
Konferensi yang dimulai tanggal 11 Desember 2004, diselenggarakan oleh
IOMS bekerjasama dengan Organisasi Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
Islam (ISESCO), Dewan Organisasi Internasional Ilmu Kedokteran (CIOMS), Ajman
University Network dan Organisasi Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
PBB (UNESCO).
Konferensi itu dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti Syeh Yusuf
Alqardawi dan Haytham Al-Khayat. Dalam acara penutupan, para peserta konferensi
telah menyepakati 14 rekomendasi untuk mengembangkan dan memungkinkan kode
etik Islam bidang kedokteran itu diberlakukan. Menteri-menteri pendidikan, rektor di
sekolah-sekolah kedokteran di negara Arab dan negara Islam diminta untuk mulai
memasukkan dan mengenalkan kode etik dalam kurikulum pendidikannya.
Usulan lainnya yang muncul adalah mensosialisasikan kode etik yang baru ini
melalui situs-situs milik lembaga kedokteran dan kesehatan. Kode etik islam bidang
kedokteran ini bukan hanya untuk kalangan kedokteran profesional, tapi juga untuk
keluarga dan masyarakat pada umumnya, seperti diungkapkan oleh Dr. Mu’men S.
Hadidi, Kepala Institut Nasional Kedokteran Forensik dari Yordania.
Setelah konferensi ini, kantor WHO wilayah Mediterania Timur akan bekerja
sama dengan menteri-menteri kesehatan di wilayah itu akan membentuk komite ad hoc
yang akan menindaklanjuti penyusunan kode etik tersebut.
Sebelumnya, IOMS akan merancang sebuah workshop untuk menggali masukan
bagaimana kode etik ini nantinya akan bermanfaat dan menyebarluaskannya ke seluruh
kalangan profesional di dunia kesehatan.
Dalam pidatonya, Ketua IOMS, Dr. Abd Al-Rahman El-Awady mengusulkan
adanya penggalangan dana dari kalangan Muslim untuk membiayai riset-riset di bidang
kesehatan di negara-negara Islam.
Sementara itu, Kepala Ajman University Network, Dr. Saed Salman,
mengusulkan diselenggarakannya konferensi yang membahas masalah etika yang
berkaitan dengan industri farmasi dan riset tentang obat-obatan.
Konferensi ke-8 IOMS juga membahas tentang hubungan antara dokter dan
pasiennya termasuk soal praktek kedokteran, kewajiban dan tanggung jawabnya, serta
masalah riset di bidang biomedis yang melibatkan bagian tubuh manusia. Para dokter
dan ilmuwan dalam konferensi itu juga membahas isu-isu sensitif seperti soal bayi
tabung, euthanasia dan rekayasa jenis kelamin bayi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, dr, 1991. Memahami Etika Kedokteran. Kanisius: Yogyakarta.
2. Komalawati, D Veronica, SH, M.H., 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek
Dokter. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
3. Taher, Tarmizi, M.D., 2003. Medical Ethics. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
4. Rahman, Fazlur, 1999. Etika Pengobatan Islam. Mizan: Bandung.
5. Direktur Pelaksana Pusat Kajian Filsafat Madina Ilmu (PKFMI),
www.pelita.or.id, 26 Maret 2005, Dokter Muslim.
6. Bergerak, www.eramuslim.com, 23 April 2005, Kode Etik Islam Bidang
Kedokteran Akan Segera Diberlakukan.
7. Anonim_1, www.uinjkt.ac.id, 15 Maret 2005, Etika Kedokteran Islam
8. Anonim_2, www.ksdak.com, 17 Maret 2005, Tindakan Euthanasia Dilarang
Dalam Islam.

Sumber gambar: jojar.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai