Anda di halaman 1dari 20

Komunitas Adat Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap

Bag. II
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya Komunitas Adat Towani Tolotang di
Kabupaten Sidrap Bag. 1. Pembahasan ini mungkin sedikit melenceng dari tema blog Ladewas
Library yang kebanyakan berbicara tentang Islam namun karena penulis (Ladewa) berasal dari
kabupaten Sidrap dimana komunitas ini bermukim, maka tidak ada salahnya untuk mengenalkan
kepada pembaca bahwa di Kabupaten Sidrap masih ada komunitas (agama menurut mereka) yang
sangat kuat mempertahankan kepercayaannya di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Sidrap yang
mayoritas beragama Islam.

Amparita, salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Sidrap, kini masih banyak warganya menganut
kepecayaan Towani Tolotang. Sekitar 5000 warga di wilayah itu yang menganut kepercayaan yang
sudah turun temurun. Ini merupakan penganut terbesar kedua setelah penganut Agama Islam yang
jumlahnya lebih 200 ribu jiwa. Pemerintah Indonesia hanya mengakui lima agama, selebihnya
dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karena penganut Tolotang tidak
mau disebut sebagai aliran kepercayaan, mereka menggabungkan diri dengan Agama Hindu. Itulah
sampai sekarang dikenal dengan nama Hindu Tolotang.
Penganut Towani Tolotang ini juga mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan
nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE. PatotoE diakui memiliki
kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, baik di dunia atas maupun dunia bawah. Dialah yang
menciptakan alam raya dan seluruh isinya. Penganut Tolotang percaya bahwa manusia pertama
dibumi ini sudah musnah. Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua,
setelah manusia pertama musnah. Suatu ketika, PatotoE (Dewata SeuwaE) tertidur lelap. Ketiga
pengikutnya yang dipercayakan menjaganya, yakni Rukkelleng, Rumma Makkapong dan Sangiang
Jung, pergi mengembara ke dunia lain. Ketika mereka sampai di bumi, ketiganya melihat bahwa ada
dunia kosong. Sekembalinya dari pengembaraan, ketiganya bertemu dengan PatotoE, lalu
menceritakan pengalaman yang mereka saksikan, bahwa masih ada dunia yang kosong. Mereka
usulkan agar diutus seseorang untuk tinggal di dunia kosog itu. Rupanya PatotoE tertarik dengan
cerita tersebut. PatotoE lantas berunding dengan istrinya Datu Palinge dan seluruh pimpinan di negeri
Kayangan. Setelah istrinya setuju, maka diutuslah Batara Guru turun ke bumi. Masyarakat sekarang
menyebutnya Batara Guru sebagai Tomanurung. Setelah beberapa lama di bumi, Batara Guru merasa
kesepian. Ia minta agar diturunkan satu manusia lagi ke bumi. Maka turunlah I Nyili Timo, putri dari
Riseleang. Batara Guru kemudian kawin dengan I Nyili Timo. Hasil dari perkawinannya tersebut
membuahkan seorang putra, namanya Batara Lettu. Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian
dikawinkan dengan Datu Sengngeng, putri dari Leurumpesai. Hasil perkawinannya melahirkan dua
anak kembar, satu putra dan satu putri. Yang putra bernama Sawerigading sedangkan yang putri
bernama I Tenriabeng. Tetapi hanya Sawerigading yang diakui sebagai manusia yang luar biasa,
karena banyak memberikan ajaran kepahlawanan. Sawerigading kemudian kawin dengan I Cudai,
salah seorang putri raja dari Cina. Hasil perkawinannya membuahkan seorang anak, yang bernama
Lagaligo.
Pada masa Sawerigading, negeri makin aman. Penduduk sangat tunduk pada perintahnya. Setelah
Sawerigading meninggal, masyarakat tambah kacau. Terjadi pertengkaran dimana-mana hingga
banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata lantas
menyuruh semua manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah dunia kosong. Setelah sekian
lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia
yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading
sebelum dunia dikosongkan oleh PatotoE. Manusia periode kedua yang diturunkan Dewata PatotoE ini,
tidak mengetahui betul keyakinan yang diajarkan oleh Sawerigading. Dalam keyakinan penganut
Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE itu diturunkan sebagai Wahyu. Wahyu dari Dewata selanjutnya
diturunkan pada La Panaungi. La Panaungi kembali mendengar suara dari atas Kayangan :
Berhentilah bekerja, terimalah ini yang saya katakana. Akulah DewataE, yang berkuasa segala-
galanya. Aku akan memberikan keyakinan agar manusia selamat di dunia dan hari kemudian. Akulah
Tuhanmu yang menciptakan dunia dan isinya. Keyakinan yang harus kamu anut adalah Towani.
Tetapi sebelum kuberikan wahyu, bersihkanlah dirimu. Setelah wahyu ini diterima, sebarkanlah pada
anak cucumu. Suara itu turun tiga kali berturut-turut. Untuk membuktikan keyakinan yang diberikan
itu, DewataE kemudian membawa La Panaungi ke tanah tujuh lapis dan ke langit tujuh lapis untuk
menyaksikan kekuasaan DewataE pada dua tempat, yakni Lipu Bonga, yang merupakan tempat bagi
orang-orang yang mengikuti perintah DewataE menurut ajaran Toani, juga tempat orang-orang yang
melanggar keyakinan Toani. Ajaran yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada
penduduk, hingga banyak pengikutnya. Pokok-pokok kepercayaan Tolotang yang diajarkan adalah :
Dewata SeuwaE, hari kiamat di hari kemudian (Lino Paimeng), yang menerima wahyu dari Dewata
SeuwaE dan kitab suci (lontaraq). Hari kemudian terdapat di Lipu Bonga sebagai tempat orang-orang
taat perintah DewataE. Ajaran Tolotang sama sekali tidak mengenal konsep neraka, nasib manusia
sepenuhnya digantungkan pada Uwatta.
Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya dituntut mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban yang
harus dijalankan oleh pengikutnya. Kewajiban dimaksud adalah : Mappianre Inanre, yakni
persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritus/upacara, dengan cara menyerahkan
daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke rumah uwa dan uwatta. Tudang Sipulung, yakni
duduk berkumpul bersama melakukan ritus pada waktu tertentu guna meminta keselamatan pada
Dewata. Sipulung, berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritus tertentu di kuburan I Pabbere
di Perrinyameng. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan. Menyangkut kejadian
manusia, Tolotang juga mengenal empat unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin.
Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan yang lebih
dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam). Yakni nasi putih diibaratkan air, nasi
merah diibaratkan api, nasi kuning diibaratkan angin dan nasi hitam diibaratkan tanah. Itulah
sebabnya, setiap upacara Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa.
Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran yang ia terima dari
DewataE dan minta agar pengikutnya berziarah ke kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya,
kuburan La Panaungi telah banyak diziarahi pengikutnya setiap saat. Penganut agama Tolotang ini
sempat berkembang, tetapi pada abad ke-16,ketika Islam berpengaruh di beberapa kerajaan di
Sulawesi Selatan, jumlah penganut Tolotang tidak berubah bahkan cenderung menurun. Pada Tahun
1609, Addatuang Sidenreng, La Patiroi dan mantunya La Pakallongi, secara resmi menerima Islam
sebagai agamanya dan menjadikannya sebagai agama kerajaan. Pengaruh Islam terus berkembang
hingga banyak masyarakat yang tadinya menganut Hindu Tolotang beralih ke agama Islam. Hingga
kini sekitar 98 % warga Sidrap memeluk agama Islam. Kekhasan budaya To Lotang Sidrap
Salah satu keunikan budaya di Kabupaten Sidrap, yakni adanya komunitas masyarakat yang akrab
dipanggil dengan nama To Lotang yang umumnya berada di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu
Limpoe. Kelurahan ini juga merupakan salah satu pusat wilayah pemukiman To Wani atau To Lotang
yang sampai hari ini tetap eksis melestarikan tradisi warisan leluhurnya secara turun-temurun dalam
lingkup sistem sosial mereka. To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan
oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan,
yaitu Wajo. Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (bahasa Bugis) yang berarti
orang dan kata lotang yang berasal dari bahasa Bugis Sidrap yakni Lautang yang berarti Selatan.
Pendatang ini terusir dari Wajo, oleh karena pada saat itu Arung Matowa Wajo telah memeluk Islam
dan mewajibkan semua rakyatnya juga memeluk agama Islam. Bagi rakyatnya yang tidak mau
mengikuti perintahnya, maka sebagai konsekuensinya harus meninggalkan tanah Wajo. Kemudian
sekelompok masyarakat Wajo yang tidak bersedia memeluk agama Islam, dipimpin oleh I Goliga dan
I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya, Wajo dan hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya
tiba di Bacukiki, Parepare dan I Pabbere sampai di Amparita yang kemudian mengadakan perjanjian
Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi. Akhirnya I Pabbere diberikan izin untuk menetap
di Loka Popang (susah dan lapar), sebelah selatan Amparita, dengan syarat :
1. Adat Sidenreng tetap utuh serta harus dipatuhi
2. Keputusan harus dipelihara
3. Janji harus ditepati
4. Suatu keputusan yang telah berlaku harus lestarikan
5. Agama Islam harus diagungkan dan dijalankan.
Setelah rombongan I Pabbere menetap dan bertani di Loka Popang, kemudian nama tersebut diganti
dengan nama Perrinyameng, yang berarti setelah susah datanglah senang. Di tempat inilah, I
Pabbere meninggal dunia yang kemudian juga dimakamkan di Perrynyameng. Dalam versi lain
disebutkan bahwa pendiri Toani Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Toani Tolotang ini mengenal
adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa)
yang bergelar PatotoE. PatotoE diakui memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, baik di dunia
atas maupun dunia bawah. Dialah yang menciptakan alam raya dan seluruh isinya. Penganut
Tolotang percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah. Adapun manusia yang hidup
sekarang adalah manusia periode kedua, setelah manusia pertama musnah. Diceritakan bahwa suatu
ketika, PatotoE (Dewata SeuwaE) tertidur lelap. Ketiga pengikutnya yang dipercayakan menjaganya,
yakni Rukkelleng, Rumma Makkapong dan Sangiang Jung, pergi mengembara ke dunia lain. Ketika
mereka sampai di bumi, ketiganya melihat bahwa ada dunia kosong. Sekembalinya dari
pengembaraan, ketiganya bertemu dengan PatotoE, lalu menceritakan pengalaman yang mereka
saksikan, bahwa masih ada dunia yang kosong. Mereka usulkan agar diutus seseorang untuk tinggal
di dunia kosog itu. Rupanya PatotoE tertarik dengan cerita tersebut. PatotoE lantas berunding dengan
istrinya Datu Palinge dan seluruh pimpinan di negeri Kayangan. Setelah istrinya setuju, maka
diutuslah Batara Guru turun ke bumi. Masyarakat sekarang menyebutnya Batara Guru sebagai
Tomanurung. Setelah beberapa lama di bumi, Batara Guru merasa kesepian. Ia minta agar
diturunkan satu manusia lagi ke bumi. Maka turunlah I Nyili Timo, putri dari Riseleang. Batara Guru
kemudian kawin dengan I Nyili Timo. Hasil dari perkawinannya tersebut membuahkan seorang putra,
namanya Batara Lettu. Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian dikawinkan dengan Datu
Sengngeng, putri dari Leurumpesai. Hasil perkawinannya melahirkan dua anak kembar, satu putra
dan satu putri. Yang putra bernama Sawerigading sedangkan yang putri bernama I Tenriabeng.
Tetapi hanya Sawerigading yang diakui sebagai manusia yang luar biasa, karena banyak memberikan
ajaran kepahlawanan. Sawerigading kemudian kawin dengan I Cudai, salah seorang putri raja dari
Cina. Hasil perkawinannya membuahkan seorang anak, yang bernama Lagaligo. Pada masa
Sawerigading, negeri makin aman. Penduduk sangat tunduk pada perintahnya. Setelah Sawerigading
meninggal, masyarakat tambah kacau. Terjadi pertengkaran dimana-mana hingga banyak menelan
korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata lantas menyuruh semua
manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah dunia kosong. Setelah sekian lama dunia kosong,
PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh
PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia
dikosongkan oleh PatotoE.
Manusia periode kedua yang diturunkan Dewata PatotoE ini, tidak mengetahui betul keyakinan yang
diajarkan oleh Sawerigading. Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE itu
diturunkan sebagai Wahyu. Wahyu dari Dewata selanjutnya diturunkan pada La Panaungi. La
Panaungi kembali mendengar suara dari atas Kayangan : Berhentilah bekerja, terimalah ini yang saya
katakan. Akulah DewataE, yang berkuasa segala-galanya. Aku akan memberikan keyakinan agar
manusia selamat di dunia dan hari kemudian. Akulah Tuhanmu yang menciptakan dunia dan isinya.
Keyakinan yang harus kamu anut adalah Toani. Tetapi sebelum kuberikan wahyu, bersihkanlah
dirimu. Setelah wahyu ini diterima, sebarkanlah pada anak cucumu. Suara itu turun tiga kali berturut-
turut. Untuk membuktikan keyakinan yang diberikan itu, DewataE kemudian membawa La Panaungi
ke tanah tujuh lapis dan ke langit tujuh lapis untuk menyaksikan kekuasaan DewataE pada dua
tempat, yakni Lipu Bonga, yang merupakan tempat bagi orang-orang yang mengikuti perintah
DewataE menurut ajaran Toani, juga tempat orang-orang yang melanggar keyakinan Toani. Ajaran
yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada penduduk, hingga banyak pengikutnya.
Pokok-pokok kepercayaan Tolotang yang diajarkan adalah : Dewata SeuwaE, hari kiamat di hari
kemudian (Lino Paimeng), yang menerima wahyu dari Dewata SeuwaE dan kitab suci (lontaraq). Hari
kemudian terdapat di Lipu Bonga sebagai tempat orang-orang taat perintah DewataE. Ajaran
Tolotang sama sekali tidak mengenal konsep neraka, nasib manusia sepenuhnya digantungkan pada
Uwatta. Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya dituntut mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban
yang harus dijalankan oleh pengikutnya. Kewajiban dimaksud adalah : Mappianre Inanre, yakni
persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritus/upacara, dengan cara menyerahkan
daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke rumah uwa dan uwatta. Tudang Sipulung, yakni
duduk berkumpul bersama melakukan ritus pada waktu tertentu guna meminta keselamatan pada
Dewata. Sipulung, berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritus tertentu di kuburan I Pabbere
di Perrinyameng. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan. Menyangkut kejadian
manusia, Tolotang juga mengenal empat unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin.
Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan yang lebih
dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam). Yakni nasi putih diibaratkan air, nasi
merah diibaratkan api, nasi kuning diibaratkan angin dan nasi hitam diibaratkan tanah. Itulah
sebabnya, setiap upacara Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa.
Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran yang ia terima dari
DewataE dan minta agar pengikutnya berziarah ke kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya,
kuburan La Panaungi telah banyak diziarahi pengikutnya setiap saat. Sekitar Tahun 1964-1965,
terjadi Operasi Mappakaira yang dipimpin oleh Mayor Asap Marwan, yang bertujuan untuk
menghentikan tradisi masyarakat To Lotang. Operasi ini dilakukan atas permintaan kaum legislatif
(DPRD) waktu itu, oleh karena ajaran To Lotang tidak diakui sebagai agama yang berhak
berkembang dan To Lotang diakui hanya sebagai kebudayaan. Operasi Makkaira membuat sebagian
masyarakat To Lotang masuk Islam dan sebagian lainnya tetap menjalankan tradisi nenek moyang,
walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Ajaran Tolotang bertumpu pada 5 (lima) keyakinan, yakni :
1. Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa
2. Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia
3. Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat
4. Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
5. Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE
berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
Dalam masyarakat Tolotang terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu Kelompok Benteng dan Kelompok To
Wani To Lotang. Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi, misalnya
dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan. Bagi Kelompok Benteng, tata cara prosesi pernikahan
dan kematian sama dengan tata cara dalam agama Islam. Sedangkan tata cara kematian kelompok
To Wani To Lotang berupa pemandian jenazah yang kemudian dibungkus dan dilapisi dengan
menggunakan daun Sirih. Untuk prosesi pernikahan Kelompok To Wani To Lotang dilaksanakan di
hadapan Uwatta, yakni pemimpin ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri To
Wani To Lotang. Bagi Kelompok To Wani To Lotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam
setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Pada waktu
tersebut masyarakat To Wani To Lotang membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk yang diyakini
merupakan bekal di hari kemudian. Dimana semakin banyak sesajian yang dibawa, maka semakin
banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian.
Bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur PakkawaruE, dimana pada siang hari
masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam hari melaksanakan prosesi
Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan lontaraq oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir
pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta. Upacara Adat To Lotang dilakukan
oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota
Pangakajene dengan Kota Soppeng dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini
merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan
Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa) Tolotang.
Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari Perrinyameng. Apabila telah menghembuskan
napas terakhirnya maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman
minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe (permainan adu kekuatan kaki). Semua
pengikut sealiran dari berbagai desa/kota berkumpul dengan berpakaian serba putih-putih, sarung
dan tutup kepala (kopiah hitam) untuk para laki-laki, sedangkan untuk perempuan mengenakan
pakaian seperti kebaya. Pada saat ritual upacara, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional
dengan penuh hikmat dan keheningan serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada sang
pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwa, ditandai dengan
penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada batu leluhur yang sangat disakralkan,
kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe. Jarak lokasi upacara adat dengan Kota Pangkajene
sebagai ibukota kabupaten sekitar 7 Km. Dalam konteks budaya To Lotang, mereka sangat
menghormati makam tua Pammasetau. Makam Tua Pammasetau merupakan makam bagi ummat
kepercayaan To Lotang yang dijadikan sebagai tempat ritual dan penyembelihan hewan untuk
maksud-maksud tertentu (nazar). Pada umumnya kuburan yang ada batu nisannya masih berupa
batu alami (batu sungai) yang bentuknya besar-besar. Makam ini terletak di Desa Cenrana
Kecamatan Panca Lautang. Jarak dari Kota Pangkajene sekitar 28 Km dan untuk sampai ke lokasi
makam telah dibangun jalan pengerasan dari jalan poros Kota Pangkajene dengan Kota Soppeng.
Untuk sampai ke lokasi makam dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.

Suku Tolotang, Sulawesi

masyarakat adat Tolotang
Masyarakat adat Tolotang, adalah suatu komunitas masyarakat yang bermukim di Amparita, Sidrap
provinsi Sulawesi Selatan yang hidup dengan tetap mempertahankan agama leluhur mereka.

Masyarakat adat Tolotang ini sebenarnya adalah suku Bugis. Tapi berbeda dari segi keyakinan
dengan suku Bugis pada umumnya yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Sedangkan
masyarakat adat Tolotang ini masih mempertahankan agama leluhur mereka, yaitu agama
kepercayaan Towani Tolotang. Agama kepercayaan Towani Tolotang, adalah salah satu dari sekian
banyak agama kepercayaan yang ada di Indonesia ini, seperti Aluk Todolo di Tanah
Toraja,Parmalim di Tanah Batak Sumatra, Kaharingan di Tanah Dayak Kalimantan dan lain-lain
masih banyak lagi.

Sebutan "suku" bagi masyarakat adat pemeluk agama kepercayaan Towani Tolotang ini, memang
agak membingungkan, karena pada dasarnya mereka juga adalah asli suku Bugis, tapi karena
masyarakat adat ini telah sekian lama sejak masa nenek moyang mereka hingga kini tetap teguh
mempertahankan agama kepercayaan ini, sehingga istilah "suku" Tolotang pun lama kelamaan
melekat menjadi identitas suku mereka. Walaupun pada dasarnya secara sejarah asal-usul masa lalu
serta nenek moyang mereka adalah sama dengan suku Bugis.

rumah adat Tolotang
Suku Tolotang menjadikan kepercayaan mereka sebagai dasar etika sosisal di mana praksis social
digerakkan. Nuansa keberagamaan masyarakat Tolotang yang titik sentral kepemimpinannya
dikendalikan oleh Uwadan Uwatta dengan pola pewarisan estafet dari generasi ke generasi
berikutnya sampai sekarang masih tetap dipertahankan sebagai sesuatu yang sakral.

Kearifan lokal merupakan pondasi utama kebudayaan Nasional yang mesti dilestarikan. Dalam hal ini
Suku Tolotang atau lebih dikenal dengan Towani Tolotang merupakan komunitas adat yang terdapat
di Sulawesi selatan.

Suku Tolotang dalam menjaga eksitensinya tidak lepas dari dinamika beragam, mulai dari tekanan,
bahkan sampai menghadapi resistensi dari berbagai pihak. Akibat mempertahankan identitasnya.
Sejak lama Komunitas ini telah ditindas dan ditekan, pertama ketika agama Islam masuk ke Sulawesi
Selatan, komunitas ini ditekan untuk menanggalkan indentisnya agar mengikuti Islam.

Berdasarkan sejarahnya, Komunitas Tolotang, pada awalnya adalah orang-orang yang mempunyai
kepercayaan Bugis kuno yang tinggal di Wajo. Pada awal abad ke-17 Wajo mengalami islamisasi
besar-besaran setelah dikalahkan Raja Gowa, Sultan Alauddin, yang dikenal melakukan upaya
Islamisasi melalui jalur kekuasaan politik formal, penuh tekanan-paksaan, dan nyaris tanpa ampun.
Akhirnya Raja Wajo La Sangkuru Arung Matoa secara resmi masuk agama Islam. Raja kemudian
mengeluarkan maklumat agar seluruh warga kerajaan Wajo mengikuti agama Islam dan patuh pada
perintah raja. Sebagan besar penduduk mematuhi maklumat raja tersebut, namun sebagian orang
yang tinggal di wilayah Wani tidak mau mengikuti perintah itu. Orang-orang yang tidak mau mengikuti
Islam ini lantas lari ke Sidenreng. Versi lain menyebutkan bahwa bukan lari tapi berperang hingga
terdesak ke Sidenreng. Entah lari entah berperang, yang jelas serombongan orang dari Wajo lantas
tinggal di Sidenreng.

Di Sidenreng ini mereka membuat perjanjian dengan Addatuang Sidenreng, La Pattiroi, yang
merupakan raja Sidenreng VII. Perjanjian yang disebut dengan ada mappura onrona Sidenreng. Isi
utamanya adalah bahwa adat harus dihormati, keputusan harus ditaati, janji harus ditepati, keputusan
yang telah ada harus dilanjutkan, dan agama harus ditegakkan. Ada versi yang mengatakan bahwa
perjanjian itu juga meliputi kesepakatan bahwa komunitas Tolotang wajib melakukan ritual
pemakaman dan pernikahan secara islam. Akhirnya, masyarakat Tolotang tinggal di Sidenreng di
wilayah Amparita dan menyebut diri sebagai sebagai To Lotang. Mereka disebut Tolotang karena
mereka semua tinggal di sebelah selatan pasar dan raja memanggil mereka dengan oliie renga
tolotange pasarenge (panggil mereka yang di selatan pasar itu).

Ketika raja mulai menerapkan kebijakan untuk memaksakan dua ritual yang harus diikuti masyarakat
Tolotang, selama bertahun-tahun masyarakat Tolotang mengikutinya. Namun pada masa
pendudukan Jepang, ada peristiwa yang sangat membekas di hati kaum Tolotang hingga kini. Yakni
peristiwa Imam Walatedong yang tidak mau memakamkan mayat orang Tolotang. Ini menyebabkan
masyarakat menjadi gundah, sebab seolah mereka ditolak kehadirannya. Belakangan lahir keputusan
raja yang menyatakan melarang pemakaman mayat Tolotang oleh orang Islam. Sejak itu orang
Tolotang tidak mau lagi mengikuti tradisi pemakaman Islam dan menjalankan tradisinya sendiri.

Di awal kemerdekaan, kelompok Tolotang menjadi sasaran tembak pemberontak DI/TII. Orang
tolotang menyebut mereka dengan gerombolan DI/TII. Masyarakat Tolotang yang tinggal di desa
Otting dibantai, sebagian berhasil melarikan diri ke Amparita. Di Amparita inilah kaum Tolotang
bergabung dengan TNI melalui Pasukan Sukarela demi memberantas DI/TII. Hampir seluruh anggota
pasukan Sukarela adalah orang Tolotang. Pada titik inilah Tolotang kemudian diidentikan telah
memusuhi Islam, sehingga kelompok Islam di kemudian hari balik memukul Tolotang juga melalui
perangkat TNI.

Pasca peristiwa 1965, sebagaimana komunitas lokal di sekujur negeri ini, kaum Tolotang dituduh
sebagai basis kekuatan PKI. Memang waktu itu ada sekitar 37 orang Tolotang yang tergabung dalam
Lekra. 5 orang diantaranya aktif sebagai aktivis. Tekanan dan intimidasi pada waktu itu sangat keras
dirasakan masyarakat Tolotang di Amparita. hampir semua tokoh mereka ditangkap dan dibawa ke
penjara Rappang, sementara yang lain lari dari Amparita menuju Pinrang. Pada masa ini kelompok
Tolotang berusaha mendapat pengakuan dari pemerintah. Seorang Tolotang bernama
Makatunggeng diutus pergi ke Jakarta untuk mengupayakan hal ini. Pada akhirnya usaha selama
berbulan-bulan ini berujung pada dikeluarkanya SK. Dirjen Bimas Beragama Hindu Bali/Budha No.
2/1966 tanggal 06 Oktober 1966 yang menetapkan bahwa Tolotang merupakan salah satu dari sekte
dari agama Hindu. Keputusan ini tidak serta-merta membuat hidup komunitas ini menjadi tenang,
tekanan dan intimidasi terus berlanjut karena masyarakat Islam menolak keputusan tersebut. bahkan,
menurut pengakuan masyarakat lokal, Dirjen bimas Hindu yang hendak mengunjungi komunitas ini
dicegat dan dilarang. Desakan masyarakat Islam untuk menolak surat keputusan tersebut bahkan
kemudian disetujui DPRD-GR Kabupaten Sidrap, hingga mencapai puncaknya pada lahirnya Operasi
Malilu Sipakaenga (bahasa daerah yang berarti operasi untuk mengingatkan) dari Kodam
Hasanuddin. Operasi militer inilah puncak ketertindasan dan peminggiran komunitas Tolotang.
Operasi ini secara tegas menyatakan bertujuan mengembalikan kaum Tolotang pada ajaran Islam.
Aktivitas Tolotang lantas selalu diawasi, mereka tak bisa bebas menjalankan ritual kepercayaannya
dan selalu dipaksa untuk masuk Islam.

Saat ini segalanya telah berubah dengan masa-masa pahit di masa lalu suku Tolotang. Karena saat
ini suku Tolotang telah bebas menjalankan tradisi agama serta melaksanakan ritual-ritual mereka
dengan bebas, tanpa kuatir mendapat gangguan dan ancaman dari pihak manapun. Karena
kehidupan sosial masyarakat lain telah berubah seiring kemajuan zaman, sehingga kerukunan antara
suku Tolotang dengan warga lain yang beragama Islam pun semakin harmonis dan saling
menghormati.

sumber bacaan:
sangbaco.com: pahaman awal suku bugis-makassar
pustakasekolah.com: suku tolotang
wikipedia
sumber foto:
pustakasekolah.com

Tolotang
Di Kelurahan Amparita lama, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang,
sebuah komunitas bernama Towani Tolotang, bermukim sejak ratusan tahun lalu.
Komunitas ini, terjaga secara turun-temurun dan terus berkembang hingga sekarang ini.
Bagi sebagian orang, ketika mendengar komunitas Tolotang disebut, mungkin akan berpikir
tentang sebuah kampung pedalaman yang orang-orang di dalamnya begitu tertinggal
layaknya pemukiman dan komunitas di pedalaman Papua. Namun itu sama sekali salah.
Sebaliknya, komunitas ini berada di ibukota kecamatan.
Dari ibukota kabupaten, Pangkajene, Amparita hanya berjarak sekira 8 km. Jarak tempuh
dengan kendaraan roda dua ataupun empat paling lama setengah jam. Sementara dari Kota
Makassar, Amparita hanya berjarak 231 km.
Tak ada ciri khusus yang begitu membedakan komunitas ini dengan masyarakat sekitar
yang mayoritas suku Bugis. Bahkan, mereka juga tetap menegaskan identitas dirinya selaku
orang Bugis. Hanya saja, mereka punya kepercayaanberbeda dari warga lain yang mayoritas
beragama Islam.
Salah seorang tokoh Tolotang, Edy Slamet yang dalam komunitasnya dikenal dengan nama
Wa Eja, kepada penulis 7 Maret 2008 di gedung DPRD Sidrap mengatakan, cukup panjang
kisah dan sejarah tentang keberadaan mereka di Sidrap. Komunitas kami masuk di Sidrap
berasal dari Wajo. Towani itu nama sebuah kampung atau desa di Wajo. Yang membawa
adalah Ipabbere, seorang perempuan. Ia meninggal ratusan tahun lalu dan dimakamkan di
Perinyameng, sebuah daerah di sebelah barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang
kemudian selalu dikunjungi dan ditempati untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu
ramai, cerita Wa Eja.
Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Januari itu juga merupakan pesan dari
Ipabbere. Kami selalu membuat acara tahunan di Perinyameng. Sebab orangtua yang
dikuburkan di situ, memang berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak ia meninggal,
kuburnya harus diziarahi sekali setahun. Makanya, seluruh warga komunitas berdatangan
dari segala penjuru, mulai dari Jakarta, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan hanya yang cacat
dan
anak-anak saja yang tak hadir setiap Januari itu, klaim anggota DPRD Sidrap ini.
Awalnya sebenarnya, komunitas ini penganut aliran kepercayaan. Namun karena ada
kebijakan pemerintah yang tidak mengakui hal itu, maka pada tahun 1996, pemerintah
memberi tiga pilihan ke warga Tolotang. Aturan itulah yang akhirnya membuat komunitas
Tolotang takluk. Mereka akhirnya harus menanggalkan aliran kepercayaannya yang sudah
dianut sejak ratusan tahun.
Pemerintah saat itu tidak mengakui kalau ada aliran kepercayaan. Makanya dipanggillah
tokoh komunitas kami untuk cari langkah menjadi agama.Ditawarilah tiga agama; Islam,
Kristen, dan
Hindu. Komunitas kami harus memilih salah satunya, maka dipilihlah Hindu. Saat itu, kita
resmi beragama bernaung di bawah Hindu. Namun adat istiadat sebagai komunitas
Tolotang tetap terjaga, ujarnya.
Sejak saat itu, jika ada acara Hindu di luar Sulsel, seperti Jakarta dan Bali, kami selalu
diundang khusus, ungkap Wa Eja.
Wa Sunarto Ngate, salah seorang tokoh Towani Tolotang yang ditemui di rumahnya di
Amparita, juga mengatakan hal senada. Menurutnya, Towani Tolotang resmi berafiliasi
dengan Hindu pada tahun 1966. Kita ini sudah sebagai mashab Hinduisme sejak 1966. Itu
berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu nomor dua dan nomor enam tahun 1966,
katanya.
Mengapa memilih memeluk Hindu? Menurut Wa Sunarto, alasannya sederhana. Di antara
semua agama yang ditawarkan pemerintah, Hindu-lah yang punya kesamaan dan kemiripan,
termasuk soal prinsip. Hindu bisa memahami kami dan begitu juga sebaliknya, katanya.
Terkait sejarah komunitas ini, Wa Sunarto menambahkan pernyataan Wa Eja. Menurutnya,
Tolotang berasal dari Wajo. Komunitas ini ada di sana jauh sebelum Islam masuk. Waktunya
sekira abad ke-16. Hanya saja tidak berkembang seperti sekarang. Jadi kalau dikatakan
Tolotang ini baru, itu pendapat keliru. Sebab menurut kami jauh sebelum abad ke-16 sudah
ada, jelasnya.
Namun menurutnya, karena sebuah proses sejarah, Tolotang kemudian harus berpindah.
Masuknya Islam di Wajo rupanya tidak bisa memberi ruang yang bebas untuk
berkembangnya bagi Tolotang. Makanya beralih ke Amparita. Itu sekira abad 17, beber
Wa Sunarto.Sejak itu, Tolotang berkembang dan diayomi pemerintahan Sidenreng. Terjadi
hubungan yang baik antara warga Tolotang dengan warga komunitas lain. Hingga saat ini,
di semua kecamatan di Sidrap anggota komunitas ini pasti ada.
Bukan di Amparita saja. KomunitasTolotang juga ada di Maritengngae, Tellu Limpoe,
Wattangpulu, Sidenreng, Dua Pitue, serta Dua Pitue Lama. Hanya saja, basis utamanya
memang di Tellu Limpoe. Tokoh adatnya juga banyak dan menyebar di seluruh kecamatan,
kata Wa Eja.
Rumah Tokoh tak Punya Kursi
SORE itu, Kamis, 7 Maret sekira pukul 16.50 Wita, delapan lelaki tua terlihat sibuk meraut
bambu di kolong rumah salah satu warga. Bentuk rumah yang berarsitektur tempo dulu itu
persis sama dengan dua rumah di sampingnya, namun jauh beda dengan rumah-rumah lain
di sekitarnya. Bambu yang diraut kecil-kecil itu untuk balai-balai di tiga rumah yang
berarsitektur tempo dulu tersebut.
Mata kedelapan laki-laki tua itu terlihat awas ketika penulis yang barusaja turun dari salah
satu rumah di sampingnya mendekat. Sambil memainkan parang di atas potongan bambu
yang
dipegang dan diraut, mata mereka tak henti memperhatikan gerak-gerik penulis.
Saat penulis menyampaikan maksud ingin mengabadikan mereka dengan foto, salah satu di
antaranya sontak bertanya, Buat apa? Setelah penulis memberi penjelasan panjang lebar,
mereka pun akhirnya mengerti juga dan mau difoto.
Ke delapan lelaki tua itu adalah warga komunitas Towani Tolotang. Sore itu, mereka sedang
meraut bambu untuk anyaman balai di rumah tokoh adat mereka. Pemandangan seperti itu
sudah hal lumrah di Kelurahan Amparita Lama Kecamatan Tellu Limpoe.
Setiap kali balai bambu rumah tokoh adat rusak, warga komunitas ini akan berkumpul dan
bekerja bersama-sama untuk sekadar memperbaiki atau menggantinya. Mereka begitu
teguh mempertahankan adatnya yang masih bersifat feodal.
Kalau ada bambu yang patah atau rusak, warga komunitas Towani Tolotang akan bekerja
bersama memperbaikinya, kata Wa Eja atau Edy Slamet, salah satu pemilik rumah adat di
jejeran tiga rumah adat di tempat itu.Seperti penulis tulis di atas, Wa Eja merupakan salah
satu tokoh Tolotang yang duduk di DPRD Kabupaten Sidrap. Wa itu sendiri adalah sebutan
tokoh generasi penerus dari pimpinan adat.Kembali ke soal rumah. Rumah tokoh adat
Tolotang sangat jauh beda dengan rumah warga lainnya, khususnya di luar komunitas ini.
Satu hal yang paling tampak jelas membedakan adalah tiang rumah yang segi delapan dan
bundar.
Rumah adat punya ciri khusus. Namun bentuk ini tidak tertutup kemungkinan bisa diikuti
warga biasa. Semuanya disesuaikan kemampuan. Model ini sejak dulu menjadi adat kami,
cerita Wa Eja. Tokoh adat lainnya, Wa Sunarto Ngate yang ditemui penulis di Amparita juga
membahas soal tiang rumah yang bentuknya bulat. Secara khusus, ia bahkan menyebut
bahwa tiang bulat itu punya makna khusus.
Tiang bulat itu diibaratkan bahwa paham Tolotang ini kokoh terus, dan dipegang teguh.
Tekad komunitas ini bulat dan kuat sepanjang masa, katanya.
Bukan hanya tiang dan arsitektur luar rumah yang beda dari rumah kebanyakan. Bagian
dalam rumah juga demikian. Di rumah adat, jangan pernah berharap menemukan satu kursi
pun. Sebab memang rumah adat tidak dibolehkan memiliki kursi. Kalau di rumah warga
biasa komunitas ini, itu tidak diatur secara khusus. Mereka bisa saja memiliki kursi.Tidak
ada kursi di rumah adat. Sebab memang hanya didiami tokoh. Para Uwa yang tinggal di situ.
Rumah ini
menjadi tempat suci selain makam leluhur di Perinyameng. Secara keseluruhan, jumlahnya
di Amparita sekira 30-an rumah, jelas Wa Sunarto.
Selain di rumah tokoh adat dan pengabdian para warga komunitas Tolotang, acara-acara
lain juga masih sangat kental dengan nuansa adatnya. Dalam hal penentuan hari H acara
ziarah kuburan I Pabbere di Perinyameng, misalnya. Hari dan tanggalnya ditentukan
berdasarkan hasil tudang sipulung tokoh adat. Biasanya para tokoh adat disaksikan
warganya berembuk menentukan hari baik.
Saat hari H juga kita punya acara adat, massempek (saling tendang,Red). Dulu, massempek
ini melibatkan orang dewasa. Namun karena pernah ada gesekan yang muncul dan
ditakutkan muncul dendam, akhirnya orang dewasa diganti oleh anak SD, tambah Wa Eja.
Kemampuan komunitas Tolotang menjaga adatnya juga banyak menarik minat peneliti dari
berbagai negara di dunia. Peneliti-peneliti dari Amerika, Jerman, Jepang, Kanada, serta
Belanda, sudah sering ke Amparita untuk secara khusus mendalami komunitas ini. Mereka
menanyakan budaya Tolotang dan adat istiadatnya. Rumah-rumah juga diteliti. Itu sejak
tahun 70-an. Ada juga beberapa polisi dan mahasiswa yang ingin menyelesaikan program
S1, S2, atau S3-nya yang datang meneliti di sini, kata Wa Eja yang mengaku sebagai tokoh
lapisan kedua.
Dilarang Kawin di Luar Komunitas
Sebelum abad ke-16, komunitas Towani Tolotang terus berkembang. Hingga kini, jumlah
mereka secara keseluruhan, termasuk di sejumlah provinsi di luar Sulsel, menghampiri 40
ribu orang. Namun sayangnya, hingga saat ini, mencari informasi dari sumber-sumber pada
komunitas ini sendiri sangatlah sulit. Jangan pernah berharap bahwa warga kebanyakan
komunitas ini akan melayani atau menjawab pertanyaan Anda soal komunitasnya. Sebab
urusan komunitas ini, seluruhnya ada di tangan tokoh adat yang biasa disapa Wa atau Uwa.
Untuk mencari tahu komunitas ini, harus melalui mulut seorang Wa. Tapi, informasi satu
pintu itulah yang membuat komunitas ini tetap bertahan seperti sekarang. Langgengnya
komunitas ini, juga ditopang prinsip yang mereka pegang secara turun temurun. Prinsip
tersebut adalah tetteng (dalam bahasa Bugis: artinya konsisten).
Prinsip yang kami pegang sejak awal adanya kepercayaan Tolotang adalah semboyan
tetteng. Kami berpegang teguh, tidak berubah dan tidak terpengaruh dengan kondisi apa
pun. Kami bukan tidak menerima perkembangan yang ada, namun prinsip tetap kami
pegang teguh, kata Wa Sunarto Ngate, di rumahnya.
Penulis sendiri bisa berbincang dengan Wa Sunarto setelah direkomendasikan Wa Eja alias
Edy Slamet. Komunitas ini bertahan hingga kini, juga karena adanya doktrin dini dari nenek
moyang kepada keturunan-keturanannya. Sejak kecil, anak-anak komunitas ini, sudah
diberi pemahaman dan pesan khusus soal Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling
berperan untuk memberi pemahaman. Sebab, mereka memang mengambil peran selaku
tokoh yang memberi
pencerahan agama atau dalam Islam lazim disebut ustaz. Meski demikian, seiring
perkembangan zaman, ada juga beberapa warga komunitas ini yang akhirnya berubah
haluan.
Mereka lebih memilih keluar dari komunitasnya dan memeluk Islam. Banyak yang bergeser
masuk Islam.Bahkan, banyak yang sudah berhaji. Setelah berpindah agama, tidak ada lagi
kewenangan mereka di Tolotang. Pernikahan juga menjadi salah satu pemicu adanya
pergeseran ini. Dan kami memang cukup ketat soal itu. Semua yang menikah di luar
Tolotang, termasuk Islam, berarti sudah keluar. Mereka tidak diakui lagi, kata Wa Eja.
Namun, adanya perpindahan agama itu tak membuat permusuhan. Sebab dari awal, warga
Tolotang memang punya hubungan baik dan keakraban dengan masyarakat yang lainnya.
Kami selalu rukun dan damai. Sebab, di Amparita, Tolotang dengan masyarakat Islam
memang rata-rata punya hubungan famili. Bahkan, orang Islam yang tidak punya hubungan
famili dengan kami hanya yang betul-betul datang dari luar Amparita, bebernya.
Hal ini juga dibenarkan Wa Sunarto. Bahkan, secara khusus, dia menegaskan bahwa
komunitas Tolotang merupakan bagian dari etnis Bugis. Tolotang itu etnis Bugis juga.
Cuma, bedanya dalam hal kepercayaan saja. Bahasa kita bahasa Bugis juga, tegasnya.
Soal sejumlah warga komunitas yang memilih meninggalkan Tolotang, Wa Sunarto
mengatakan, mereka memilih keluar karena memeluk Islam. Mereka yang memeluk Islam ini,
kemudian menamakan diri Tolotang Benteng.
Sebagai komunitas yang terbuka, memang tidak menutup kemungkinan ada warga kita
yang keluar dari Tolotang. Tapi memang dipersilakan saja. Tidak dipermasalahkan. Tapi
sebaliknya, juga demikian. Ada juga penganut lain yang mau bergabung dengan kami.
Hanya memang, hal itu sangat sulit. Bahkan, bisa jadi tertutup.Sebab, prinsip kami,
Tolotang tidak berkembang dengan menerima orang lain. Kami tidak pernah seperti itu. Kita
berkembang berdasarkan anak cucu, jelasnya seraya menambahkan bahwa rata-rata warga
Tolotang berprofesi petani.
Mengenai munculnya Tolotang Benteng yang disebut-sebut merupakan Tolotang yang
menganut Islam, Wa Sunarto juga membenarkannya. Namun katanya, di Towani Tolotang,
itu tak diakui. Di Amparita ada dua Tolotang. Ada yang menamakan diri Tolotang Benteng.
Tapi kami tidak pernah mengenal dua. Kami tidak tahu siapa yang mengatasnamakan itu.
Yang pasti, kamilah Tolotang asli yang punya paham Hindu. Dalam ritual, mereka tidak lagi
diikutkan. Tapi konon kabarnya, mereka juga punya Uwa. Tapi, silakan saja jalan, kita
jangan saling ganggu, tegasnya.
Wa Sunarto juga mengaku cukup salut dengan warga Amparita. Menurutnya, selama ini,
mereka bisa hidup rukun dan damai. Kita selalu terbuka. Saling bahu-membahu. Cuma tak
dapat dipungkiri juga, dalam proses sejarah, membangun kebersamaan itu tak mudah. Ada
bukti sejarah yang tidak tersembunyi bahwa pernah juga terjadi gesekan. Ada sekelompok
orang yang memiliki keinginan keras memaksakan kehendak. Tapi, kita klaim itu
hanyaoknum. Beberapa orang saja. Saya tidak generalkan, katanya. (amiruddin@fajar.co.id

Mengenal Agama Hindu Towani (ToLotang) Di Kab. Sidrap
23.03 adat "tau ogi", sejarah, Tradisi "Anak Ogi" No comments


Di Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat menjadi Kabupaten Sidrap) Sulawesi Selatan ada komunitas yang
menganut Agama Lokal atau yang disebut sebagai agama To Lotang. Mereka sebenarnya sudah mengenal
Tuhan terlebih dahulu dari agama pendatang yang mengaku-aku, bahwa merekalah yang memperkenalkan
konsep Tuhan kepada Masyarakat Bugis secara umum, sementara Agama-agama import ini menyudutkan
masyarakat yang ber-Agama To Lotang ini, sebagai Animisme dan Dinamisme.

Dewata SeuwaE / DewataE (Tuhan Yang Maha Esa) mempunyai
Gelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Esensi kosa-kosa kata sacral tersebut
jelas merupakan penekanan pada makna Yang Maha Segala-galanya.
To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La
Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah
Selatan, yaitu Wajo. Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (dalam
bahasa Bugis yang berarti orang), dan kata Lotang (dalam bahasa Bugis Sidrap,
dengan ucapan Lautang, yakni berarti Selatan dari arah Lautan).

Masyarakat To Lotang (To Lautang dari arah Lautan) percaya bahwa manusia
pertama dibumi ini sudah musnah (Tenggelamnya Atlantis). Adapun manusia yang
hidup sekarang adalah manusia periode kedua (Setelah Tenggelam-nya Atlantis,
Red),
Menurut Versi Buku I Lagaligo ceritanya antara lain:
Suatu ketika, PatotoE sedang tertidur lelap, sementara tiga pengikutnya (Rukkelleng,
Rumma Makkapong dan Sangiang Jung) yang dipercayakan untuk menjaganya,
justru mengambil untuk sekejap pergi mengembara ke dunia lain.
Ketika ketiganya sampai di bumi, mereka melihat ada dunia yang masih kosong, dan
ketika kembali dari pengembaraannya, ketiga pengikut tersebut menceritakan
kepada PatotoE, mengenai pengalaman mereka, bahwa ternyata ada dunia yang
masih kosong.
Lalu ketiganya mengusulkan, agar PatotoE dapat mengutus seseorang untuk tinggal
di dunia yang masih kosong tersebut. Ternyata PatotoE sepakat dengan ketiga
pengikutnya tersebut, lalu PatotoE berunding dengan istrinya Datu Palinge, serta
seluruh pimpinan di negeri Kayangan.
Setelah istrinya setuju, maka diutuslah Batara Guru (yang kini disebut sebagai
Tomanurung.) turun ke bumi terlebih dahulu.

Setelah beberapa saat tinggal di bumi, Batara Guru merasa kesepian, Ia memohon
agar kiranya dapat diturunkan satu manusia lagi ke bumi, untuk menemaninya.
Oleh karenanya diturunkanlah I Nyili Timo, putri dari Riseleang, yang kemudian
dinikahi oleh Batara Guru. Hasil dari pernikahan tersebut, melahirkan seorang putra,
bernama Batara Lettu.
Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian dinikahkan dengan Datu Sengngeng,
putri dari Leurumpesai.

Dari hasil pernikahannya melahirkan dua anak kembar, Putra dan Putri. Putranya
diberi nama Sawerigading, sedangkan Putri-nya diberi nama I Tenriabeng.
Sawerigading kemudian menikah dengan I Cudai, salah seorang putri raja dari Cina,
dan melahirkan seorang anak, yang bernamaLagaligo.




Pada masa Sawerigading, terciptalah negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto
Titi Tentrem Kerto Raharjo. Penduduk sangat menghormati perintahnya. Tetapi,
setelah Sawerigading meninggal, masyarakat menjadi kacau. Terjadi pergolakan
dimana-mana, hingga banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata
SeuwaE marah. Dewata SeuwaE lantas menyuruh semua manusia agar kembali ke
asalnya, maka terjadilah kekosongan dunia (Tenggelamnya Atlantis) untuk kedua
kalinya..

Setelah sekian lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini
sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan
meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia dikosongkan
oleh PatotoE.

Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha
Esa) itu diturunkan sebagai Wahyu pada La Panaungi.
Wahyu yang diturunkan kepada La Panaungi adalah:
Berhentilah bekerja, terimalah ini yang saya katakan. Akulah DewataE, yang
berkuasa segala-galanya. Aku akan memberikan keyakinan agar manusia selamat
di dunia dan hari kemudian. *
Akulah Tuhanmu yang menciptakan dunia dan isinya. Tetapi sebelum kuberikan
wahyu ini kepadamu, bersihkanlah dirimu terlebih dahulu, dan setelah engkau
menerima wahyu ini, engkau wajib untuk menyebarkannya pada anak cucumu.

Suara itu turun tiga kali berturut-turut, untuk membuktikan keyakinan bahwa itu
adalah benar-benar wahyu yang turun dari Kayangan.
Selanjutnya DewataE membawa La Panaungi ke tanah tujuh lapis, dan ke langit
tujuh lapis untuk menyaksikan kekuasaan DewataE pada dua tempat, yakni Lipu
Bonga, yang merupakan tempat bagi orang-orang yang mengikuti perintah DewataE.

Ajaran yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada penduduk
etempat, hingga banyak pengikutnya. Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya
diwajibkan untuk mengakui adanyaMolalaleng yakni kewajiban yang harus
dijalankan oleh pengikutnya.

Salah satu kewajiban tersebut adalah, Mappianre Inanre, yakni persembahan
nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritual, dengan cara menyerahkan daun
sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke Rumah Uwa dan Uwatta.

Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritual pada waktu
tertentu, guna meminta keselamatan pada Dewata. Sipulung, berkumpul sekali
setahun untuk melaksanakan ritual di kuburan I Pabbere di Perrinyameng. Biasanya
dilakukan setelah panen sawah tadah hujan.
Tolotang juga mengenal Empat Unsur kejadian manusia, yaknitanah, air, api dan
angin.

Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan
yang lebih dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam).

Nasi Putih diibaratkan Air, Nasi Merah diibaratkan Api, Nasi Kuning diibaratkan
Angin, dan Nasi Hitam diibaratkan Tanah. Oleh karenanya, setiap upacara
Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa.

Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran
yang ia terima dari DewataE, dan meminta agar pengikutnya berziarah ke
kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya, kuburan La Panaungi banyak diziarahi
pengikutnya, tidak hanya pada ritual tahunan saja.
Penganut agama Tolotang ini sempat berkembang, tetapi pada abad ke-16, ketika
Islam berpengaruh di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, jumlah penganut
Tolotang cenderung menurun karena hampir semua kerajaan bugis masuk Islam.
Saat inilah terjadi untuk pertama kalinya Islamisasi di Tolotang. Tetapi berkat
ketaatan masyarakatnya terhadap Agama yang dianut oleh Leluhur mereka
sebelumnya, maka mereka pun, masih dapat bertahan hingga kini.

Pada Tahun 1609, Addatuang Sidenreng, La Patiroi dan mantunya La Pakallongi,
secara resmi menerima Islam sebagai agamanya, dan menjadikannya sebagai
agama kerajaan. Pada tahun 1610 di Wajo kerajaan Batu pun masuk Islam sehingga
semua rakyatnya diwajibkan masuk Islam.
Saat ini terjadi Islamisasi yang kedua kalinya di wilayah tersebut, yang menimpa
Masyarakat To Lotang..
Orang-orang Wani (Berani) semua menolak masuk Islam, sehingga mereka diusir
dari tempat tinggalnya, dan mengungsi ke tempat lain yang mau menerima mereka.

Dipimpin oleh I Goliga dan I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya, Wajo, dan
hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya tiba di Bacukiki, Parepare dan I
Pabbere sampai diAmparita, yang kemudian mengadakan Perjanjian Adek
Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi.

Akhirnya I Pabbere diberikan izin untuk menetap di Loka Popang (susah dan lapar),
sebelah selatan Amparita, dengan syarat :
1. Adat Sidenreng tetap utuh serta harus dipatuhi
2. Keputusan harus dipelihara
3. Janji harus ditepati
4. Suatu keputusan yang telah berlaku harus dilestarikan
5. Agama Islam harus diagungkan dan dijalankan.
Kalau pada tahun 1966 kita mengenal Hinduisasi, pada saat tersebut di atas terjadi
Islamisasi

Setelah rombongan I Pabbere menetap dan bertani di Loka Popang, kemudian
nama tersebut diganti dengan namaPerrinyameng, yang berarti setelah susah
datanglah senang.

Di tempat inilah, I Pabbere meninggal dunia yang kemudian juga dimakamkan di
Perrynyameng.
Dalam Versi Lain dari Buku I Lagaligo ::
Dengan Jelas disebutkan, bahwa pendiri Toani Tolotang adalah La Panaungi.
Penganut Toani Tolotang ini mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya
dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE.
(Yang Menentukan Takdir)
Jadi Agama Lokal To Lotang ini, adalah bukan Animisme atau Dinamisme seperti
yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah
percaya pada Agama Import, yang bukan lagi anggota dari komunitas To Lotang
tersebut.
Agama Tolotang adalah Agama yang sudah mengenal Tuhan sejak sebelum
kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah tersebut.
Ajaran Tolotang bertumpu pada 5 (lima) keyakinan, yakni :
1. Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa
2. Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia
(Karena mungkin Nenek Moyang Mereka mengalami proses tenggelamnya Atlantis
Red.)
3. Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat (Dari
Nenek-nenek Moyang mereka yang selamat dari tenggelamnya Atlantis, mereka
mendapat kabar tersebut Red.)
4. Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
5. Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada
Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan
nenek moyang.
Mungkin perlu diluruskan, bahwa Menyembah kepada Batu-batuan, Sumur, dan
Kuburan Nenek Moyang, adalah Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi.
Jadi hal ini jangan menjadikan kita menghakimi mereka adalah Animisme
Dinamisme.
Kalau saya boleh bertanya, apakah ada Agama di Dunia ini yang tidak memiliki Satu
Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi. Kaabah (Sebuah Bangunan) juga
merupakanSatu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi.

Dalam masyarakat Tolotang terdapat 2 (dua) kelompok, yaituMasyarakat
Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat To
Wani To Lotang (Komunitas yang Masih Menganut Agama Tolotang).
Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi ke-
Agama-an, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan.

Bagi Komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti
tata cara yang dilakukan dalam Agama Islam.
Bagi Komunitas To Wani To Lotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan
jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun
Sirih.
Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok To Wani To Lotang. Mereka
melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau Pemimpin Ritual yang masih merupakan
keturunan langsung dari pendiri To Wani To Lotang.
Bagi Masyarakat To Wani To Lotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam
setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I
Pabbere. Kelengkapan ritual masyarakat To Wani To Lotang, mereka diwajibkan
membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal di hari
kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak
pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian.
Bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur PakkawaruE,
dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah
pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung
berupa pembacaan Lontara (Kitab Sucinya orang To Lotang ) oleh Uwatta, dimana
masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada
Uwatta.

Upacara Adat To Lotang dilakukan oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di
Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota Pangakajene dengan Kota Soppeng, dan
terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara
adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari),
dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa)
Tolotang.
Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada,
maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman
minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe (permainan adu kekuatan
kaki), yang kini hanya dilakukan oleh anak-anak.

Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul
dengan Berpakaian Serba Putih-putih, Sarung dan Tutup Kepala, Untuk Para
Laki-laki, Sedangkan Untuk Perempuan Mengenakan Pakaian Seperti Kebaya.
Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat
dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta
(Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta,
ditandai dengan penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada Batu
Leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.

Anda mungkin juga menyukai