Anda di halaman 1dari 3

Hukum Tanam Gigi Implant dalam Islam

Oleh: Qoem Aulassyahid


Tongkronganislami.net – Gigi merupakan salah satu anggota tubuh yang penting bagi manusia, mengingat
fungsi gigi sangatlah banyak, sehingga kerusakan yang terjadi pada gigi, tak ayal lagi akan mengganggu
dan memberi kesulitan pada pemiliknya.

Untuk hal itu, banyak cara dan upaya yang dilakukan, untuk menanggulangi kerusakan gigi, mulai dari
pencegahan dan perawatannya, sampai pada pergantian gigi yang telah tanggal.Salah satu upaya dalam
persoalan gigi adalah memakai gigi palsu. Hal ini merupakan sesuatu yang telah lumrah di masyarakat,
namun, meskipun menjadi solusi, tapi gigi palsu juga mendatangkan kesusahan, hal itu dikarenakan
sifatnya yang bisa lepas dan bisa hilang. Untuk itu, dalam hal gigi ini, upaya penanggulangannya terus
dilakukan.
Kebutuhan penggantian gigi itulah yang mendorong perkembangan teknologi dari gigi palsu biasa sampai
gigi implan. Perkembangan gigi implan sendiri sudah berakar lama, yakni sejak Dr Branemark
menggunakan bahan pelat titanium untuk memperbaiki kerusakan tulang dengan menambah tandur alih
tulang (bone graft) di laboratorium Universitas Kota Lund, Swedia, pada 1952. Percobaan itu
membuktikan kerusakan tulang dapat pulih tanpa ada penolakan terhadap bahan titanium, sehingga tulang
yang sehat dengan titanium implan menyatu.Pertama kali gigi implan diaplikasikan pada penderita yang
tidak bergigi sama sekali pada 1965. ”Penelitian penggunaan selama lima tahun, 90 persen sukses,” ujar
Peter Agus. Gigi implan berkembang pesat sejak 1993. Saat ini lebih dari 100 industri gigi implan
bertebaran di Amerika Serikat, seperti Nobel Biocare, Straumann, 3i, Zimmer, BioHorizons, AstraTech,
Ankylos, Implant Direct, Lifecore, dan Biolock.
Gigi implan sudah masuk Indonesia pada 2000, tapi baru marak belakangan setelah informasi melalui
Internet meluas. ”Dulu informasi implan terbatas di kalangan dokter,” kata Djoko Micni. Dalam waktu dua
tahun ini, orang makin berminat karena waktu tanamnya juga cepat.

Kemudian jika kita telusuri lebih lanjut dalam dunia fiqih, apakah tanam gigi dimana nantinya akan
menjadi gigi permanen merupakan hal yang boleh ataukah tidak?

Analisis penulis:
Sesuai dengan bacaan penulis, masih sedikit orang yang mengkaiji secara mendetail tentang masalah ini,
pun demikian terdapat dalam fatwa tarjih 2005 yang menyatakan hukum gigi palsu hukumnya mubah,
karena hal itu digolongkan sebagai pekerjaan muamalah yang tidak ada nash sarih yang berbicara tentang
hal tersebut, sehingga kaedah ushul “al ashlu fii asy’yaa’a al ibaaha” berlaku pada hal ini.Juga upaya
penanaman gigi ini merupakan upaya pencapaian mashlahat, mengingat kembali peranan penting gigi bagi
manusia, karena jika gigi tidak ada, maka seseorang akan terganggu makannya, susah melafazhkan Al-
qur’an dan lebih parah lagi, akan merusak kesehatannya, hal ini sesuai penjelasan Djoko Micni
“Gigi ompong memang sebaiknya diganti, kecuali orang yang bersangkutan sudah terlalu tua. ”Karena ada
fungsi yang hilang,”. Setidaknya fungsi kunyah dan estetika ikut tanggal. Ada juga dampak sampingan dari
kehilangan gigi, yakni mengganggu proses buka-tutup mulut yang mempengaruhi artikulasi. Gangguan itu
bisa menjalar ke sendi rahang, yang juga bisa mengakibatkan nyeri, sakit kepala, bahkan yang paling
ekstrem adalah sendi terkunci hingga mulut tak bisa dibuka”.
Lalu jika kita tinjau lebih lanjut, penanaman gigi memliki dampak buruk yang sedikit, sesuai data yang
penulis baca, Sejauh ini, tingkat keberhasilan pemasangan gigi implan cukup tinggi. Menurut Djoko Micni,
keberhasilannya mencapai 95 persen bila implan dipasang di rahang bawah dan 85 persen di rahang atas—
karena tingkat kesulitannya lebih besar. Menurut Peter Agus, rata-rata keberhasilannya 80 persen.
”Kegagalan terjadi karena kurangnya kompetensi dokter, bisa juga karena pasien tidak mengikuti anjuran
dokter,” ujarnya.

Dalam penanaman gigi ini dapat kita qiyaskan dengan kasus afrajah bin sa’ad yang diriwayat dalam al-
Tirmidzi (1770), Abu Daud (4232) dan al-Nasai’ (5161). Diklasifikasikan Hasan oleh al-Albaani dalam
Irwa’ al-Ghalil (824). Dimana hidungnya terpotong ketika perang bani kiilab dan dia berkonsultasi dengan
nabi untuk mengganti hidungnya, dan nabi membolehkannya.

Namun, muncul juga pertanyaan apakah penanaman gigi ini tidak termasuk merubah ciptaan Allah?
Ya memang merubah ciptaan Allah sudah jelas ketidakbolehannya, semisal memasang rambut, mencukur
alis dan semir rambut hitam, hadits-hadits perihal ini rata-rata bisa dijadikan hujjah, salah satunya hadits
tentang larangan menyemir rambut dengan cat hitam:

‫( – مسند أبي يعلى ـ محقق‬4 / 471)


2603 – ‫ عن ابن عباس أن‬: ‫حدثنا زهير حدثنا عبد هللا بن جعفر الرقي حدثنا عبيد هللا يعني ابن عمرو عن عبد الكريم عن سعيد بن جبير‬
‫ قوم يخضبون بالسواد في آخر الزمان كحواصل الحمام ال يريحون رائحة الجنة‬: ‫النبي صلى هللا عليه و سلم قال‬
‫ إسناده صحيح‬: ‫قال حسين سليم أسد‬
Tapi, menurut penulis, menyamakan hukum ketidakbolehan ini (qiyas) dengan tanam gigi kurang lah tepat,
sebab pengertian merubah ciptaan Allah itu pun masih samar, dan banyak pandangan ulama di dalamnya,
salah satunya pendapat syekh al-utsaimin mengenai pengertian ini:

Perkara-perkara yang didiamkan (tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang) oleh syariat ini mengandung
beberapa kemungkinan. Namun, pada asalnya mengubah ciptaan Allah adalah haram karena termasuk
perintah setan maka wajib untuk tidak melakukannya. Atau, kita katakan bahwasanya diamnya syariat
menunjukkan bahwasanya hal tersebut tidak mengapa, karena jika itu termasuk hal yang dilarang, maka
tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkannya dan akan melarang dengan lafal yang
umum.
Kalau itu termasuk hal-hal yang diperintahkan, tentu syariat telah menetapkannya, sehingga hal ini
termasuk hal yang dimaafkan, dengan tanda penyebutan macam yang dilarang karena penyebutan hal-hal
yang dilarang menunjukkan bahwa selain dari hal tersebut adalah diperintahkan atau didiamkan.”

Dan juga sesuai jawaban prof Syamsul Anwar yang penulis Tanya langsung mengenai perkara tanam gigi
ini, beliau menjawab tidak apa-apa dan memakai dalil “innallaha jamil wa yuhibbu jamal” meski demikian
lanjutnya “perkara ini harus di tinjau lebih jauh lagi dengan data yang akurat, mengingat masalah ini
merupakan masalah kontemporer”

Menurut penulis, larangan nabi dalam semua hadits yang dipakai untuk ketidakbolehan merubah ciptaan
Allah itu karena berlebih-lebihan dalam berhias, menghilangkan tanda-tanda ketuaan, adanya unsur
penipuan dan juga untuk menunjukkan perbedaan dengan kaum kafir, sesuai hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari:

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan
mereka.” (Riwayat Bukhari).

Sementara dalam urusan penanam gigi ini, sebab yang mendorongnya tidak dimaksudkan untuk berhias
semata, namun banyak kepentingan dan kebutuhan yang telah penulis nyatakan dalam awal tulisan,
sehingga dalam urusan ini dapat dipakai kaedah ushul fiqih:

“jalbul masaalih muqoddamun ala dar’il mafsadah”

Lebih lanjut lagi, dalam urusan penanaman gigi ini, juga tidak bisa dikategorikan sebagai penghilang tanda
ketuaan, seperti halnya pergantian gigi bagi orang tua yang memang sudah waktunya giginya tanggal. Hal
ini sesuai penjelasan dokter gigi ahli bedah mulut Peter Agus, yang merupakan konsultan spesialis bedah
mulut dan maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya.

Dengan teknologi yang sekarang——akar gigi dan penampang untuk mahkota gigi dapat dipasang
langsung, sehingga waktu yang dibutuhkan relatif singkat, yakni 1-4 hari . Tapi ada syarat-syaratnya,
Kepadatan (densitas) tulang harus keras, dan pada gigi yang digantikan tidak terdapat kelainan akar gigi
seperti abses, granuloma (tumor jaringan ukuran kecil), dan kista.
Atau perkataan dokter Djoko Micni:

Gigi ompong memang sebaiknya diganti, kecuali orang yang bersangkutan sudah terlalu tua
Berdasarkan penjelasan diatas, maka orang tua yang memang giginya lepas biji demi sebiji karena faktor
ketuaan tidak memenuhi syarat untuk melakukan penanaman gigi, artinya tanam gigi hanya bisa dilakukan
oleh orang yang memiliki organ tubuh di area mulut dan sekitarnya masih baik (baca : masih muda) di
mana tentunya mereka tidak akan melakukan tanam gigi apabila giginya tidak tanggal yang disebabkan
oleh hal-hal yang tidak disengaja, semisal jatuh, tertabrak atau tidak sengaja makan batu yang keras.
Sehingga tanam gigi dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai sebuah penyakit yang wajib di obat.

Kesimpulan:

Tanam gigi dalam Islam hukumnya boleh, selama tidak bertujuan untuk berlebih-lebihan dalam berhias
atau tidak memberikan dampak yang lebih berat bagi pasien tanam gigi, tapi tentunya lebih baik lagi untuk
mencegah terjadinya kerusakan gigi, seperti sikat gigi rutin dan memeriksakan kesehatan gigi 6 bulan
sekali.

Namun demikian, penulis menyadari banyak kekurangan didalam analisis ini mengingat permaslahan
tanam gigi bisa jauh lebih luas dan kompleks. Untuk itu perlua adanya upaya yang lebih baik dalam hal
penentuan hukumnya.

Wallahu ‘alam bis-showab.

Anda mungkin juga menyukai