Anda di halaman 1dari 12

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DAN EUTHANASIA

Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

MATSAIL FIQHIYAH

Dosen Pembimbing : Acep Muwahid Muhammadi, S.HI, MM

Disusun Oleh : Rahmatulloh Sidiq

Siti Wahidah

Tarisa Aulia Putri

Semester : V C ( LIMA )

Kelompok : 5 (Lima)

FAKULTAS TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-KARIMIYAH

SAWANGAN KOTA DEPOK

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat ALLAH Subhanahu Wata’ala,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini yang berisikan materi tentang “Transplantasi Organ Tubuh dan Euthanasia”. Untuk
memenuhi salah satu tugas kuliah Matsail Fiqhiyah.

Shalawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi besar Muhammad
Sholallahu ‘Alaihi Wasalam, dan kepada para keluarga dan sahabatnya, tak lupa kita semua
selaku pengikutnya, semoga mendapat syafa’at dari-Nya kelak di akhir zaman nanti.Aamiin
Yaa Robbal ‘ Alamiin.

Kami tentu menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki
sehingga makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Tapi akhirnya kamipun dapat
menyelesaikan makalah tepat pada waktunya.

Oleh karena itu kami dalam kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan, dorongan, petunjuk serta dukungan dan
bantuan lainnya kepada kami. Untuk itu kami menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya.

Kritik dan Saran yang positif akan senantiasa kami harapkan dalam perbaikan makalah
kami di kemudian hari. Akhirnya harapan penyusun semoga hasil dari makalah ini dapat
berguna bagi penyusun khususnya dan umumnya bagi para pembaca.

Depok, 23 Oktober 2021

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam memperhatikan kesehatan rohani sebagai jembatan menuju
ketentraman hidup dunia dan keselamatan di akhirat,ia juga sangat menekankan
pentingnya kesehatan jasmani sebagai nikmat Allah yang sangat mahal untuk dapat
hidup actual secara optimal. Sebab kesehatan jasmani disamping menjadi faktor
pendukung dalam terwujudnya kesehatan rohani, juga sebagai modal kebahagiaan
lahiriah. Keduanya saling terkait dan melengkapi tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi
mata uang.
Persoalan yang terkait dengan kebutuhan kesehatan masyarakat dimana sering
ada pertimbangan ilmu kedokteran yang harus dilakukan sebagai upaya penyembuhan
suatu penyakit, padahal tidak pernah dilakukan fuqoha klasik, semisal abu hanifah,
imam malik, imam syafii, imam abu hambal, padahal harus dilakukan untuk sehat
misalnya transplantasi ke organ tubuh manusia.1
Persoalan tersebut masih genjar dimasyarakat sampai saat ini masih
diperdebatkan dimasyarakat terutama umat islam antara halal dan haram oleh sebab itu
kami membuat makalah ini untuk memecahkan hukum tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian transplantasi ?
2. Bagaimana hukum transplantasi organ tubuh?
3. Bagaimana pengertian euthanasia?
4. Bagaimana macam-macam euthanasia?
5. Bagaimana pandangan/tinjauan hukum islam : masalah dan mafsadah?
6. Bagaimana hukum euthanasia?
C. Tujuan
1. Untuk megetahui pengertian transplantasi
2. Untuk mengetahui hukum transplantasi organ tubuh
3. Untuk mengetahui pengertian euthanasia

1
Mahjuddin. Masail Al Fiqh Kasus-kasus dalam hokum islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 20212). Hlm.V
4. Untuk mengetahui macam-macam euthanasia
5. Untuk mengetahui pandangan/tinjauan hukum islam : masalah dan mafsadah
6. Untuk mengetahui hukum euthanasia
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Transplantasi
Pencangkokan (transplantasi) ialah pemidahan organ tubuh yang mempunyai
daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak
berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan
penderita untuk bertahan hidup tidak ada lagi.2
Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait
dengannya: pertama, donor yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya
yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya
menderita sakit, atau terjadi kelainan. Kedua, resipen yaitu orang yang menerima
organ tubuh dari donor yang karena organ tubuhnya harus diganti. Ketiga, tim ahli
yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada
resipen.3
Terdapat beberapa tipe donor organ tubuh, dan masing-masing tipe tersebut
mempunyai permasalahan sendiri, yaitu :
1. Donor dalam keadaan hidup sehat
Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan general chek up
(pemeriksaan kesehatan yang lengkap), baik terhadap donor maupun terhadap
si penerima (resipen), demi menghindari kegagalan transplantasi yang
disebabkan oeh karena penolakan tubuh resipen, dan sekaligus untuk mencegah
resiko bagi donor.
2. Donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera
Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat control
dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus.
Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses
pengambilan organ tubuhnya.
3. Donor dalam keadaan mati
Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal menunggu
penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis dan harus
diperhatikan pula daya tahan tubuh yang mau diambil untuk ditransplantasikan.4

2
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2009), hlm 121.
3
Abudin Nata, Masail Al-Fiqhiyah. (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm 101.
4
Kutbuddin Aibak, Op,. Cit, hlm 121-122
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
A. Hukum transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan
hidup sehat, maka hukumnya haram, dengan alasan :
1. Firman Allah dalam Q.S Al Baqarah: 195

‫َو ََل ت ُ ْلقُ ْوا ِبا َ ْي ِد ْي ُك ْم اِلَى الت َّ ْهلُ َك ِة‬


“ dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan”

Ayat tersebut mengingatkan, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam


melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang
kemungkinan bisa berakibat fatal bagi pendonor, meskipun perbuatan itu
mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur.

2. Qaidah Fiqhiyah
“Menghindari kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan”5
Misalnya menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang
bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak dibolehkan dalam islam.

“ Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain”6

B. Hukum transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma


Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup,
meskipun dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram walaupun menurut
dokter bahwa si pendonor itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului
kehendak Allah SWT. Hal tersebut dapat dikatakan euthanasia atau
mempercepat kematian. Mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma
tidak boleh menurut islam dengan alasan :
a. Hadits Nabi SAW

5
Abuddin Nata, Op., Cit., hlm 103-105
6
Kutbuddin Aibak, Op., Cit., hlm 126.
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula
membuat mudharat pada orang lain.” (H.R Ibnu Majah)

b. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi


mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati itu berada ditangan Allah
SWT.7
C. Hukum transplantasi organ tubuh dalam keadaan telah meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah
meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan
menurut pandangan islam, dengan syarat bahwa resipen (penerima sumbangan
organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak
dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal, tetapi
tidak berhasil. Hal ini berdasarkan :
a. Qaidah Fiqhiyah
“ Darirat akan membolehkan yang diharamkan” dan “Bahaya itu harus
dihilangkan”.
b. Fatwa MUI Tanggal 29 Juni 1987
Bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka
pengambilan jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang
yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum islam dengan syarat ada
izin dari yang bersangkutan baik lewat wasiat pendonor sewaktu masih
hidup dan izin keluarga (ahli warisnya).8

Sehubungan dengan hukum yang diterangkan diatas, maka terdapat


dua pandangan umum mengenai hukum transplantasi organ tubuh manusia
menurut ulama’ fuqoha yaitu :

1. Pandangan yang menantang


Terdapat dua ulama yang terkemuka yang menulis penolakan
terhadap transplantasi organ tubuh manusia yaitu Mufti Muhammad Syafi’
dari Pakistan dan Dr. Abdul Assalam al Syukuri dari Mesir.
Mufti Syafi’ berpendapat mengenai pandangannya atas tiga prinsip
a. Kesucian hidup atau tubuh manusia
b. Tubuh manusia adalah amanah
c. Praktik tersebut bisa disamakan dengan memperlakukan tubuh manusia
sebagai benda material.

Sedangkan menurut Dr. Al Syukuri berdasarkan atas beberapa


pertimbangan :

a. Kesucian tubuh manusia


b. Larangan menggunakan benda terlarang sebagai obat
c. Menjaga kemulian hidup manusia

7
Abuddin Nata, OP., Cit., hlm 10-106.
8
Abuddin Nata., Op., Cit., hlm 107.
d. Menghindari dari keraguan
2. Pandagan yang mendukung
Para ulama yang mendukung pembolehan transplantasi organ tubuh
berpendapat bahwa transplantasi organ tubuh harus dipahami sebagai satu
bentuk layanan altruistic (mendahulukan kepentingan orang lain) bagi
sesame muslim. Pendapat ini diambil dari beberapa prinsip yaitu :
a. Kesejahteraan public (kemaslahatan umat)
b. Altruisme
c. Penjualan organ tubuh
d. Organ tubuh non muslim
Adapun dalil yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan
transplantasi organ tubuh, antara lain :
1. Q.S Al- Baqarah :195, yaitu bahwa islam tidak membenarkan dirinya
dalam keadaan bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara
medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberikan
harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
2. Q.S Al-Maidah : 2,yaitu dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan
tanpa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa.
3. Q.S Al-Maidah : 32, yaitu dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia
seumatnya.
4. Hadi Nabi SAW :“ Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena
sesungguhnya Allah tidak meletakan suatu penyakit, kecuali dia juga
meletakan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu yaitu penyakit
tua.” (H.R Ahmad, Ibnu Hibban, dan AlHakim dari usamah ibnu
syuriah)
3. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti
“baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut
istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan
yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan
hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145)
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan
baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum
mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”
4. Macam Macam Euthanasia
Euthanasia mempunyai dua bentuk:
a. Euthanasia Aktif\Positif
Merupakan tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh
dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa
penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien.
Misalnya: Ada seseorang menderita penyakit yang sangat kronis atau sudah
sampai pada stadium akhir, yang disertai dengan rasa sakit yang luar biasa
sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin jika si pasien
tidak akan bertahan lama. Maka dokter kemudian memberinya obat (morfin
atau semacamnya) dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan
rasa sakitnya, akan tetapi sekaligus menghentikan pernapasan.
b. Euthanasia Pasif atau Negatif
Merupakan tindakan menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit
keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana
penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian si pasien.
Penghentian pengobatan biasanya dilakukan dengan mencabut alat bantu
pernafasan dari pasien yang notabene merupakan satu-satunya sebab yang
membuat pasien masih hidup.
Misalnya: ada seorang yang menderita koma dalam jangka lama, dimana
otaknya sudah tidak berfungsi atau sudah mati. Secara medis, orang ini sudah
tidak mungkin sembuh dan jika dia hidup maka itu hanya akan menyiksa dirinya
mengingat tubuhnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dan satu-satunya alasan
yang membuat dia masih hidup (tentunya setelah izin Allah) adalah adanya alat
bantu pernafasan yang membuat dia masih bisa bernafas. Maka melihat
kenyataan seperti itu, si dokter melepaskan alat bantu pernafasan tersebut
sehingga akhirnya pasien meninggal karena sudah tidak bisa bernafas.
5. Pandangan/Tinjauan Hukum Islam; Masalah dan Mafsadah
Euthanasia aktif dengan semua bentuknya adalah haram dan merupakan
dosa besar. Hal itu karena euthanasia aktif hakikatnya merupakan pembunuhan
dengan sengaja. Dan pembunuhan dengan sengaja atau terencana adalah haram,
apapun alasan yang melandasinya. Baik itu dengan alasan kasih sayang,
permintaan si pasien sendiri, permintaan keluarga pasien, atau alasan lainnya
yang jelas tidak diterima oleh syariat.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-An’am 151:

Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan


kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu
bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji,
baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang
diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia
memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.
6. Hukum Euthanasia
Jika kita memperhatikan praktik euthanasia pasif ini, maka kita bisa mengetahui
bahwa sebenarnya hakikat dari euthanasia pasif ini adalah tindakan menghentikan
pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak
bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien.
Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu
sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah. Jika kita katakan
berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif)
hukumnya adalah haram. Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka
berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh.
Dan jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti
menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah.9
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat
ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih
utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari
seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw.
agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:” Jika engkau mau bersabar (maka
bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan
kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan bersabar.
`Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah
kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan
orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.”
Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang
tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit,
seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma. Dan tidak ada yang
mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab
tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang
yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang
sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil

9
uthanasia Dalam Perspektif Islam (http://al-atsariyyah.com/euthanasia-dalam-perspektifislam.html)
menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi -lebih sedikit dari
golongan kedua- berpendapat wajib.
Sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan
pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA),

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada keterangan dalil-dalil dan pendapat ulama diatas bahwa transplantasi organ tubuh
ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkannya. Maka dari itu kami
sebagai pemakalah menyimpulkan bahwa hukum transplantasi organ tubuh manusia
hukumnya mubah selama tidak keluar dari syariat islam.
B. Saran
Sebelum melakukan penyembuhan melalui transplantasi organ tubuh manusia yang
sakit atau mengalami kerusakan alangkah baiknya kita sebagai manusia berusaha
ikhtiar mencari penyembuhan lain selain transplantasi organ tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: SUKSES Offset.

Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. 2004. Organ Transplanation, Euthanasia, Cloning and
Animal Eksperimentation: An Islamic View. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Nata, Abuddin. 2014. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Mahjuddin. 2012. Masail Al Fiqh Kasus-kasus actual dalam hukum islam. Jakarta:
Kalam Mulia

Anda mungkin juga menyukai