Anda di halaman 1dari 6

1

Belajar Seumur Hidup Bagi Guru


Oleh Jejen Musfah, dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jejenjuni02@gmail.com

A. Pendahuluan
Sejalan dengan kebijakan pemerintah, melalui UU No. 14 Tahun 2005 pasal 7
mengamanatkan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui
pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif,
dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Disamping itu menurut pasal
20, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban meningkatkan dan
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Sebelumnya, dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) pasal 40 dinyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan
berhak memperoleh, di antaranya: pembinaan karier sesuai dengan tuntutan
pengembangan kualitas; kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan
fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Beragam program pelatihan dan sumber belajar yang dilaksanakan dan
sediakan oleh dan bagi guru tidak akan memiliki makna bagi pengembangan
kompetensi guru jika guru tidak memiliki jiwa pembelajar. Guru adalah orang yang
memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang besar terhadap segala informasi yang terkait
dengan pembelajaran dan pendidikan. Guru gemar membaca di mana pun dan kapan
pun ia berada. Guru sejati dan guru teladan adalah guru yang selalu mencintai
kegiatan belajar dalam sepanjang hidupnya.
Bisa jadi fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru yang tidak suka
kegiatan belajar dan membaca, sehingga kompetensi guru sangat rendah.
Pengetahuan dan keterampilan guru sangat minim. Maka, mungkin benar bahwa
tidak semua orang bisa menjadi guru. Benar bahwa ilmu kependidikan itu bisa
dipelajari oleh siapa pun, tapi tidak semua orang punya bakat mengajar dan
mendidik.
Kenyataan bahwa pendidikan guru rendah, keterampilan menulis guru juga
minim, dan kompetensi guru yang di bawah standar mencerminkan bahwa motivasi
belajar guru sangat rendah. Bagi calon guru atau yang sudah menjadi guru, belajar
sepanjang hayat merupakan sebuah keharusan.

B. Pembahasan
Pelatihan dan sumber belajar tidak akan bermanfaat bagi peningkatan
kompetensi guru jika guru tidak berusaha menjadi manusia pembelajar sepanjang
hayat. Bisa jadi guru mengikuti pelatihan hanya sekali atau dua kali dalam setahun,
dan fasilitas belajar hanya tersedia di sekolah, maka guru haruslah orang yang benar-
benar cinta ilmu dan gemar membaca, serta rajin dan tekun belajar.
Menurut Hatton (1997: v), “Pendidikan seumur hidup adalah pembelajaran
yang terjadi di dalam atau yang dihubungkan dengan institusi pelatihan dan
2

pendidikan formal, termasuk kerja yang terkait dengan latihan di tempat kerja, seperti
juga pembelajaran yang lebih luas di dalam masyarakat dan di dalam rumah.
Pendidikan seumur hidup berlangsung sepanjang hayat”.
Ada yang membedakan konsep pendidikan seumur hidup dan pembelajaran
seumur hidup. Seperti ditulis Yuen Pan (Hatton, 1997: 35) berikut ini, “Lifelong
education telah diartikan sebagai „penetapan pengukuran tentang organisasi,
administrasi, metodologi, dan prosedur‟, sementara lifelong learning didefiniskan
sebagai „kebiasaan belajar sepanjang hidup secara terus-menerus, cara bertingkah
laku‟”. Secara umum penggunaan kedua istilah ini sering tidak dibedakan, dan istilah
pendidikan seumur hidup lebih populer dibanding pembelajaran seumur hidup.
Mungkin karena istilah pendidikan lebih luas dibanding pembelajaran.
Methen dan Hansen (Hatton, 1997: 6) dalam Half a Revolution: a Brief Survey
of Lifelong Learning in New Zealand menjelaskan karakteristik sistem lifelong learning
berikut ini:
1. Pembelajaran individu, diarahkan oleh negosiasi antara guru dan pelajar;
2. Fleksibilitas program-program, sehingga pembelajaran dapat terjadi pada
waktu-waktu dan tempat-tempat yang sesuai dengan pelajar;
3. Ketiadaan proses-proses pemilihan, membuka peluang pelajar-pelajar
untuk berproses pada satu langkah dan dalam suatu arah yang sesuai
dengan kebutuhan individu mereka;
4. Dan penguasaan proses pembelajaran oleh masyarakat dan individu yang
berminat.

“Guru harus mampu memanfaatkan segala sumber daya pendidikan yang ada
dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan,” tulis Davies (1971: 71). Guru dituntut
selalu mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya dengan cara belajar dan
mencari informasi baru yang berkaitan dengan pembelajaran dan pendidikan. Mereka
harus terbiasa membaca buku, majalah, jurnal, dan koran, serta melatih
keterampilannya sebagai pengajar dan pendidik. Karena itu, sekolah seharusnya
menyediakan berbagai sumber/bacaan bagi para guru untuk menunjang
pengembangan kompetensi guru.
Guru harus selalu belajar sepanjang hidupnya, agar peserta didik dapat
mencontoh kebiasaan positifnya tersebut, dan agar apa yang disampaikannya di
depan kelas bukan sesuatu yang sudah usang di mata peserta didik. Belajar merupakan
modal bagi kemajuan, siapa yang banyak belajar dialah yang akan maju. Bangsa yang
maju adalah bangsa yang mampu menciptakan masyarakat belajar.
Fuller menulis, “Guru baru akan berkembang melalui—belajar dari—tahap-
tahap proses perkembangan dirinya dan pengajarannya, serta melalui hubungannya
dengan cara belajar siswa,” (Darling-Hammond dan Bransford, 2005: 379). Chapman
dan Aspin dalam School as Centres of lifelong learning for All menjelaskan bahwa,
“Pengembangan pengetahuan dan keterampilan dapat berlangsung sepanjang hidup
manusia,” (Hatton, 1997: 157). Menurut Al-Amir, “Pendidikan adalah hidup, karena
ia berlangsung terus selama manusia hidup,” (1990: 18).
3

Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis riwayat Baehaqi, “Jadilah kamu


seorang guru atau siswa atau pendengar atau pencinta (ilmu), dan janganlah kamu
menjadi yang kelima (orang bodoh), maka kamu akan hancur ,” (Bek, t.th.: 29);
Hadis riwayat Asakir dari Anas, “Orang yang paling sedih pada hari kiamat
adalah laki-laki yang punya kesempatan menuntut ilmu tapi tidak diambilnya, dan
laki-laki yang mengajarkan ilmu, dan orang yang mendengarnya memanfaatkannya,
tapi dia sendiri tidak,” (Bek, t.th.: 25).
Dua hadis ini mendorong setiap muslim—laki-laki dan perempuan—untuk
selalu belajar sepanjang hidup mereka. Seorang guru harus selalu belajar hingga ia
menjadi ahli dalam bidangnya; terampil dalam menyampaikan pembelajaran;
menjadi teladan bagi para siswa; mampu menyelesaikan persoalan-persoalan
hidupnya; objektif dan jujur dalam mengevaluasi/ menilai hasil belajar siswa.
Kesungguhan menunut ilmu sepanjang hayat itu harus dikejar meski harus menempuh
jarak yang jauh dari tanah kelahiran, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis
riwayat Ibn Abdul Bar berikut ini, “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China, karena
menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Sesungguhnya malaikat meletakkan
sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha terhadap apa ang ia cari ,” (Bek, t.th.: 26).
Seyfarth (2002: 124) menegaskan, “Guru mendapatkan pengetahuan tentang
mengajar dari beragam sumber, pengembangan profesional adalah salah satunya.
Membaca, dialog dengan sesama guru, dan bekerjasama dengan para murid adalah
sumber lainnya, yang akan mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya”.
Menurut Al-Nahlawi (2001: 173), “Seorang pendidik harus memiliki sifat selalu
menambah ilmu pengetahuan dan mempelajarinya. Kita melihat bagaimana Allah
memerintahkan para rasul agar mereka mengabdi pada Allah dengan cara
mempelajari kitab dan mengajarkannya, (QS Ali Imran: 79)”.
Keingintahuan terhadap pengetahuan (intellectual curiosity) merupakan esensi
kehidupan yang baik. Sebaliknya, kelambanan terhadap pengetahuan (intellectual
indolence) dapat mematikan (kehidupan)—secara harfiah maupun kiasan, (Boteach,
2006: 56).

Kegagalan Lembaga Pendidikan


Pendidikan guru seharusnya mampu menanamkan jiwa pembelajar bagi para
calon guru. Sebagaimana ditegaskan Hammerness, et al. dalam How Teachers Learn
and Develop, “Agar sukses menyiapkan para guru yang efektif, pendidikan guru perlu
meletakkan satu pondasi untuk pembelajaran seumur hidup. Bagaimanapun, konsep
dari pembelajaran seumur hidup harus menjadi sesuatu yang lebih dari sebuah cliché,”
(Darling-Hammond dan Bransford, 2005: 359).
Melihat fakta rendahnya mutu guru di Indonesia, menunjukkan bahwa
lembaga pendidikan guru tidak berhasil mencetak guru bermutu sesuai yang
diharapkan. Sebagai contoh adalah pada tahun 2007, 45 % guru gagal dalam ujian
sertifikasi melalui portofolio, meskipun di tahun berikutnya mengalami peningkatan.
Menurut Semiawan dan Natawidjaja (2000: 405), “IKIP, STKIP, dan FKIP, sejatinya
menghasilkan guru-guru yang memiliki kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan
kepribadian”.
4

Darling-Hammond dan Bransford (2005: 358) menjelaskan, “Pengetahuan,


skill, dan sikap sangat penting dalam optimalisasi pembelajaran. Namun guru tidak
dapat mendapatkan semua itu dalam pendidikan formal guru dan pelatihan. Seorang
guru harus memiliki jiwa pembelajar sepanjang hidupnya, terutama dalam masyarakat
yang menganut pentingnya standard akademik dan pendidikan yang ideal
(equitable)”.
Guru bergelar sarjana pendidikan tidak menjamin mutu kompetensi yang
bersangkutan, apalagi yang pendidikannya di bawah S1. Karena itu, calon guru atau
guru tidak bisa berharap terlalu banyak pada proses pendidikan di lembaga
pendidikan pencetak para guru. Mengapa? Karena mutu dosen belum standar dan
budaya akademik masih lemah, serta fasilitas sumber belajar belum memadai. Jika
muncul beberapa guru teladan dan baik itu semata karena dalam diri mereka ada
komitmen yang tinggi pada pentingnya belajar kapan pun dan di mana pun, serta
belajar apa pun; belajar bagi mereka bukan terbatas pada saat raga mereka berada di
dalam kelas bersama dosen, tapi bisa dilakukan kapan pun saat mereka punya
kesempatan—karena jiwa mereka telah lekat dan mencintai belajar. Kegagalan
lembaga pendidikan adalah bagaimana mengajarkan para mahasiswa mencintai
belajar.

Saatnya Guru Berubah


Belum terlambat kiranya jika para guru mulai menyadari bahwa mutu guru
secara umum sangat rendah. Mereka harus segera memotivasi diri mereka untuk
mencapai standar kompetensi yang diharapkan. Karena itu, guru harus memerhatikan
tiga hal berikut ini. Pertama, guru harus segera meningkatkan pendidikannya hingga S1
atau S2, minimal. Melalui proses pendidikan diharapkan kompetensi guru semakin
sesuai dengan standar nasional. Ada banyak peluang bagi guru untuk memperoleh
beasiswa pendidikan S1 dan S2. Masalahnya, guru harus rajin meningkatkan
kompetensi mereka agar bisa meraih beasiswa tersebut. Menyiapkan mental untuk
belajar merupakan hal lain yang harus dimiliki guru saat menempuh pendidikan.
Fakta menunjukan bahwa tidak sedikit guru yang “mogok” di tengah jalan
pendidikan S1 atau S2-nya. Banyak faktor yang menyebabkan mogoknya pendidikan
guru tersebut, sehingga mereka urung meraih gelar sarjana atau magister. Saya kira,
faktor terbesarnya adalah soal kemampuan manajemen waktu, keuangan, dan emosi
guru yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana guru harus berani dan rela menjual apa
pun yang dimilikinya untuk membiayai pendidikannya—sebab biasanya beasiswa
tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan guru saat belajar; apalagi yang tanpa
beasiswa.
Kedua, berbicara tentang belajar sepanjang hayat, rasanya tidak lengkap jika
tidak menyinggung soal buku. Guru yang baik memiliki perpustakaan pribadi di
rumahnya. Di rumah, membaca buku merupakan aktivitas yang disukai guru selain
membimbing anak-anaknya, dibanding dengan menonton televisi. Membaca tidak
menjadi beban bagi guru, tapi merupakan hobi.
Televisi boleh ditonton sekedar sebagai selingan dari membaca, bukan
sebaliknya: membaca sebagai selingan dari menonton. Meski demikian, otak lebih
baik diistirahatkan dengan tidur, dibandingkan dengan menonton televisi. Membaca
5

mempercaya pengetahuan, sehingga guru akan mengajar tanpa beban, dan selalu siap
kapan pun ia dibutuhkan.
Ketiga, sangat elok jika guru memiliki keterampilan menulis. Menulis
merupakan pintu bagi guru untuk selalu membaca; atau sebaliknya, membaca adalah
pintu bagi guru untuk dapat menulis. “Seorang penulis yang baik adalah pembaca
yang baik”. Demikian sebuah adagium yang sering kita baca.
Untuk bisa menjadi penulis, guru bisa belajar melalui berbagai buku maupun
pelatihan. Mengapa guru harus menulis? Karena menulis adalah pekerjaan yang
relefan dengan profesi guru; berdakwah adalah contoh lainnya.
Memang, tidak mudah bagi guru untuk melakukan ketiga hal tersebut, karena
masalah yang mendera guru sangat banyak dan kompleks, terutama masalah
kesejahteraan. Sarana dan prasarana di sekolah dan di rumah belum mendukung guru
menjadi sosok yang kompeten, apalagi profesional. Tapi guru teladan tidak akan
menyerah pada keadaan begitu saja. Ia akan mencari solusi dari setiap masalah yang
dihadapinya demi masa depan yang lebih baik. Bukan hanya untuk menaikkan derajat
dirinya, tapi juga untuk bisa memberikan yang terbaik bagi siswa-siswinya, sehingga
mereka kelak tumbuh lebih baik dari gurunya.

C. Penutup
Guru yang baik adalah guru yang selalu ingin memberikan yang terbaik bagi
siswanya. Ia ingin menjadi spesial bagi siswanya. Karena itu, pasti mereka ingin selalu
belajar dan berusaha meningkatkan kualifikasi pendidikannya. Mereka juga berusaha
menuangkan ide-idenya melalui tulisan dan ceramah. Mereka tidak ingin ketinggalan
pengetahuan dan keterampilannya dari siswanya, yang bisa jadi lebih punya fasilitas
untuk mendukung perluasan wawasan dan keahliannya.
Guru yang baik lebih menyukai membaca dibanding “ngobrol” yang tidak
bermanfaat atau “jalan-jalan” di mall. Guru teladan menjadikan rumahnya sebagai
sumber pengetahuan, yaitu dengan memenuhinya dengan buku-buku, majalah, jurnal,
dan beragam kliping. Maka, guru bisa belajar atau membaca kapan saja, di sekolah
atau di rumah, bahkan di tempat-tempat lainnya. Karena apa? Karena mereka sadar
sepenuhnya tentang arti penting belajar sepanjang hayat.

D. Daftar Pustaka
Amir, Al, N.Kh. (1990). Min Asâlîb Al-Rasûl Fî Al-Tarbiyah: Dirâsah Tahliliyah wa
Bayân Mâ Yustafâdu Minhâ Fî Waqtinâ Al-Hâdhir. Kuwait: Maktabah Al-
Busyra Al-Islamiyah.
Bek, A..H. (t.th.). Mukhtâr Al-Ahâdîts Al-Nabawiyyah wa Al-Hikam Al-
Muhammadiyyah. Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ‟ Al-Kutub Al-„Arabiyyah.
Cet. VI.
Boteach, S. (2006). 10 Conversations You Need To Have With Your Children . New
York: Regan Books.
Darling-Hammond, L. dan Bransford, J. (Eds). (2005). Preparing Teacher for A
Changing World: What Teacher Should Learn and Be Able To Do. San
Francisco: Jossey-Bass.
6

Davies, K.I. (1971). The Management of Learning. London: Mc Graw- Hill Book
Company.

Hatton, M.J. (Ed). (1997). Lifelong Learning; Policies, Practices, and Program. Canada:
School of Media Studies/Humber College.
Nahlawi, A.A. (2001 M./ 1422 H.). Mau‟idzat Al-Qulûb: Durûs wa Mawâqif
Tarbawiyyah Hayyat min Al-Qurân wa Al-Sunnah. Suriah: Dâr Al-Fikr.
Semiawan, C.R. dan Natawidjaja, R. “The Dynamics of an Education System of a
Developing Country: The Case of Indonesia”, dalam Marzurek, K., Winzer
M. A. dan Majorek, C. (2000). Educational In a Global Society: A
Comparative Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Seyfarth, J.T. (2002). Human Resources; Management for Effective Schools . Boston:
Allyn and Bacon. Third Edition.

Anda mungkin juga menyukai