Anda di halaman 1dari 22

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DITINJAU DARI

HUKUM ISLAM

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

Bagaimana pengertian transplantasi, menurut pakar hukum Islam (Masjfuk Zuhdi dan syekh Yusuf al-Qardawi)
bagaimana hokum Islam terhadap transplantasi pendonor yang hidup dan yang meninggal? Jelaskan dengan
mengemukakan prinsip atau kaidah hukum Islam.?

Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau


organ manusia tertentu, dari suatu tempat ke tempat
lain, pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak
berfungsi dengan baik.[1]
Kemudian menurut Prof. Masjfu’ Zuhdi
pengertian Transplantasiadalah pemindahan organ tubuh
yang mempunyai daya hidup yang sehat,
untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan
tidak berfungsi dengan baik.[2]

Transplantasi ditinjau dari prakteknya, dapat


dibedakan menjadi:[3]
1. Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan
atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2. Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan
atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain.[4]

3. Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan


atau organ dari satu spesies ke tubuh spesies lainnya.[5]

Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan


disebut donor(pen-donor), sedang yang menerima
disebut Resipien. Cara ini merupakan solusi bagi
penyembuhan organ tubuh tersebut karena
penyembuhan/pengobatan dengan prosedur medis biasa
tidak ada harapan kesembuhannya.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya
transpalntasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan
nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik
transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit
dan dengan meningkatnya keterampilan dokter – dokter
dalam melakukan transplantasi, upaya transplantasi mulai
diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan
yang cepat dan tuntas.
Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah
satu cara penyembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu
saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral,
agama, hokum, atau social budaya ikut
mempengaruhinya.
Apa yang bisa di capai dengan teknologi belum tentu
bisa di terima oleh agama dan hukum yang hidup di
masyarakat. Dari itu mengingat transplantasi adalah
masalah yang ijtihadi karena tidak ada hukumnya secara
eksplisit di dalam al-Qur’an dan Hadits dan juga
merupakan masalah yang cukup kompleks menyangkut
berbagai bidang studi maka seharusnya masalah ini di
analisis dengan menggunakan metode
pendekatanmultidisplainer, misalnya kedokteran biologi,
hukum, etika, dan agama agar dapat di peroleh
kesimpulan hukum ijtihadi yang proporsional dan
mendasar.[6]
. Pandangan Hukum Islam Terhadap Transplantasi
Organ Tubuh
Kebanyakan dari para pemerhati masalah
transpalnasi ini ketika membahas hukum mereka akan
mengklasifikasikan kapan transplantasi itudilakukan,
menurut Prof. Masyfuk Zuhdi, Apabila pencangkokan
tersebut dilakukan pada saat pendonor dalam
keadaan hidup sehat wal afiat, begitu
juga sakit (koma) atau hampir meninggal, maka
hukumnya adalah dilarang(haram), sedangkan apabila di
lakukan ketika pendonor sudah meninggal maka
hukumnya ada yang mengharamkan,[7] juga ada yang
memperbolehkannya dengan syarat- syarat tertentu.[8]
Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat
mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan
secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil.
2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit
yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan
keadaan sebelum pencangkokan.
Menurut Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi Ada beberapa dalil
yang di nilai sebagai dasar pengharaman transplantasi
organ tubuh ketika pendonor dalam keadaan hidup, antara
lain: [9]
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195

َ‫َّللا يُ ِحبُّ ْال ُم ْح ِسنِين‬


َ ‫َّللا َو ََل ت ُ ْلقُوا بِأ َ ْيدِي ُك ْم إِلَى الت ه ْهلُ َك ِة َوأ َ ْح ِسنُوا إِ هن ه‬ َ ‫َوأ َ ْن ِفقُوا فِي‬
ِ ‫سبِي ِل ه‬

Artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam


kebinasaan”
2. Hadits Rasulullah:
‫َل ضرر وَل ضرار‬
Artinya: ”Tidak di perbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri
dan tidak boleh membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu
Majah).
Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah
mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau
tidak mempunyai ginjal… ia (mungkin) akan menghadapi
resiko sewaktu-waktu mengalami tidak berfungsinya mata
atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu, dari itu dapat di
pahami adanya unsur yang di nilai mendatangkan bahaya
dan menjatuhkan diri pada kebinasaan.
3. Kaidah hukum Islam:

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬


Artinya:”Menolak kerusakan lebih didahulukan dari
pada meraih kemaslahatan”
Pendonor yang masih hidup berarti
mengorbankan atau merusak dirinya dengan cara
melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang
lain dan demi kemaslahatan orang lain,
yakniResipien. Dan itu tidaklah sesuai dengan kaidah
hukum tersebut.
4. Kaidah Hukum Islam:

‫الضرر َل يزال بالضرر‬


Artinya” Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
lainnya.”
Kaidah ini menegaskan bahwa dalam Islam tidak di
benarkan penanggulangan suatu bahaya dengan
menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan orang yang
mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat
dalam rangka membantu dan menyelamatkan orang lain
adalah di nilai upaya menghilangkan bahaya dengan
konsekwensi timbulnya bahaya yang lain.
Penjelasan yang berbeda akan kita temukan
mengenai transplantasi organ tubuh ini ketika kita
membaca buku Fatwa- Fatwa Kontemporer yang di tulis
oleh syiekh Yusuf Qardawi yang memberikan penjelasan
di mana kita akan sampai pada kesimpulan bahwa
menurut Beliau transplantasi adalah suatu hal yang di
perbolehkan baik itu di lakukan di masa pendonor masih
hidup ataupun sudah meninggal, akan tetapi kebolehan
tersebut bukanlah suatu kebolehan yang bersifat mutlak
tanpa syarat melainkan ada ketentuan –ketentuan yang
harus di perhatikan.[10]

Beliau mengawali pembahasan seputar transplantasi


dengan mengajak kita untuk memahami apakah
seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri
sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak
hati, misalnya dengan mendonorkan atau lainnya, Atau
apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang
tidak boleh di pergunakan kecuali dengan izin-Nya.

Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa


mudarat (bahaya) itu harus dihilangkan sedapat mungkin.
Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang
yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, terluka,
kelaparan, mengobati orang yang sakit, dan
menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik
mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang


melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang
menimpa seseorang, tetapi dia tidak berusaha
menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu
menghilangkannya, atau tidak berusaha
menghilangkannya menurut kemampuannya.

Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan


dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang
tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api
untuk memadamkan kebakaran, maka diperbolehkan pula
seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud
materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan
orang lain yang membutuhkannya.[11]

Maka dari itu dengan jelas Syaekh Yusuf Qardawi


mengatakan bahwa upaya menghilangkan penderitaan
seorang Muslim dengan cara memberikan donor organ
tubuh yang sehat kepadanya adalah merupakan tindakan
yang di perkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala
bagi orang yang melakukannya. Akan tetapi yang harus di
perhatikan, masih menurut Beliau kebolehan ini bukanlah
bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan
ini bisa di benarkan jika memang tidak menimbulkan
mudarat (bahaya) bagi si pendonor. [12] Dalam kata lain
jika seseorang melakukan donor dan ternyata itu
mengakibatkan bahaya, kesengsaraan pada dirinya maka
tindakan itu tidak bisa di benarkan syara’. [13]

Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang


mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya
dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia
tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ
tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan
dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar
pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar
(bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu
harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang
berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan
dengan menimbulkan dharar pula."[14]
Para Ulama Ushul Fiqh menafsirkan kaidah
tersebut dengan pengertian: tidak boleh
menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar
yang sama atau yang lebih besar daripadanya.
Karena itu tidak di perbolehkan mendermakan organ
tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki.
Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar
orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri
sendiri yang lebih besar.
Kemudian mengenai wasiat pendonoran organ tubuh
ketika seseorang sudah meninggal Syekh Yusuf Qardawi
memberikan pengertian dengan mengajak kita untuk
memahami lagi tentang pendonoran yang di lakukan oleh
pendonor yang masih hidup di mana ada kemungkinan
kemudaratan yang menimpa si pendonor dan itu
hukumnya tetap di perbolehkan. Maka dengan itu,
pendonoran yang di lakukan dalam keadaan tanpa resiko
mudarat /bahaya yang menimpa pendonor yang sudah
meninggal adalah upaya yang lebih berhak untuk di
perkenankan. Sebab yang demikian itu akan
memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa
menimbulkan mudarat (kemelaratan/
kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya (si mayit),
karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan
lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa
hari setelah dikubur. Dan menurutnya Dalam hal ini tidak
ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya,
sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah,
kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang
melarangnya. Dan dalam kasus ini dalil tersebut (dalil
yang mengharamkan) tidak dijumpai.[15]

Kemudian ketika menyinggung permasalahan


kehormatan mayit di mana dalam konteks ini Rasulullah
SAW pernah bersabda yang kurang lebih artinya
: "Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan
tulang orang yang hidup." [16] dalam artian apakah
mendonorkan organ tubuh si mayit itu tidak termasuk
mengabaikan kehormatan mayit?, Beliau Yusuf Qardawi
menekankan bahwa mengambil sebagian organ dari
tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan
syara'. Sebab yang dimaksud dengan menghormati
tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya,
sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang
dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang
yang hidup dengan penuh perhatian dan
penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan
tubuhnya.[17]

Lebih dari itu Beliau menjelaskan kebolehan praktek


transplantasi dari organ si mayit tidaklah hanya terbatas
pada kasus adanya wasiat dari si mayit, dalam arti
pendonoran organ tubuh dari seorang yang sudah
meninggal itu di perbolehkan sekalipun si mayit tidak
pernah berwasiat sebelumnya.[18] Akan tetapi
transplantasi berkaitan organ tubuh orang yang meninggal
ini bisa berubah hukum menjadi haram atau tidak di
perbolehkan jika memang si mayit pernah berwasiat
supaya organ tubuhnya tidak boleh ada yang di donorkan
ketika meninggal.[19] Karena itu merupakan haknya dan
wasiat itu wajib di laksanakan selama tidak merupakan
kemaksiatan.
Demikianlah pembahasan terkait hukum
transplantasi organ tubuh dengan berbagai
kemungkinannya di mana perbedaan pendapat pun masih
kita temukan dalam bahasan-bahasannya, meski
demikian ketika kita berusaha memahami kajian-kajian
tersebut lebih –lebih apa yang telah di uraikan oleh Syekh
Yusuf Qardawi kita akan menemukan alur pemikiran yang
tidak terlalu rumit untuk di mengerti dan pantas untuk di
jadikan acuan menyoal Transplantasi organ tubuh ini, di
mana pada intinya menurut beliau transpalntasi dengan
berbagai kemungkinan prakteknya adalah suatu hal yang
di perkenankan syara’ selama tidak ada kemaslahatan
besar yang terabaikan, atau selama tidak mendatangkan
bahaya atau kemudaratan.

Simpulan
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau
organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain
pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak
berfungsi dengan baik.
Hukum transplantasi organ tubuh dalam
beberapa kemungkinanprakteknya masih di
warnai perbedaan pendapat, Mengenai praktek
transplantasi dari seorang yang meninggal ada yang
berpendapat hal itu di bolehkan tapi ada juga yang
berpendapat tidak di perbolehkan karena hal itu di nilai
dapat mengabaikan kehormatan si mayit, lebih dari itu
orang yang sudah meninggal tidak bisa di katakan
memiliki tubuhnya, maka sekalipun ketika si mayit pernah
berwasiat untuk mendonorkan organ tubuhnya maka
wasiat tersebut tidaklah sah. Akan tetapi menurut Yusuf
Qardawi transplantasi dengan berbagai kemungkinan
prakteknya adalah suatu hal yang di perkenankan syara’
selama tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan,
atau selama tidak mendatangkan bahaya atau
kemudaratan, terkecuali praktek pendonoran kepada
orang kafir yang memusuhi islam, atau pendonoran dari
organ tubuh si mayit yang pernah berwasiat melarang
pendonoran organ tubuhnya ketika meninggal, maka
transplantasi tersebut tidaklah boleh di lakukan.

B. Aborsi
Aborsi (abortus) dimaksudkan sebagai tindakan untuk mengakhiri kehamilan atau hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sedangkan teknik aborsi dapat dilakukan melalui: (1)
curettage and dilatage (C & D), (2) dengan melebarkan mulut rahim kemudian janin dikiret dengan alat
tertentu, (3) dengan aspirasi atau penyedotan isi rahim, dan (4) melalui operasi (hysterotomi). Abortus
dapat terjadi karena ketidaksengajaan (spontaneous abortus) dan terjadi karena disengaja (abortus
provocatus atau induced pro abortion).
Aborsi yang disengaja terbagi ke dalam dua macam: (a) abortus artificialis therapicus, yakni
aborsi yang dilakukan dokter ahli atas dasar pertimbangan medis. Misalnya, jika tidak dilakukan aborsi
akan membahayakan ibu. (b) abortus provocatus kriminalis, yaitu aborsi yang dilakukan tanpa adanya
dasar indikasi medis. Misalnya untuk meniadakan hasil ‘’hubungan gelap’’ atau kehamilan yang tidak
dikehendaki.

Dalam hukum Islam, aborsi yang dilakukan atas pertimbangan medis untuk menyelamatkan
nyawa sang ibu misalnya dapat dibenarkan, bahkan diharuskan. Hal ini didasarkan atas prinsip kaedah
hukum Islam:

‘’Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib’’.

Berdasarkan hadits Rasul yang menyatakan bahwa roh manusia ditiupkan ke dalam janin setelah
berumur 4 bulan atau hari ke 121 dari kehamilan, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
hukum aborsi. Sebagian kecil ulama seperti Muhammad Ramli menganggap aborsi sebelum hari ke 121
hukumnya boleh, karena belum adanya ruh. Sebagian kecil lainnya menyatakan makruh, karena janin
sedang mengalami pertumbuhan. Adanya kebanyakan ulama berpandangan bahwa sejak terjadinya
pembuahan sel telur oleh sperma hukum aborsi adalah haram. Sedangkan untuk aborsi terhadap janin
yang berumur lebih dari 4 bulan, para ulama bersepakat mengharamkannya.

Sumber Rujukan:

Sarimin,
M.H, pandangan hukum islam terhadap transplantasi organ tubuh dan tranfusi darah. http://pabondowoso.c
om
rdawi, Yusuf, Fatwa fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, jilid 2, 1995 ,

Zallum , Abdul Qadim, Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, ......, Beirut, Libanon: Daar Al- Ummah, Cet 1, 1997
Zuhdi, Masjfuk, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, Jakarta : CV Haji Mas Agung, Cet IV, 1993
Zuhdi, Masjfuk , Inseminasi Buatan pada Hewan dan Manusia di tinjau dari Hukum Islam, makalah seminar Universitas
Malang, 2 april 1987.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/transplantasi-organ/
http://nursing-transplan.blogspot.com/
http://osolihin.wordpress.com/2008/05/10/nasyrah-hukum-syara-transplantasi-organ-tubuh/
[1] . Drs. H. Sarimin,
M.H, pandangan hukum islam terhadap transplantasi organ tubuh dan tranfusi darah. http://pabo
ndowoso.com

[2] .Prof. Masjfu’ Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, Jakarta , CV Haji
Mas Agung, Cet IV, 1993, hlm 84

[3] . Etika Kedokteran dan Hukum kesehatan. http://nursing-transplan.blogspot.com

[4] .Dalam masalah ini ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi terkait pendonor dan
Resipien, dalam artian bisa jadi pendonor itu muslim dengan resipien non muslim atau sebaliknya, Syekh
Qardawi menjelaskan bahwa pendonoran itu termasuk sedekah, dan sedekah menurut Beliau boleh di
berikan kepada seorang muslim atau non muslim tapi tidak boleh di berikan kepada si Kafir yang
memusuhi Islam, seperti halnya tidak boleh di berikan kepada orang Murtad, maka menurut beliau
pendonoran kepada non muslim itu di perbolehkan dengan ketentuan tersebut, tetapi jika terjadi dua
orang yang sama-sama membutuhkan pendonoran yang satu muslim dan yang lain non muslim, maka
orang muslim haruslah yang di utamakan. Kemudian mengenai bagaimana jika Resipien adalah orang
muslim apakah boleh menerima transplantasi organ tubuh dari non muslim, maka masih menurut Beliau
hal itu tetap di perbolehkan karena organ tubuh tidaklah bisa di kategorikan muslim atau non muslim,
bahkan menurutnya semua organ tubuh manusia dan mahluk hidup seluruhnya itu bertasbih dan tunduk
kepada Allah SWT tanpa terkecuali organ –organ tubuh orang kafir. Lihat Fatwa fatwa Kontemporer,..
hlm 760 dan 766.

[5] . Dalam poin ini juga ada permasalahan yang patut di perhatiakan mengingat Spisies- Spisies
lain adalah tidak semuanya di hukumi suci. Masalah mungkin muncul jika ternyata yang bertindak
sebagai pendonor adalah spisies yang najis, bolehkah?.. mengenai ini dalam Buku Fatwa- fatwa
kontemporer kita diberi wacana bahwasanya hal itu mestinya tidak perlu di lakukan kecuali dalam
keadaan darurat, dan ketika berbicara darurat maka kebolehan sesuatu karena darurat itu haruslah di
ukur dengan kadar daruratnya. Bisa jadi ada yang mengatakan bahwa yang di haramkan dari hewan
yang najis adalah memakannya, sedangkan mencangkokkan sebagian organ nya itu tidak terbilang
sebagai memakan melainkan hanya memanfaatkannya. Apabila syara’ memperbolehkan pemanfatan
kulit bangkai asalkan tidak di makan, maka arah pembicaraannya adalah memanfaatkan hewan najis
tanpa memakannya. Tapi sampai sini permasalahan belum selesai menyoal ketika hewan itu najis
bagaimana mungkin patut di masukkan ke dalam tubuh orang islam yang suci, .. Syekh Yusuf Qardawi
memberikan jawaban bahwasanya sesuatu yang najis itu tidak boleh di gunakan hanyalah ketika
berkaitan dengan anggota tubuh bagian luar, adapun di dalam maka tidak ada dalil yang melarangnya,
sebab justru anggota tubuh bagian dalam merupakan tempat berbagai macam hal yang najis, dan
manusia tetap melakukan sholat, thowaf, membaca al-Qur’an dan lain-lainnya. Lihat Fatwa fatwa
Kontemporer,........... hlm 760 dan 769.
[6] .Prof. Masjfuk Zuhdi , Inseminasi Buatan pada Hewan dan Manusia di tinjau dari Hukum
Islam, makalah seminar Universitas Malang, 2 april 1987, hlm 1, Dalam Pencangkoan organ tubuh,
Masail Fiqhiyah .. Op-cit hlm 84.

[7]. Keharaman tersebut di dasarkan pada adanya larangan untuk menyakiti si


mayit sebagaimana menyakiti orang yang hidup. Rasulullah saw bersabda:“Mematahkan tulang orang
yang telah mati sama hukumnya dengan memotong tulangnya ketika ia masih hidup”. Dan Merupakan
suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan
serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak
lagi memiliki hak terhadap tubuhnya. Maka ketika dia memberikan wasiat untuk mendonorkan sebagian
anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu yang bukan haknya. Jadi dia tidak lagi
diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya. Dengan sendirinya wasiatnya dalam hal itu juga tidak sah.
Memang dibolehkan untuk memberikan sebagian hartanya, walaupun harta tersebut akan keluar dari
kepemilikannya ketika hidupnya berakhir, tetapi kebolehan itu disebabkan karena
syara’ memangmemberikan izin tentang hal itu. Dan itu merupakan izin khusus pada harta, dari itu tidak
dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan demikian manusia tidak diperbolehkan memberikan
wasiat untuk mendonorkan sebagian anggota tubuhnya setelah dia mati. Adapun ahli waris;
sesungguhnya syara’ mewariskan pada mereka harta yang diwariskan (oleh si mati). Namun syara’ tidak
mewariskan jasadnya kepada mereka, sehingga mereka tidak berhak untuk mendonorkan apapun dari si
mati. Lihathttp://osolihin. wordpress.com/ /nasyrah-hukum-syara-transplantasi-organ-tubuh/

[8]. Lihat Prof. Masjfuk Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, Jakarta, CV
Haji Mas Agung, Cet IV, 1993, hlm 88.

[9] . Prof. Masjfuk Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh.. Op-cit , .... hlm 86.

[10] .Lihat Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh.
Jakarta, Gema Insani Press, 1995, jilid 2. Hlm 759

[11] . Ibid, hlm 758

[12] . Ibid, hlm 759

[13]. Abdul Qadim Zallum,dalam kitabnya Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, Al
Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul In’asy Ath Thibbiyah, Al Hayah wal Maut, menjelaskan bahwa: Syarat
kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang
disum bangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelangsungan hidup pihak penyumbang,
seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut
akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri.
Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada
orang lain untuk membunuh dirinya.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/transplantasi-organ
[14] . Lihat Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh.
Jakarta, Gema Insani Press, 1995, jilid 2. Hlm 759

[15] . Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh.
Jakarta, Gema Insani Press, 1995 hlm 763

[16] . HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dari ‘Aisyah sebagaimana di sebutkan dalam Al- Jami’
Shogir. Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan lafaz : Seperti memecahkan tulang
orang yang hidup tentang dosanya.

[17] . Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh. Jakarta,
Gema Insani Press, 1995 hlm 763

[18] . Hal itu dapat di fahami karena Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk menuntut
hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi pembunuhan dengan sengaja,
sebagaimana difirmankan oleh Allah:

"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)

Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan hukum qishash jika mereka
menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau
banyak. Atau memaafkannya secara mutlak karena Allah, pemaafan yang bersifat menyeluruh atau
sebagian, seperti yang disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:

"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang
memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)

Dari itu maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka wali atau Ahli waris mempunyai hak
mempergunakan sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain
dan tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai
kadar manfaat yang diperoleh orang sakit yang membutuhkannya meskipun si mayit tidak berniat,
sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala karena tanamannya dimakan oleh orang
lain, burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan,
hingga terkena duri sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat --setelah meninggal
dunia-- dari doa anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka
untuknya. Lihat Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer,seputar masalah pencangkoan Organ Tubuh,
Jakarta, Gema Insani Press, 1995 , hlm 765.

[19] .Lihat Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer,seputar masalah pencangkoan Organ
Tubuh, Jakarta, Gema Insani Press, 1995 , hlm 766
Transplantasi adalah perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari satu individu
pada individu itu sendiri atau pada individu lainnya baik yang sama maupun berbeda spesies.
Saat ini yang lazim di kerjakan di Indonesia saat ini adalah pemindahan suatu jaringan atau
organ antar manusia, bukan antara hewan ke manusia, sehingga menimbulkan pengertian bahwa
transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain
atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk
mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan organ lain yang masih
berfungsi dari pendonor.

Berikut terdapat empat jenis transplantasi

1. Transplantasi Autograft

Yaitu perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri,yang dikumpulkan
sebelum pemberian kemoterapi.

1. Transplantasi Alogenik

Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya,baik dengan hubungan
keluarga atau tanpa hubungan keluarga.

1. .Transplantasi Isograf

Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik,misalnya pada gambar identik.

1. Transplantasi Xenograft

Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama spesiesnya.

Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau dari
jenazah orang yang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang
otak. Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah
(transfusi darah). Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah
jantung,hati,ginjal,kornea,pancreas,paru-paru dan sel otak. Semua upaya dalam bidang
transplantasi tubuh tentu memerlukan peninjauan dari sudut hokum dan etik kedokteran

Menurut Cholil Uman (1994), Pencangkokan adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai
daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi
dengan baik, yang apabila apabila diobati dengan prosedur medis biasa. Harapan klien untuk
bertahan hidupnya tidak ada lagi.

Ada 3 tipe donor organ tubuh ;

1. Donor dalam keadaan hidup sehat : tipe ini memrlukan seleksi yang cermat dan
pemeriksaan kesahatan yang lengkap, baik terhadap donor maupun resipien untuk
menghindari kegagalan karena penolakan tubuh oleh resipien dan untk mencegah resiko
bagi donor.
2. Donor dalam keadaan koma atau diduga akan meninggal dengan sege. Untuk tipe ini
pengambilan organ donor memrlukan alat control kehidupan misalnya alat bantu
pernafasan khusus . Alat Bantu akan dicabut setelah pengambilan organ selesai. itu.
3. Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal , sebab secara medis
tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis.

Tipe Donor 1

Donor dalam keadaan sehat. Yang dimaksud disini adalah donor anggota tubuh bagi siapa saja
yang memerlukan pada saat si donor masih hidup. Donor semacam ini hukumnya boleh. Karena
Allah Swt memperbolehkan memberikan pengampunan terhadap qisash maupun diyat.

Allah Swt berfirman:

ٌ‫يف ِم ْن َربــِ ُك ْم َو َرحْ َمة‬


ٌ ‫ـان ذلِكَ تـ َ ْخـ ِف‬
ٍ ‫س‬ َ ‫ف َواَدَا ٌء اِلـَيْــ ِه بــإِحْ ــ‬ ٌ ‫ئ فَـاتـِبَـا‬
ِ ‫ع بِال َمـ ْع ُر ْو‬ َ ‫ي لَهُ ِم ْن ا َ ِخـ ْي ِه‬
ٌ ‫ش ْْي‬ َ ‫فَ َم ْن عُـ ِف‬

Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (TQS al-Baqarah [2]: 178)

Namun, donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan
kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini
akan mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh
dirinya, atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.

Allah Swt berfirman:

َ ُ‫َوالَ تـَـقـْـتلُ ُوا اَنـــْف‬


‫ســ ُك ْم‬

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (TQS an-Nisa [4]: 29).

Selanjutnya Allah Swt berfirman:

‫ـــق‬ ْ ِ‫ـر َم هللا اِالَّ بـ‬


ِ ‫ـال َح‬ َ ‫َوالَ تـَـقـْـتلُ ُوا النـْ ْف‬
َّ َ ‫س الـَّتِى حـ‬
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.(QS al-An’am [6]: 151)

Sebagaimana tidak bolehnya manusia mendonorkan anggota tubuhnya yang dapat


mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan nasab atau keturunan. Misalnya, donor testis bagi
pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Islam telah melarang untuk menisbahkan
dirinya pada selain bapak maupun ibunya.

Allah Swt berfirman:

Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (TQS al-Mujadilah [58]:
2)

Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau mengurus sesuatu yang
bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat Allah, Malaikat dan seluruh
manusia”.

Sebagaiman sabda Nabi saw:

“Barang siapa yang dipanggil dengan (nama) selain bapaknya maka surga haram atasnya”

Begitu pula dinyatakan oleh beliau saw:

“Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum padahal bukan bagian
dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki
manapun yang menolak anaknya padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka
Allah menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya)
dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian”.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra, dia berkata:

‫ع ْن ذَ ِلك‬ ِ ‫سـو َل هللا أَالَ نَسْـت َْخ‬


َ ‫صي ؟ فـَـنَـهـَانــَا‬ َ َ ‫ يـ‬: ‫ فَـقــ ُ ْلـنـَا‬، ‫ْــس لـَـنـَا نِسـَـا ٌء‬
ُ ‫ار‬ ُ ‫ ُكـنـا نَـ ْغ‬.
َ ‫ــز ْوا َم َع النـَّـِبي ِ لـَي‬

“ Kami dulu pernah berperang bersama Rasulullah sementara pada kami tidak ada isteri–isteri.
Kami berkat :”Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ?” Maka beliau
melarang kami untuk melakukannya,”

Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan mengakibatkan
kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.

Tipe donor 2
hukum Islam pun tidak membolehkan karena salah satu hadist mengatakan bahwa ”Tidak boleh
membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Yakni penjelasannya bahwa kita tidak boleh membahayakan orang lain untuk keuntungan diri
sendiri. Perbuatan tersebut diharamkan dengan alasan apapun sekalipun untuk tujuan yang mulia.

Tipe Donor 3

Menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan.
Yangmembolehkan menggantungkan pada syarat sebagai berikut:

1. Resipien (penerima organ) berada dalam keadaan darurat yang mengancam dirinya
setelah menmpuh berbagai upaya pengobatan yang lama
2. Pencangkokan tidak akan menimbulkan akibat atau komplikasi yang lebih gawat
3. Telah disetujui oleh wali atau keluarga korban dengan niat untuk menolong bukan untuk
memperjual-belikan

yang tidak membolehkan alasannya :

Seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya atau
mewasiatkan untuk menyumbangkannya. Karena seorang dokter tidak berhak memanfaatkan
salah satu organ tubuh seseorang yang telah meninggal dunia untuk ditransplantasikan kepada
orang yang membutuhkan. Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya,
maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara
sebagaimana orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap pelanggaran
kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran kehormatan orang hidup.Diriwayatkan dari A’isyah
Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ت َككَــس ِْر ِه َحــيًّـا‬


ِ ‫المـَيِــ‬ ْ ‫ــر َع‬
ْ ‫ظــ ُم‬ َ ‫س‬ َ ‫كَـ‬

“Memecahkan tulang mayat itu sama saja dengan memecahkan tulang orang hidup” (HR.
Ahmad, Abu dawud, dan Ibnu Hibban)

Tindakan mencongkel mata mayat atau membedah perutnya untuk diambil jantungnya atau
ginjalnya atau hatinya untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan dapat
dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari
telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al-Anshasi RA, dia berkata :

‫ــو ُل هللا َع ِن الـنُّ ْهـ ِبي َوال ُمـثَـلَّــ ِة‬


ْ ‫س‬ ُ ‫نـَ َهى َر‬

“ Rasulullah SAW telah melarang ( mengambil ) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat
musuh ).”(H.R. Bukhari)

Aspek hukum transplantasi

Dari segi hukum, transplantasi organ dan jaringan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha mulia
dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu perbuatan
yang melawan hokum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya
pengecualian maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana dan dapat dibenarkan.
Transplantasi dengan donor hidup menimbulkan dilema etik, dimana transplantasi pada satu sisi
dapat membahayakan donor namun di satu sisi dapat menyelamatkan hidup pasien (resipien). Di
beberapa negara yang telah memiliki Undang-Undang Transplantasi, terdapat pembalasan dalam
pelaksanaan transplantasi, misalnya adanya larangan untuk transplantasi embrio, testis, dan
ovarium baik untuk tujuan pengobatan maupun tujuan eksperimental. Namun ada pula negara
yang mengizinkan dilakukannya transplantasi organ-organ tersebut di atas untuk kepentingan
penelitian saja.

Diindonesia sudah ada undang undang yang membahasnya yaitu UU No.36 Tahun 2009
mengenai transplantasi :

Pasal 64

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi,
serta penggunaan sel punca.

(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.

(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 65

(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan tertentu.

(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan
kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris
atau keluarganya.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 66

Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan
apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.

Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian
organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.

Pasal 68

(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau
alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 69

(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 70

(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuktujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.

(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Aspek Etik Transplantasi

Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan
fungsi salah satu organ tubuhnya.dari segi etik kedokteran tindakan ini wajib dilakukan jika ada
indikasi,berlandaskan dalam KODEKI,yaitu:

Pasal 2.
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi.

Pasal 10.

Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani.

Pasal 11.

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya
untuk kepentingan penderita.

Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981,pada hakekatnya telah mencakup
aspek etik,mengenai larangan memperjual belikan alat atu jaringan tubuh untuk tujuan
transplantasi atau meminta kompensasi material.Yang perl u diperhatikan dalam tindakan
transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang akan diambil organnya,yang dilakukan oleh
(2) orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan
transplantasi,ini erat kaitannya dengan keberhasilan transplantasi,karena bertambah segar organ
tersebut bertambah baik hasilnya.tetapi jangan sampai terjadi penyimpangan karena pasien yang
akan diambil organnya harus benar-benar meninggal dan penentuan saat meninggal dilakukan
dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan dinyatakan meninggal jika terdapat kematian
batang otak dan sudah pasti tidak terjadi pernafasan dan denyut jantung secara
spontan.pemeriksaan dilakukan oleh para dokter lain bukan dokter transplantasi agar hasilnya
lebih objektif

Kesimpulan :

1. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor hidup sehat diperbolehkan
asal organ yang disumbangkan tidak menyebabkan kematian kepada si pendonor
2. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma), hukumnya
haram.
3. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal, ada yang
berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.
4. Undang – undang yang mengatur tentang transplantasi organ terdapat dalam UU No. 39
Tahun 2009 pasal 64 – 70

Daftar Pustaka

Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Fikih kesehatan. Penerbit Serambi. Jakarta. 2007

Hanafiah,Jusuf.1999.Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.Jakarta:EGC

http://meetabied.wordpress.com/2009/11/02/hukum-kloning-tranplantasi-organ-abortus-dan-bayi-tabung-menurut-islam/

http://fosmik-unhas.tripod.com/buletin.html

Anda mungkin juga menyukai