Anda di halaman 1dari 11

TRANSPLANTASI ORGAN DARI SISI AGAMA DAN HUKUM

1. Pengertian Tranplantasi

Transplantasi Organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian  organ
dari satu ke tubuh satu tubuh ketubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada
tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak
berfungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ
dapatmerupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal.

                Penggunaan organ tubuh mayat manusia untuk pengobatan manusia dan untuk
kelangsungan hidupnya merupakan suatu kemaslahatan yang dituntut syarak. Oleh sebab itu,
dalam keadaan darurat organ tubuh mayat dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Akan tetapi
mafaat organ tubuh mayat manusia sebagai obat tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :

-          Pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali dengan organ tubuh mayat manusia

-          Manusia yang diobati itu adalah orang yang haram darahnya( seseorang yang memelihara
kehormatannya).

-          Apabila jiwa yang akan diselamatkan itu adalah orang yang halal darahnya (seperti seorang
yang telah melakukan hukuman kisas atau seorang yang akan dikenai hukuman rajam karena
berbuat zina) maka  manfaat organ tubuhmayat tidak boleh dibaginya

-          Penggunaan organ tubuh manusia itu benar-benar dalam keadaan darurat

-          Penggunaan organ tubuh mayat manusia itu mendapat izin dari orang tersebut(sebeum wafat)
atau ahli warisnya (setelah wafat)

2. Jenis-Jenis  Tranplantasi

Menurut Arifin (2009), beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan, baik berupa sel,
jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai berikut :

1. Transplantasi Autologus, yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu
sendiri.

2. Transplantasi Alogenik, yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya,
baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga.

3. Transplantasi Sinergik, yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik, misalnya
pada kembar identik.
4. Transplantasi Xenograf, yaitu perpindahan dari satu tubuh lain yang tidak sama spesiesnya.

Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup
atau dari jenazah orang yang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian
batang otak.

1. Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah
(transfusi darah).

2. Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea, pankreas, paru-paru
dan sel otak.

Ada dua komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi (nursing-


transplan.blogspot.com), yaitu :

1. Eksplantasi, yaitu usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah
meninggal.

2. Implantasi, yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh
sendiri atau tubuh orang lain.

Disamping itu, ada dua komponen penting yang menunjang keberhasilan tindakan
traplantasi, yaitu :

1. Adaptasi donasi, yaitu usaha dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang diambil
jaringan atau organ tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan kekurangan
jaringan atau organ.

2.  Adaptasi resepien, yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima atau organ tubuh baru
sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan atau organ tersebut, untuk berfungsi
baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi.

Semakin berkembangnya ilmu tranplantasi modern, ditemukan metode-metode


pencangkokan (nursing-transplan.blogspot.com), seperti :

1. Pencangkokan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner oleh Dr. George E.
Green.

2. Pencangkokan jantung, dari jantung ke kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard, walaupun
resepiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari.

3. Pencangkokan sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita Parkinson oleh Dr.
Andreas Bjornklund.
  Pandangan Tranplantasi dari Segi Agama
A. Pandangan menurut agama hindu

Berdasarkan prinsip-prinsip ajaran agama, dibenarkan dan dianjurkan agar umat Hindu
melakukan tindakan transplantasi organ tubuh sebagai wujud nyata pelaksanaan kemanusiaan
(manusa yajna). Tindakan kemanusiaan ini dapat meringankan beban derita orang lain. Bahkan,
transplantasi organ tubuh ini tidak hanya dapat dilakukan pada orang yang telah meninggal,
melainkan juga dapat dilakukan pada orang yang masih hidup, sepanjang ilmu kedokteran dapat
melakukannnya dengan tetap mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan (Heri, 2008).

Menurut ajaran Hindu transplantasi organ tubuh dapat dibenarkan dengan alasan,
bahwa pengorbanan (yajna) kepada orang yang menderita, agar dia bebas dari penderitaan dan
dapat menikmati kesehatan dan kebahagiaan, jauh lebih penting, utama, mulia dan luhur, dari
keutuhan organ tubuh manusia yang telah meninggal. Tetapi sekali lagi, perbuatan ini harus
dilakukan diatas prinsip yajna yaitu pengorbanan tulus iklas tanpa pamrih dan bukan dilakukan
untuk maksud mendapatkan keuntungan material. Alasan yang lebih bersifat logis dijumpai
dalam kitab Bhagawadgita II.22 sebagai berikut: “Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani
grihnati naro’parani, tatha sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi” Artinya:
seperti halnya seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian lama, begitu pula
Sang Roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan lama
yang tiada berguna. Kematian adalah berpisahnya Jiwatman atau roh dengan badan jasmani ini.
Badan Jasmani atau sthula sarira (badan kasar) terbentuk dari Panca Maha Bhuta (apah = unsur
cair, prethiwi = unsur padat, teja= unsur sinar, bayu = unsur udara dan akasa = unsur ether)
ibarat pakaian. Apabila badan jasmani (pakaian) sudah lama dan rusak, kita akan membuangnya
dan menggantikannya dengan pakaian yang baru (Heri, 2008).

Prinsip kesadaran utama yang diajarkan dalam agama Hindu adalah bahwa badan
identitas kita yang sesungguhnya bukanlah badan jasmani ini, melainkan adalah Jiwatman (roh).
Badan jasmani merupakan benda material yang dibangun dari lima zat (Panca Maha bhuta) dan
akan hancur kembali menyatu ke alam makrokosmos dan tidak lagi mempunyai nilai guna.
Sedangkan Jiwatman adalah kekal, abadi, dia tidak mati pada saat badan jasmani ini mati, senjata
tidak dapat melukaiNya, api tidak bisa membakarNya, angin tidak bisa mengeringkan-Nya dan
air tidak bisa membasahi-Nya.Wejangan Sri Kresna kepada Arjuna dalam Bhagawadgita:
“Engkau tetap kecil karena sepanjang waktu engkau menyamakan dirimu dengan raga jasmani.
Engkau berpikir, “Aham dehasmi”, ‘aku adalah badan’, pikiran ini menyebabkan engkau tetap
kecil. Tetapi majulah dari aham dehasmi ke aham jiwasmi, dari aku ini raga ke aku ini jiwa,
percikan Tuhan.
Berkat kemajuan dan bantuan teknologi canggih di bidang medis (kedokteran), maka
sistem pencangkokan organ tubuh orang yang telah meninggalpun masih dapat dimanfaatkan
kembali bagi kepentingan kemanusiaan. Dialog spiritual Sri Kresna dengan Arjuna dalam kitab
Bhagawadgita dapat ditarik suatu makna bahwa badan jasmani ini diumpamakan sebagai pakaian
sementara bagi roh (atman) yang tidak kekal, mudah rusak dan hancur, yang kekal adalah
jiwatman. Oleh karena itu, ajaran Hindu tidak melarang umatnya untuk melaksanakan
transplantasi organ tubuh dengan dasar yajna (pengorbankan tulus iklas dan tanpa pamrih) untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia. Demikian pandangan agama Hindu
terhadap transplantasi organ tubuh sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ajaran Panca Yajna
terutama Manusa Yajna.

B.     Pandangan menurut agama Islam

Pendapat pertama mengatakan, haram memanfaatkan organ tubuh manusia yang


sudah meninggal, karena sosok mayat manusia harus dihormati sebagaimana ia dihormati semasa
hidupnya. Landasannya, sabda Rasullulah saw., “Memotong tulang mayat sama dengan
memotong tulang manusia ketika masih hidup.” ( HR. Abu Daud)
Pendapat kedua menyatakan, memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai pengobatan
dibolehkan dalam keadaan darurat. Alasannya, hadits riwayat Abu Daud yang melarang
memotong tulang mayat tersebut berlaku jika dilakukan semena-mena tanpa manfaat. Apabila
dilakukan untuk

Pengobatan, pemanfaatan organ mayat tidak dilarang karena hadits yang


memerintahkan seseorang untuk mengobati penyakitnya lebih banyak dan lebih meyakinkan
daripada hadits Abu Daud tersebut.

Akan tetapi pemanfaatannya harus mendapat ijin dari orang tersebut ( sebelum ia
wafat) atau dari ahli warisnya (setelah ia wafat). Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pendapat
pertama, menurut hemat saya, pendapat kedua lebih logis untuk diterima. Karena itu wajar kalau
sebagian besar ulama madzhab Hanafi, Syafi’I, Maliki, Hanbali, dan ulama Zaidyyah
membolehkannya. Kesimpulannya, transpantasi merupakan cara pengobatan Islam.

Menjadi pendonor hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan
dengan ikhlas asal tidak membinasakan pendonor dan menjadi haram bila membinasakannya.
Orang meninggal boleh dimanfaatkan organnya untuk pengobatan dengan catatan sebelum wafat
orang tersebut mengizinkannya. Wallahu A’lam.
C.   Pandangan menurut agama Kristen

Pada umumnya, Gereja Katolik memperkenankan transplantasi organ tubuh. Dalam


ensiklik “Evangelium Vitae” (= Injil Kehidupan), Bapa Suci Yohanes Paulus II menyatakan, “…
ada kepahlawanan harian, yang terdiri dari amal perbuatan berbagi sesuatu, besar atau kecil,
yang menggalang kebudayaan hidup yang otentik. Teladan amal perbuatan yang secara khas
layak dipuji seperti itu ialah pendermaan organ-organ, yang dilaksanakan melalui cara yang dari
sudut etika dapat diterima, dengan maksud menawarkan kemungkinan kesehatan dan bahkan
hidup sendiri kepada orang sakit, yang kadang sudah tidak mempunyai harapan lain lagi” (No.
86). Ajaran ini menggemakan Katekismus Gereja Katolik: “Transplantasi sesuai dengan hukum
susila dan malahan dapat berjasa sekali, kalau bahaya dan resiko fisik dan psikis, yang dipikul
pemberi, sesuai dengan kegunaan yang diharapkan pada penerima” (No. 2296). Guna memahami
ajaran ini dengan lebih baik, marilah kita bergerak selangkah demi selangkah. Perlu dicatat
bahwa masalah ini pertama kali dibahas dengan jelas oleh Paus Pius XII pada tahun 1950-an, dan
kemudian disempurnakan sesuai dengan kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai dalam bidang
medis.  

Pertama-tama, dibedakan antara transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari


seorang yang telah meninggal dunia ke seorang yang hidup, versus transplantasi organ tubuh
(termasuk jaringan) dari seorang yang hidup ke seorang lainnya. Dalam kasus pertama, yaitu
apabila donor organ tubuh adalah seorang yang telah meninggal dunia, maka tidak timbul
masalah moral. Paus Pius XII mengajarkan, “Seorang mungkin berkehendak untuk mendonorkan
tubuhnya dan memperuntukkannya bagi tujuan-tujuan yang berguna, yang secara moral tidak
tercela dan bahkan luhur, di antaranya adalah keinginan untuk menolong mereka yang sakit dan
menderita. Seorang dapat membuat keputusan akan hal ini dengan hormat terhadap tubuhnya
sendiri dan dengan sepenuhnya sadar akan penghormatan yang pantas untuk tubuhnya….
Keputusan ini hendaknya tidak dikutuk, melainkan sungguh dibenarkan” (Amanat kepada
Kelompok Spesialis Mata, 14 Mei 1956).

Pada dasarnya, apabila organ-organ tubuh dari seorang yang telah meninggal dunia,
seperti ginjal, hati, kornea mata, dapat menolong menyelamatkan atau memperbaiki hidup
seorang lainnya yang masih hidup, maka transplantasi yang demikian adalah baik secara moral
dan bahkan patut dipuji. Patut dicatat bahwa donor wajib memberikan persetujuannya dengan
bebas dan penuh kesadaran sebelum wafatnya, atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada
saat kematiannya: “Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral, kalau pemberi
atau yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran”
(No. 2296).
Satu peringatan perlu disampaikan di sini: Keberhasilan suatu transplantasi organ
tubuh sangat bergantung pada kesegaran organ, artinya bahwa prosedur transplantasi harus
dilakukan sesegera mungkin begitu donor meninggal dunia. Namun demikian, donor tidak boleh
dinyatakan meninggal dunia secara dini atau kematiannya dipercepat hanya agar organ tubuhnya
dapat segera dipergunakan. Kriteria moral menuntut bahwa donor sudah harus meninggal dunia
sebelum organ-organ tubuhnya dipergunakan untuk transplantasi. Demi menghindari konflik
antar kepentingan, Uniform Anatomical Gift Act memprasyaratkan, “Saat kematian hendaknya
ditetapkan oleh dokter yang mendampingi donor pada saat kematiannya, atau, jika tidak ada,
dokter yang menyatakan kematiannya. Dokter tersebut tidak diperkenankan untuk ikut ambil
bagian dalam prosedur pengambilan atau transplantasi organ tubuh” (Section 7 (b)). Meski
peraturan ini tidak mendatangkan dampak atas moralitas transplantasi organ tubuh itu sendiri,
namun martabat orang yang menghadapi ajal wajib dilindungi, dan mempercepat kematian atau
mengakhiri hidupnya demi mendapatkan organ-organ tubuhnya untuk kepentingan transplantasi
adalah amoral. Di sini, sekali lagi Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Langsung
menyebabkan keadaan cacat atau kematian seseorang, selalu dilarang secara moral, meskipun
dipakai untuk menunda kematian orang lain” (No. 2296), suatu point yang digarisbawahi oleh
Bapa Suci.

Transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup ke seorang lainnya jauh lebih
rumit. Kemampuan untuk melakukan transplantasi ginjal yang pertama kali pada tahun 1954
menimbulkan suatu debat sengit di antara para teolog. Debat berfokus pada prinsip totalitas - di
mana dalam keadaan-keadaan tertentu seorang diperkenankan untuk mengorbankan salah satu
bagian atau salah satu fungsi tubuhnya demi kepentingan seluruh tubuh. Sebagai contoh, seorang
diperkenankan mengangkat suatu organ tubuh yang sakit demi memelihara kesehatan seluruh
tubuhnya, misalnya mengangkat rahim yang terserang kanker. Namun demikian, para teolog ini
berargumentasi bahwa seorang tidak dapat dibenarkan mengangkat suatu organ tubuh yang sehat
dan mendatangkan resiko masalah kesehatan di masa mendatang apabila hidupnya sendiri tidak
berada dalam bahaya, misalnya pada kasus seorang mengorbankan sebuah ginjal yang sehat
untuk didonorkan kepada seorang yang membutuhkan. Operasi yang demikian, menurut mereka,
mendatangkan pengudungan yang tidak perlu atas tubuh dan karenanya amoral.

Sebagian teolog lainnya beragumentasi dari sudut pandang belas kasih persaudaraan,
yaitu bahwa seorang yang sehat yang mendonorkan sebuah ginjal kepada seorang yang
membutuhkan, melakukan suatu tindakan pengorbanan yang sejati demi menyelamatkan nyawa
orang. Kemurahan hati yang demikian sesuai dengan teladan Tuhan Sendiri di salib, dan
merefleksikan ajaran-Nya pada saat Perjamuan Malam Terakhir, “Inilah perintah-Ku, yaitu
supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih
besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh
15:12-13). Menurut para teolog ini, korban yang demikian secara moral dapat diterima apabila
resiko celaka pada donor, baik akibat operasi itu sendiri maupun akibat kehilangan organ tubuh,
proporsional dengan manfaat bagi si penerima.

Bergerak dari alasan ini, para teolog yang “pro-transplantasi” mempertimbangkan


kembali prinsip totalitas. Mereka mengajukan argumentasi bahwa meski transplantasi organ
tubuh dari donor hidup tidak melindungi keutuhan anatomis atau fisik (yakni adanya kehilangan
suatu organ tubuh yang sehat), namun sungguh memenuhi totalitas fungsional (yakni
terpeliharanya fungsi dan sistem tubuh sebagai suatu kesatuan). Sebagai contoh, seorang dapat
mengorbankan satu ginjalnya yang sehat (adanya kehilangan dalam keutuhan anatomis) dan
masih dapat memelihara kesehatan dan fungsi tubuh yang layak dengan ginjal yang tersisa;
donor yang demikian secara moral diperkenankan. Tetapi, dengan alasan yang sama, seorang
tidak dapat mengorbankan satu matanya untuk diberikan kepada seorang buta, sebab tindakan
yang demikian menganggu fungsi tubuhnya.

Paus Pius XII setuju dengan pemahaman belas kasihan ini dan juga tafsiran yang
lebih luas dari prinsip totalitas; sebab itu beliau memaklumkan transplantasi organ tubuh dari
seorang donor hidup secara moral diperkenankan. Bapa Suci menggarisbawahi point bahwa
donor mempersembahkan korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Yohanes Paulus II juga
menegaskan point ini, “… Setiap transplantasi organ tubuh bersumber dari suatu keputusan yang
bernilai luhur: yakni keputusan untuk memberi satu bagian dari tubuhnya sendiri tanpa imbalan
demi kesehatan dan kebaikan orang lain. Di sinilah tepatnya terletak keluhuran tindakan ini,
suatu tindakan yang adalah tindakan kasih sejati. Bukan sekedar memberikan sesuatu yang
adalah milik kita, melainkan memberikan sesuatu yang adalah diri kita sendiri….” (Amanat
kepada Partisipan dalam Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991, No. 3).

Namun demikian, transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup kepada
seorang yang lain wajib memenuhi empat persyaratan: (1) resiko yang dihadapi donor dalam
transplantasi macam itu harus proporsional dengan manfaat yang didatangkan atas diri penerima;
(2) pengangkatan organ tubuh tidak boleh mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi
tubuhnya; (3) perkiraan penerimaan adalah baik bagi si penerima, dan (4) donor wajib membuat
keputusan dengan penuh kesadaran dan bebas dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi.
Dalam tulisan selanjutnya, kita akan melanjutkan pembahasan kita mengenai
transplantasi organ tubuh dengan memeriksa beberapa masalah yang mendatangkan dampak atas
moralitas.

Hukum Transplantasi

Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu hal
yang mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu
perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan, tetapi mendapat
pengecualian hukuman, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana,dan dapat
dibenarkan.
Dalam PP No.18 tahun 1981 tentana bedah mayat klinis, beda mayat anatomis dan transplantasi
alat serta jaringan tubuh manusia tercantum pasal tentang transplantasi (Arifin, 2009) sebagai
berikut :

Pasal 1.

c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis
sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut.

d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan
tertentu.

e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh
manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat
dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.

f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk
keperluan kesehatan.

g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang
bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.

Ayat g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas, maka IDI dalam seminar nasionalnya
mencetuskan fatwa tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang dikatakan mati bila fungsi
spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah
terjadi kematian batang otak.

Pasal 10.
Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan
yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita meninggal
dunia.

Pasal 11

1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh
menteri kesehatan.

2.Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat
atau mengobati donor yang bersangkutan

Pasal 12

Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan
dokter yang melakukan transplantasi.

Pasal 13

Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan 2 (dua)
orang saksi.

Pasal 14

Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari
korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan keluarga
terdekat.

Pasal 15

1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor
hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya,

2. Termasuk dokter konsultan mengenai operasi, akibat-akibatya, dan kemungkinan-kemungkinan


yang terjadi.

2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon donor yang
bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.

Pasal 16

Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak dalam kompensasi material
apapun sebagai imbalan transplantasi.

Pasal 17

Dilarang memperjualbelikan alat atau jaringan tubuh manusia.


Pasal 18

Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari
luar negeri.

Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan beberapa pasal tentang
transplantasi sebagai berikut:

Pasal 33.

1. Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan
jaringan tubuh, transfusi darah, imflan obat dan alat kesehatan, serta bedah plastik dan
rekontruksi.

2. Transplantasi organ dan jaringan serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan, yang dilarang untuk tujjuan komersial.

Pasal 34

1. Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan disarana kesehatan tertentu.

2. Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor
yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya.

3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

ASPEK ETIK TRANSPLANTASI

Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan


kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. dari segi etik kedokteran tindakan ini wajib
dilakukan jika ada indikasi, berlandaskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
(Arifin, 2009), yaitu:

Pasal 2.

Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi.

Pasal 10.

Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani.
Pasal 11.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya
untuk kepentingan penderita.

Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981, pada hakekatnya telah
mencakup aspek etik, mengenai larangan memperjual belikan alat atau jaringan tubuh untuk
tujuan transplantasi atau meminta kompensasi material.

Yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati
seseorang akan diambil organnya,yang dilakukan oleh (2) orang dokter yang tidak ada sangkut
paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi, ini erat kaitannya dengan keberhasilan
transplantasi, karena bertambah segar organ tersebut bertambah baik hasilnya. tetapi jangan
sampai terjadi penyimpangan karena pasien yang akan diambil organnya harus benar-benar
meninggal dan penentuan saat meninggal dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi
dan dinyatakan meninggal jika terdapat kematian batang otak dan sudah pasti tidak terjadi
pernafasan dan denyut jantung secara spontan.pemeriksaan dilakukan oleh para dokter lain
bukan dokter transplantasi agar hasilnya lebih objektif.

Anda mungkin juga menyukai