Anda di halaman 1dari 6

JENDER & PERANAN WANITA

PERSPEKTIF AL-QUR’AN

‫السالم عليمك ورمحة الهل بو�اكته‬


‫أ‬
‫ين‬
‫واملرسل� وعىل‬ ‫العامل� والصالة والسالم عىل شأ�ف النبياء‬
‫احلمد لهل رب ي ن‬
‫ امابعد‬- �‫آهل وحصبه بأمح ي نع‬

Hadirin se bangsa dan se tanah air yang kami hormati


Sejarah mencatat, pada banyak peradaban besar dunia, wanita
di­
anggap makhluk pelengkap, setengah manusia, dan manusia
kelas dua, yang hak dan kewajibannya, bahkan ke­beradaannya di
dunia ini ditentukan oleh laki-laki.
Kita buktikan hadirin, Peradaban Yunani Kuno menempat­kan
wanita sebagai makhluk tahanan yang harus disekap dalam Istana
untuk dijadikan barang dagangan. Peradaban Romawi menempa­
tkan wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayah dan
suaminya. Kekuasaan ini sangat mutlak, termasuk ke­wenangan
untuk mengusir, menganiaya, menjual, bahkan mem­bunuh wanita.
Peradaban Hindu pra abad ke-7 Masehi, sering menjadikan wanita
sebagai sesajen para dewa. Peradaban Yahudi meng­anggap wanita
sebagai sumber laknat dan bencana karena ia yang menyebab­kan
Adam terusir dari surga. Peradaban Nasrani menyatakan wanita
sebagai makhluk yang tidak me­miliki roh suci. Bahkan, Peradaban

1
Arab Jahiliyah pun menghalalkan pem­bunuhan terhadap bayi hanya
karena ia terlahir sebagai wanita.
Ilustrasi yang memilukan tersebut hadirin, menggambarkan
kepada kita betapa wanita pada banyak peradaban sebelum Islam
datang adalah makhluk yang sangat hina, tidak berarti apa-apa,
bahkan sangat rendah harkat dan martabatnya. Betul?
Namun, ketika Islam datang, agama ini dengan tegas me­
nentang segala bentuk tindakan diskriminasi, penghinaan, dan
penindasan terhadap wanita. An-nisa ‘imadul bilad idza shaluhat
shaluhal bilad, wa idza fasadat fasadal bilad. Wanita adalah tiang negara,
jika baik wanitanya maka baiklah negara, namun jika jelek wanita­
nya maka hancurlah negara. Sabda Rasulullah ini me­ negaskan
bahwa Islam datang untuk mengangkat harkat dan martabat wanita,
sekaligus memposisi­kan wanita sebagai makhluk yang mulia dan
mempunyai kedudukan setara dengan kaum laki-laki. Setuju?
Lalu, bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam mengenai
wanita? Sebagai jawabannya, pada kesempatan kali ini kami akan
membahas “Jender dan Peranan Wanita dalam Perspektif Al-Qur’an”,
dengan landasan QS. At-Taubah ayat 71:

“Dan orang-orang beriman, laki-laki dan wanita, sebagian mereka


(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-
Nya. Mereka itu diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Syeikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar men­jelaskan,


ayat tadi merupakan informasi langsung dari Al-Qur’an, bahwa
laki-laki dan wanita mempunyai harkat dan martabat yang sama
di hadapan Allah. Sedangkan Syeikh Thabathaba’i dalam Tafsir Ath-
Thabathaba’i mengatakan, ayat tadi menegaskan kepada kita bahwa
penilaian Allah terhadap manusia tidak dilihat dari jenis kelamin­
nya, melainkan pada aspek keimanan dan ketakwaannya.
Sejalan dan sejalin dengan dua penafsiran tersebut, Prof. Dr.

2
Nasaruddin Umar, MA, dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an mengemukakan, laki-laki dan wanita dalam
pandangan Al-Qur’an memiliki posisi dan peran yang sama. Laki-
laki dan wanita sama-sama sebagai hamba Allah. Laki-laki dan
wanita sama-sama sebagai khalifah. Laki-laki dan wanita sama-
sama me­nerima perjanjian primordial Tuhan. Laki-laki dan wanita
sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis kehidupan.
Bahkan, laki-laki dan wanita sama-sama ber­potensi meraih prestasi
dan pahala. Jelas?
Dengan spirit kesetaraan jender inilah hadirin, telah muncul
wanita-wanita hebat di awal kejayaan Islam. Kita mengenal Aisyah,
istri Nabi yang hafal ribuan hadis. Ada Nafisah, wanita keturunan
Arab yang pandai hukum tata negara. Kemudian Fathimah binti
Aqra, yang selain terkenal sebagai seorang ulama wanita juga adalah
kaligrafer ternama. Selanjutnya, Syaikhah Syuhda yang lebih di­
kenal dengan Fakhrun Nisa, atau penghulunya wanita yang jago
retorika. Lalu ada Zainab binti As-Syar’i, Munisah binti Malik, dan
Syamiyah binti Hafidz, tiga wanita cantik jelita, tapi pakar dalam
masalah agama, bahasa, dan aritmatika.
Mereka itulah hadirin, wanita-wanita kebanggan kita yang
telah mengangkat citra dan nama besar Islam sehingga menguasai
puncak peradaban dunia. Lalu bagaimanakah dengan peran wanita
di negara kita?
Alhamdulillah, di negeri ini pun wanita memiliki peran yang
sangat besar, terutama pada masa melawan penjajahan Belanda.
Kita mengenal R.A. Kartini, emansipatoris pertama Indonesia yang
dengan lantang meneriakkan pentingnya pendidikan bagi kaum
wanita. Kemudian Dewi Sartika, wanita gagah perkasa yang siap me­
ngorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan bangsa. Selanjutnya,
Cut Nyak Dien, wanita santun tapi hebat yang sanggup mengusir
penjajah dari negeri kita tercinta.
Kita patut bangga kepada mereka, yang telah menunjuk­kan
kepada kita bahwa wanita bukanlah makhluk yang lemah, wanita
bukanlah makhluk tanpa daya, wanita bukanlah makhluk peng­

3
goda, tapi wanita merupakan mahkluk digjaya yang siap berperan
mem­bangun negara dan memajukan agama. Setuju?
Itulah hadirin peran wanita dalam kancah kehidupan sosial
yang patut kita teladani. Lalu, bagaimanakah peran wanita dalam
kehidupan rumah tangga? Sebagai jawabannya, kita renungkan
firman Allah dalam penggalan surat An-Nisa ayat 34:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu,
wanita yang shaleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
mereka...”.

Hadirin se bangsa dan se tanah air yang kami hormati.


Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan
ayat tadi, bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga,
oleh karena itu suami berkewajiban memberikan nafkah kepada
isteri, sedangkan isteri berkewajiban mentaati suami selama
suaminya tidak mengajak melakukan kemaksiatan kepada Allah.
Kita kaji lebih dalam hadirin, ayat tadi merupakan landasan
metodis dalam membangun kehidupan berumah tangga. Islam
me­wajibkan kepada laki-laki sebagai suami untuk memenuhi ke­
butuhan isteri dan anak-anaknya. Tetapi ini bukan berarti wanita
sebagai isteri kerjaannya hanya malas-malasan, enak-enakan, dan
tidur-tiduran saja. Namun, istri berkewajiban mengurus rumah
tangga dan mendidik anak-anaknya.
Rasulullah Saw bersabda, “Jihadul mar’ati fi baitiha.” Jihadnya
wanita adalah di dalam rumahtangganya. Artinya, wanita ber­
kewajiban mengurus kebersihan rumahnya dan melayani suami­
nya. Ketika suami mau bekerja ia siapkan keperluannya, ia sajikan
makan­annya, ia rapihkan bajunya, ia antar sampai depan rumah,
dan ia lepas dengan kecupan mesra, muaaah. Selanjutnya, ketika
suami pulang bekerja, ia sambut dengan wajah ramah, senyuman
merekah, dandanan menggoda, dan tatapan penuh cinta, bukan

4
dengan tampang bimoli, alias bibir monyong lima senti. Betul hadirin?
Demikian juga, isteri juga berkewajiban mendidik anak-
anak­nya. Pepatah bijak mengatakan, “Al-ummu madrasatul ula, idza
a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal aghraq” (Ibu adalah sekolah pertama
dan utama, jika dipersiapkan dengan baik akan mampu melahirkan
generasi-generasi yang baik pula).
Dengan demikian hadirin, Islam mempunyai konsep yang
jelas tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.
Pantas, kalau Fatima Mernissi seorang ilmuwan wanita asal
Maroko dalam bukunya Woman and Islam: An Historical and
Theological Inquiry mengatakan, Islam adalah teologi ideal yang
me­letakkan wanita sebagai mitra sejajar dengan kaum laki-laki
dalam semangat humanis-teosentris. Islam membolehkan wanita
untuk aktif dalam wilayah sosial, namun Islam juga mengingatkan
wanita agar tidak melupakan kewajibannya pada wilayah domestik,
rumah tangga.
Jika teologi ideal tersebut yang dijadikan pijakan kaum wanita,
kami yakin akan tercipta hubungan harmonis yang di­dasari rasa
kasih sayang (mawadah wa rahmah) di lingkungan keluarga, sebagai
cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri yang
damai dan penuh ampunan Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur). Ini semua hadirin bisa terwujud manakala ada pola ke­
seimbangan dan keserasian antara posisi dan peran wanita dalam
kehidupan berumah tangga dan kehidupan sosialnya.
Jika sikap tersebut yang diaplikasikan kaum wanita, maka
Allah akan memberikan balasan yang sama kepada wanita sebagai­
mana balasan yang diberikan Allah kepada kaum pria. Hal ini telah
Allah janjikan dalam firman-Nya surat An-Nahl ayat 97:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun


perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.”

5
Hadirin se bangsa dan se tanah air yang kami hormati.
Dengan demikian, dari uraian tadi dapat diambil kesimpulan,
bahwa laki-laki dan wanita dalam pandangan Islam memiliki ke­
dudukan yang sama di hadapan Allah. Keduanya memiliki hak dan
kewajiban yang sama pada peringkat etika religius, serta kewajiban
yang sejajar pada peringkat fungsi sosial. Oleh karena itu, meskipun
secara jenis kelamin, laki-laki dan perempuan itu berbeda, tapi
perbedaan itu jangan sampai melahirkan pembedaan (diskriminasi),
apa lagi sampai dijadikan dalih untuk menginjak-injak harkat dan
martabat wanita. Sekian dan demikian.

‫والسالم عليمك ورمحة الهل و�باكته‬

Anda mungkin juga menyukai