PERSPEKTIF AL-QUR’AN
1
Arab Jahiliyah pun menghalalkan pembunuhan terhadap bayi hanya
karena ia terlahir sebagai wanita.
Ilustrasi yang memilukan tersebut hadirin, menggambarkan
kepada kita betapa wanita pada banyak peradaban sebelum Islam
datang adalah makhluk yang sangat hina, tidak berarti apa-apa,
bahkan sangat rendah harkat dan martabatnya. Betul?
Namun, ketika Islam datang, agama ini dengan tegas me
nentang segala bentuk tindakan diskriminasi, penghinaan, dan
penindasan terhadap wanita. An-nisa ‘imadul bilad idza shaluhat
shaluhal bilad, wa idza fasadat fasadal bilad. Wanita adalah tiang negara,
jika baik wanitanya maka baiklah negara, namun jika jelek wanita
nya maka hancurlah negara. Sabda Rasulullah ini me negaskan
bahwa Islam datang untuk mengangkat harkat dan martabat wanita,
sekaligus memposisikan wanita sebagai makhluk yang mulia dan
mempunyai kedudukan setara dengan kaum laki-laki. Setuju?
Lalu, bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam mengenai
wanita? Sebagai jawabannya, pada kesempatan kali ini kami akan
membahas “Jender dan Peranan Wanita dalam Perspektif Al-Qur’an”,
dengan landasan QS. At-Taubah ayat 71:
2
Nasaruddin Umar, MA, dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an mengemukakan, laki-laki dan wanita dalam
pandangan Al-Qur’an memiliki posisi dan peran yang sama. Laki-
laki dan wanita sama-sama sebagai hamba Allah. Laki-laki dan
wanita sama-sama sebagai khalifah. Laki-laki dan wanita sama-
sama menerima perjanjian primordial Tuhan. Laki-laki dan wanita
sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis kehidupan.
Bahkan, laki-laki dan wanita sama-sama berpotensi meraih prestasi
dan pahala. Jelas?
Dengan spirit kesetaraan jender inilah hadirin, telah muncul
wanita-wanita hebat di awal kejayaan Islam. Kita mengenal Aisyah,
istri Nabi yang hafal ribuan hadis. Ada Nafisah, wanita keturunan
Arab yang pandai hukum tata negara. Kemudian Fathimah binti
Aqra, yang selain terkenal sebagai seorang ulama wanita juga adalah
kaligrafer ternama. Selanjutnya, Syaikhah Syuhda yang lebih di
kenal dengan Fakhrun Nisa, atau penghulunya wanita yang jago
retorika. Lalu ada Zainab binti As-Syar’i, Munisah binti Malik, dan
Syamiyah binti Hafidz, tiga wanita cantik jelita, tapi pakar dalam
masalah agama, bahasa, dan aritmatika.
Mereka itulah hadirin, wanita-wanita kebanggan kita yang
telah mengangkat citra dan nama besar Islam sehingga menguasai
puncak peradaban dunia. Lalu bagaimanakah dengan peran wanita
di negara kita?
Alhamdulillah, di negeri ini pun wanita memiliki peran yang
sangat besar, terutama pada masa melawan penjajahan Belanda.
Kita mengenal R.A. Kartini, emansipatoris pertama Indonesia yang
dengan lantang meneriakkan pentingnya pendidikan bagi kaum
wanita. Kemudian Dewi Sartika, wanita gagah perkasa yang siap me
ngorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan bangsa. Selanjutnya,
Cut Nyak Dien, wanita santun tapi hebat yang sanggup mengusir
penjajah dari negeri kita tercinta.
Kita patut bangga kepada mereka, yang telah menunjukkan
kepada kita bahwa wanita bukanlah makhluk yang lemah, wanita
bukanlah makhluk tanpa daya, wanita bukanlah makhluk peng
3
goda, tapi wanita merupakan mahkluk digjaya yang siap berperan
membangun negara dan memajukan agama. Setuju?
Itulah hadirin peran wanita dalam kancah kehidupan sosial
yang patut kita teladani. Lalu, bagaimanakah peran wanita dalam
kehidupan rumah tangga? Sebagai jawabannya, kita renungkan
firman Allah dalam penggalan surat An-Nisa ayat 34:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu,
wanita yang shaleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
mereka...”.
4
dengan tampang bimoli, alias bibir monyong lima senti. Betul hadirin?
Demikian juga, isteri juga berkewajiban mendidik anak-
anaknya. Pepatah bijak mengatakan, “Al-ummu madrasatul ula, idza
a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal aghraq” (Ibu adalah sekolah pertama
dan utama, jika dipersiapkan dengan baik akan mampu melahirkan
generasi-generasi yang baik pula).
Dengan demikian hadirin, Islam mempunyai konsep yang
jelas tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.
Pantas, kalau Fatima Mernissi seorang ilmuwan wanita asal
Maroko dalam bukunya Woman and Islam: An Historical and
Theological Inquiry mengatakan, Islam adalah teologi ideal yang
meletakkan wanita sebagai mitra sejajar dengan kaum laki-laki
dalam semangat humanis-teosentris. Islam membolehkan wanita
untuk aktif dalam wilayah sosial, namun Islam juga mengingatkan
wanita agar tidak melupakan kewajibannya pada wilayah domestik,
rumah tangga.
Jika teologi ideal tersebut yang dijadikan pijakan kaum wanita,
kami yakin akan tercipta hubungan harmonis yang didasari rasa
kasih sayang (mawadah wa rahmah) di lingkungan keluarga, sebagai
cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri yang
damai dan penuh ampunan Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur). Ini semua hadirin bisa terwujud manakala ada pola ke
seimbangan dan keserasian antara posisi dan peran wanita dalam
kehidupan berumah tangga dan kehidupan sosialnya.
Jika sikap tersebut yang diaplikasikan kaum wanita, maka
Allah akan memberikan balasan yang sama kepada wanita sebagai
mana balasan yang diberikan Allah kepada kaum pria. Hal ini telah
Allah janjikan dalam firman-Nya surat An-Nahl ayat 97:
5
Hadirin se bangsa dan se tanah air yang kami hormati.
Dengan demikian, dari uraian tadi dapat diambil kesimpulan,
bahwa laki-laki dan wanita dalam pandangan Islam memiliki ke
dudukan yang sama di hadapan Allah. Keduanya memiliki hak dan
kewajiban yang sama pada peringkat etika religius, serta kewajiban
yang sejajar pada peringkat fungsi sosial. Oleh karena itu, meskipun
secara jenis kelamin, laki-laki dan perempuan itu berbeda, tapi
perbedaan itu jangan sampai melahirkan pembedaan (diskriminasi),
apa lagi sampai dijadikan dalih untuk menginjak-injak harkat dan
martabat wanita. Sekian dan demikian.