Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH HADITS MAUDHU’I

” ‫" النكاح قبل االسالم‬

Dosen Pengampu :
Ust. Razif

Disusun Oleh :
Kholid Azka Mujadidi

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN HADITS


STIU Darul Qur’an mulia
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Ta’al yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah tafsir tahlili ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas, pada tugas
yang membahas “‫ ”النكاح قبل االسالم‬. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang penafsiran dalam Alqur’an bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ust. Razif. Selaku dosen yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini. Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan
dukungan dari banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu
kami pun tidak lupa mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak yang sudah membantu
kami dalam rangka menyelesaikan makalah ini.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek
lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat
dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca untuk mengangkat berbagai
permasalah lainnya yang masih berhubungan pada makalah-makalah berikutnya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................
Latar Belakang...............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................
A. Kedudukan Perempuan Dalam Islam.................................................................
B. Jenis Sistem Perkawinan Pada Masa Quraisy....................................................

BAB III PENUTUP


Kesimpulan..................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Topik pembahasan tentang kaum perempuan sejak zaman dulu hingga kini masih
masih ramai diperbincangkan. Utamanya adalah tentang relasi (hubungan) antara laki-laki
dan perempuan, persamaan hak dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
lain sebagainya). Nasib perempuan sebelum datangnya agama Islam, bagaikan sebuah benda
yang bebas diperlakukan apa saja oleh pihak lelaki. Dan posisinya pun menjadi menjadi
kelompok kelas dua. Perempuan tugasnya hanya melayani lelaki dan harus siap kapanpun
saat diperlukan. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Bahkan, kesan misogynist
(kebencian terhadap perempuan) begitu kental mewarnai kehidupan manusia di zaman
jahiliyah.

Seperti diungkapkan Khalifah Umar Ibn Khattab RA. Sebelum dirinya memeluk
agama Islam, lahirnya seorang anak perempuan dalam sebuah keluarganya, bagaikan 'aib'
bagi keluarga. Apalagi bila mereka mempunyai kedudukan terhormat dalam kelompok
masyarakat. Karena itu, demi menutupi aib-nya, anak perempuan yang baru dilahirkan harus
dibunuh. Kalau diselamatkan (tidak dibunuh), anak perempuan di zaman pra-Islam ini
hanyalah menjadi pemuas kaum pria. Ia wajib melayani kehendak pria, termasuk bapaknya
sekalipun. Dan anak-anak perempuan tidak diperbolehkan bekerja di luar rumah. Mereka
cukup untuk memasak di dapur, melayani suami (pria) saat malam hari dan mencuci pakaian.
Tak heran bila kemudian muncul adagium bahwa perempuan itu tugasnya hanya di dapur, di
sumur dan di kasur.

Pada zaman Yunani kuno, martabat perempuan sungguh sangat rendah. Perempuan
hanya dipandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta
pelepas nafsu seksual lelaki. Filosof Demosthenes berpendapat istri hanya berfungsi
melahirkan anak, Aristotales menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya.
Filosof lainnya, Plato menilai, kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah,
sedangkan 'kehormatan' perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dan hina sambil terdiam tanpa bicara. Kondisi yang
sama terjadi di Eropa. Pada tahun 586 M (sebelum datangnya Islam), agamawan di Perancis
masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak? Apakah
mereka juga dapat masuk ke surga? Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kesimpulan:
perempuan memiliki jiwa, tapi tidak kekal dan dia bertugas melayani lelaki yang bebas
diperjualbelikan.

Sepanjang zaman pra-Islam, posisi perempuan tak pernah berubah, tugas utamanya
hanya menjadi 'pelayan' kaum lelaki. Menurut pengasuh Pondok Pesantren Aziziyah,
Denanyar, Jombang, KH Aziz Mayshuri menjelaskan, sedikitnya ada empat tahapan kaum
perempuan, yaitu perempuan sebagai anak, sebagai isteri, ibu dan anggota masyarakat yang
di zaman pra-Islam diperlakukan dengan semena-mena. Pada fase pertama saat menjadi anak.
Pada zaman Jahiliyyah (kebodohan), para orang tua yang memiliki anak perempuan akan
menguburnya hidup-hidup. ''Anak perempuan yang lahir pada masa itu, dianggap sebagai aib
(hina) bagi keluarganya. Sebab, anak perempuan dianggap tidak berguna dan jika kelak
dewasa, ia hanya dijadikan sebagai nafsu pemuas para lelaki,'' ujarnya.

Karena itu, mereka pun kemudian dibunuh. Sebelum masuk Islam, khalifah Umar Ibn
Khattab RA juga pernah melakukan hal serupa dan mengubur anak perempuannya hidup-
hidup.''Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah. Lalu dia bersembunyi dari
orang banyak, disebabkan kabar buruk yang diterimanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?
Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan.'' (QS An-Nahl [16] : 58-59).
Hal ini berbeda dengan anak lelaki. Mereka menjadikan anak lelaki sebagai seorang calon
pemimpin yang memberikan kehormatan bagi anggota keluarga. Karena itu, masyarakat Arab
di zaman jahiliyyah ini, begitu bangga bila mendapatkan anak laki-laki.

saat anak perempuan menjadi isteri. Pada zaman jahiliyah ini, kaum perempuan bisa
diwariskan baik secara sukarela atau dipaksa. ''Seorang suami yang sudah tidak senang
kepada isterinya, dapat memberikan isterinya kepada orang lain, baik isterinya mau ataupun
tidak. Dan jika suaminya ingin menikah lagi, maka isterinya dituduh berbuat serong
(selingkuh),'' kata Aziz. Seperti diketahui, menurut Adat Arab Jahiliyah, seorang wali (pria)
berkuasa penuh atas perempuan yang berada dalam asuhannya serta harta yang dimilikinya.
Jika perempuan itu cantik, maka akan dinikahi dan diambil hartanya, jika buruk rupa, maka
dihalangi nikahnya dengan laki-laki lain. Tujuannya agar walinya dapat menguasai seluruh
hartanya. Hal seperti ini ditentang oleh Alquran seperti tercantum dalam surah An-Nisaa' ayat
127).

ketika perempuan menjadi seorang ibu. Pada masa jahiliyah, seorang ibu tidak bisa
mendapatkan harta warisan apabila anaknya meninggal dunia. Dalam Islam, jika anak
meninggal dunia dan ia memiliki harta warisan, maka ibunya dapat mewarisinya sesuai
dengan pembagian yang telah ditetapkan Alquran. lanjut Aziz, adalah saat perempuan
menjadi anggota masyarakat. Di masa jahiliyah, seorang perempuan memiliki gerak langkah
yang terbatas. Ia diposisikan hanya menjadi pengurus suaminya dan tidak diperkenankan
melakukan hal-hal lain. Karena diskriminasi yang berlebihan inilah, maka Islam sebagai
agama yang memberikan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamin), menentang setiap
perlakuan tidak adil kepada perempuan. Misalnya, seperti yang disebutkan dalam Alquran
surah Al-Hujurat ayat 11 yang menegaskan, kemuliaan seseorang tidak diukur dengan
besarnya tanggung jawab atau pangkat dan kedudukannya, tetapi dikarenakan oleh
ketaqwaannya kepada Allah SWT. Begitu juga pada surah An-Nisaa' ayat 124, siapa yang
mengerjakan amal kebajikan baik laki-laki atau perempuan dan dia beriman kepada Allah
SWT, maka mereka akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.

Ketidaksederajatan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan ini, sangat


dikecam oleh Islam. Selama ribuan tahun, kaum perempuan diposisikan sebagai makhluk
kelas dua yang bertugas hanya melayani suami. Maka hadirnya Islam, semua sistem
perbudakan, pembunuhan terhadap anak perempuan dihapuskan. Pandangan Islam yang
berkeadilan ini, kemudian memantik semangat baik gerakan-gerakan di dunia Barat untuk
menuntut perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan.

 
BAB II
PEMBAHASAN

C. Kedudukan Perempuan dalam Islam

''Wahai seluruh manusia (lelaki dan perempuan) sesungguhnya Kami menciptakan


kamu dari (sepasang) lelaki dan perempuan.'' (QS Alhujuraat ayat 13 ). Dalam kaitan ini Nabi
Muhammad SAW bersabda: '' Perempuan adalah saudara kandung laki-laki.'' (HR Ahmad
Abu Daud dan at-Tirmidzi). "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki
dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-
laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut nama Allah, Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar." (QS Al Ahzab [33]: 35).

Ayat di atas menyiratkan kesetaraan dalam Islam. Bahwa di hadapan Allah, tak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Amal ibadahnyalah yang membedakan kedudukan
mereka di hadapan-Nya. Koordinator Bidang Dakwah PP Fatayat NU, Badriyah Fayumi
mengungkapkan, sebelum Islam datang (zaman jahiliah) kedudukan kaum perempuan sangat
direndahkan. Setelah agama Islam datang, diseimbangkan (dinaikkan) derajatnya. ''Kalau
Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi pria maupun perempuan ada yang sama dan ada
yang berbeda, itu tidak mempersoalkan kedudukannya, tetapi fungsi dan tugasnya,'' jelasnya.

Menurut ajaran Islam, pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia, baik pria
maupun perempuan, semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarmabaktikan dirinya
untuk mengabdi kepada-Nya. Firman Allah SWT dalam Alquran, ''Dan, tidak Aku ciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.'' (QS Adz-Dzaariyat [51]: 56).
Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna yang dibawa Rasulullah SAW untuk
mengatur hidup dan kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di
dunia dan di akhirat. Maka, kedudukan, hak, dan kewajiban perempuan ada yang sama dan
ada pula yang berbeda dengan pria.

DR Mashitoh Chusnan, Ketua PP Aisyiah mengungkapkan sejak awal kehadirannya,


Islam tidak membeda-bedakan antara lelaki dan perempuan. Baik dalam segi ibadah,
berkarya dan sebagainya. Banyak ayat suci Alquran yang menjelaskan kedudukan tersebut.
Salah satunya ayat suci Alquran yang artinya: ''Sesungguhnya Aku (Allah) tidak menyia-
nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik seorang lelaki maupun
perempuan.'' (QS Ali Imran [3] ayat 195). Yang membedakan, kata Rektor Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini adalah fisik dan psikologisnya. Secara fisik, perempuan
diberikan kelebihan untuk melahirkan dan menyusui anaknya, sebuah kegiatan yang tidak
bisa dilakukan laki-laki. Dan secara psikologis, anak dilahirkan dan disusui oleh perempuan
(ibu), memiliki kedekatan dengan ibu (perempuan). ''Tapi peran yang dilakukan perempuan
sama pentingnya dengan peran yang dilakukan laki-laki. Islam tidak memasung kreativitas
dan aktivitas perempuan.''

D. Jenis Sistem Perkawinan Pada Masa Quraisy

Sistem perkawinan adalah salah satu contoh yang dapat menjelaskan bagaimana pandangan
bangsa Arab pada umumnya dalam menyikapi peradan dan posisi Kaum Hawa. Pada masa
menjelang kedatangan Islam, kita dapat menemukan beberapa jenis perkawinan dalam sistem
sosial masyarakat Arab:
1. Perkawinan Mut’ah. Yaitu, sebuah sistem “perkawinan kontrak” untuk jangka waktu
tertentu. Jika masa kontrak sudah habis, maka kedua pasangan suami istri berpisah secara
otomatis. Perkawinan model seperti ini sudah lazim di kalangan masyarakat Arab pada
umumnya. Bahkan, sampai masa kedatangan Islam awal, sistem perkawinan seperti ini
masih berlaku. Namun, pada tahun ke-8 H (629 M), perkawinan model seperti ini
diharamkan dalam Islam untuk selamanya.
2. Perkawinan Zawaq. Yaitu, sebuah sistem perkawinan coba-coba yang diterapkan oleh
suku-suku baduwi. Sistem perkawinan semacam ini hampir mirip seperti Perkawinan
Mut’ah, tetapi tidak terikat dengan suatu kontrak perjanjian. Caranya, sepasang suami
istri melakukan perkawinan coba-coba, namun jika dalam perjalanan rumahtangga
terdapat ketidakcocokan, keduanya bisa langsung menyatakan putus hubungan.
Perkawinan semacam ini tidak dikenal dalam Syariat Islam. Artinya, Syariat Islam tidak
membenarkan model perkawinan semacam ini.
3. Perkawinan Istibda. Yaitu, sistem perkawinan yang dilakukan seperti “perdagangan”
(prostitusi). Sepasang suami istri melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, sang suami
tidak langsung berhubungan badan dengan istrinya. Sang istri yang masih perawan justru
dikirimkan kepada tokoh terhormat atau kepala suku supaya digauli sampai hamil. Baru
setelah diketahui sang istri positif hamil, maka suaminya baru akan menggaulinya. Itu
pun kalau suaminya masih berminat. Tujuan dari sistem perkawinan ini agar sepasang
suami istri mendapat keturunan dari keluarga terhormat. Tradisi perkawinan semacam ini
berlaku umum bagi suku-suku padang pasir yang nomaden. Setelah kedatangan Islam,
sistem perkawinan semacam ini tidak diakui. Artinya, sistem perkawinan Istibda
diharamkan.
4. Perkawinan Khadn. Yaitu, hubungan intim atas dasar suka sama suka (kumpul kebo).
Sepasang kekasih melakukan hubungan layaknya suami istri, tetapi tanpa melewati
proses ijab-qabul dan dilakukan secara terang-terangan, diketahui oleh masyarakat
sekitarnya. Tampaknya, Suku Quraish juga mengenal sistem perkawinan semacam ini.
Bahkan, Abdullah bin Abdul Muthalib sebelum menikah dengan Aminah sempat ditawar
supaya kumpul kebo dengan salah seorang perempuan dari Bani Asad. Namun, Abdullah
sendiri menolak karena dia telah dijodohkan dengan Aminah. Perkawinan model seperti
ini pun tidak dikenal dalam Islam.
5. Perkawinan Mutadhaminah. Yaitu, sistem perkawinan yang saling membalut. Sistem
perkawinan ini identik dengan perselingkuhan yang dibiarkan secara terang-terangan.
Misalnya, seorang istri selingkuh dengan lelaki lain, tetapi oleh suaminya dibiarkan saja.
Bahkan, sang suami bisa menyuruh istrinya supaya selingkuh dengan lelaki lain dengan
tujuan untuk mendapatkan harta kekayaan (prostitusi). Sistem perkawinan semacam ini
sudah menjadi tradisi bagi suku-suku nomaden dan menetap di jazirah Arab. Perkawinan
semacam ini juga diharamkan dalam Islam.
6. Perkawinan Badal. Yaitu, sistem perkawinan tukar-menukar istri. Seorang suami akan
menukarkan istrinya kepada lelaki lain, begitu juga sebaliknya. Tradisi perkawinan
semacam ini sudah masyhur di kalangan bangsa Arab. Tidak hanya bagi suku-suku
nomaden saja, tetapi juga berlaku bagi suku-suku yang menetap. Perkawinan semacam
ini pun diharamkan dalam Islam.
7. Perkawinan Syighar. Yaitu, perkawinan liardengan sistem barter.Misalnya, seorang laki-
laki mengawini seorang wanita dengan sistem pertukaran antara adik laki-laki si istri
dikawinkan dengan adik wanitanya. Perkawinan semacam ini diharamkan dalam Islam.
8. Perkawinan Maqt. Yaitu, perkawinan “kutukan.” Misalnya, seorang suami meninggal
dunia, maka istrinya diwariskan kepada ahli warisnya. Posisi wanita diakui sebagai harta
benda yang dapat diwariskan kepada ahli waris. Nasib janda tersebut tergantung kepada
ahli waris, apakah akan dikawinkan lagi atau dibiarkan menjanda seumur hidup.
9. Perkawinan Saby. Perkawinan ini adalah dampak dari tradisi perang di kalangan bangsa
Arab jahiliyah. Setiap wanita yang menjadi tawanan perang, jika tidak ada yang
menebusnya, maka dia menjadi milik orang yang memenangkan perang. Nasibnya
tergantung pada pemiliknya, apakah dia akan dinikahi tanpa mahar dan persetujuan dari
walinya atau justru akan dijual sebagai budak. Sistem perkawinan semacam ini hampir
merata di jazirah Arab pra Islam. Perkawinan semacam ini diharamkan dalam Islam.
10. Perkawinan Hamba Sahaya. Yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang tuan dengan
perempuan sahayanya. Jika sampai melahirkan, maka anak tersebut menjadi hak tuannya.
Akan tetapi, dalam tradisi masyarakat Arab jahiliyah, perkawinan semacam ini amat
jarang terjadi. Sebab, seorang tuan paling benci memiliki anak dari budaknya. Dalam
Islam, perkawinan semacam ini dihalalkan, tetapi bukan menjadi prioritas.
11. Perkawinan Muhrim. Yaitu, perkawinan antara seseorang dengan muhrimnya. Misalnya,
seorang kakak mengawini adiknya. Atau, seorang ayah mengawini putri kandungnya.
12. Perkawinan Poligami. Yaitu, perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap
perempuan yang lebih dari satu. Bahkan, dalam tradisi Arab pra Islam, seorang laki-laki,
khususnya dari kalangan keluarga terhormat, bisa memiliki istri sampai lebih dari
sepuluh orang. Dalam tradisi Islam, perkawinan seperti ini dapat ditolerir dengan syarat-
syarat tertentu. Jumlah istri dalam perkawinan poligami maksimal empat orang, tidak
boleh lebih. Adapun penerapannya dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis
dengan ketentuan-ketentuan yang ketat.
13. Perkawinan Bu’ulah. Yaitu, perkawinan antara seorang laki-laki status perjaka dengan
seorang gadis (monogami) dengan ketentuan ijab-qabul dan mahar. Walaupun tidak
populer di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah, tetapi inilah yang dalam syariat Islam
tetap dilestarikan hingga saat ini. Lewat Risalah Islamiyyah, tradisi perkawinan seperti
ini dilegalkan untuk kemudian disempurnakan.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

kondisi sosial masyarakat Arab Jahiliyah benar-benar rapuh dan jauh dari akal sehat.
Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimana-mana. Orang-Orang hidup
layaknya binatang ternak. Wanita diperjualbelikan, bahkan terkadang diperlakukan seperti
benda mati. Hubungan antarumat sangat lemah, saling berperang menjadi tradisi mereka
ketika ada yang mengancam kekuasaan dan melukai kehormatan. Selain itu, kebiasaan
masyarakat Arab Jahiliyah juga tak lepas dari minum khamr, mabuk-mabukan dan perjudian.
Masyarakat Jahiliyah memang dikenal memiliki peradaban yang buruk, namun masih
ada akhlak mulia dan terpuji yang menjadi kelebihan mereka. Di antaranya, kemurahan hati,
kedermawanan, pantang menyerah, memenuhi janji, suka menolong orang lain. Semua
keterpurukan moral dan kelamnya peradaban Jahiliyah itu baru berubah setelah Nabi
Muhammad SAW diutus membawa risalah Islam.
Perlahan namun pasti, berkat rahmat Allah, Nabi Muhammad SAW dengan
kelembutan dan kemuliaan akhlaknya mengubah gelapnya peradaban menuju cahaya.
Kemusyrikan dihilangkan, perbudakan dihapuskan, perempuan dimuliakan, perzinaan dan
perjudian ditinggalkan. Bangsa Arab memasuki fase peradaban baru yang lebih bermartabat
dengan hadirnya Islam.

Anda mungkin juga menyukai