Anda di halaman 1dari 14

KEPEMIMPINAN WANITA DAN WANITA KARIER

DISUSUN OLEH :

1. ANITA NATALIA

2. UMMI KALSUM

DOSEN PEMBIMBING : MIRTA ANTHONI, M.Pd.I

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

JURUSAN PAI

TAHUN AJARAN 2019


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita, sehingga kita dapat
menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam selalu kita curahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita dari zaman
jahiliyah menuju zaman Islamiyah.
Kami membuat makalah ini adalah sebagai bahan kajian bagi kita dalam
mempelajari Kepemimpinan Wanita Dan Wanita Karier.
Dan tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami akui dengan penuh kesadaran bahwa makalah ini banyak terdapat
kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini.
Atas bantuannya kami ucapkan terima kasih dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin...
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah


Pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil bagian
hampir pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di Indonesia (terutama),
ada wanita yang menjadi menteri, pimpinan perusahaan, polisi, anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat, pegawai Negeri dan menjadi buruh serta pembantu
rumah tangga.
Para wanita telah ikut secara aktif, membangun rumah tangga masyarakat dan
negara. Malahan ada yang kita lihat agak berlebihan, karena wanita lebih banyak
memegang peranan dalam membayai rumah tangga. Pada sebagian daerah ada
wanita yang mencari nafkah, meninggalkan kampung halaman, sedangkan
suaminya tinggal mengurus anak-anak, dan sawah ladang andaikan punya.
Demikianlah, hampir semua lapangan pekerjaan dimasuki juga oleh para
wanita.
Timbul suatu pertanyaan, apakah semua kegiatan atau pekerjaan itu
dikerjakan dengan ikhlas, dan karena ada dorongan dari dalam diri mereka
sebagai bukti terhadap keluarga, masyarakat dan negara? Bisa saja karena sebab
lain, karena keadaan yang memaksa. Biaya hidup dalam rumah tangga tidak
dapat tertanggulangi, karena pendapatan suami tidak memadai. Boleh jadi juga,
karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara persamaan hak antara pria dan
wanita.
Dalam makalah berikut ini akan dibahas mengenai hak-hak yang
berhubungan dengan kegiatan/pekerjaan para wanita, di antaranya: kedudukan
wanita dalam pandangan islam, wanita sebagai ibu rumah tangga, wanita karier
dan kepemimpinan wanita dalam masyarakat dan negara.

b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan wanita di dalam Islam?
2. Bagaimana hukum kepemimpinan wanita dan wanita karier?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Wanita
Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan mengenai kedudukan wanita, di
antaranya Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan
diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (at-Taubah: 71)
Dari ayat di atas dapat dipahami, bahwa pria dan wanita saling tolong-
menolong, teruatama dalam satu rumah tangga dan mempunyai tugas dan
kewajiban yang sama dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Namun ada
di antara perintah Allah yang ditujukan kepada masing-masing individu, seperti
melakukan shalat. Dalam melakukan hubungan vertikal, masing-masing pria dan
wanita mempunyai kewajiban tersendiri.
Allah swt berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki
maupun perempuan, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”(an-Nisa:124)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa karya wanita, dalam bentuk apa
pun dilakukannya adalah menjadi miliknya dan bertanggungjawab pula atas
(karyanya)itu, termasuk masalah ibadat, tidak tergantung kepada pihak pria,
bergantung kepada amalnya, baik maupun buruk.
Sebelum agama islam datang, kedudukan wanita sangatlah rendah. Mereka
dianggap tidak berhak mendapatkan harta warisan, malah mereka dianggap
sebagai harta, boleh dimiliki dan diperlakukan sesuka hati. Harta hanya monopoli
kaum pria saja, apalagi turut mengatur penggunaan harta tersebut.
Setelah islam datang, wanita mendapatkan angin segar. Mereka diperlakukan
sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria
dan wanita. Agama islam memandang wanita sebagai teman (pendamping) bagi
para pria, bukan budak yang diperlakukan sama dengan harta benda dan sebagai
pemuas hawa nafsu.
Sebelum menyoroti kepemimpinan wanita, ada baiknya diketahui lebih
dahulu beberapa perbedaan antara wanita dan pria. Dalam ilmu biologi, dijelaskan
bahwa wanita berbeda dengan pria dalam bentuk, sifat, dan susunan tubuh.
Bentuk dan seluruh tubuhnya sejak dalam rahim telah tersusun sedemikian rupa,
yang dipersiapkan untuk melahirkan dan memelihara bayi yang lahir itu.
Berdasarkan para pakar biologi dan anatomi menunjukkan bahwa wanita di waktu
datang bulan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut[8]:
 Panasnya menurun
 Kelambatannya pada denyut nadi, berkurang tekanan darah dan jumlah sel-
selnya sedikit
 Kelenjar gondok dan kelenjar limpa serta keddua amandel mengalami
perubahan
 Pengeluaran garam fosfat dan chlorid dari tubuh menjadi berkurang
 Pencernaan terganggu
 Kekuatan pernapasan melemah dan lat-alat pengucapan mengalami
perubahan khusus
 Perasaan menjadi tumpul dan timbul perasaan malas
 Kecerdasan dan daya konsentrasi berkurang

Pada tahun 1909 dr. Frasta Shafki mengadakan penelitian dengan cermat
dan berkesimpulan bahwa kekuatan berrpikir dan daya konsentrasi wanita
berkurang pada saat datang bulan. Kemudian setelah Prof. Kersby Shikavski
mengadakan percobaan psikologinya, beliau menyimpulkan syarafnya pada saat
datang bulan dan perasaannya pun menjadi tumpul. Perasaannya tertekan ketika
melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan sebelumnya. Misalnya dia seorang
sekretaris, dia akan keliru ketika mengetik dan lamban dalam mengerjakannya. Ia
sering salah menyusun kalimat. Bila ia seorang pengacara, pemaparan
argumentasinya sering kurang rasional. Bila ia menjadi seorang hakim, akan
terpengaruh pula dalam mengambil suatu keputusan. Jadi, pada saat datang bulan
organ syaraf dan pikiran wanita mengendor dan tidak teratur. Tabiatnya pun
mendadak berubah.
Lebih tampak lagi perubahan pada wanita saat hamil. Karena pada saat itu
kumpulan syaraf terganggu selama beberapa bulan dan keseimbangan pikiran juga
goyah. Dr. Fisher menjelaskan bahwa sekalipun wanita itu sehat, ia tetap
mengalami tekanan dalam berbagai hal di masa kehamilan. Kondisinya sering
terganggu. Ia sering bingung dan kemampuan berpikirnya pun berkurang.
Sesudah melahirkan, timbul lagi masalah baru yaitu sistem kerja tubuhnya
terganggu dan perlu waktu untuk menormalkan kondisinya itu, di samping sibuk
merawat anak dan menyusukannya.
Dengan demikian apabila wanita mendapat atau mengemban tugas pada
saat dia datang bulan, hamil, dan menyusui, tentu tugas yang diembannya itu tidak
dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Namun, apa yang digambarkan ini
adalah bersifat umum sebab dalam beberapa hal ada saja pengecualian yang
terjadi, seperti wanita yang bersifat seperti pria dan sebaliknya pria bersifat seperti
wanita.

B. Kepemimpina Wanita
a. Kepemimpinan wanita dalam Al-Qur’an
Yang menjadi titik tolak dalam masalah ini adalah Firman Allah SWT
surat an-Nisa ayat 34:
‫الِّر َج اُل َقَّواُم وَن َع َلى الِّنَس اِء ِبَم ا َفَّض َل ُهَّللا َبْع َض ُهْم َع َلٰى َبْع ٍض َو ِبَم ا َأنَفُقوا ِم ْن َأْم َو اِلِهْم‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.“

Menurut al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh Abdul Madjid,


kata Qawwamuuna ‘ala al-Nisa(pemimpin atas kaum wanita) adalah bahwa
kepemimpinan pria atas wanita dalam pengertian tersebut ialah suami mengatur,
mendidik, memaksanya di rumah, mencegahnya untuk keluar dari rumah dan istri
harus menerima dan mentaati perintahnya selama bukan dalam kemaksiatan.
Alasan yang mendasari hal tersebut adalah keutamaan, nafkah, kesempurnaan akal
dan kekuatan dalam urusan jihad, warisan dan Iamar ma’ruf nahyil munkar. Hal
itu diperkuat oleh al-Zamakhsyari, bahwa para suami mempunyai wewenang
untuk menyuruh dan melarang para istri sebagaimana pemerintah terhadap
rakyatnya, oleh sebab itulah mereka disebut qawwam.
Mengenai kelebihan yang telah diberikan Allah (faddhdhala), ayat ini
menyatakan antara kedudukan pria dan wanita adalah berdasarkan apa yang telah
Allah berikan. Berkaitan dengan kelebihan material seperti pembagian warisan
dalam surat an-Nisa ayat 34 bukanlah sesuatu yang absolut. Hubungan ini lebih
disukai karena persyaratan lain untuk qiwamah adalah jika mereka
membelanjakan harta mereka (untuk mendukung kaum wanita). Jadi, terdapat
hukum timbal balik antara hak istimewa yang diterima dengan tanggungjawab
yang dipikul. Pria yang bisa menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah pria
yang sanggup membuktikan kelebihannya dalam tanggungjawab menggunakan
kekayaan untuk mendukung kaum wanita.
Selanjutnya timbul beberapa pertanyaan; apakah kepemimpinan itu
terbatas hanya dalam keluarga sehingga pria dalam keluarga menjadi pemimpin
atas wanita? Apakah hal ini jauh lebih sempit lagi pada ikatan material saja
sehingga kepemimpinan terbatas pada suami atas istrinya? Menurut berbagai
komentar terhadap berbagai komentar terhadap ayat di atas, maka jelaslah
kepemimpinan pria atas wanita terbatas pada keluarga, jadi lebih bersifat
domestik, bukan publik.
Berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan seorang
wanita menjadi pemimpin publik, kepemimpinan publik tidak hanya didominasi
kaum lelaki saja. Namun demikian kebanyakan cendekiawan memberikan
peringatan terhadap dampak negatifnya kepemimpinan wanita, bahkan wanita
berkarir pun bagi kehidupan keluarga. Keluarga jadi berantakan karena seorang
ibu tidak lagi memerankan fungsinya.

b. Kepemimpinan Wanita Menurut Para Ulama Ahli Fiqih


Untuk jabatan sebagai kepala Negara, sudah dapat diduga bagaimana
pendapat para ahli Fiqih Islam mengenai posisi perempuan untuk jabatan kepala
Negara atau perdana menteri. Sampai hari ini belum diketahui ada pendapat para
ahli Fiqih terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat sebagai kepala
Negara. Syah Waliyullah al-Dahlawi menyatakan bahwa syarat-syarat seorang
khalifah adalah berakal, baligh, merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar,
melihat, dan dapat berbicara. Semua ini telah disepakati oleh seluruh umat
manusia si mana pun dan kapan pun.
Sementara itu, Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa laki-laki sebagai
syarat seorang imam (kepala negara) adalah sudah merupakan kesepakatan (ijma’)
para ulama ahli Fiqih. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan: “ Tidak sah
seorang perempuan al- imamah al- udhma (kepala negara) dan gubernur. Nabi
SAW, Khulafaur Rasyidin dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah
mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur.
Sedang untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal
pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita massih menjadi perdebatan
para ulama. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang
dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari
kekuasaan, persaksian ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita
tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab,
bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun
terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah
kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita
menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi
penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan
memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam
wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk
menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa
memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan
hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan
oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
Dengan mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik
dan sebagian modern, kenyataan historisitas munculnya sultanah-sulatanah Islam
dalam sejarah, kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di atas, maka
seorang wanita bisa menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya. Dalam hal ia
menjadi kepala Negara, maka dibolehkan dalam konteks simbolik untuk
mempersatukan elemen bangsa. Kepemimpinan wanita dapat dibenarkan asalkan
saja tidak melupakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri, karena tugas
tersebut tidak dapat digantikan suami maupun pembantu.

C. Wanita Karir
Wanita karier adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan
yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu
kemajuan dalam hidup, pekerjaan , atau jabatan. Adapun ciri-ciri wanita karir,
yaitu :
a. Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu
kemajuan.
b. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan-kegiatan professional
sesuai bidang yang ditekuninya, baik bidang polittik, ekonomi, pemerintah,
maupun bidang-bidang lainnya.
c. Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karir adalah bidang pekerjaan
yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan dalam
kehidupan, pekerjaan, atau jabatan dan lain-lain.

Mencari nafkah bagi keluarga adalah tugas kaum pria, dan wanita secara
islam tidak bertanggung jawab atas pekerjaan ini. Namun wanita juga harus
mempunyai pekerjaan, karena dalam islam pengangguran dianggap tidak baik dan
tercela.
Pekerjaan yang paling baik untuk wanita yang sudah menikah adalah
mengurus keluarga. Mengurus rumah tangga, merawat anak dan sebagainya
adalah pekerjaan-pekerjaan yang paling mulia yang dapat dilakukan wanita.
Rasulullah saw. menegaskan : “Jihad seorang wanita adalah melayani suaminya
(dan merawatnya sebaik-baiknya)”
Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah saw. : “Bagaimana ganjaran
seorang wanita yang mengurus rumah?” Nabi menjawab : “Setiap wanita yang
berjalan untuk memperbaiki aturan rumahnya, mengambil sesuatu dan
memindahkannya ke tempat lain, akan mendapat rahmat dari Allah, dan barang
siapa yang mendapat berkah dari Allah, tidak akan disiksa kerena murka Allah”.
Ummu Salam bertanya lagi, “Ya, Rasulullah. Beritahukanlah, apa lagi ganjaran
bagi seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Bila seorang wanita hamil, Allah
akan memberinya ganjaran bagi seorang wanita seperti seorang laki-laki pergi
berjihad dengan semua harta dan kekayaannya. Lalu bila ia melahirkan anak, ia
akan mendengarkan sebuah panggilan ‘semua dosamu diampuni, mulailah hidup
yang baru.’ Setiap ia menyusukan banyinya itu dengan air susunya, Allah akan
memberinya ganjaran seperti orang yang memerdekakan seorang hamba sahaya”.
Islam tetap membolehkan kaum wanita terjun bekerja dalam kondisi terpaksa
dan dalam batas syari’at islam. Seorang muslimah harus mengerti bagaimana
bergaul dengan pria dan juga harus bisa membagi waktu untuk keperluan
pendidikan anak- anaknya dan untuk melayani suaminya dirumah.
Sebagai suri tauladan untuk wanita pekerja kita ambil contoh dua putrid nabi
Syu’aib as. Yang bekerja meringankan beban ayahnya, mereka tidak pernah
berbaur dengan penggembala pria yang sedang berebut mengambil air dari
sumbernya yang hanya satu itu. Setelah semua penggembala selesai mengambil
air barulah mereka menimba air tersebut dan memberi minum ternak- ternaknya.
Hal ini dikisahkan didalam Al- Qur’an surat Al- Qashash:23
‫َو َلَّم ا َو َر َد َم اَء َم ْد َيَن َو َج َد َع َلْيِه ُأَّم ًة ِم َن الَّناِس َيْس ُقوَن َو َو َج َد ِم ْن ُدوِنِهُم اْمَر أَتْيِن َتُذ وَداِن َقاَل َم ا َخ ْطُبُك َم ا َقاَلَتا ال‬
‫َنْس ِقي َح َّتى ُيْص ِدَر الِّرَعاُء َو َأُبوَنا َشْيٌخ َك ِبيٌر‬
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana
sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di
belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat
(ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua
wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum
pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".
Perkataan kedua wanita itu mempunyai indikasi penting bahwa factor utama
yang menyebabkan mereka bekerja adalah ayahnya yang sudh lanjut usia.
Matanya sudah tidak bisa melihat lagi, usianya yang menua dan mata yang buta
menyebabkan Syu’aib as. harus beristirahat total. Di satu sisi dia tidak
menemukan orang yang dapat dipercaya untuk menjaga hartanya. Karena itulah
dengan sangat terpaksa kedua putrinya harus bekerja untuk membantu kedua
orang tuanya.
Seorang ibu yang menyibukkan diri dengan pendidikan anaknya dirumah
sangat memberikan arti yang mulia dan agung didepan mata social karena dengan
melakukan hal itulah justru seorang wanita dapat mempersiapkan generasi umat
yang shalih shalihah. Sebaiknya pula wanita berdiam diri didalam rumah dan
mencari aktifitas yang sesuai dengan fitrahnya. Mereka yang dapat membaca
buku, mengadakan penelitian tentang sesuatu yang bermanfaat atau menambah
pengetahuan serta keterampilan. Mereka dapat menekuni kegiatan-kegiatan
menggambar, melukis, menjahit, merenda, dan sebagainya. Dari hasil kegiatan
semua itu, ia membantu keluarganya di bidang ekonomi dan juga dapat
menyumbangkan tenaganya bagi masyarakat dengan menghasilkan sesuatu yang
ditemukan.
Beberapa wanita bekerja dirumah dan yang lain lebih suka bekerja diluar
rumah. Pilihan itu mungkin berdasarkan sebab-sebab ekonomis atau sebab yang
lain. Dalam hal ini, pekerjaan yang paling baik adalah menjadi perawat. Rumah
sakit adalah tempat yang baik bagi wanita untuk bekerja sebagai perawat maupun
dokter. Pekerjaan ini sangat cocok dengan sifat-sifat kewanitaan, dan juga
ditempat-tempat itu wanita jarang harus berkumpul dengan laki-laki yang
bukan muhrimnya.

Berikut ini adalah saran-saran bagi wanita yang ingin bekerja diluar rumah, antara
lain :
1. Rundingkanlah dengan suami Anda sebelum Anda memulai suatu pekerjaan.
Adalah hak suami Anda untuk menerima dan menolak keinginan Anda untuk
bekerja.
Para pria pun disarankan untuk tidak berkeras dengan membenarkan istrinya
bekerja di luar rumah kecuali jika pekerjaan itu dianggap tidak sesuai
baginya.
2. Kaum wanita harus memperhatikan hijab islam (kerudung) bila tidak berada
dirumah. Mereka juga harus menghindari terlalu banyak bergaul dengan para
pria yang bukan muhrimnya.
3. Kaum wanita harus berhati-hati, walapun mereka bekerja diluar rumah,
mereka tetap diharapkan oleh suami dan anak-anak untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan seperti mengurus rumah, memasak, mencuci, dan lain
sebagainya.
4. Bila seorang wanita merasa bahwa dengan tambahan pekerjaan dan tanggung
jawab diatas, ia harus mengerjakan pekerjaan yang lain lagi, maka ia harus
sependapat dengan suaminya dan bekerja dengan seizinnya dan atas
nasihatnya pula. Bila suami tidak sependapat, maka ia harus melupakan
pekerjaannya itu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan wanita, Setelah islam datang,
wanita mendapatkan angin segar. Mereka diperlakukan sebagaimana layaknya
manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria dan wanita. Agama
islam memandang wanita sebagai teman (pendamping) bagi para pria, bukan
budak yang diperlakukan sama dengan harta benda dan sebagai pemuas hawa
nafsu.
Dengan mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik
dan sebagian modern, kenyataan historisitas munculnya pemimpin-pemimpin
wanita Islam dalam sejarah, kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di
atas, maka seorang wanita bisa menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya.
Dalam hal ia menjadi kepala Negara, maka dibolehkan dalam konteks simbolik
untuk mempersatukan elemen bangsa. Kepemimpinan wanita dapat dibenarkan
asalkan saja tidak melupakan tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga,
karena tugas tersebut tidak dapat digantikan suami maupun pembantu.
Wanita karier adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa
pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai
suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan, atau jabatan.
Wanita karir dalam pandangan Islam diperbolehkan asalkan tetap menjalankan
kodratnya sebagai wanita dan tidak melupakan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Amini, Ibrahim. 1996. Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Istri. Bandung:
al-Bayan. Diterjemahkan oleh Alawiyah Abdurrhman
Yanggo, Chuzaimah T dan Hafiz Anshary. 2002. Problematika Huku Islam
Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Hamidah, Tutik. 2011. Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. Malang:
UIN Maliki Press
Yasin, Maisar Binti. 2003. Wanita Karir dalam Perbincangan. Jakarta: Gema
Insani Press
Sudrajat, Ajat. 2008. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press

Anda mungkin juga menyukai