Anda di halaman 1dari 15

HAK REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM ISLAM PRESPEKTIF GENDER

Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hukum Keluarga Non Reg/3

Oleh:

Shofi Hatul Fitria 2220050042

A. Pendahuluan
Secara umum derajat laki-laki dan perempuan itu sama di hadapan Allah, yang
membedakannya adalah ketakwaan. Sebab, Islam menempatkan perempuan dalam
kedudukan yang terhormat. Hal ini berbeda dengan kondisi perempuan pada masa
pra-Islam. Perempuan pada masa itu digambarkan sebagai sosok yang rendah,
perempuan tidak memiliki bergaining position dalam masalah sosial, politik, dan
sebagainya. Perempuan menjadi sebuah aib bagi suatu keluarga bagi yang memiliki
anak perempuan. Di dalam lembaga pernikahan, seorang perempuan sering
dieksploitasi secara tidak manusiawi; dipaksa menikah, dipoligami tanpa batas,
ditukar, dan sebagainya. Oleh karena itu, bentuk pernikahan yang paling dominan
adalah kontraktual yang berorientasi pada seksual semata. Oleh sebab itu, perempuan
pada masa itu dapat “diwariskan” ke anaknya untuk dijadikan istrinya.1
Berbicara mengenai perempuan sepertinya tidak akan ada keringnya, baik
perempuan dijadikan sebagai objek dan atau subjek kajian. Realitasnya, perempuan
selama ini hanya dijadikan objek, eksploitasi ‟dari aspek kesehatan, ekonomi, politik,
biologis, psikologis, keagamaan, dan sebagainya. Aspek yang paling empuk adalah
„mengagungkan‟ perempuan melalui legitimasi pemahaman atas teks-teks suci agama
yang bias gender.2
Pada masyarakat patriarkis laki-laki diposisikan lebih unggul dibanding
perempuan. Dalam bentuk ekstrimnya, peran perempuan terkotak di ranah domestik,
sementara ranah publik merupakan monopoli laki-laki. Bahkan diranah domestik,
perempuan cenderung berada di bawah laki-laki. Misalnya, mengelola kepemilikan
rumah tangga, mendistribusikan pekerjaan rumah tangga, termasuk semua keputusan

1
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf
(Yogyakarta: LSSPA, 2000). h.35-40.
2
Ahmad Suhendra, Rekonstruksi Peran dan Hak Perempuan dalam Organisasi Masyarakat Islam, Jurnal
Musawa, (Vol.11 NO.1,2012).h.47.
pekerjaan rumah tangga. Status "kepala keluarga" umumnya diberikan kepada
seorang suami yang berkonotasi "kekuasaan", dan kata "ibu rumah tangga" yang
diberikan kepada seorang istri yang berkonotasi "pengabdian" atau "pelayanan".
Pembagian peran yang timpang ini dipengaruhi oleh berbagai nilai yang ada di
masyarakat, termasuk penafsiran ajaran agama.3
Makna pengabdian dan pelayanan seolah menjadi keharusan istri yang harus
melayani suami, bukan suami istri yang saling melayani. Kekerasan seksual dalam
rumah tangga, yang dikenal dengan istilah marital rapes diterjemahkan “pemerkosaan
dalam rumah tangga”, sering terjadi di masyarakat bahkan tidak mengenal tempat
tinggal (kota maupun desa), tidak mengenal strata (berpendidikan tinggi maupun
rendah), dan juga tidak mengenal latar belakang perekonomian (kaya maupun miskin)
bahkan latar belakang keluarga yang agamanya kuat maupun lemah. Fenomena ini
sering kali tidak dianggap menjadi sesuatu yang problematis tetapi seolah menjadi
kodrat perempuan yang harus dijalani dengan pasrah dan ikhlas.4
Hubungan hegemoni ini juga tercermin dalam perilaku reproduksi seperti
kehamilan, persalinan dan menyusui. Kehamilan merupakan suatu pengalaman yang
hanya dialami oleh perempuan dan bukan bagi laki-laki, tetapi proses kehamilan dan
akibat-akibatnya (perlunya asupan gizi bagi ibu hamil, pemeriksaan kehamilan secara
teratur, koordinasi atau pengelolaan hubungan seksual) adalah kepentingan pasangan
dan karenanya harus menjadi prioritas. Kenyataannya, banyak suami yang kurang
memperhatikan perawatan dan pengawasan kehamilan istrinya.
Islam sering dipersepsi sebagai agama yang kurang memberikan perhatian
terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Agama ini sering dikesankan hanya
memposisikan tugas-tugas reproduksi kaum perempuan sebagai kewajiban dan tidak
menyinggung hak-hak yang melekat pada tugas-tugas reproduksi itu. Perempuan
dengan sejalan dengan fungsi reproduktif yang dimilikinya, mempunyai tugas
mengandung anak (al-hamalah), melahirkan (alwiladah), menyusui (ar-radha‟ah),
mengasuhnya (tarbiyah al-athfal) dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan tugas
ini. Sering dikesankan sebagai kewajiban perempuan, sementara pada saat bersamaan
hak-hak yang terkait dengan fungsi-fungsi reproduktif tersebut serirng diabaikan,
tidak hanya itu bertolak dari penafsiran-penafsiran konvensional yang berada dalam

3
Mimin Mintarsih, Pitrotussaadah, Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Journal Studi Gender dan
Anak, (Vol.09, No.01, 2022).h.95.
4
ibid
koridor ortodoksi, sebagian kaum muslimin masih memandang bahwa memilih
pasangan, menikmati hubungan seks, memiliki keturunan, menentukan kehamilan,
cuti reproduksi dan menceraikan pasangan tidak sepenuhnya mutlak melekat pada diri
perempuan, sebaliknya kendali justru lebih banyak berada ditangan laki-laki.5
Berbicara Islam dan hak-hak reproduksi perempuan akan mengandung
beberapa pandangan di dalamnya karena hal itu berarti memberi kewenangan dan hak
pada perempuan untuk menentukan pilihan dan mengontrol tubuh, seksualitas dan
fungsi reproduksinya. Persoalan mendasar terletak pada siapa sebenarnya “pemilik
tubuh seorang perempuan”.
B. Pembahasan
1. Pengertian Reproduksi
Reproduksi adalah istilah yang umum digunakan dalam sosial ekonomi.
Sederhananya, konsep reproduksi adalah melalui proses memproduksi atau
mengganti tenaga kerja manusia dengan yang baru seperti halnya proses kelahiran
dan pemeliharaannya. Keseluruhan aktivitas reproduksi membantu memastikan
kelangsungan hidup. Setiap orang yang lahir dalam kondisi fisik yang sempurna
memiliki rangkaian organ reproduksi. Organ reproduksi wanita mulai berfungsi
saat menstruasi pertama kali dimulai, namun puncak pemanfaatan organ
reproduksi terjadi saat hamil dan melahirkan.6
Menurut Hasdianah reproduksi diartikan sebagai suatu proses kehidupan
manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidupnya. Sedangkan
alat tubuh yang berfungsi untuk reproduksi manusia disebut organ reproduksi.7
2. Asal Usul Reproduksi Manusia
Proses kelanjutan dan perkembangan manusia, yang biasa disebut reproduksi,
dijelaskan dengan beberapa ayat, diantaranya adalah surat Al-Mukminun ayat 14:
”Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha Suci Allah Pencipta yang
Paling Baik.”

5
Waliko, Islam Hak dan Kesehatan reproduksi, Jurnal Dakwah dan Komunikasi, (Vol.7 No.2, 2013).h.1.
6
Indonesia, Y. L. K, Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi, (YLKI-Ford Foundation, Seri Perempuan
Mengenali Dirinya, 2002).
7
Rohan, Buku Kesehatan Reproduksi Pengenalan Penyakit Menular Reproduksi dan Pencegahan. (Malang,
ntimedi, 201).h.10.
Dalam proses reproduksi manusia, unsur air lebih dominan disebutkan dalam
al-Qur‟an dari pada unsur tanah. Kata nuthfah dalam bahasa Arab berarti setetes
yang dapat membasahi. Ada juga yang memahami kata itu dalam arti hasil
pertemuan sperma dan ovum. Penggunaan kata ini menyangkut proses kejadian
manusia sejalan dengan penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa
pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria mengandung sekitar dua
ratus juta benih manusia, sedang yang berhasil bertemu dengan indung telur
perempuan hanya satu.8
Kata ‟alaqah pada awalnya dipahami dengan segumpal darah, tetapi setelah
kemajuan ilmu pengetahuan dan maraknya penelitian, para embriolog enggan
menafsirkannya dengan arti tersebut. Mereka lebih cenderung memahaminya
dalam arti sesuatu yang bergantung atau yang menempel di dinding rahim. Setelah
terjadi pembuahan, maka terjadi proses dimana hasil pembuahan itu menghasilkan
zat baru, yang kemudian terbelah menjadi dua, lalu yang dua menjadi empat,
empat menjadi delapan, demikian seterusnya berkelipatan dua. Dalam proses itu,
ia bergerak menuju ke dinding rahim dan akhirnya bergantung atau berdempet di
sana. Inilah yang dinamai ‟alaqah.9
Roh tidak diuraikan secara terperinci dalam al-Qur‟an. Roh manusia adalah
urusan Tuhan. Eksistensi manusia dalam al-Qur‟an lebih ditekankan kepada
kapasitasnya sebagai hamba dan sebagai wakil Tuhan di bumi. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa
turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Dalam kapasitasnya sebagai hamba dan dan
khalifah, jenis kelamin tidak pernah dipersoalkan.10
Asal-usul kejadian manusia tidak diceritakan secara kronologis dalam al-
Qur‟an. Cerita penciptaan manusia banyak diketahui melalui hadis, israiliyyat dan
riwayat-riwayat yang bersumber dari Taurat dan Injil. Menurut Ibn Katsir, ada
empat konsep penciptaan manusia yaitu: 1) Penciptaan Adam dari tanah tanpa
ayah dan ibu, 2) Penciptaan Hawa dari laki-laki tanpa perempuan, 3) Penciptaan
Isa dari seorang perempuan tanpa laki-laki, 4) Penciptaan manusia dari proses
pembuahan.11

8
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jurnal Lentera Hati,
(Vol.9,2002).h.166.
9
ibid
10
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina,2001).h.219-220.
11
Abu al-Fida‟ Ismail Ibn Katsir, tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, (Bairut : dar al-Fikr, 1986).h.360.
Dalam proses reproduksi, juga tidak ditemukan perbedaan secara khusus
antara laki-laki dan perempuan. Sedikitpun tidak ditemukan perbedaan antara laki-
laki dan perempuan dalam proses dan mekanisme secara biologis. Dengan
demikian proses dan mekanisme biologis tidak bisa dijadikan alasan untuk
memojokkan atau mengistimewakan salah satu jenis kelamin.
Dalam hal reproduksi, baik al-Qur‟an maupun hadis, telah menempatkan
perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama, tetapi karena pandangan
mitologis terhadap fisik biologi manusia merugikan kaum perempuan, karena laki-
laki cendrung dikultuskan, mengingat Adam (ketika itu Hawa belum tercipta)
pernah menjadi objek sujud kedua sesudah Tuhan, sementara perempuan
dimitoskan sebagai makhluk penggoda yang dilukiskan sebagai setan betina,
karena godaannya menyebabkan manusia jatuh ke bumi.
Al-Quran sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui
bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan
dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan
terhadap yang lain. Ayat Al-Quran yang teramat sering dijadikan dalih atas
pelegalan dominasi laki-laki atas perempuan yakni QS. An-Nisa‟ (4) : 34, yang
menyatakan:
“Laki-laki adalah pelindung (pemimpin, pengayom) bagi perempuan, oleh karena
Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain,
dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…”
Islam telah menetapkan batas kekuasaan laki-laki dalam institusi keluarga
ketika meletakkan perkataan qawwâmûn (pemimpin) atau yang melaksanakan
urusan rumah tangga (al-qa‟im „ala syu‟ûn al-usrah) sebagai kata kunci dalam
ayat itu. Kepemimpinan tersebut memerlukan sikap adil terhadap orang-orang
yang dipimpinnya. Hal ini akan sangat berbeda bila ayat itu menyatakan dengan
perkataan kekuasaan (sulthân) atau kata-kata yang lainnya, yang mengandung
pengertian kebebasan untuk bertindak secara mutlak, yang bertentangan dengan
konsep yang terkandung di dalam ayat Al-Quran.
Terdapat dua persoalan penting yang berada di bawah rentetan penggunaan
kata qawwâm, yaitu: 1) Kaum laki-laki harus bertanggung jawab untuk
menyediakan segala keperluan material dan spiritual perempuan dalam bentuk
yang memuaskan sesuai dengan kesenangan dan perasaannya sehingga dia merasa
tenang dan tenteram, 2) Kaum lakilaki memberikan perlindungan dan penjagaan
terhadap anggota keluarganya dalam batas-batas kekuasaan terhadap keluarganya.
Meskipun konteks ayat ini menjelaskan kekuasaan laki-laki atas perempuan
dalam lingkup domestik (rumah tangga), namun sebagian ulama
menggeneralisasikan dalam lingkup yang lebih luas, dalam urusan sosial dan
politik (mu‟amalah al-madaniyyah). Teologi patriarkat seperti ini lalu berkembang
menjadi istilah bagi semua sistem kekeluargaan maupun sosial. Konsekuensi
pandangan ini sangat jelas, bahwa peran-peran perempuan dalam dunia publik dan
wilayah domestik menjadi tersubordinasi oleh laki-laki. Yang harus diperhatikan,
laki-laki yang menjadi “pelindung” (protector, maintainers, menurut terjemahan
Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur‟an) atau “pemimpin” (menurut
terjemahan Departemen Agama RI.) ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan.
Sesuai dengan sabab nuzul ayat ini, keutamaan laki-laki dihubungkan dengan
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga Oleh karena itu, hendaknya ayat
ini dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial pada saat itu,
dan bukan suatu doktrin ajaran. 12
3. Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam
Islam sangat menghargai posisi perempuan, hal tersebut tercermin dalam
Alquran. Hal ini terbukti dari sekian banyak nama surah dalam Alquran, terdapat
Surah an-Nisa‟ (perempuan). Ada pula surah yang menyebut nama perempuan
yaitu Surah Maryam. Selanjutnya ada Surah yang membahas sebagian masalah
perempuan, contohnya surah al Thalaq. Salah satu masalah yang dibahas dalam
Alquran dan hadis adalah masalah yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi.
Menurut Husein Muhammad, hak reproduksi ini dibagi menjadi empat, yaitu hak
adalah hak menikmati hubungan seksual, hak menolak hubungan seksual, hak
menolak kehamilan, serta hak menggugurkan kandungan (aborsi).13
Selain empat hak reproduksi tersebut, ada pendapat lain yang menambahi hak
reproduksi ini. Pendapat lain yang di maksud adalah pendapat Masdar F. Mas‟udi.
Menurut Masdar F. Mas‟udi, bagian dari hak reproduksi adalah hak memilih

12
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Soial, ( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 128. Lihat juga
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif AlQur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 150.
13
Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2019).h.270.
pasangan, hak merawat anak, hak cuti reproduksi, dan hak menceraikan
pasangan.14
Pertama, hak menikmati hubungan seksual. Konsekuensi dari sebuah
pernikahan adalah dilakukannya hubungan seksual antara suami dan istri.
Kenikmatan hubungan seksual ini haruslah dirasakan oleh kedua belah pihak.
Untuk mewujudkan hak tersebut, hubungan seksual tersebut harus dilakukan tanpa
paksaan oleh salah satu pihak.1514 Hak menikmati hubungan seksual ini telah
diatur dalam surah al-Baqarah ayat 187:
“…mereka adalah selimut bagi kamu, dan kamu adalah selimut bagi mereka…”
Ayat di atas menjelaskan bahwa posisi antara suami dan istri adalah setara.
Pada hakikatnya hubungan suami istri adalah hubungan kerja sama, di mana
hubungan suami istri tersebut haruslah saling menyempurnakan, saling menyadari
dan tidak boleh merasa kedudukannya lebih tinggi di antara keduanya. Dengan
demikian harus mendapatkan hak dalam menikmati hubungan seksual.
Kedua, hak menolak hubungan seksual. Hak tersebut diberikan pada suami
istri guna mencegah terjadinya kekerasan seksual. Salah satu bentuk kekerasan
seksual adalah pemaksaan seksual atau degradasi seksual misalnya mengejar
aktivitas seksual ketika salah satu pasangan tidak sepenuhnya sadar atau takut
untuk mengatakan tidak.16
Ketiga, dalam Alquran dipaparkan bahwa perempuan yang sedang hamil
berada pada kondisi yang berat dan melemahkan. Kondisi ini semakin berat ketika
perempuan memasuki tahap melahirkan, bahkan berisiko pada kematian.
Mengingat hal tersebut, akan menjadi masuk akal dan harus menjadi perhatian
bersama jika perempuan mempunyai hak atau pilihan menolak untuk hamil.
Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa anak bukan hanya hak suami atau hak
istri saja, namun anak merupakan hak bersama antara suami dan istri. Dengan
demikian jika istri tidak menghendaki kehamilan, maka suami harus
mempertimbangkannya.
Mengenai hal tersebut, ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Pertama, pendapat Al-Ghozali dari kalangan madzab syafi‟i berpendapat bahwa

14
Masdar F. Mas‟udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih Pemberdayaan (Bandung:
Mizan, 1997).h.144.
15
Waliko Waliko, Islam, Hak dan Kesehatan Reproduksi, Jurnal Dakwah dan Komunikasi (Vol.7 No. 2).h.64.
16
Bhennita Sukmawati, Hubungan tingkat kepuasan pernikahan istri dan coping strategy dengan kekerasan
dalam rumah tangga, Journal Science and Practice (Vol.2 No.3 2014).h. 208.
yang berhak memutuskan dalam memiliki anak adalah suami. Dengan demikian,
jika suami berkehendak memiliki anak, maka istri tidak memiliki hak untuk
menolaknya. Kedua, pendapat mayoritas ulama hanafiyah mengatakan bahwa
yang berhak menentukan memiliki anak atau tidak adalah suami dan istri. Ketiga,
pendapat di kalangan ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Syafi‟iyah
berpendapat bahwa yang menentukan memiliki anak atau tidak bukan hanya hak
suami dan istri, tetapi juga umat/masyarakat, dengan tetap menekankan keputusan
tersebut pada suami dan istri.
Keempat, pendapat yang dianut oleh para ahli hadis, di mana yang berhak
menentukan memiliki anak atau tidak terletak pada kepentingan umat/masyarakat
atau bisa disebut dengan kepentingan negara.17
Hak reproduksi selanjutnya, hak melakukan aborsi. Aborsi dapat didefinisikan
sebagai tindakan mengakhiri kehamilan. Beberapa ulama membolehkan tindakan
ini pada kondisi sebelum bayi ditiupkan ruhnya. Namun, ada juga sebagian ulama
yang mengharamkannya karena dianggap membunuh bayi, kecuali dalam kondisi
darurat dan hajat. Pandangan ulama akan kebolehan tindakan aborsi ini
menunjukkan bahwa ada pemberian hak-hak reproduksi. Kelima, hak memilih
pasangan. Keberadaan perempuan diakui oleh Islam, hal ini terlihat dari
pemberian kebebasan bagi perempuan untuk memilih pasangannya yang cocok
baginya. Selain itu, Islam juga melarang wali menikahkan secara paksa anak gadis
dan saudara perempuannya dengan orang yang tidak disukasinya. Menurut Al-
Syarawi, ayah atau wali dapat menentukan jodoh bagi anak gadis atau saudara
perempuannya, namun dengan syarat harus meminta izin terlebih dahulu pada
perempuan tersebut, karena perempuan itulah yang akan menjalankan perkawinan.
Hak memilih pasangan ini tidak serta merta tanpa sebuah tujuan. Tujuan utama
dari hak ini adalah ketentraman dan kedamaian bagi para pihak dalam
melangsungkan kehidupan rumah tangganya.18
Selanjutnya, cuti reproduksi. Dalam Islam cuti reproduksi merupakan salah
satu hak reproduksi bagi perempuan. Pemberian hak ini dengan maksud untuk
melindungi kesehatan perempuan baik fisik maupun mental. Hal ini karena ketika
fungsi reproduksi perempuan sedang berjalan, pasti akan mempengaruhi fisik-

17
Masdar F. Mas‟udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih Pemberdayaan (Bandung:
Mizan, 1997).h.123–25.
18
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi) (Jakarta: TERAJU, 2004).h.98–
101.
biologis sekaligus pada mental-psikologis. Terakhir, hak menceraikan pasangan.
Anggapan yang memiliki hak menceraikan pasangan dalam Islam hanya hak
suami pada dasarnya tidak sepenuhnya benar. Islam telah memberikan hak pada
perempuan untuk mengambil keputusan pada dirinya sendiri, termasuk di
dalamnya menceraikan suami. Hak tersebut dalam Islam disebut dengan istilah
khulu‟. Secara bahasa khulu‟ berarti melepas. Maksud dari melepas di sini adalah
apabila istri merasa tidak lagi cocok dengan suaminya, istri dapat meminta
pengadilan untuk menceraikannya dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh
hukum.
4. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Islam
Menstruasi (Haid)
Menstruasi secara biologis merupakan siklus reproduksi yang menandai sehat
dan berfungsinya organ-organ reproduksi perempuan. Dari sisi biologis,
perempuan yang sudah mengalami haid merupakan indikasi bahwa perempuan
tersebut telah mampu bereproduksi, yakni mengalami proses kehamilan dan
melahirkan. Al-Qur‟an menyinggung masalah haid, yang merupakan bagian awal
dari proses bimbingan dan perhatian terhadapan kesehatan reproduksi perempuan.
Menstruasi menandakan kematangan seksual seorang perempuan dalam arti ia
mempunyai ovum yang siap dibuahi, bisa hamil, dan melahirkan anak. Oleh para
ulama fiqih siklus ini disebut dengan istilah haid. Al-Qur‟an menjelaskan tentang
apa itu darah haid, dan bagaimana tata pergaulan dengan perempuan yang sedang
haid, dalam QS. AlBaqarah/2:222.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
apabila mereka telah Suci.
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa haid itu artinya kotoran. Kotoran berarti
sisa, bekas. Al-adza dalam konteks haid adalah sel telur yang tidak dibuahi,
kemudian mati, dan tidak berguna lagi. Pada waktunya akan keluar bersama
darah, yang dikenal dengan haid. Darah haid adalah darah yang keluar dari farji
perempuan dalam keadaan normal (sehat), bukan disebabkan melahirkan anak
atau pecahnya selaput darah. Dan menurut ijma‟ para ulama‟ bahwa darah haid itu
adalah najis.26 Syaikh Mushthafa AlAdawi dalam bukunya Jami‟ Al-Ahkam An-
Nisa‟ sebagaimana dikutip syaikh Imad Zaki Al-Barudi menjelaskan bahwa para
ulama‟ sepakat tentang keharaman berhubungan intim dengan wanita yang sedang
haidh, di vaginanya. Ijma‟ ini diriwayatkan oleh sejumlah besar ulama, seperti
Imam Ath-Thabari dan Al-Hazm.19
Haid dan wanita adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Setiap wanita
dipastikan akan mengalaminya karena darah haid merupakan sifat alamiyah setiap
wanita. Ketentuan ini sebagaimana digambarkan oleh Nabi Muhammad saw,
bahwa haid adalah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. untuk kaum
perempuan. Haid adalah pajak wajib yang diberikan Allah atas anak-anak wanita
Banî Adam (Lammadhah, 1998), sebagaimana yang disabdakan.
Rasulullah: “Ali bin Abdullah menuturkan hadîts kepada kami, dia berkata:
Sufyân berkata: aku mendengar Abdurrahman bin Al-Qasim, dia berkata: aku
mendengar AlQâsim bin Muhammad, dia berkata: aku mendengar Âisyah berkata:
kami keluar untuk berhaji, lalu ketika kami berada di daerah Sarif, aku haid.
Kemudian aku pergi ke Rasulullah dan aku menangis, lalu Rasulullah bersabda:
apakah kamu haid? Dan aku menjawab: iya. Maka Rasulullah bersabda: Ini adalah
sesuatu yang telah Allah tetapkan atas anak-anak wanita Adam”.
Seks dan Seksualitas
Seks adalah perbedaan badani atau biologis perempuan dan laki-laki, yang
sering disebut jenis kelamin. Sedangkan seksualitas menyangkut berbagai dimensi
yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, psikologis dan kultural. Secara
normatif, Islam mengapresiasi seksualitas sebagai fitrah manusia, laki-laki
maupun perempuan yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya dan dengan cara
yang yang sehat. Konsep seksualitas dalam Islam meliputi dua hal, yaitu
perzinaan dan perkawinan.
Kehamilan
Kehamilan merupakan hal yang paling ditunggu sekaligus mendatangkan rasa
gelisah bagi pasangan suami dan istri. Setiap wanita akan mengharapkan
kehamilan yang berjalan dengan lancar, sehat secara fisik, serta mengalami proses
persalinan yang berjalan dengan lancar pula. Harapan ini membuat ibu hamil
menikmati proses kehamilannya. Namun, rasa gelisah dan cemas hampir selalu
menyertai kehamilan. Bagian ini merupakan suatu proses penyesuaian yang wajar
terhadap perubahan fisik dan psikologis yang terjadi selama kehamilan. Perubahan

19
Saikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Terjemahan Samson Rahma, (Jakarta: Pustaka AlKautsar,
2010).h.51.
ini terjadi akibat perubahan hormon yang akan mempermudah janin untuk tumbuh
dan berkembang sampai saat dilahirkan.34 Kecemasan yang dialami oleh ibu
hamil dapat membuat seorang ibu hamil mengalami masalah, baik pada saat hamil
maupun melahirkan, baik bagi kesehatan ibu maupun perkembangan bayi. Ketika
seorang ibu hamil mengalami ketakutan, kecemasan, stres, dan emosi lain yang
mendalam, maka terjadi perubahan psikologis, antara lain meningkatkan
pernafasan, dan sekresi oleh kelenjar.20
Ayat-ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang kehamilan sangat banyak,
umumnya terkait dengan tanda-tanda adanya Allah, kebesaran dan kekuasaan
Nya. Diantaranya, Al-Qur‟an Surat Al-Mukminun/23 ayat 12-14:
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. 13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (QS Al-
Mukminun/23: 12-14).
Ayat tersebut mengisyaratkan adanya proses penciptaan manusia dalam alam
arham (masa kehamilan), yang diawali dengan “sulalah min tin”, kemudian
“menjadi nutfah, „alaqah, mudghah, „izaman, lahman dan khalqan”. Penciptaan
manusia, berasal dari sulalah min tin, artinya saripati tanah, yaitu inti zat-zat yang
ada dalam tubuh wanita dalam bentuk ovum dan dalam diri laki-laki dalam bentuk
sperma. Sel telur yang telah dibuahi oleh sperma, atau zygote, disebut nutfah.
Setelah terjadi pembuahan, zygote berjalan secara perlahan melalui tuba fallopi,
menuju rahim. Setelah menempel di dinding rahim, berubah menjadi „alaqah.
Istilah „alaqah, biasa diterjemahkan dengan segumpal darah. Penggunaan istilah
„alaqah oleh al-Qur‟an sangat tepat, karena posisi zygote menggantung di dinding
rahim. „Alaqah juga berarti sesuatu yang menggantung. Proses berikutnya,
berubah menjadi mudghah, yang bentuknya seperti sekerat daging, kemudian
tumbuh tulang („izamaman) tulang dibungkas daging (lahman), selanjutnya
menjadi khlaqan akhar (makhluk janin, yang sudah berbeda dengan kondisi awal
terjadinya manusia). Kemudian Allah meniupkan ruh dalam janin.

20
Desmita, Psikologi perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010).h. 76.
“...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam
tiga kegelapan. QS Az-Zumar (39): 6.
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kehidupan janin dalam kandungan ibu
sangat nyaman, karena ia berada dalam tiga kegelapan yaitu dilapisi tiga lapisan
yang menyebabkan rahim ibu sangat nyaman untuk bayi. Al-Maraghi menafsirkan
bahwa tiga kegelapan adalah perut, rahim dan selaput bayi. Sementara Dr. Abdul
‟Aziz Isma‟il menafsirkannya dengan tiga selaput yaitu selaput minbari, kharban
dan lafaif.
Menyusui
Islam memuliakan perempuan antara lain dengan kekhususannya memiliki
fungsi reproduksi, yang digambarkan sebagai perjuangan yang sangat berat, dan
oleh Al-Qur‟an dijadikan alasan megapa anak diberi wasiat supaya berbuat ihsan
pada kedua orang tuanya. pada saat ibu menyusui anaknya, sebenarnya ia sedang
mencurahkan kasih sayangnya kepada anaknya Apalagi ketika dalam posisi
menyusui, ibu sambil mendengungkan, melantunkan shalawat.41 Sehingga detak
jantung ibu yang didengar bayi saat menyusu akan mempengaruhi fungsi kognitif
anak.42 Menurut WHO, setiap ibu dianjurkan untuk menyusui anaknya secara
eksklusif selama 6 bulan, lalu boleh dilanjutkan hingga satu tahun, dua tahun, atau
kapanpun si ibu dan anak menginginkannya21
Menyusui juga merupakan salah satu fungsi reproduksi. Ayat yang
menjelaskan tentang menyusui antara lain Surat Al-Baqarah/2:233, Luqman/31:14
dan AlAhqaf/36:15:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”
Dengan menggunakan redaksi ayat di atas memerintahkan dengan sangat
kokoh kepada para ibu agar menyusukan anak-anaknya. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa ibu wajib menyusui bayinya dengan dasar bunyi wa al-wâlidât
yurdi„n awlâdahunn. Potongan ayat tersebut merupakan perintah. Menurut
mazhab Mâlikî, aktivitas menyusui merupakan kewajiban ibu dalam kehidupan
rumah tangga. Itu merupakan kewajibannya jika si ibu berstastus sebagai seorang
istri atau jika si bayi menolak puting selain puting susu ibunya. Tetapi
berdasarkan bunyi kalimat selanjutnya li man arâda an yutimm al- radâ„ah (bagi

21
Rahmawati, Rina Dian, and Diki Cahyo Ramadhan. Manfaat Air Susu Ibu (ASI) Pada Anak Dalam
Persepektif Islam. Jurnal: eduscope (Vol.5. No.01. 2019).h24-34.
yang ingin menyempurnakan penyusuan), maka ayat ini bisa dipahami sebagai
suatu anjuran bagi ibu untuk menyusui selama dua tahun penuh. Namun demikian,
ia adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan-akan ia adalah perintah wajib.
C. Kesimpulan
Secara umum Al-Qur‟an memperlihatkan pengakuan terhadap adanya
perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut
bukanlah pembedaan (discrimination) yang akan menguntungkan satu pihak tetapi
merugikan pihak lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung harapan
Al-Qur‟an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang
(mawaddah warahmah) di lingkungan keluarga (QS. Al-Rum [30]:21), sebagai cikal
bakal terwujudnya masyarakat ideal dalam suatu negeri yang damai, aman dan
tentram dan mendapatkan ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun warabbun ghafur
(QS. Saba [34]:15).
Penafsiran agama berada pada posisi yang sangat strategis untuk mendukung
ketidakadilan gender ataupun sebaliknya. Untuk itu perlu ditinjau kembali penafsiran
agama dan dampaknya terhadap ajaran dan perilaku agama. Studi ini berkaitan
dengan mengidentifikasi masalah dasar dan strategi untuk menyelesaikannya.
Penafsiran hak-hak reproduksi ini meliputi hak jaminan keselamatan dan
kesehatan yang berkenaan dengan pilihan-pilihan untuk menjalankan dan
menggunakan atau menolak penggunaan reproduksinya mulai dari hamil, melahirkan
dan menyusui. Dalam kaitan ini termasuk hak untuk menentukan kehamilan bagi
perempuan sepanjang akan membahayakan kesehatan dan keselamatannya.
Selama ini, perempuan dan reproduksi direduksi menjadi sekedar alat-alat
kontrasepsi. Dari penelitian ini, ditekankan hak-hak perempuan untuk diangkat ke
permukaan untuk menghadapi masalah “dominasi”. Pertama, adalah hak mengambil
keputusan. Hak ini menjadi sangat penting karena hak mengambil keputusan yang
dimiliki oleh perempuan itu sangat mungkin untuk tidak diindahkan oleh beberapa
elemen struktural seperti masyarakat, negara dan agama yang bersifat bias laki-laki.
Kedua, adalah hak atas informasi. Ketiga, hak tidak diperlakukan sewenang-wenang.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Barudi Saikh Imad Zaki, Tafsir Wanita, Terjemahan Samson Rahma, (Jakarta: Pustaka
AlKautsar, 2010).

Desmita, Psikologi perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010)

EngineeR Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf (Yogyakarta: LSSPA, 2000).

Fakih Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Soial, ( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Lihat juga Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif AlQur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001)

Indonesia, Y. L. K, Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi, (YLKI-Ford Foundation,


Seri Perempuan Mengenali Dirinya, 2002).

Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi) (Jakarta:


TERAJU, 2004).

Katsir Abu al-Fida‟ Ismail Ibn, tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, (Bairut : dar al-Fikr, 1986)

Mas‟udMasdar F. i, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih


Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997)

Mintarsih Mimin, Pitrotussaadah, Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Journal


Studi Gender dan Anak, (Vol.09, No.01, 2022)

Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2019)

Rahmawati Dkk. Manfaat Air Susu Ibu (ASI) Pada Anak Dalam Persepektif Islam. Jurnal:
eduscope (Vol.5. No.01. 2019).

Rohan, Buku Kesehatan Reproduksi Pengenalan Penyakit Menular Reproduksi dan


Pencegahan. (Malang, ntimedi, 201)

Shihab M.Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jurnal
Lentera Hati, (Vol.9,2002)

Suhendra Ahmad, Rekonstruksi Peran dan Hak Perempuan dalam Organisasi


Masyarakat Islam, Jurnal Musawa, (Vol.11 NO.1,2012)

Sukmawati Bhennita, Hubungan tingkat kepuasan pernikahan istri dan coping strategy
dengan kekerasan dalam rumah tangga, Journal Science and Practice (Vol.2 No.3 2014)

Umar Nasarudin, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:


Paramadina,2001)
Waliko, Islam Hak dan Kesehatan reproduksi, Jurnal Dakwah dan Komunikasi, (Vol.7
No.2, 2013)

Anda mungkin juga menyukai