WAKTU
DOSEN
SUB TOPIK
Diskriminasi Gender
REFERENSI
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender 2
DISKRIMINASI GENDER
Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak
menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender
(gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk:
a) Marginalisasi
Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap
perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi
atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan.
Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.
Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak
kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya
mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.
Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan,
berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan
perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan.
Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah,
tidaklah dianggap “bekerja” karena pekerjaan yang dilakukannya,
seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun
seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik)
maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan
tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga
dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang
lebih kecil daripada kaum laki-laki.
b. Subordinasi
Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan
subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional
atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada
posisi yang tidak penting.
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender 3
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender 4
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender 5
1. Poligami
Dalam banyak adat, perkawinan seorang laki –laki dengan beberapa orang
perempuan dapat diterima, sementara dari pihak perempuan yaitu poliandri sama
sekali tidak dibenarkan. Sebagai contoh, Agama islam membolehkan laki – laki
beristri lebih dari satu dengan persyaratan – persyaratan tertentu yang sama sekali
tidak mengabaikan hak -–hak perempuan.
Kenyataannya di Indonesia, yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam,
ditambah lagi dengan pemahaman agama yang kurang, sering mnafsirkan izin
tersebut sebagai “ izin resmi yang longgar” sehingga mengabaikan persyaratan
yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin tersebut. Akibatnya, hak perempuan
yang sudah diperistrinya belum terpenuhi, laki –laki tersebut menikah lagi.
Peraturan Pemerintah yang tertuang lewat UU Perkawinan No. 1 tahun
1974 pasal 3 menyatakan bahwa salah satu izin untuk beristri lagi bila istri
pertama ternyata tidak dapat memberikan keturunan dalam perkawinan tersebut.
Dari UU tersebut tampak bahwa pemerintah secara resmi mengakui tujuan
perkawinan untuk reproduksi, padahal suatu perkawinan tidak melulu ditujukan
untuk pemenuhan reproduksi yang notabene diemban oleh perempuan. Inilah
yang dianut sebagian besar masyarakat kita bahwa laki –laki boleh beristri lagi
tanpa harus meminta persetujuan dari sang istri, dan tanpa adanya tanggungan
terhadap keluarga yang ditinggalkannya. Akibatnya angka perceraian meningkat
yang sangat berpengaruh pada kesehatan reproduksi perempuan.
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender 6
3. Kontrasepsi
Penggunaan kontrasepsi juga dapat digolongkan sebagai kekeresan seksual
yang bias gender. Dari sekian banyak metode kontrasepsi, sebagian besar
ditujukan untuk perempuan. Sementara metode kontrasepsi laki – laki seperti
kondom dan vasektomi jarang digunakan atau malah dianggap penghinaan
terhadap maskulinitas mereka.
Pada umumnya laki – laki lebih senang menyuruh istrinya memakai
kontrasepsi karena kehamilan akibat hubungan seksual hanya dialami perempuan
dan menjadi urusan perempuan semata. Perempuan hampir tidak punya hak untuk
menentukan perilaku seksual dan reproduksi yang diinginkannya. Asalah
keputusan suami untuk menentukan metode kontrasepsi yang akan digunakan
istrinya dan pada umumnya laki – laki akan memilih metode yang tidak
mengganggu hubungan seksualnya dengan istri tanpa memperdulikan hak
perempuan untuk memilih sendiri metode kontrasepsi demi keamanan fisiologis
tubuhnya.
4. Perkosaan
Pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan tanpa izin dan sering
disertai kekerasan bisa diartikan sebagai perkosaan. Tindakan ini dilarang di
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender 7
seluruh dunia namun definisi “ tanpa izin “ menjadi lemah apabila perempuan
berada di bawah ancaman yang jauh lebih menakutkannya saat ia akan diperkosa.
Sayangnya pengadilan sering menitikberatkan hukuman pada perbuatan seperti
halnya mengadili kasus pencurian, perampokan tanpa mengatasi akibat psikologis
yang timbul akibat perkosaan.
Perempuan yang diperkosa bisa saja mengalami depresi mental dan
emosional, takut laki – laki bahkan trauma terhadap seks. Jelas ini akan
merugikan kehidupan seksualnya. Belum lagi masyarakat secara sepihak
menganggap kasus perkosaan “wajar” karena perempuan yang terlalu provokatif
sehingga menggoda si pemerkosa serta UU yang dirasa masih menguntungkan si
pelaku daripada korban pemerkosaan itu sendiri. Contoh pada kasus kerusuhan
Mei 1998 dimana perempuan yang sebagian besar etnis Tionghoa diperkosa
secara terang- terangan dengan alasan reformasi tapi sampai sekarang belum ada
kepastian hukum intuk menindak si pelaku.
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender 8
EVALUASI
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender 9
Kesehatan Reproduksi