Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang dibawa Rasulullah saw. dengan sebuah agama

yang sempurna, murni, harmoni, dan begitu luhur akan keestetikaan budaya dan

syari’at. Digambarkan dengan kepribadian Rasulullah saw. yang memiliki akhlak

yang mulia, bersifat sederhana dan suka melakukan kebaikan dengan sesama

makhluk. Ciri Rasulullah ini telah memberi keamanan dan rahmat bagi seluruh

alam. Sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya ayat 107 yang

berbunyi:

‫ك إملل نرلحنمةة لمللنعاَلنمميِنن‬


‫نونماَ أنلرنسللنناَ ن‬
Artinya: “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk

(menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (Al-Anbiya : 107)

Ayat tersebut menganalogikan bahwa nabi Muhammad merupakan

seseorang yang diharapkan dimuka bumi dan merupakan rahmat bagi seluruh

alam. Kemudian dalil tersebut diperkuat kembali dalam surat At-Taubah ayat 33

yang berbunyi:

‫ق لميِه ل‬
ُ‫ظمهنرهه نعنلىَ اللديِّمن هكللمه نولنلو‬ ‫ههنوُ اللمذيِ أنلرنسنل نرهسوُلنهه مباَللههندىَٰ نومديِّمن اللنح ل‬

‫نكمرهن اللهملشمرهكوُنن‬

1
Artinya: “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa

petunujuk Al-Qur’an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala

agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukainya”. (At-Taubah : 33)

Islam sangat memuliakan wanita, memberi hak, dan memelihara wanita

sebagai manusia, anak perempuan, sebagai istri, ibu, maupun sebagai anggota

masyarakat. Hal tersebut tidak lain ditujukan agar martabat wanita tetap utuh.

Belakangan ini studi tentang wanita semakin ramai dibicarakan. Banyak para

intelek, ilmuan, dan para ulama yang tertarik untuk mengkaji tentang wanita,

bahkan media baik cetak maupun elektronik yang mempublikasikan isu ini

.Diskusi-diskusipun sering dilakukan baik yang bertaraf nasional maupun

internasional untuk mendiskusikan permasalahan yang berhubungan dengan

wanita.

Seperti yang kita ketahui pada masa jahiliyah derajat wanita sangatlah rendah.

Pada saat itu lahirnya anak perempuan merupakan aib bagi mereka dan mereka

tidak segan-segan untuk menguburnya hidup-hidup. Sebelum Islam datang, kaum

wanita tidak mempunyai posisi dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaanya

hanya sebagai simbol penderitaan kaum laki-laki. Kita lihat saja pada Zaman

Yunani Kuno, wanita dianggap sebagai sumber bencana dan malapetaka sehingga

mereka dianggap layak menjadi hanya “makhluk kedua” yang statusnya berada di

bawah laki-laki. Dalam kebudayaan Romawi wanita diperhatikan, tetapi

sebenarnya perhatian yang diberikan kepada wanita hanyalah karena dia

dibutuhkan untuk bersenang-senang dan untuk memancing kewibawaan

dikalangan masyarakat.

2
Setelah Islam datang pandangan kepada wanita sedikit demi sedikit mulai

berubah menjadi pandangan yang positif. Pandangan melecehkan menjadi

pandangan hormat.Islam menganggap bahwa wanita adalah pasangan laki-laki

dalam mengarungi hidup ini. Kajian-kajian tentang wanita mulai menyeret

perhatian dari para intelektual. Terutama para intelektual muslim yang mulai

serius mengkaji tentang wanita dalam Islam.

Islam menawarkan misi sebagai agama yang yang rahmatan lil’alamin

(memberikan kerahmatan bagi seluruh alam). Para mufassir (ulama tafsir) tidak

ada yang memiliki pemahaman yang berbeda tentang hal ini. Tetapi problem

muncul seketika para mufassir memahami ayat-ayat lain dalam Al-Quran dan

hadist-hadistNabi saw. Begitu juga dengan hadist-hadist yang berhubungan

dengan kaum wanita. Mayoritas memahami ayat-ayat ataupun hafist dengan

perspektif “kelelakiannya” yang membuat wanita berada pada kelompok kedua.

Di samping itu, Islam begitu memuliakan wanita sebagai manusia yang

diberi taklif (tugas) dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang

kelak akan mendapatkan pahala atau siksaan sebagai balasan. Tugas yang mulia

diberikan Allah kepada manusia bukan khusus laki-laki saja, melainkan juga

untuk wanita.

Allah swt. memberikan keistimewaan khusus bagi wanita. Keistimewaan

yang dimiliki diantaranya wanita memiliki suara yang identik lebih lembut

dibandingkan kaum laki-laki. Karena kelembutannya, sebagian umat muslim

mendoktrin bahwa suara wanita dirisaukan sebagai aurat. Hal tersebut lantaran

suara yang ditimbulkan terkadang mendesah, mendesis, atau bahkan meraung,

3
merayu hingga mengakibatkan pikiran kaum laki-laki sentak pecah terpicu

syahwat.

Saat ini banyak penyanyi-penyanyi yang didominasi oleh para wanita.

Bukan hal baru jika seorang wanita bernyanyi di hadapan khalayak ramai

meskipun lagu yang dibawakan bersifat Islami maupun bukan Islami. Berikutnya

bukan hanya kaum laki-laki yang bisa menjadi qari, kaum wanita pun bisa

menjadi qari’ah. Bahkan kondisi tersebut lantas dituangkan dalam wadah MTQ

antar sekolah, daerah, hingga tingkat nasional yang tentunya dapat disimak dan

disaksikan kaum laki-laki.

Disisi yang sama, adapula kontes-kontes nyanyian maupun qosidahan yang

juga dapat dilihat kaum laki-laki. Terlebih lagi di era globalisasi ini begitu banyak

grup-grup vokal wanita yang memperlihatkan keindahan suara dan berlenggak-

lenggok menari di hadapan khalayak ramai, atau hal tersebut lebih dikenal dengan

sebutan girl band yang lagi-lagi tidak lepas dari pandangan dan pendengaran

kaum laki-laki. Hal tersebut begitu lumrah dan tidak asing lagi untuk disibak.

Adapun saat mengucapkan kalimat talbiyah (dalam ibadah haji) tidak hanya

kaum laki-laki saja yang dapat melontarkan kalimat illahi dengan suara lantang,

kaum wanita pun begitu tak nampak asing ketika melakukan hal yang sama

seperti laki-laki, dimana hal tersebut dilakukan demi menunjukkan kebesaran

makna kalimat talbiyah. Dalam urusan berpidato atau orasi-orasi telah banyak

ditemukan kaum wanita yang turut serta dalam hal tersebut. Eksistensi wanita

dalam hal suara memang cukup dikenal dan telah menjadi hal yang maklum

adanya.

4
Namun sebagian umat muslim meyakini bahwa alasan suara wanita aurat

berdasarkan sebuah dalil yang mengatakan bahwa wanita adalah aurat, maka

disimpulkan suara wanita pun masuk ke dalam aurat. Sebagaimana yang tertera

dalam hadits berikut;

‫ٌ فنإ منذا نخنرنج م‬،‫اللنملرأنةه نعلوُنرةة‬


‫ت الستنلشنرفننهاَ اللشليِ ن‬
‫طاَهن‬
Artinya: “ Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan menghias-hiasinya”.

(HR. Tirmidzi Thabarani) : shahih

Berdasarkan persepsi-persepsi diatas, penulis tertarik untuk menulis karya

ilmiah berjudul “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita” untuk mengetahui

bagaimana sebenarnya Islam memandang suara seorang wanita tersebut.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana pandangan Islam mengenai suara wanita ?


2. Bagaimana kategori suara wanita yang dilarang dan dibolehkan

menurut syariat Islam ?


3. Bagaimana pandangan jumhur ulama mengenai perihal wanita

dalam Islam ?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui pandangan Islam mengenai suara wanita.

5
2. Mengetahui kategori suara wanita yang dilarang dan dibolehkan

menurut syariat Islam ?


3. Mengetahui pandangan jumhur ulama mengenai perihal wanita

dalam Islam ?

D. Metode Pembahasan
1. Data dan Sumber Data

Penelitian ini adalah kepustakaan (library research) yang mengambil

datanya dari literatur yang ada kaitannya dengan tema penelitian, baik yang

berupa sumber primer maupun sumber skunder.

2. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Pengelompokan

pembahasan dan pemberian analisis yang diberikan kepada masing-masing bagian

untuk memperjelas maksud dari bagian-bagian itu secara obyektif. Untuk

mengetahui perbedaan hasil penafsiran dari para ulama termasuk ulama fiqih dan

para ulama sekarang, peneliti berusaha mengumpulkan karya-karya yang

membahas tentang aurat dan wanita dalam perspektif Hadist maupun Al-Quran.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan karya ilmiah berjudul “Pandangan Islam Terhadap

Suara Wanita” ini penulis membagi menjadi beberapa bab, dan setiap bab terdiri

dari beberapa sub-bab. Adapun sistematika penulisan secara terperinci sebagai

berikut:

6
Bab pertama: Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab kedua: Tinjauan Pustaka, yang terdiri dari pengertian suara, kategori suara

wanita yang dilarang dalam Islam, kategori suara yang dibolehkan dalam Islam,

pengertian aurat, kategori aurat-aurat wanita.

Bab ketiga: Pembahasan, mengenai hubungan suara wanita dengan aurat menurut

para ulama, wanita bernyanyi, dihadapan khalayak ramai, wanita menjadi qori’ah,

wanita dalam hal adzan dan iqomah, wanita meratap dan meraung, mengeraskan

suara saat talbiyah, dan tiga belas nasihat bersuara bagi wanita muslimah.

Bab keempat : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Suara

7
Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia suara adalah bunyi yang

dikeluarkan dari mulut manusia (seperti pada waktu bercakap-cakap, menyanyi,

tertawa, dan menangis).

Dalam ilmu fisika suara adalah setiap fenomena yang melibatkan propagasi

dari gelombang elastis dalam bentuk (baik terdengar atau tidak). Biasanya melalui

cairan atau media elastis lainnya yang menghasilkan gerak getaran dari tubuh.

Suara adalah fenomena getaran yang ditransmisikan dalam gelombang.

Untuk menghasilkan suara yang diperlukan untuk bergetar melalui sumber

manapun, getaran dapat ditularkan melalui cara-cara yang berbeda, yang paling

umum adalah melalui udara dan air.

Suara merupakan penggabungan energi mekanik yang merambat melalui

materi dalam bentuk gelombang (melalui cairan dalam bentuk gelombang

kompresi, dan melalui padat dalam bentuk gelombang kompresi dan geser). Suara

dianggap secara lebih rinci melalui gelombang yang generik, yaitu frekuensi,

panjang, gelombang, periode, amplitudo, kecepatan dan arah.

B. Suara Wanita Dalam Islam

8
Allah swt. memberikan keistimewaan pada wanita, keistimewaan tersebut

yakni wanita memiliki suara yang identik lebih lembut dibandingkan kaum laki-

laki. Sebenarnya tidak ada satupun agama langit atau bumi, kecuali Islam, yang

memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia,

sebagai anak perempuan, sebagai istri, sebagai ibu, serta melindunginya sebagai

anggota masyarakat.

Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan

tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan

pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula diberikan Allah

kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yaitu

Adam dan istrinya (lihat kembali surat (Al-Baqarah : 35).

Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang merendahkan

kaum wanita dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari

apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal syariat Islam sendiri telah

menempatkan wanita pada proporsi yang sangat jelas, yaitu sebagai manusia,

sebagai perempuan, sebagai anak perempuan, sebagai istri atau sebagai ibu.

Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita tersebut sering

disampaikan dengan mengatasnamakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari

semua itu. Orang-orang yang bersikap demikiankerap menisbatkan pendapatnya

dengan hadist Nabi saw. yang berbunyi : “Bermusyawarahlah dengan kaum

wanita kemudian langgarlah (selisihlah).”

Hadist ini sebenarnya palsu (maudhu’). Tidak ada nilainya sama sekali

serta tidak ada bobotnya ditinjau dari segi ilmu (hadist).

9
Yang benar, Nabi saw. pernah bermusyawarah dengan istrinya, Ummu

Salamah, dalam satu urusan penting mengenai umat. Lalu Ummu Salamah

mengemukakan pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan rela serta

sadar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan dan

berkah.

Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering menisbatkan kepada

perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa “Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala

kejelekan itu berpangkal dari wanita.”

Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali, ia bukan dari logika Islam,

dan bukan dari nash.

Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya wanita

tidak boleh berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab,

suara dan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan

syahwat.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagian ulama ada

yang menyatakan bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat

jumhur (mayoritas) ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh

saja mendengar suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena

tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling

kuat dalam masalah ini.

Syaikh Wahbah Zuhaili Hafizhahullah berkata : “Suara wanita menurut

jumhur (mayoritas ulama) bukanlah aurat, karena para sahabat nabi

mendengarkan suara para isteri Nabi saw. untuk mempelajari hukum-hukum

agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita yang disuarakan dengan

10
melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan

sebab khawatir timbul fitnah.

Dikatakan : “Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya

berlezat-lezat dengannya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka

diharamkan mendengarkannya, jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para

sahabat radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika berbincang

dengan mereka (dan itu tidak mengapa).

Dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat sangatlah

banyak, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Dalil Al Qur’an

Berikut ini diantara ayat al Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun

tersirat bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.

1. Allah memperbolehkan laki-laki bertanya kepada istri-istri Nabi

saw. dari balik tabir. Firmannya :

‫نسأ نللتههموُههلن نمنتاَةعاَ نفاَلسأ نهلوُههلن مملن نونرامء محنجاَ ب‬


‫ب نوإمنذا‬
“….Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi),

maka mintalah dari belakang tabir….”(Al-Ahzab : 53)

Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu sudah entu memerlukan

jawaban dari Ummahatul Mukminin. Mereka biasa memberi fatwa kepada orang

yang meminta fatwa kepada mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang

yang ingin mengambil hadist mereka.

11
Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi saw. di hadapan kaum

laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak

melarangnya. Dan pernah adaseorang wanita yang menyangkal pendapat Umar

ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas sanggahan itu Umar tidak

mengingkarinya, bahkan ia mengakui kebenaran wanitaa tersebut dan mengakui

kesalahannya seraya berkata, “semua oang (bisa) lebih mengerti daripada

Umar.”

2. Allah swt. memerintahkan para istri Rasulullah saw. agar berkata-

kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan

istri Nabi itu akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga

para shahabat. FirmanNya :

‫ضلعنن مباَللقنلوُمل فنيِن ل‬


‫طنمممنع‬ ‫نيِّاَ نمنساَنء النلبملي لنلستهلن نكأ ننحبد ممنن النلنساَمء إممن اتلقنليِتهلن فننل تنلخ ن‬

َ‫ض نوقهللنن قنلوُةل نملعهروةفا‬


‫اللمذيِ مفي قنللبممه نمنر ة‬
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika

kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga

berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah

perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

Meskipun konteks ayat diatas membicarakan para umahatul mukminin,

tetapi sudah maklum dan ma’fum dipahami, hukum ayat ini tentunya berlaku

untuk semua kaum muslimah.

12
3. Allah menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi

saw.tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya :

‫ام نو ل ه‬
‫ام يِّنلسممنمهع‬ ‫ك فمممي نزلومجهنمماَ نوتنلشمتنمكي إمنلمىَ ل م‬
‫اه قنلوُنل اللمتي تهنجاَمدلهمم ن‬
‫قنلد نسممنع ل‬

‫صيِةر‬ ‫تننحاَهونرهكنماَ إملن ل‬


‫ان نسمميِةع بن م‬
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan

gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.

Dan Allah mendengar hiwar (dialog) antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah

Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( Al-Mujadilah : 1)

Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut kepada Nabi saw. mengunakan

kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah saw.akan mau

mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.

4. Dalam al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa a.s.

dengan dua wanita kakak beradik, yakni putri nabi Syu’aib, FirmanNya :

13
‫نولنلماَ نونرند نماَنء نملديِّننن نونجند نعلنليِمه أهلمةة ممممنن النلمماَ م‬
‫س يِّنلسممهقوُنن نونونجممند مممملن هدونممهممهم‬

َ‫صمدنر اللرنعماَهء نوأنهبوُننما‬ ‫المنرأنتنليِمن تنهذوندامن نقاَنل نماَ نخ ل‬


‫طبههكنماَ نقاَلننتاَ نل ننلسمقي نحلتىَ يِّه ل‬

‫نشليِةخ نكمبيِةر‬
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana

sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di

belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat

(ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?"

Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),

sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak

kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya."(Al Qashash : 23)

Dan disambung diayat selanjutnya :

‫ك أنلجممنر‬ ‫ت إملن أنمبي يِّنمملدهعوُ ن‬


‫ك لميِنلجمزيِّنمم ن‬ ‫فننجاَنءلتهه إملحنداههنماَ تنلممشي نعنلىَ الستملحنيِاَبء نقاَلن ل‬

‫ت ممنن اللقنلوُمم‬ ‫ص نقاَنل نل تننخ ل‬


‫ف نننجلوُ ن‬ ‫ص نعلنليِمه اللقن ن‬
‫ص ن‬ ‫ت لننناَ فنلنلماَ نجاَنءهه نوقن ل‬
‫نماَ نسقنليِ ن‬

‫ال ل‬
‫ظاَلممميِنن‬
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan

kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia

memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami".

Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya

cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah

selamat dari orang-orang yang zalim itu." (Al-Qashash: 25)

14
Demikianlah, masih banyak dalil dalam kitabullah yang menunjukkan

bahwa suara wanita bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut bersifat umum yang

mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti

mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu.

Al-Quran juga menceritakan kejadian antara Nabi Sulaiman a.s dan Ratu

Saba’, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.

Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi

peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana

pendapat yang terpilih.

Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik

laki-laki, dalam Al-Quran diistilahkan dengan al-khudu bil-qaul

(tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana dalam firman Allah:

(Al-Ahzab:32)

Allah melarang khudu (bicara yang bias membangkitkan orang-orang yang

hatinya “berpenyakit”. Namun, bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan

wanita dengan setiap laki-laki. Seperti yang tertera pada ujung ayat dari surat di

atas:

“Dan ucapkanlah perkataan yang baik”

Seperti para wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS.

Al-Baqarah: 275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282),

sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6), memberikan

persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn) (QS.Al-Baqarah:

283), menyampaikan ceramah (QS. An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta

15
fatwa (QS.An-Nahl: 43), dan sebagainya.Yang kesemuanya itu hampir mustahil

tidak menggunakan aktivitas suara/ berbicara.

b. Hadits Nabi dan Atsar Para Sahabat


1. Shahabiyah (shahabat wanita) mereka berbicara dengan

Rasulullah Saw.

Banyak hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga

bertanya kepada Rasulullah Saw.bahkan ketika Nabi saw.sedang berada di tengah-

tengah para sahabat laki-laki. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam

sebuah hadits berikut ini :

‫ٌ فنقنمماَلن ل‬،‫صللىَ اهمم نعلنليِمممه نونسممللنم‬


‫ إملن‬:‫ت‬ ‫ٌ نجاَنء ل‬،‫أنلن المنرأنةة مملن هجهنليِنننة‬
‫ت إمنلىَ النلبملي ن‬

‫ »نننعمملم هحلجممي‬:‫ٌ أنفنأ نهحجُج نعلننهاَ؟ قنمماَنل‬،‫ت‬ ‫أهلمي نننذنر ل‬


‫ت أنلن تنهحلج فنلنلم تنهحلج نحلتىَ نماَتن ل‬

ُ‫انمم فنمماَلله أننحمم ج‬


‫ق‬ ‫ضمموُا ل‬
‫ضيِنةة؟ الق ه‬
‫ت نقاَ م‬ ‫ت لنلوُ نكاَنن نعنلىَ أهلم م‬
‫ك ندليِّةن أنهكلن م‬ ‫ٌ أننرأنليِّ م‬،َ‫نعلننها‬

‫مباَلنوُنفاَمء‬

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada

Rasulullah saw. lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi

haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas

nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu

jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada

Allah lebih layak untuk ditunaikan.”(HR. Bukhari no : 1852)

16
2. Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya

hukum agama.

Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin

(para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa

dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun

mengatakan, “Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat

yang wajib ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras

yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya.

Al Ahnaf ibn Qais berkata : “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakar,

Umar,Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku

mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR. Al Hakim)

Musa bin Thalhah ra. berkata :

‫ت أننحةدا أنلف ن‬
‫صنح مملن نعاَئمنشةن‬ ‫نماَ نرأنليِّ ه‬

“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada

Aisyah.” (HR. Tirmidzi)

Kategori-kategori suara wanita antara lain:

1. Kategori Bentuk Suara Wanita Yang Dilarang Dalam Islam

17
Para ulama berpendapat bahwa suara wanita yang dilarang dalam Islam

adalah yang sifatnya mendayu-dayu, mendesah, atau mendesis, sehingga

menimbulkan keinginan jelek dari laki-laki yang mendengarnya.

Allah SWT. ta’ala berfirman;

‫ضلعنن مباَللقنلوُمل‬
‫نيِّاَ نمنساَنء النلبملي لنلستهلن نكأ ننحبد ممنن النلنساَمء ۚ إممن اتلقنليِتهلن فننل تنلخ ن‬

َ‫ض نوقهللنن قنلوُةل نملعهروةفا‬ ‫فنيِن ل‬


‫طنمنع اللمذيِ مفي قنللبممه نمنر ة‬
Artinya: “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang

lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan

suara) dalam berbicara sehingga bangkit hawa nafsu orang yang ada penyakit

dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (Al-Ahzab : 32)

2. Kategori Bentuk Suara Wanita Yang Dibolehkan Dalam Islam

Para ulama berpendapat bahwa bentuk suara wanita yang dibolehkan dalam

Islam adalah tidak dibuat-buat, tidak mendesah, berkata apa adanya, tidak

ditinggikan, dan juga tidak terlalu rendah. Yang demikian tidak akan

menimbulkan syahwat.

Rasulullah saw. Bersabda:

‫ضني اه نعلنهه أنلن نرهسلوُنل ام ن‬


: ‫صللىَ اه نعلنليِمه نونسللنم نقاَنل‬ ‫نعلن أنمبي ههنرليِّنرةن نر م‬

‫نملن نكاَنن يِّهلؤممهن مباَلم نوالليِنلوُمم المخمر فنلليِنقهلل نخليِراة أةلو لميِن ل‬
‫صهم ل‬
‫ٌ نونملن نكاَنن يِّهلؤممهن‬،‫ت‬

18
‫ٌ نونملن نكاَنن يِّهلؤممهن مباَلم نوالليِنلوُمم المخمر فنلليِهلكمرلم‬،‫مباَلم نولاليِنلوُمم المخمر فنلليِهلكمرلم نجاَنرهه‬

‫ضليِفنهه‬
‫ن‬
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka

hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik atau hendaknya dia diam”.

(muttafaq ‘alaih dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhuma)

C. Pengertian Aurat

Aurat berasal dari bahasa arab yang secara literal berarti celah, kekurangan,

sesuatu yang memalukan, atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh

manusia dan membuat malu bila dipandang.

Dalam kamus Munawwir bahasa Arab-Indonesia definisi aurat adalah segala

perkara yang dirasa malu (jika dilihatkan atau didedahkan).

Menurut Al-Mawrid Al-Quareeb dalam “A Pocket Arabic-English

Dictionary” definition of aurat is private parts, genitals, defect, fault, and

blemish, yang artinya bagian-bagian pribadi, kemaluan, cacat, kekurangan, dan

cela.

Aurat adalah sesuatu yang terasa malu jika hal tersebut terjadi, seperti aib

seseorang yang dilihatkan maka ia akan malu, dan ada kalanya perkara itu

menjatuhkan maruah (menurunkan harga) dirinya. Aurat dari segi syara’

merupakan suatu yang wajib ditutup atau sesuatu yang haram dilihat.

D. Kategori Aurat-Aurat Wanita

19
‫‪Ulama berpendapat mengenai batas aurat wanita merdeka. Al-Hadi, At-‬‬

‫‪Qasim dalam satu dari dua pendapatnya, Imam Syafi’i dalam satu dari beberapa‬‬

‫‪pendapatnya, Abu Hanifah dalam satu dari dua riwayat darinya, dan Imam Malik‬‬

‫‪mengatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak‬‬

‫‪tangan.‬‬

‫‪Berikutnya Al-Qasim dalam satu perkataannya, Abu Hanifah dalam satu‬‬

‫‪riwayatnya, At-Tsauri dan Al-Abbas mengatakan bahwa aurat wanita adalah‬‬

‫‪seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki‬‬

‫‪sampai tempat gelang kaki. Adapun menurut sebagian murid Imam Syafi’i dan‬‬

‫‪riwayat Ahmad bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya tanpa kecuali.‬‬

‫‪Allah SWT. berfirman dalam surat An-Nur ayat 31 yang berbunyi:‬‬

‫صاَمرمهلن نويِّنلحفن ل‬
‫ظنن فههرونجههلن نونل يِّهلبمديِّنن‬ ‫ضنن مملن أنلب ن‬ ‫نوقهلل لمللهملؤممنناَ م‬
‫ت يِّنلغ ه‬
‫ض ل‬

‫ظهننر مملننهاَ ۖ نولليِن ل‬


‫ضمرلبنن بمهخهممرمهلن نعنلىَٰ هجهيِوُبممهلن ۖ نونل يِّهلبمديِّنن‬ ‫مزيِّننتنههلن إملل نماَ ن‬

‫مزيِّننتنههلن إملل لمبههعوُلنتممهلن أنلو آنباَئممهلن أنلو آنباَمء بههعوُلنتممهلن أنلو أنلبنناَئممهلن أنلو أنلبنناَمء‬

‫بههعوُلنتممهلن أنلو إملخنوُانممهلن أنلو بنمني إملخنوُانممهلن أنلو بنمني أننخنوُاتممهلن أنلو نمنساَئممهلن أنلو نماَ‬

‫ت أنليِّنماَنهههلن أنمو اللتاَبممعيِنن نغليِمر هأوملي ا ل مللربنمة ممنن اللرنجاَمل أنمو الطللفمل اللمذيِّنن لنلم‬
‫نملننك ل‬

‫ضمرلبنن بمأ نلرهجلممهلن لميِهلعلننم نماَ يِّهلخمفيِنن مملن‬ ‫يِّن ل‬


‫ظهنهروا نعنلىَٰ نعلوُنرا م‬
‫ت النلنساَمء ۖ نونل يِّن ل‬

‫ام نجمميِةعاَ أنجُيِّهن اللهملؤممهنوُنن لننعللهكلم تهلفلمهحوُنن‬


‫مزيِّننتممهلن ۚ نوهتوُهبوُا إمنلىَ ل‬

‫‪20‬‬
Artinya: “Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka

menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah

menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah

mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan

perhiasannya (aurat), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah

suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami

mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki

mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan

(sesama Islam mereka), atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para

pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan),

atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah

mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka

sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang

yang beriman, agar kamu beruntung”. (An-Nur : 31)

Ayat tersebut memaparkan bahwa seorang wanita diperintahkan untuk

menjaga pandangan dan tidak boleh menampakkan perhiasan (aurat) kecuali

dihadapan mahram wanita tersebut. Selain itu, seorang wanita dilarang untuk

menghentakkan langkah kaki saat melangkah dihadapan orang banyak terutama

dihadapan kaum laki-laki. Hal tersebut diperintahkan Allah kepada wanita semata-

mata untuk menghindari wanita dari marabahaya, karena apapun yang

diperintahkan Allah kepada makhluk-Nya selalu mengandung hikmah dan

merupakan suatu kewajiban untuk dilakukan dari apa yang Allah perintahkan.

21
E. Hubungan Suara Wanita Dengan Aurat Menurut Para Ulama

Sejauh ini banyak orang yang beranggapan bahwasannya suara wanita sama

halnya dengan suara laki-laki yang tidak membangkitkan syahwat atau nafsu.

Banyak pendapat-pendapat mengenai suara wanita. Ada sebagian ulama yang

berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat, namun ada pula sebagian ulama

yang lain berpendapat bahwa suara wanita tidak masuk ke dalam aurat.

Pendapat Para Ulama Madzhab

a) Hanafiyah

Menurut Imam Abu Hanifah dan pengikutnya suara wanita merupakan

aurat. Pendapat ini didasarkan atas beberapa dalil, misalnya etika wanita dalam

shalat jama’ah bersama kaum laki-laki yang mensyariatkan wanita untuk bertepuk

tangan ketika mengetahui terjadi kesalahan pada imam shalat. Sebagaimana

disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah yang ditanya tentang cara menegur

imam yang keliru, dan beliau menjawab:

‫صمفيِهح‬ ‫صلنتممه فنلليِهنسبللح فنإ منلهه إمنذا نسبلنح اللتهفم ن‬


‫ت إملنليِمه نوإمنلنماَ التل ل‬ ‫نملن نناَبنهه نشلىَةء مفىَ ن‬

‫مللنلنساَمء‬
Artinya: “Barang siapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam

shalat, hendaklah ia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam)

akan memperhatikannya. Sedangkan tepukkan khusus untuk wanita”. (HR.

Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421).

22
Jika memang bukan aurat pastilah wanita dapat melakukan hal yang sama

dengan pria, yakni mengucapkan subhanallah. Namun menurut ulama lain alasan

ini lemah dan penakwilan yang berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan

bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam merupakan aturan baku yang

ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyah yang tidak ada kaitannya dengan aurat

maupun bukan aurat. Dalil lainnya berdasarkan hadits Rasulullah yang berbunyi:

‫ٌ فنإ منذا نخنرنج م‬،‫اللنملرأنةه نعلوُنرةة‬


‫ت الستنلشنرفننهاَ اللشليِ ن‬
‫طاَهن‬
Artinya: “Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan menghias-

hiasinya”. (HR.Tirmidzi).

Hadits riwayat Tirmidzi yang memaparkan wanita adalah aurat merupakan

hadits umum yang menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita adalah

aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadits-hadits yang menunjukkan

bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan.

Berikutnya berdasarkan potongan ayat dari surat An-Nur ayat 31 yang berbunyi:

‫ضمرلبنن بمأ نلرهجلممهلن لميِهلعلننم نماَ يِّهلخمفيِنن مملن مزيِّننتممهلن‬


‫نونل يِّن ل‬

Artinya: “……Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar di ketahui

perhiasan yang mereka sembunyikan…….”. (An-Nur : 31)

23
Menurut madzhab Hanafiyah jika suara perhiasan di kaki (gelang) saja

dilarang untuk sengaja untuk diperdengarkan, apalagi suara asli dari wanita yang

lebih berpengaruh terhadap laki-laki dibanding suara gelang.

Menurut para ulama lain, dalil dari ayat tersebut tidaklah tepat kaitannya

dengan suara wanita karena yang dilarang dari seorang wanita dalam ayat tersebut

adalah perbuatannya yang memamerkan perhiasan. Jika dikaitkan dengan suara

wanita tentu tidak tepat karena suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat

penting. Keharaman barulah muncul apabila dipergunakan untuk merayu dan

mengundang syahwat.

Pada dasarnya dalam ilmu fiqh telah diketahui adanya dalil yang

bersifat ‘aam (umum) dan dalil khos(khusus). Jadi sebuah dalil terkadang

bermakna mujmal (global) tetapi adapula yang muqayyid (terbatasi), contohnya

firman Allah swt. dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman

semua bangkai, tetapi kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya.

Dalil takhsis lainnya yakni sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:

‫أهمحلل ل‬
‫ت لناَ نميِتننتاَمن الجراد و الحوُ ه‬
‫ت‬
Artinya: “Dihalalkan bagi kami dua bangkai…… yaitu (bangkai) ikan dan

belalang”.

Oleh karena itu para ahli ushul fiqh membuat kaidah;

“Memahami dalil yang umum harus dibatasi oleh yang khusus”.

Mazhab Hanafi banyak dipakai di Arab Saudi, Yaman, dan beberapa negeri

di Timur Tengah. Akibatnya, wanita benar-benar dilarang untuk berinteraksi

24
dengan lawan jenis. Paham ulama setempat menyebutkan, Muslimah dilarang

untuk berkomunikasi dengan lelaki asing.

b) Malikiyah dan Hanabilah

Madzhab Malikiyah dan Hanabilah memaparkan bahwa suara wanita

bukanlah aurat, yaitu ketika sebagian muslim berpendapat tidak dibencinya

mendengarkan nyanyian wanita. Artinya, boleh mendengarkan nyanyian dari

suara wanita karena hal tersebut bersifat hiburan.

c) Syafi’iyah

Menurut madzhab Syafi’iyah bahwa suara wanita bukanlah aurat, bahkan

boleh mendengarkan suara wanita bernyanyi dengan catatan aman dari

fitnah. Fitnah disini yakni tidak memperlihatkan hal yang dapat membangkitkan

syahwat, dapat berpakaian rapih, dan lagu yang dibawakan tidak mengakibatkan

para pendengar berimajinasi negatif.

Pendapat Ulama Lain

Adapun pendapat ulama-ulama lain diantaranya:

a. Umairah mengatakan bahwa suara wanita bukan aurat berdasarkan

pendapat shahih, maka tidak haram mendengarnya.


b. Zainudin Al-Malibary mengatakan bahwa suara wanita tidak termasuk

aurat, karena itu tidak haram mendengarkannya kecuali di khawatirkan fitnah

atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi.


c. Syaikh Al-Jaziri Hafizhahullah mengatakan bahwa suara wanita bukanlah

aurat karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para sahabat.

25
Musa bin Thalhah Ra. Berkata:

‫ت أننحةدا أنلف ن‬
‫صنح مملن نعاَئمنشةن‬ ‫نماَ نرأنليِّ ه‬

Artinya: “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih fasih bicaranya

daripada Aisyah”. (HR. Tirmidzi)

Dalam hadits ini diidentifikasikan bahwa para sahabat nabi pada zaman

dahulu meminta fatwa dari Aisyah Ra. Maka tidak ada yang salah jika wanita

mengeluarkan suara selagi dapat menempatkan dan tidak menimbulkan syahwat

maupun fitnah. Juga bukanlah aurat apabila semua aktivitas itu berupa perkataan-

perkataan (tasharrufat qauliyah).

Dari berbagai persepsi-persepsi diatas, dapat didedikasikan bahwa pendapat

terkuat yakni pendapat yang mengatakan suara wanita tidak masuk kedalam aurat.

Hanya saja suara wanita dapat menjadi haram jika suara yang dikeluarkan tidak

sesuai dengan apa adanya, seperti: mendesah, mendesis, merayu, meraung, dan

terlalu melemah lembutkan suara hingga suara yang dikeluarkan tersebut

menimbulkan fitnah.

F. Problema-Problema yang Diperdebatkan Perihal Wanita

Dalam Islam
a. Wanita Bernyanyi Dihadapan Khalayak Ramai

Suara orang bernyanyi tentu berbeda dengan suara orang bicara secara

normal. Wanita bernyanyi cenderung lemah lembut, ada cengkokan, terkadang

meninggi, dan lain-lain. Jika wanita tersebut menampilkan penampilan seronok

26
(tidak sopan) maka tidak diragukan bahwa hal tersebut haram, karena dapat

menimbulkan keinginan buruk dari kaum laki-laki, dan bukan tidak mungkin akan

terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pada hakikatnya Allah SWT.

menganugerahkan panca indera seperti mulut untuk digunakan dengan sebaik

mungkin. Tidak ada yang salah jika seorang wanita bernyanyi dengan sopan,

pakaian yang syar’i, dan tidak ada maksiat lainnya

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz beliau berkata yang artinya:

“Pada pagi hari Rasulullah datang ke pernikahan saya, kemudian beliau duduk

dikursi saya seperti halnya kamu duduk didepan saya sekarang ini. Lalu saya

memerintahkan para jariyah ( budak wanita-remaja) memainkan duff (gendang)

dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan orang tua kami yang gugur pada

Perang Badar”. Mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai,

hingga salah seorang jariyah mengucapkan sebuah syair: “Diantara kita telah

hadir seorang Nabi yangmengetahui hari yang akan datang”. Maka Nabi

Muhammad menanggapi, “Syair yang ini janganlah kamu nyanyikan”.

(HR.Bukhari: Shahih.)

Dari riwayat tersebut Rasulullah membolehkan dan mendengarkan wanita

bernyanyi. Adapun Rasul menanggapi syair tersebut karena tidak ada satupun

yang tahu akan hari esok kecuali Allah ‘Azza wa jalla.

Islam tidak pernah mempersulit syariat hukum yang ada. Namun hal

tersebut bukan berarti dapat mudah disepelekan. Sebagai muslimah yang baik,

27
hendaknya terbuka untuk turut serta menyentuh syariat hukum yang ada agar

tidak tersesat dan terjatuh pada lubang yang salah.

Allah SWT. berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 43 yang berbunyi:

‫س ۖ نونماَ يِّنلعقملهنهاَ إملل اللنعاَلمهموُنن‬ ‫ك اللنلمنثاَهل نن ل‬


‫ضمربهنهاَ ملللناَ م‬ ‫نوتملل ن‬
Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buat untuk manusia, dan

tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu”. ( QS. Al-

Ankabut : 43).

b. Wanita Menjadi Qari’ah

Qari’ah berasal dari kalimat ‫( قرأ‬qara’a) yang artinya baca. Maka definisi

qari’ah merupakan pembaca Al-Qur’an wanita. Tidak hanya kaum laki-laki yang

dapat melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan nada yang indah didengar, kaum

wanita pun sudah tak asing lagi. Membaca Al-Qur’an dengan suara keras bagi

wanita dihadapan ajnabi bagi sebagian ulama menyatakan tidak haram selama

aman dari fitnah, namun makruh mengeraskan bacaan didalam shalat karena

dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.

Media qori’ah dapat dijadikan media dakwah Islam dan merupakan suatu

kelebihan yang dimiliki seorang wanita. Banyak perlombaan-

perlombaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), baik mencakup daerah,

provinsi, maupun nasional yang sampai saat ini tidak ada pelarangan dalam hal

tersebut. Wanita melantunkan ayat Al-Qur’an dihadapan khalayak ramai tidak

menjadi haram selagi konsisten pada syariat Islam, memakai pakaian rapih, dan

28
suara tidak dibuat berlebihan. Yang dilarang adalah apabila suara itu

dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah meskipun ketika wanita itu membaca

Al-Qur’an. Apapun yang dilakukan jika hal tersebut merupakan hal positif, Allah

pun akan meridhai. Namun sebaliknya jika hal tersebut bersifat negatif maka

Allah pun tidak akan meridhoi dan tidak akan ada hikmah.

c. Wanita Dalam Hal Adzan dan Iqamah

Seperti yang telah diketahui, adzan selalu dilantunkan oleh kalangan laki-

laki. Adzan merupakan seruan seseorang untuk melakukan shalat, biasanya

bersumber dari dalam masjid untuk kemudian disebar luaskan ke khalayak ramai

menggunakan sound system. Tentunya adzan akan didengar banyak orang. Para

ulama berpendapat bahwa diharamkan bagi wanita untuk beradzan, sebab bagi

yang mendengar adzan disunahkan untuk memandang muadzin (orang yang

beradzan). Hal ini memastikan tidak aman dari fitnah. Disamping itu orang yang

beradzan diharapkan melantunkan adzan dengan penuh penghayatan dan jika hal

ini dilakukan oleh wanita, bukan tidak mungkin akan menimbulkan fitnah dan

prasangka buruk dari kaum adam yang berfikiran tidak sehat.

Sedangkan iqomah merupakan tanda akan dimulainya salat. Dal hal ini

tidak mengapa jika seorang wanita beriqamah dihadapan kaum wanita, jika

terdapat kaum laki-laki tentulah wajib bagi laki-laki tersebut untuk iqomah dan

wanita tidak boleh. Iqomah tidak perlu disebarluaskan ke khalayak ramai karena

hanya ditujukan kepada para jama’ah salat yang ada.

d. Wanita Mengucapkan dan Menjawab Salam Bagi Kaum Ajnabi

29
Orang yang mau memperhatikan nash-nash umum yang menyuruh

menyeberkan salam, akan mengetahui bahwa nash-nash itu tidakmembedakan

antara laki-laki dengan perempuan, misalnya hadits-hadits yang menyeru untuk

“memberi makan kepada orang miskin, menyebarkan salam, menyambung

silaturrahmi, dan shalat malam ketika orang-orang sedang tidur”. Di dalam

Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda :

َ‫ أننولن أنهدلجُهكلم نعنلى‬.‫لن تنلدهخهلوُنن اللنجنلةن نحلتىَ تهلؤممهنوُا نولن تهلؤممهنوُا نحلتىَ تننحاَجُبوُا‬

‫نشلىَبء إمنذا فننعللتههموُهه تننحاَبنلبتهلم أنلفهشوُا اللسلننم بنليِننهكلم‬


“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak akan

beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian

suatu amalan yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai?

Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Pada dasarnya perintah Allah dalam firman tersebut untuk laki-laki dan

perempuan secara keseluruhan, kecuali jika ada dalil yang mengkhususkannya.

Jika seorang laki-laki mengucapkan salam kepada seorang perempuan, maka

perempuan itu –sesuai dengan nash Al-Quran– harus menjawabnya dengan

jawaban yang lebih baik atau minimal serupa. 1 Begitu pula sebaliknya, selama

nash-nash itu umum dan mutlak dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya atau

memberinya persyaratan tertentu.

1 Misalnya mengucapkan salam dengan “assalamualaikum”, maka jawaban yang lebih baik
dengan “wa’alaikumsalam warahmatullah” atau ditambah lagi dengan “wabarakatuh” atau
minimal dengan jawaban serupa “wa’alaikumsalam”.

30
Al-Hafizh berkata, “Dalam masalah ini juga terdapat hadist yang tidak

menurut syarat Bukhari, yaitu hadist Asma’ binti Yazid:

َ‫ مفىَ نملسنوُبة فننسللنم نعلنليِننا‬-‫صلىَ ا عليِه وسلم‬- َ‫نملر نعلنليِنناَ النلبمجُى‬

“Dari Asma’ binti Yazid al-Anshariyah radhiyallahu 'anha, berkata: ‘Pernah

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati kami, kaum wanita lalu beliau

mengucapkan salam kepada kami.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi dan

Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah

no. 3701)

Hadist ini juga mempunyai syahid (penguat) dari hadist Jabir yang

diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Tetapi banyak ulama yang mensyaratkan

kebolehan itu dengan konisi “aman dari fitnah.”

Al-Hulaimi berkata, :Nabi saw. karena maksum beliau aman dari fitnah.

Karena itu, siapa yang percaya dirinya selamat dari fitnah, hendaklah ia memberi

salam (kepada perempuan), jika sebaliknya maka diam adalah lebih selamat.”

Al-Mihlab berkata, “Laki-laki mengucapkan salam kepada perempuan dan

sebaliknya hukumnya jaiz apabila aman dari fitnah.”

Sebagian ulama mengatakan dengan ketampanan atau kecantikan. Jika

yang bersangkutan cantik dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Dan Rabi’ah

melarang hal ini secara mutlak.

Orang-orang Kufah –Abu Hanifah dan sahabat-sahabat serta murid-

muridnya– berkata, “Tidak disyariatkan bagi perempuan untuk mengucapkan

31
salam kepada laki-laki, karena mereka dilarang melakukan adzan, dan

mengeraskan bacaan, kecuali terhadap mahramnya. Ia boleh mengucapkan salam

kepada mahramnya.” Sedangkan Malikiyah membedakan antara wanita muda

dengan wanita tua, untuk membendung jalan menuju kepada terlarang

(membahayakan).

e. Wanita Meratap dan Meraung

Wanita memiliki perasaan yang lebih halus dibanding laki-laki sehingga

bila ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak diinginkan wanita lebih mudah

menangis apalagi ditinggal mati oleh orang yang disayangi, saat itulah wanita

berpeluang meratap dan meraung-raung hingga menjambak rambut, memukul

dada, atau bahkan mengeluarkan banyak perkataan yang memprihatinkan.

Perilaku seperti itu sama sekali tidak mencerminkan wanita berakhlak baik.

Seorang muslimah diajarkan untuk dapat sabar dan tabah dalam menghadapi

musibah, sebab musibah yang menimpa itu sama sekali tidak lain dari kehendak

Allah swt. Karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Baik dan Maha sempurna,

maka pasti dalam kehendak tersebut mengandung kebaikan bagi manusia.

Wanita yang meratap dan meraung-raung atas musibah yang menimpa yang

disebabkan oleh kemarahan dan ketidakrelaan pada takdir Allah, maka jelas ia

telah melakukan dosa besar.

Allah SWT. berfirman dalam surat Huud ayat 11 yang berbunyi:

‫ت هأولٰنئم ن‬
‫ك لنههلم نملغفمنرةة نوأنلجةر نكمبيِةر‬ ‫إملل اللمذيِّنن ن‬
‫صبنهروا نونعممهلوُا ال ل‬
‫صاَلمنحاَ م‬

32
Artinya: “Kecuali, orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan

mengerjakan amal-amal salih. Mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang

besar.” (QS.Huud : 11)

Dalam pembahasan ini bukan berarti menangis tidak diperbolehkan saat

ditimpa musibah, namun perkara yang dilarang saat menghadapi musibah dengan

menangis berlebihan, berteriak sekeras-kerasnya, meratap, mengharu biru pada

mayit, memukuli muka sendiri, mengoyak-ngoyak pakaian, dsb. yang

menunjukkan ketidakrelaan kepada ketentuan Allah. Sedang bagi yang masih

dalam batas wajar tidak menyebabkan dosa.

Tetap istiqomah merupakan kunci kesuksesan yang dapat diraih. Dengan

tidak mengeluh akan menjadikan hidup penuh warna dan penuh percaya

diri. Innallaaha ma’a shaabiriina..

f. Wanita Mengeraskan Suara Saat Talbiyah

Para ulama sepakat bahwa wanita tidak disunahkan untuk mengeraskan

suara saat talbiyah. Seorang wanita hanya boleh mendengarkan atau mengucapkan

kalimat talbiyah yang sekiranya hanya bisa didengar oleh wanita itu sendiri. Hal

ini dikatakan oleh imam Malik, Al-Awza’i, Atha, Ashab Al-Ra’yi (mazhab

rasionalis), dan imam Syafi’i. Pendapat ini didasarka pada sebuah riwayat dari

ibnu Umar yang berkata yang artinya:

33
“Perempuan hendaknya tidak naik melebihi bukit Shafa dan Marwah dan tidak

mengeraskan suaranya saat bertalbiyah”. (HR. Baihaqi). Riwayat serupa juga

dikeluarkan oleh ibnu Abbas.

Menurut fuqAha mazhab Zhahiriyah (kaum tekstualis), mengeraskan suara

saat talbiyah adalah wajib, baik bagi jama’ah laki-laki maupun perempuan.

Alasannya pada masa Rasulullah dan setelahnya, orang-orang bebas

mendengarkan perkataan-perkataan istri beliau. Tidak ada satupun orang yang

melarangnya.

Namun para ulama-ulama khususnya di Indonesia lebih sepakat dengan

pendapat yang menyatakan bahwa wanita tidak boleh mengeraskan suara saat

talbiyah, karena sesuai dengan kodrat wanita yang mempunyai rasa malu lebih

besar, Selain itu, merendahkan suara di tengah-tengah laki-laki jauh lebih aman

bagi diri seorang wanita. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.

34
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikaji oleh penulis pada bab-bab

sebelumnya mengenai“Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita”, dapat

diidentifikasikan bahwa pendapat terkuat yakni pendapat yang mengatakan suara

wanita tidak masuk kedalam aurat.

Kategori suara wanita yang dibolehkan dalam Islam yakni jika suara yang

dikeluarkan bersifat apa adanya, berbicara seperlunya, dan berbicara dengan

perkataan dan sikap yang baik.

Kategori suara yang dilarang dalam Islam yakni suara yang

ditimbulkan dibuat-buat, mendesah, mendesis, merayu, meraung, atau bahkan

terlalu melemah lembutkan suara hingga menimbulkan fitnah. Jika hal tersebut

terjadi maka haram untuk didengar dan di khawatirkan akan terjadi sesuatu yang

tidak diinginkan.

B. Saran

Dalam penulisan karya ilmiah berjudul “Pandangan Islam Terhadap Suara

Wanita” ini, penulis menyarankan juga menghimbau kepada para pembaca

khususnya bagi kaum wanita untuk :

35
1. Tetap menjaga setiap perkataan yang diucapkan.
2. Tidak meninggikan dan tidak pula terlalu merendahkan suara

terutama dihadapan kaum laki-laki.


3. Tetap menjaga pandangan pada saat berbicara dengan kaum laki-

laki.
4. Lebih baik tidak bernyanyi di hadapan kaum laki-laki karena

bukan tidak mungkin mudah menimbulkan fitnah.


5. Tidak berbicara dengan nada yang kurang baik seperti mendesah,

atau terlalu melembutkan suara.


6. Berbicara seperlunya, tidak berlebihan, juga tidak berbicara hal

yang tidak penting.


7. Bersikap baik saat berbicara kepada orang lain.

Semoga karya ilmiah ini menjadi salah satu amal yang takkan terputus dan

dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca (amiin).

36

Anda mungkin juga menyukai