Anda di halaman 1dari 36

INKONTINENSIA URINE

Pendahuluan Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik. Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan. Stigma tentang inkontinensia urin disertai dengan kurangnya pemahaman tenaga profesional kesehatan tentang pilihan intervensi menyebabkan kurang tepatnya terapi untuk kondisi ini dengan konsekuensi yang serius pada pasien-pasien berusia lanjut (usila). Beberapa bentuk terapi termasuk intervensi terapi fisik yang umum dilakukan seperti terapi latihan, latihan beban, biofeedback dan stimulasi elektrik, bersifat efektif dalam memperbaiki atau mengobati inkontinensia urin sesuai dengan kondisi individual sebagai suatu bentuk terapi utama ataupun terapi tambahan untuk terapi medikamentosa ataupun operasi. Terapi inkontinensia urin secara dini dan efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik dan emosional orang yang menderitanya.

A. Definisi 1. Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007). 2. Inkontinensia urine (beser) adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan. Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik ( Andrianto,1991 ). 3. Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan ( Brunner & Suddarth, 2002 ). 4. Inkontinensia urin didefinisikan sebagai kebocoran urin involunter. Sumber kebocoran urin bukan hanya dari uretra, namun juga bisa dari ekstra-uretra seperti fistula atau malformasi kongenital traktus urinarius bagian bawah. Di sini hanya akan dibahas evaluasi dan manajemen stress incontinence dan urge incontinence. 5. Berdasarkan International Continence Society guidelines, inkontinensia urin merupakan simptom, sign, dan juga merupakan suatu kondisi. Misal, seseorang dengan stress urinary incontinence (SUI), akan mengeluhkan kebocoran urin involunter karena suatu upaya keras seperti batuk atau bersin. Bersamaan dengan itu, kebocoran urin dari uretra yang sinkron dengan kejadian tersebut mungkin perlu diperhatikan. Sebagai suatu kondisi, inkontinensia secara obyektif terlihat selama evaluasi urodinamik jika kebocoran urin involunter muncul dengan adanya peningkatan tekanan intraabdominal dan ketiadaan kontraksi detrusor. Suatu keadaan dengan simptom maupun sign SUI disertai dengan tes obyektif, dikenal dengan istilah urodynamic stress incontinence (USI), sebelumnya disebut dengan istilah genuine stress incontinence. Wanita dengan urge urinary incontinence (UUI) akan mengalami kesulitan dalam menunda urinasi yang mendesak (urgent), dan umumnya harus tepat mengosongkan kandung kemihnya pada saat itu juga, tanpa ditunda. Jika UUI secara obyektif nampak dengan evaluasi sistometrik, kondisi ini disebut overaktivitas detrusor, sebelumnya dikenal sebagai instabilitas detrusor. Keadaan dimana SUI dan UUI muncul bersamaan disebut mixed urinary incontinence (MUI). Inkontinensia fungsional merupakan keadaan dimana seorang wanita tak dapat mencapai toilet pada waktunya karena keterbatasan fisik, psikologis atau mentasi.

Sebagian besar contoh yang ada menunjukkan bahwa kelompok penderita inkontinensia fungsional akan memiliki kontinensia yang baik, jika permasalahan tersebut di atas diatasi.

Kapasitas kandung kemih normal (tanpa mengalami ketidaknyamanan) adalah 250-400 ml. keinginan untuk mengosongkan terjadi bila urine dalam kandung kemih sebanyak 150-250 ml.

B. Anatomi Fisiologi

Anatomi sistem urinary yang berhubungan dengan inkontinensia urin:

1. Traktus Urinarius Bagian Atas Ginjal dapat dibagi menjadi dua bagian, parenkim ginjal (yang mensekresi, mengkonsentrasi dan mengekskresikan urin) serta sistem pengumpul (collecting system) yang berfungsi mengalirkan urin ke calix ginjal yang berjumlah banyak menuju pelvis ginjal. Pelvis ginjal kemudian akan menyempit (dikenal juga sebagai paut ureteropelvic) menjadi ureter. Ureter mempunyai panjang kurang lebih 30 cm pada orang dewasa. Mempunyai tiga area fisiologis yang menyempit (paut ureteropelvic, bagian ureter yang dilalui arteri iliaka dan paut ureterovesical) yang sering berhubungan dengan kondisi obstruksi oleh batu. Paut ureterovesikal merupakan tempat perhubungan orificium ureter kedalam kandung kemih yang ditandai oleh kondensasi jaringan yang disebut dengan Waldeyers sheath sebagai pengikat ureter ke dinding kandung kemih. Fungsi paut ini adalah mengalirkan urin ke dalam kandung kemih dan mencegah aliran balik ke dalam ureter. Hal ini dapat dilakukan karena ureter berjalan secara oblik transversal diantara lapisan otot dan submukosa kandung kemih sepanjang 1-2 cm sebelum masuk kandung kemih (gb. 2.1). Setiap peningkatan tekanan intravesikal secara simultan akan menekan ureter submukosa dan secara efektif pula akan membentuk katup satu arah. Adanya otot ureter di segmen submukosa juga penting dalam mencegah timbulnya arus balik.

Gb. Anatomi kandung kemih dan struktur yang berhubungan dengannya pada wanita. Tampak bahwa saluran ureter melalui dinding kandung kemih akan mencegah refluk vesicoureteral. Tidak tampak jelas perbatasan leher kandung kemih dengan mekanisme sfingter.

2. Traktus Urinarius Bagian Bawah Kandung kemih merupakan suatu kantung muskulomembranosa tempat

penampungan urin yang terbentuk dari empat lapisan; serosa, muskuler, submukosa dan mukosa. Secara anatomis kandung kemih terbagi menjadi dua bagian besar yaitu detrusor (dasar kandung kemih) dan trigonum (badan kandung kemih). Detrusor (lapisan muskuler) terdiri dari tiga lapis otot polos yang secara acak bersilangan satu dengan yang lainnya sehingga merupakan suatu unit fungsional yang berfungsi dalam peregangan pasif (saat terdapat peningkatan tekanan secara minimal) ataupun dalam kontraksi kandung kemih. Di leher kandung kemih, otot polos tersusun sirkuler sehingga bertindak sebagai suatu sfingter fungsional. Trigonum merupakan area segitiga di bagian inferior kandung kemih yang dibatasi di bagian superior dan lateral oleh orificium ureter serta di bagian inferior oleh orificium uretra internal. Trigonum bagian dalam merupakan kelanjutan dari otot polos detrusor; sementara trigonum superfisial merupakan kelanjutan dari otot-otot ureter.

Pada wanita, panjang uretra kurang lebih 4 cm. Terdiri dari tiga lapisan; mukosa, submukosa dan lapisan otot. Lapisan otot terdiri dari dua lapisan otot polos yang berjalan longitudinal pada bagian dalam yang merupakan sambungan dari otot kandung kemih dan membentuk sfingter uretra involunter. Di luar lapisan ini terdapat lapisan otot lurik (volunter) yang berjalan secara sirkuler pada 1/3 tengah uretra. Pada pria, penis terbentuk dari dua corpora cavernosa yang mengandung jaringan spongy erectile, dan sebuah corpora spongiosum yang mengelilingi uretra. Uretra pria, dengan panjang total kurang lebih 20 cm, terbagi menjadi tiga bagian yang diawali oleh bagian posterior atau uretra prostatik (memanjang dari leher kandung kemih hingga diafragma urogenital), uretra anterior atau spongy portions (memanjang hingga meatus) dan uretra membranosa (menghubungkan uretra anterior dan posterior). 3. Sfingter Uretra Secara tradisional uretra mempunyai dua sfingter yang berbeda, internal dan eksternal atau rhabdosphincter. Sfingter internal bukanlah sfingter anatomis murni. Pada pria maupun wanita, istilah tersebut ditujukan untuk paut leher kandung kemih dan uretra proksimal, dibentuk oleh susunan sirkuler jaringan ikat dan serabut otot polos yang meluas dari kandung kemih. Area ini merupakan suatu sfingter fungsional karena akan terjadi suatu peningkatan progresif tonus progresif seiring dengan pengisian kandung kemih, sehingga tekanan uretra menjadi lebih besar dari tekanan intravesikal. Pada pria, sfingter eksternal atau urethral rhabdosphincter sering digambarkan sebagai suatu pita sirkuler tipis dari otot lurik yang membentuk diafragma pada bagian distal uretra prostatik (uretra membranosa). Myers dan rekannya menyatakan bahwa sfingter uretra eksternal dari otot lurik tersebut tidak membentuk suatu pita yang berjalan sirkuler tetapi mempunyai serabut yang berjalan ke atas menuju dasar kandung kemih. Sfingter ini bekerja di bawah kontrol volunter dengan proporsi serabut slowtwitch yang cukup besar untuk suatu kompresi tonik yang terus menerus (steady) dalam uretra baik pada wanita maupun pria.

Anatomi Dasar Panggul Dasar panggul merupakan massa otot yang meliputi celah dasar tulang pelvis. DeLancey's membagi dasar panggul menjadi tiga lapisan utama (dari dalam hingga keluar); endopelvic fascia, otot levator ani dan sfingter anal eksternal serta lapisan ke empat (otot genital eksternal) yang berhubungan dengan fungsi seksual. Otot-otot pelvis memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih. Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan.

Penyokong organ pelvis yang utama ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau intrauretra. Fascia,4 seperti pelvic dan endopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung kemih. Otot levator ani dapat dibagi menjadi 4 regio sesuai dengan lokasi anatomisnya : pubococcygeus (otot pubovisceral), iliococcygeus, pubovaginalis serta puborectalis dan puboanalis. Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat kombinasi serabut slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis.

Proses miksi dan apa yang berperan mengontrol pengeluaran urin dan bagaimana mekanismenya:

Berkemih terdiri dari dua fase : fase pengisian dan pengosongan. Fase pengisian terjadi saat orang tidak mencoba melakukan berkemih. Fase pengosongan terjadi saat pasien berusaha untuk melakukan berkemih atau diminta untuk berkemih. Transpor urin merupakan hasil gaya pasif dan aktif. Gaya pasif ditimbulkan oleh tekanan filtrasi ginjal. Tekanan proksimal tubular yang normal adalah 14 mmHg, sedangkan tekanan pelvis ginjal adalah 6,5mmHg, yang sedikit melebihi tekanan ureter dan kandung kemih saat istirahat. Gaya aktif merupakan hasil gaya peristaltik calyces, pelvis ginjal dan ureter. Peristaltik dimulai dengan aktivitas elektris sel pacu di bagian proksimal traktus pengumpul urin (collecting urinary tract) Produksi urine berjalan secara tetap sekitar 15 tetes per menit. Pengisiannya berjalan konstan kecuali bila ada iritan kandung kemih yang akan meningkatkan produksi urin. Untuk fase pengisian, sfingter eksternal memegang peranan penting. Kontraksi volunter sfingter eksternal disebut dengan guarding mechanism, karena mekanisme ini menginterupsi berkemih atau mencegah keluarnya urin pada saat terjadi peningkatan cepat tekanan intra abdominal. Peningkatan tekanan intra abdominal akan menyebabkan terjadinya kontraksi otot dasar panggul untuk mengatasi peningkatan tekanan dan mempertahankan kondisi kontinen. Impuls aferen dari kontraksi otot dasar panggul, secara refleks menginhibisi kandung kemih (guarding reflex). Impuls aferen dari syaraf pelvis dan pudendal akan mengaktivasi pontine center, meningkatkan kontraksi sfingter dan menekan impuls parasimpatis ke detrusor. Selama fase ini, tekanan intravesikal yang rendah dipertahankan oleh peningkatan progresif stimulasi simpatis dari reseptor beta yang berlokasi di badan kandung kemih sehingga timbul relaksasi

kandung kemih dan stimulasi reseptor alfa yang berada di dasar kandung kemih dan uretra yang menyebabkan kontraksi pada area tersebut. Selama proses pengisian, terjadi peningkatan progresif aktivitas EMG sfingter uretra. Peningkatan aktivitas ini juga akan secara refleks menghambat kontraksi detrusor. Akumulasi urin akan mendistensikan dinding kandung kemih secara pasif dengan penyesuaian tonus sehingga tegangan tidak akan meningkat secara cepat hingga terkumpul kurang lebih 150ml. Reseptor regangandi kandung kemih lalu memberikan sinyal pada otak yang memberikan suatu impulsurgensi (sensasi pertama berkemih). Otot detrusor tetap tidak berkontraksi dan otot dasar panggul mempertahankan tonus istirahat normalnya. Bila tercapai volume urin 200-300 ml, pada kandung kemih dengan compliance yang normal, tekanan tetap rendah akan tetapi terjadi sensasi urgensi yang lebih kuat karena peningkatan aktivasi reseptor regangan. Otot detrusor dan dasar panggul tetap tidak mengalami perubahan. Bila pengisian berlanjut melewati batas kemampuan viskoelastik kandung kemih (volume urin 400-550 ml), akan timbul kenaikan tekanan intravesikal yang progresif. Peningkatan ini akan menstimulasi reseptor regangan di dinding detrusor, menghambat impuls ke segmen sakral melalui syaraf pelvis. Badan-badan sel parasimpatis distimulasi dan impuls eferen akan berjalan pada syaraf pelvis ke dinding kandung kemih sehingga akan menimbulkan kontraksi otot detrusor. Urgensi berkemih yang lebih kuat akan timbul dan otak akan memerintahkan seseorang untuk pergi ke toilet,melepas pakaian dan duduk atau berdiri di toilet. Refleks regangan otonom (reflex berkemih) ini memberikan kontrol kandung kemih di tingkat spinal. Berkemih merupakan suatu peristiwa neuromuskular yang dimediasi oleh stimulasi parasimpatis sehingga timbul kontraksi phasic otot detrusor. Kontraksi detrusor ini kemudian akan menyebabkan relaksasi uretra. Saat pasien diminta untuk berkemih (fase pengosongan) terjadi penurunan aktivitas EMG dan tekanan sfingter uretra. Tidak terdapat refleks inhibisi ke pusat berkemih di sakral dari mekanisme sfingter yang kemudian diikuti dengan kontraksi detrusor. Sfingter uretra tetap terbuka selama berkemih, dan tidak terjadi peningkatan tekanan intra abdominal selama berkemih. Pada orang muda, biasanya tidak terdapat residual urin setelah berkemih (Postvoid Residual), akan tetapi walaupun begitu volume pasca berkemih (PVR) akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Volume PVR yang normal bervariasi, akan tetapi sebagian praktisi menganggap bahwa volume PVR 5-50ml di kandung kemih dianggap sesuatu yang normal. Berkemih dapat terjadi secara volunter sebelum kandung kemih penuh dan dapat juga diinhibisi saat kandung kemih penuh oleh inhibisi suprapontine Walaupun proses berkemih dan penyimpanan urine merupakan fungsi utama sistem syaraf otonom, akan tetapi hal tersebut berada di bawah kontrol volunteer suprapontine cerebral

centers, sehingga kelompok otot lain (lengan, kaki, tangan) dapat diintegrasikan untuk membantu proses berkemih.

Ada beberapa hal yang berperan dalam membantu proses berkemih, yaitu: a. Persyarafan traktus urinarius bagian bawah berasal dari tiga sumber : Sistim syaraf parasimpatis (S2-S4) n pelvikus Sistim syaraf simpatis (T11-L2) n. hipogastrikus dan rantai simpatis Sistim syaraf somatis atau volunter (S2-S4) n. pudendus Sistim syaraf pusat mengintegrasikan kontrol traktus urinarius. Pusat miksi yang berasal dari pontine memperantarai relaksasi spinkter dan kontraksi detrusor secara sinkron; sementara lobus frontalis, basal ganglia dan cerebellum mengatur efek inhibisi dan fasilitasi. Penyimpanan urin dimediasi oleh relaksasi detrusor dan penutupan sfingter. Relaksasi detrusor terjadi karena inhibisi sistim syaraf pusaSt terhadap tonus parasimpatis, sementara itu penutupan spinkter dimediasi oleh peningkatan reflex aktivitas alfaadrenergik dan somatis. Pengeluaran urin terjadi saat detrusor berkontraksi, dimediasi oleh sistem syaraf parasimpatis, yang disertai dengan relaksasi sfingter Suplai syaraf parasimpatis eferen berasal dari nukleus detrusor yang berada di intermediolateral gray matter medulla spinalis S2-S4. Eferen sakral keluar sebagai suatu serabut preganglionik di ventral roots dan berjalan melalui syaraf pelvikus (nervi erigentes) ke ganglia dekat atau dalam otot detrusor untuk memberikan input eksitasi kepada kandung kemih. Setelah impuls tiba di ganglia parasimpatis, impuls akan berjalan melalui postganglionik yang pendek ke reseptor otot polos kolinergik, menyebabkan timbulnya kontraksi kandung kemih. Syaraf simpatis eferen mempersyarafi kandung kemih dan uretra dimulai dari intermediolateral gray column T11 L2 dan memberikan input inhibisi ke kandung kemih. Impuls simpatis ini berjalan dalam rentang pendek ke ganglia simpatis paravertebral lumbal, kemudian ke sepanjang syaraf postganglionik yang panjang dalam syaraf hipogastrik untuk bersinaps di reseptor alpha dan beta adrenergik dalam kandung kemih dan uretra. Stimulasi simpatis akan memfasilitasi penyimpanan urin di kandung kemih dalam suatu keadaan yang terkoordinasi karena lokasi reseptor adrenergik yang strategis. Reseptor beta adrenergik terutama terletak di bagian superior kandung kemih dan stimulasinya menyebabkan relaksasi otot polos. Reseptor alpha adrenergic mempunyai densitas yang lebih tinggi di dekat dasar kandung kemih dan uretra prostatik, sehingga

stimulasinya akan menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan tahanan outlet kandung kemih dan uretra prostatic b. Persarafan pada uretra Sfingter uretra eksternal mempunyai persyarafan somatik yang menyebabkan sfingter dapat tertutup sesuai keinginan. Syaraf somatik eferen berasal dari nucleus pudendal di segmen sakral (S2 sampai S4) yang disebut dengan Onufrowiczs nucleus (Onufs). Syaraf eferen ini lalu berjalan melalui syaraf pudendal ke paut neuromuskuler serabut otot lurik di sfingter uretra eksternal. Sfingter uretra internal bekerja di bawah kontrol sistem otonom. Area ini mempunyai sejumlah reseptor alfa simpatis, yang jika distimulasi akan menyebabkan timbulnya kontraksi

C. Klasifikasi Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi 2 (Kane, Reuben dalam Pranarka, 2000): 1. Inkontinensia akut. Biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obatobatan yang digunakan (iatrogenik). Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan. Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000): D R I P : Delirium : Retriksi, mobilitas, retensi : Infeksi, inflamasi, impaksi feses : Pharmacy (obat-obatan), poliuri

a. Delirium, merupakan gangguan kognitif akut dengan latar belakang dehidrasi, infeksi paru, gangguan metabolisme, dan elektrolit. Delirium menyebabkan proses hambatan refleks miksi berkurang yang menimbulkan inkontinensia bersifat sementara. Kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. b. Infeksi traktus urinarius. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat mengakibatkan inkontinensia. Sehingga mengakibatkan seorang usila tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih. Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimptomatik) yang banyak

terjadi pada usila, tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi dan bisa saja bukan etiologi inkontinensia. c. Atrophic vaginitis. Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge incontinence. Gejalanya sangat responsif terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral atau topikal. Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu, walaupun respon biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang. d. Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007).

Sedative Hypnotics (benzodiazepines : diazepam, flurazepam). Sedatif, seperti benzodiazepin dapat berakumulasi dan menyebabkan confusion dan inkontinensia sekunder, terutama pada usia lanjut. Alkohol juga mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas dan menimbulkan dieresis

Loop Diuretics. Obat-obatan seperti diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat menemukan toilet pada waktunya akan timbul urge incontinence.

Anti-cholinergic Agents. Agen antikolinergik dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence.

Alpha-adrenergic agonist and antagonist. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih. Sebaliknya, obat-obatan ini sering bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress incontinence. Alpha blockers, yang sering dipergunakan untuk

10

terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan menyebabkan stress incontinence. Calcium Channel Blockers. Calcium channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang menimbulkan nokturia.
e. Psikologis.

Depresi dan kecemasan dapat menyebabkan pasien mengalami kebocoran urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat. Intervensi awal ditujukan pada gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih terdapat inkontinensia maka harus dilakukan evaluasi lebih lanjut.
f. Endocrine disorders.

Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake cairan yang banyak, minuman berkafein, dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan suatu kondisi overactive bladder. Kondisi yang mengakibatkan poliuria seperti hiperglikemia, hiperkalsemia, pemakaian diuretika, dan minum banyak juga dapat mencetuskan inkontinensia akut. Kelebihan cairan seperti gagal jantung kongestif, insufisiensi vena tungkai bawah akan mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut malam hari. Inkontinensia akut pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostate. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal kandung kemih yang selajutnya menstimulus otot detrusor involunter.
g. Restricted mobility. Usia lanjut dengan kecenderungan mengalami frekuensi, urgensi, dan nokturia akibat proses menua akan mengalami inkontinensia jika terjadi gangguan mobilitas karena gangguan moskuloskeletal, tirah baring dan perawatan di rumah sakit. Keterbatasan mobilitas ini dapat disebabkan karena kondisi nyeri arthritis, deformitas panggul, gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural atau post prandial, perasaan takut jatuh, stroke, masalah kaki atau ketidakseimbangan karena obat-obatan. Pola miksi di samping atau di tempat tidur dapat mengatasi masalah ini. h. Stooli impaction.

11

Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih dan menekan syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan dapat menimbulkan kondisi retensi urine dan overflow incontinence.

2.

Inkontinensia persisten/kronik/menetap. Tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama. Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): a. Tipe stress

Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan. b. Tipe urgensi

Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor

12

VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. c. Tipe luapan (overflow)

Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain: o Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin. o Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus. d. Tipe fungsional Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini. D. Etiologi Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan oleh komplikasi dari penyakit seperti infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada abdominal.

Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):


Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya.

Faktor Resiko Inkontinensia Urin

13

1. Usia Prevalensi inkontinensia meningkat bertahap selama masa dewasa muda. Puncak yang lebar tampak pada usia pertengahan dan kemudian menetap setelah usia 65 tahun (Hannestad, 2000).

Prevalence of any (n = 6,170) and significant (n = 1,832) incontinence by age group (From Hannestad, 2000, with permission.)

2. Ras Dulunya wanita kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensisa urin daripada ras lain. Namun sebaliknya, wanita Afrika-Amerika dipercaya berprevalensi lebih tinggi pada urge incontinence. Namun laporan tersebut tidak berdasar populasi, dan dengan demikian perbedaan ras sejatinya bukan merupakan perkiraan yang terbaik. Sebagian besar studi epidemiologis mengenai inkontinensia urin dilaksanakan dalam populasi Kaukasian. Data yang ada menyangkut perbedaan ras sangat didasarkan pada ukuran sampel yang kecil (Bump, 1993). Dari catatan terkini, belum jelas apakah perbedaan ini biologis, berkaitan dengan penilaian pelayanan kesehatan, atau dipengaruhi oleh ekspektasi kultural dan ambang toleransi simptom. Dengan demikian, masih diperlukan studi lebih mendalam mengenai studi non-Kaukasian.

3. Obesitas

14

Beberapa studi epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan body mass index (BMI) merupakan faktor resiko independen dan signiffikan untuk semua jenis inkontinensia urin (Table 23-1). Bukti menunjukkan bahwa prevalensi urge incontinence dan stress incontinence meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya BMI (Hannestad, 2003). Secara teoritis peningkatan tekanan intraabdominal yang bersamaan dengan pemingkatan BMI menghasilkan tekanan intravesikal yang secara proporsional lebih tinggi. Tekanan yang lebih tinggi ini menimbulkan urethral closing pressure dan menjurus pada inkontinensia (Bai, 2002). Deitel and co-workers (1988) melaporkan adanya penurunan yang signifikan pada prevalensi stress urinary incontinence, dari 61 menjadi 11%, pada wanita obese seiring dengan penurunan berat bdan setelah pembedahan bariatrik. Sesuai dengan itu, jika proporsi populasi yang overweight dan obese lebih besar, diharapkan kita dapat melihat peningkatan prevalensi inkontinensia urin di Amerika Serikat (Flegal, 2002).

4. Menopause Studi-studi yang ada belum konsisten menunjukkan adanya peningkatan disfungsi urin setelah seorang wanita memasuki tahun-tahun postmenopausal (Bump, 1998). Sukar untuk memisahkan efek hipoestrogenisme dari efek penuaan. Reseptor estrogen afinitas tinggi telah diidentifikasi di uretra, muskulus pubokoksigeal, dan trigonum bladder, namun jarang ditemukan di bladder (Iosif, 1981). Dipercaya bahwa perubahan kolagen yang berkaitan dengan hipoestrogen dan reduksi vaskularisasi serta volume muskulus skeletal secara kolektif berperan pada gangguan fungsi uretra melalui penurunan resting urethral pressure (Carlile, 1988). Lebih jauh lagi, defisiensi estrogen yang menimbulkan atrofi urogenital diperkirakan berperan dalam simptom sensoris urinari yang menyertai menopause (Raz, 1993). Estrogen memang berperan penting dalam fungsi urinari normal, namun masih kurang jelas apakah estrogen berguna dalam terapi atau pencegahan inkontinensia (Estrogen Replacement) (Fantl, 1994, 1996). 5. Kelahiran dan kehamilan Banyak studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi inkontinensia urin lebih besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari melahirkan anak terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung pada otot-otot pelvis dan perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan syaraf dari trauma atau ketegangan yang ada dapat berdampak pada disfungsi otot pelvis (Snooks, 1986). Secara spesifik, level yang lebih tinggi dari latensi motorik nervus pudendal yang lama setelah melahirkan nampak pada wanita dengan inkontinensia dibanding dengan wanita yang asimtomatis. 6. Kebiasaan merokok dan penyakit paru kronis

15

Ada 2 studi epidemiologis yang menunjukkan peningkatan resiko inkontinensia urin yang signifikan pada wanita usia lebih dari 60 tahun dengan penyakit pulmoner obstruktif kronis (Brown, 1996; Diokno, 1990). Sama pula pada kebiasaan merokok yang diidentifikasi sebagai faktor resiko independen inkontinensia urin pada beberapa studi. Salah satu dari studi tersebut, menyebutkan bahwa baik yang perokok maupun mantan perokok tercatat memiliki resiko 2-3 kali lipat dibanding dengan yang bukan perokok (Bump, 1992). Secara teoritis, kenaikan persisten tekanan intraabdominal yang timbul karena batuk kronis perokok dan sintesis kolagen, dapat diturunkan dengan efek antiestrogenik merokok. 7. Histerektomi Studi belum menunjukkan hasil yang konsisten bahwa histerektomi merupakan faktor resiko berkembangnya inkontnensia urin. Studi yang menunjukkan hubungan tersebut adalah studi retrospektif, kurangnya grup kontrol yang sesuai, dan sering semata-mata berdasarkan data subyektif (Bump, 1998). Sebaliknya, Studi yang meliputi tes pre dan post operatif urodinamik mengungkapkan perubahan fungsi bladder yang secara klinis tidak signifikan. Lebih jauh lagi, bukti tidak mendukung bahwa menghindari histerektomi yang telah diindikasikan secara klinis ataupun menghindari pelaksanaan histerektomi supracervical menjadi ukuran untuk mencegah inkontinensia urin (Vervest, 1998; Wake, 1980).

E. Patofisiologi Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007). Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa

16

menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007). Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu,

prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007). Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).

17

F. Manifestasi klinik 1. Urgensi 2. Retensi 3. Kebocoran urine 4. Frekuensi 5. Patofisiologi

G. Pemeriksaan Diagnosa 1. Pemeriksaan Fisik Inspeksi Umum dan Evaluasi Neurologis Awalnya, perineum diinspeksi ada tidaknya atrofi, yang dapat diperhatikan dari traktus genital bagian bawah. Sebagai tambahan, penggelembungan sub-uretra (suburethral bulging) mungkinmengindikasikan adanya divertikulum dan sebaiknya dieksklusikan selama inspeksi. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh pada wanita inkontinensia juga harus meliputi evaluasi neurologi perineum yang menyeluruh. Karena respon neurologis bisa berubah pada pasien dengan gangguan kecemasan saat keadaan tertentu, tanda-tanda klinis yang menghilang selama pemeriksaan tidak menunjukkan patologi sebenarnya, jadi sebaiknya diintepretasikan dengan hati-hati. Evaluasi neurologis dimulai denan upaya menghilangkan refleks bulbokavernosus. Selama tes ini, salah satu labium mayor digores cotton swab. Normalnya, kedua labia akan sama-sama berkontraksi bilateral. Komponen aferen refleks ini adalah nervus pudendus cabang klitoris, dimana komponen eferennya dibungkan melalui nervus pudendus cabang hemoroidal. Refleks ini diintegrasikan pada medulla spinalis setinggi S2 sampai S4 (Wester, 2003). Sehingga ketiadaan refleks ini dapat merefleksikan adanya defisit neurologis sentral maupun perifer. Yang kedua, kontraksi sfingter anal yang normal melingkar, biasa disebut sebagai "anal wink", harus mengikuti penggoresan cotton swab pada kulit perianal. brushing of the perianal skin. Aktivitas sfingter uretra eksternal membutuhkan paling sedikit inervasi setinggi S2 sampai S4 yang intak, dan refleks anokutaneus ini dimediasi oleh tingkat neurologis spinal yang sama. Dengan demikian, tidak adanya anal wink dapat mengindikasikan adanya defisit neurologis pada distribusi neurologis ini. 2. Penilaian Support Pelvis Evaluasi Prolaps Organ Pelvis Urethral support yang melemah biasanya disertai dengan prolaps organ pelvis (POP). Contohnya, wanita dengan prolaps yang signifikan biasanya tidak mampu

18

mengosongkan bladderya dengan sempurna karena obstruksi maupun lipatan (kinking) uretra. Mereka harus menaikkan atau mengurangi prolapsnya dengan jari untuk mengosongkan bladdernya. Sehingga evaluasi eksternal POP diindikasikan untuk wanita dengan inkontinensia. Selain mengevaluasi defek kompartemen vaginal, evaluasi kekuatan otot pelvis juga harus dilaksanakan. Wanita dengan inkontinensia ringan sampai moderat sering merespon dterapi dasar panggul dengan baik dan dalam keadaan ini, trial terapi ini dijamin baik dan sering kuratif. 3. Q-Tip Test Jika uretra tersupport lemah, maka selama peningkatan tekanan intraabdominal, uretra akan mengalami hipermobilitas. Untuk menilai mobilitasnya, letakkan ujung lembut cotton swab masuk ke uretra sampai pada urethrovesical junction. Kegagalan memasukkan ujung cotton swab ke dalam urethrovesical junction menandakan adanya permasalahan pada jaringan pendukung. Ketidaknyamanan dari Q-tip test ini dapat dikurangi dengan analgesia intrauretra. Biasanya, 1% jeli lidokain ditambahkan pada cotton swab sebelum disisipkan ke dalam uretra. Berikutnya, dilakukan manuver valsava. Penyimpangan sudut swab sebelum dan sesudah manuver valsava diukur dengan goniometer atau standard protractor. Penyimpangan sudut swab sebelum dan sesudah manuver valsava lebih besar daripada 30 di atas horisontal, mengindikasikan adanya hipermobilitas uretra dan hal ini dapat membantu mengarahkan perencanaan terapi surgikal untuk menangani stress incontinence. Q-tip test

19

Drawing depicting Q-tip test in a patient with urethral hypermobility. A. Angle of the Q-tip at rest. B. Angle of the Q-tip with Valsalva maneuver or other increases in intra-abdominal pressure. The urethrovesical junction descends, causing upward deflection of the Q-tip. (From Tarnay, 2007, with permission.)

4. Pemeriksaan Rektovaginal dan Bimanual Pada umumnya, pmeriksaan pelvis memberikan sedikit petunjuk diagnostik mengenai penyebab yang mendasari trerjadi inkontinensia. Pemeriksaan bimanual dapat

mengungkapkan massa pelvis atau uterus yang membesar karena leiomioma atau adenomiosis. Hal ini mengakibatkan inkontinensia melalui peningkatan tekanan eksternal yang ditransmisikan ke VU. Sebagai tambahan, impaksi faeces yang biasa terjadi pada pasien yang dirawat di rumah (nursing home) dapat mengarah pada urgensi bladder dan akhirnya terjadi inkontinensia urin. 5. Uji Diagnostik a. Urinalisis dan Kultur Semua wanita inkontinensia sebaiknya diteliti apakah ada infeksi maupun patologi traktus urinariusnya pada kunjungan awal. Atasi infeksi dengan pengobatan yang sesuai jika ada, dan jika terdapat simptom yang persisten, perlu evaluasi tambahan lebih lanjut. b. Pemeriksaan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (National Institutes of Health, 1990; Resnick, 1990a). Kultur urin akan membantu untuk menyingkirkan infeksi, yang berhubungan dengan inkontinensia c. Residual Post Pengosongan (PVR) Volume ini rutin diukur selama evaluasi inkontinensia. Setelah miksi, residu post pengosongan atau biasa disebut PVR (postvoid residual) diukur dengan hand-held sonographic scanner atau dengan kateterisasi transuretral. Jika menggunakan handheld scanner, perhatikan wanita dengan uterus leiomiomatous yang membesar karena ini akan salah merekam PVR yang besar. Pada contoh kasus ini, atau pada kasus tidak adanya scanner, maka gunakan kateterisasi transuretral untuk mengonfirmasi volume residual bladder. PVR yang besar bisa menunjukkan salah satu dari beberapa masalah berikut ini : infeksi rekuren, obstruksi uretra oleh massa pelvis, atau defisit neurologis. Sebaliknya, PVR yang normalnya sedikit sering ditemukan pada SUI. d. PVR Postoperatif

20

Setelah tindakan pembedahan anti-inkontinensia, pengukuran PVR merupakan indikator yang membantu menilai kemampuan pasien dalam mengosongkan blaaddernya dengan sempurna. Evaluasi ini dapat dilengkapi dengan trial pengosongan aktif maupun pasif. Dengan trial pengosongan pasif, kateter urin dilepas, dan PVR diukur dengan scanner atau dengan kateterisasi transurethral tiap setelah pengosongan volunter dalam 2 kesempatan. Volume pengosongan minimal 300 mL dan yang ditargetkan adalah PVR kurang dari 100 mL. Namun pengosongan bladder dianggap normal jika PVR kurang dari 1/3 volume pengosongan. Jika pasien tdak memenuhi kriteria tersebut, atau ia tak mampu memngosongkan bladder dalam waktu 4-6 jam semenjak pelepasan kateter, selanjutnya pasang kateter lagi dan tes dilakukan sehari kemudian atau lebih. Selama trial pengosongan aktif, bladder secara aktif diisi dengan set volume, dan diikuti pengosongan bladder oleh pasien, volume residual urin bladder kemudian dihitung. Awalnya bladder dikosongkan seluruhnya dengan kateterisasi. Berdiri tegak lurus selama kateterisasi dapat membantu membersihkan sebagian besar porsi dependen bladder. Air steril diinfuskan di bawah gravitas ke bladder melalui kateter yang sama sampai kira-kira 300 mL atau sampai tercapai kapasitas maksimum subyektif. Pasien kemudian dinminta untuk mengosongkan spontan ke alat penampung urin. Perbedaan antara volume yang diinfuskan dengan volume yang dikeluarkan dicatat postvoid residual (PVR). Residu kurang dari 100 mL atau 1/3 volume yang dimasukkan, jika kurang dari 300 ml yang diinfuskan, mengindikasikan pengosongan bladder adekuat. 6. Test Sistourethroskopi dan diagnostik imaging. Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi, dapat dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri. Sistometri merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan keadaan kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan kelainan anatomi (ureter ektopik).

21

Gambar 4. uroflowmetri Pada pemeriksaan uroflowmetri tidak ada persiapan khusus. Pasien akan diminta minum banyak kemudian berkemih pada suatu alat yang memakai detektor (probe). Selanjutnya komputer akan menganalisis kekuatan pancarannya.

7. Sistometrografi Mengikuti uroflowmetry, sistometrografi dilakukan untuk menentukan apakah seorang wanita memiliki bukti urodinamik SUI yang nyata atau overaktivitas detrusor (OD).

Gambar 5. Sistometri Sistometri merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan keadaan kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif

H. Penatalaksanaan Manajemen pasien inkontinensia urine saat perawatan dirumah ataupun di rumah sakit: 1. Menjaga kebersihan kulit, kulit tetap dalam keadaan kering, ganti sprei atau pakaian bila basah. 2. Anjurkan klien untuk latihan bladder training 3. Anjurkan pemasukkan cairan 2-2,5 liter / hari jika tidak ada kontra indikasi.

22

4. Anjurkan klien untuk latihan perineal atau kegels exercise untuk membantu menguatkan kontrol muskuler ( jika di indikasikan ). Latihan ini dapat dengan berbaring, duduk atau berdiri 5. Cek obat-obat yang diminum ( narkotik, sedative, diuretik, antihistamin dan anti hipertensi ), mungkin berkaitan dengan inkontinensia. 6. Cek psikologis klien.

Hal yang dapat dilakukan pada pasien inkontinensia urine: 1. Manajemen Stress. Ada kasus yang inkontinensia karena stres. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang sering terkena ketegangan dan situasi mengerikan lainnya. Tanpa disadari, beberapa reaksi terhadap sejenis tekanan adalah inkontinensia. Ketika ini terjadi, kita harus belajar untuk merancang sarana yang tepat agar stres dapat ditangani dengan benar dan ketegangan dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih positif. 2. Belajar untuk membatasi asupan cairan. Hal ini karena salah satu bentuk inkontinensia karena inkontinensia overflow. Ketika ini terjadi, pasien memiliki sensasi yang kandung kemih selalu penuh. Akibatnya, satu urin akan terus bocor dari kandung kemih penuh. Cara terbaik untuk mengatasi ini adalah untuk meminimalkan asupan cairan tubuh. 3. Mengurangi berat. Penurunan Berat bermanfaat dalam menangani inkontinensia karena berhubungan langsung dengan massa tubuh. Massa tubuh lebih besar kemungkinan akan menyebabkan inkontinensia dari massa tubuh lebih ringan. 4. Rutin Berolahraga. Berolahraga secara teratur akan membantu otot-otot panggul semakin kuat, sehingga mereka dapat dengan mudah menangani kasus inkontinensia. 5. Penggunaan Sling. Ketika otot-otot dasar panggul seorang wanita lemah, hampir tidak dapat mendukung uretra. Akibatnya, ada kebocoran sering kencing. Pada prosedur selempang, ada bahan mesh yang terbuat dari jaringan sendiri untuk mendukung uretra. Prosedur memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, meskipun memerlukan operasi bedah untuk dimasukkan bahan mesh. 6. Penggunaan Kateter. Meskipun prosedur ini sangat populer, itu umumnya hanya digunakan dalam kasus-kasus yang paling parah. Dalam prosedur ini, tabung dimasukkan melalui uretra dan masuk ke

23

kandung kemih untuk mengalirkan urin.

Kateter menetap tidak dianjurkan untuk

digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih. 7. Pampers Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi 8. Alat bantu toilet Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet. 9. Biofeedback. Prosedur ini merupakan kombinasi dari konseling dan monitoring elektronik tubuh pasien. Dalam prosedur ini, seorang wanita diwawancarai untuk menentukan kemungkinan situasi yang menyebabkan kebocoran air seni. Dalam waktu yang sama, perangkat memantau tingkat urine nya, memungkinkan peneliti untuk menentukan situasi di mana ada kemungkinan kebocoran urin. 10. Melakukan Senam Kegel
Langkah pertama, posisi duduk atau berbaring, cobalah untuk mengkontraksikan otot panggul dengan cara yang sama ketika kita menahan kencing. Pasien harus dapat merasakan otot panggul pasien meremas uretra dan anus. Apabila otot perut atau bokong juga mengeras maka pasien tidak berlatih dengan otot yang benar. Ketika pasien sudah menemukan cara yang tepat untuk mengkontraksikan otot panggul maka lakukan kontraksi selama 10 detik, kemudian mengendorkan atau lepaskan atau diistirahatkan selama 10 detik. Lakukan latihan ini berulangulang sampai 10-15 kali per sesi. Sebaiknya latihan ini dilakukan tiga kali sehari. Latihan kegel hanya efektif bila dilakukan secara teratur dan baru terlihat hasilnya 8-12 minggu setelah latihan teratur.

Penanganan Konservatif

24

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis. a. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises) Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis. Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. o Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. o Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (bladder training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.

Langkah-langkah LKK(Latihan kandung kecing) : 1) Tentukan tipe kandung kemih neurogenik 2) Tiap waktu miksi dimulai dengan stimulasi : Tipe UMN : Menepuk paha dalam, menarik rambut daerah pubis, masukkan jari pada rektum. Tipe LMN : Metode Crade atau manuver valsava. Kateterisasi : kateter menetap atau berkala. b. Stimulasi Listrik. Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan

25

dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, Hodge pessary, silindris. c. Alat Mekanis (Mechanical Devices) Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.

Obat-obat yang bisa diberikan pada pasien inkontinensia urine: 1. Alfa Adrenergik Agonis Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan urethra obat aktif agonis alfareseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan.. 2. Efedrin Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia stres. Efek samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP 3. Phenylpropanololamine PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa dalam kombinasi dengan antihistamin dan anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres mengalami perbaikan. 4. Estrogen Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat. 5. Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. 6. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. 7. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

26

Terapi Pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

I.

Pengobatan (Terapi Urge Incontinence) 1. Oxybutynin dan Tolterodine Obat-obatan yang secara kompetitif mengikat reseptor kolinergik dapat menurunkan simptom urge incontinence, meliputi tolterodine, oxybutynin, dan imiramine. Namun seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, reseptor muskarinik tidak terbatas pada kandng kemih. Dengan demikian efek samping obat ini bisa signifikan. Efek yang paling sering muncul berupa : mulut kering, konstipasi dan pandangan kabur. Yang paling utama menyebabkan pasien putus obat biasanya keluhan mulut kering. Penting untuk dicatat, antikolinergik dikontraindikasikan untuk glaukoma sudut sempit. Karena efek-efek ini, obyek terapeutik blokade bladder M3 dengan agen antimuskarinik ini sering dibatasi oleh efek samping antikolinergiknya. Maka dari itu seleksi obat sebaiknya disesuaikan, dan efikasinya setara dengan tolerabilitasnya. Misalnya, Diokno et al (2003) menemukan oxybutynin (Ditropan XL, Ortho-McNeil Pharmaceuticals, Raritan, NJ) yang lebih baik daripada tolterodine (Detrol LA, Pfizer, New York, NY). Namun tolterodine memiliki level efek samping yang lebih rendah. Tabel 23-6 Efek samping potensial Antikolinergik Efek samping midriasis Penurunan akomodasi visual Penurunan salivasi Penurunan sekresi bronkhial Penurunan keringat Peningkatan denyut jantung Penurunan fungsi detrusor Konsekuensi klinis potensial fotofobia Penglihatan kabur Ulcerasi Gingival dan buccal Small airway mucus plugging Hipertermi Angina, infark miokardium Distensi kandung kemih dan retensi urin Mobilitas gastrointestinal menurun konstipasi

27

2. Antagonis Reseptor Muskarinik Selektif Medikasi antikolinergik terbaru memperkenalkan agen yang dapat mengurangi efek samping sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup. Kesemua agen tersebut adalah

antagonis selektif reseptor M3, meliputi solifenacin (VESIcare, Yamanouchi Pharma, Paramus, NJ), trospium chloride (Santura, Esprit Pharma, East Brunswick, NJ), dan darifenacin (Enablex, Novartis, East Hanover, NJ). Sebuah studi menunjukkan adanya keuntungan dari peningkatan waktu peringatan urgensi dan penurunan efek samping muskarinik (Cardozo, 2004; Chapple, 2005; Haab, 2006; Zinner, 2004). Meskipun profil efek samping obat-obat ini menarik, namun belum terbukti baik terhadap obat-obat reseptor muskarinik nonselektif pada randomized controlled trials. 3. Imipramine Agen ini kurang efektif dibanding tolterodine and oxybutynin, namun bersifat -adrenergik seperti halnya karakteristik antikolinergik. Sehingga kadang diresepkan untuk orang yang mengalami inkontinensia urin campuran. Penting diketahui bahwa dosis imipramin yang digunakan untuk inkontinensia secara signifikan lebih rendah daripada yang digunakan pada depresi dan nyeri kronis. Berdasarkan pengalaman, hal ini meminimalkan resiko teoritis obat yang berhubungan dengan efek sampingnya. 4. Neuromodulasi Sakral Alat yang diimplantasikan melalui pembedahan pada pasien rawat jalan ini terdiri dari pulse generator dan electrical lead yang diletakkan di foramen sakrum untuk memodulasi inervasi kandung kemih dan dasar pelvis. Neuromodulasi sakrum dilaksanakan pada wanita dengan urgensi refraktori, frekuensi, atau urge incontinence. Juga dapat dipertimbangkan untuk nyeri pelvis, sistitis interstisial, dan disfungsi defekatori, meskipun FDA belum menyetujui indikasi tersebut. Neuromodulasi sakral tidak dipertimbangkan sebaga terapi primer. Para wanita memiliki pilihan berupa terapi farmakologis dan konservatif. Implantasi merupakan proses 2 tahap yang khas. Awalnya lead dipasang dan dilekatkan pada externally worn generator. Setelah pemasangan tersebut, frekuensi dan amplitudo impuls listrik dapat dinilai dan diasesuaikan sampai keefektifan maksimum. Jika terdapat perbaikan sebesar 50% atau lebih dalam simptom yang ada, maka implantasi internal permanent pulse generator dapat direncanakan selanjutnya. Meskipun penggunaannya terbatas, modalitas ini menunjukkan keefektifan terapi. Hasil studi menemukan adanya tingkat perbaikan yang berkisar antara 60-75%, dan tingkat kesembuhan sebesar 45% (Janknegt, 2001; Schmidt, 1999; Siegel, 2000). Prosedur ini

28

invasif minimal dan bisa selesai dalam waktu 1 hari pembedahan, sehingga penyembuhannya pun cepat. Komplikasi dari pembedahannya jarang terjadi namun bisa muncul sebagai nyeri atau infeksi di sisi tempat insersi generator.

5. Terapi Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut: a. Program rehabilitasi antara lain Melatih respons VU agar baik lagi Melatih perilaku berkemih Latihan otot-otot dasar panggul Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo)

b. Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indwelling) c. Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi VU, estrogen d. Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain e. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

J.

Pencegahan terjadinya inkontinensia urin. Inkontinensia urine dapat dicegah dengan beberapa langkah sederhana antara lain : 1. Teknik perubahan perilaku, misalnya membiasakan diri untuk berkemih setiap 2-3 jam untuk menjaga agar kandung kemih relatif kosong. 2. Menghindari minuman yang bisa menyebabkan iritasi kandung kemih, misalnya minuman yang mengandung kafein. 3. Minum sebanyak 6-8 gelas/hari untuk mencegah pemekatan air kemih, karena air kemih yang terlalu pekat bisa mengiritasi kandung kemih. 4. Menghentikan pemakaian obat-obatan yang bisa menimbulkan efek samping pada kandung kemih.

K. Prognosis pasien yang mengalami inkontinensia urine: Inkontinensia tekanan urin; Pengobatan tidak begitu efektif untuk mengatasi inkontinensia urin.Pengobatan yang efektif adalah dengan latihan otot (latihan Kegel) dan tindakan bedah.Perbaikan kondisi

29

dengan terapi alfa agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi perbaikan kondisi dengan latihan Kegel bisa mencapai 87%-88%. Inkontinensia urgensi; Studi menunjukkan bahwa latihan kandung kemih memberikan perbaikan yang cukup signifikans (75%) dibandingkan dengan penggunaan obat antikolinergik (44%).Pilihan terapi bedah sangat terbatas dan memiliki tingkat morbiditas yang tinggi. Inkontinensia luapan (overflow); Terapi medikasi dan bedah sangat efektif untuk mengurangi gejala inkontinensia.

L. Epidemiologi Inkontinensia urin merupakan keluhan terbanyak yang tercatat pada Papyrus Ebers (1550 SM), Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%. Di Amerika Serikat saat ini tercatat 13 juta orang mengalami inkontinensia dengan 11 juta diantaranya berjenis kelamin wanita. Dua puluh lima persen wanita antara usia 30-59 tahun pernah mengalami inkontinensia urin, sementara pada individu berusia 60 tahun atau lebih, 15%-30% menderita inkontinensia urin. Di antara wanita berusia pertengahan, suatu penelitian mengindikasikan bahwa dari 58% populasi yang melaporkan inkontinensia hanya 25% yang mencari terapi untuk kondisi tersebut. Thomas mengidentifikasikan bahwa hanya 1 dari 10 wanita akan mencari pelayanan kesehatan profesional untuk masalah inkontinensianya. Tahun 1997, berdasarkan hasil dari 21 penelitian, Hampel menemukan bahwa stress incontinence merupakan bentuk paling sering (49%) inkontinensia pada wanita sementara urge incontinence merupakan bentuk tersering (40-80%) pada pria. Thomas et al melaporkan bahwa gejala stress incontinence lebih sering terjadi pada wanita berusia 45-54 tahun, sementara urge incontinence kejadiannya akan meningkat seiring dengan pertambahan usia (antara 35-64 tahun). Sementara Kondon dan rekannya menemukan prevalensi stress incontinence maksimum (43%) pada kelompok usia 50 tahun). Kondisi yang paling sering ditemukan adalah SUI, yaitu sekitar 29-75% kasus. Overaktivitas detrusor mencapai 33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya berupa bentuk campuran (MUI) (Hunskaar, 2000).

M. Asuhan Keperawatan 1. PENGKAJIAN

30

a. Identitas klien inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya. b. Riwayat kesehatan Riwayat kesehatan sekarang Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan. Riwayat kesehatan klien Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit. Riwayat kesehatan keluarga Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan. c. Pemeriksaan fisik Keadaan umum Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia. Pemeriksaan Sistem : - B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi. - B2 (blood) Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah - B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh - B4(bladder) Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.

31

- B5(bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal. - B6(bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian. d. Data penunjang Urinalisis Hematuria. Poliuria Bakteriuria.

e. Pemeriksaan Radiografi IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual). Kultur Urine - Steril. - Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml). - Organisme. 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih b. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan c. Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine d. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama. e. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine

3. INTERVENSI No Diagnosa

Tujuan

Intervensi

Rasional

a. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih Klien mampu mengontrol Eliminasi urin. o identifikasi pola berkemih Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih o ajarkan untuk membatasi masukan cairan pada malam hari Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enuresis

32

o ajarkan tekhnik untuk mencetuskan refleks berkemih ( rangsangan kutaneus dengan penepukan supra pubik) Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih o bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih yang telah di rencanakan. Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urin sehingga di perlukan untuk lebih sering berkemih o berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal sedikitnya 2000cc/hari bila tidak ada kontra indikasi. Hidrasi optimal di perlukan untuk mencegah isk dan batu ginjal

b. Ansietas b/d perubahan status kesehatan

Klien dapat mengatasi rasa cemasnya

o kaji tingkat rasa takut pada pasien dan orang terdekat. Membantu menentukan jenis intervensi yang di perlukan o akui kenormalan perasaan pada situasi ini Mengetahui perasaan normal dapat menghilangkan rasa takut o dorong dan berikan kesempatan untuk pasien mengajukan pertanyaan dan masalah Memberi perasaan terbuka dan bekerja sama dan memberikan informasi yang akan membantu dalam mengatasi masalah. o dorong orang terdekat berpartisipasi dalam asuhan sesuai indikasi, akui masalah pasien. Keterlibatan meningkatkan perasaan berbagi. o tunjukan indikator positif pengobatan. Meningkatkan perasaan berhasil atau maju o beri informasi tentang masalah kesehatannya Dapat mengurangi ansietas yang berlebihan c. Gangguan harga diri berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine Klien dapat meningkatkan harga diri dan mengurangi persepsi negativ terhadap dirinya o kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi pengobatan, dan ansietassehubungan dengan situasi. Mengidentifikasi luasnya masalah dan perlunya intervensi o diskusikan arti perubahan pada pasien Beberapa pasien Memandang situasi sebagai tantangan, beberapa sulitmenerima perubahan hidup/penampilan peran dan kehilangan kemampuan kontrol tubuh sendiri. o tentukan peran pasien dalam dalam keluarga dan persepsi pasien akan harapan diri dan orang lain. Penyakit lama/permanen dan ketidakmampuan untuk memenuhi peran dalam keluarga.

33

o anjurkan orang terdekat memperlakukan pasien secara normal dan bukan sebagai orang sakit. Menyampaikan harapan bahwa pasien mampu untuk mampu mempertahankan perasaan harga diri dan tujuan hidup.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama. Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri. o Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin. Untuk mencegah kontaminasi uretra. o Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar. Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan. o Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling. Untuk mencegah kontaminasi silang. o Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan. Untuk mencegah stasis urine. o Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine. Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.

e. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine Jumlah bakteri < 100.000 / ml. Kulit periostomal tetap utuh. Suhu 37 C. Urine jernih dengan sedimen minimal. o Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam. Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan. o Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-

34

kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh. Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi. http://id.scribd.com/doc/94210487/Askep-Inkontinensia-Urine

a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik( gesekan) ditandai dengan kerusakan permukaan lapisan kulit, gangguan permukaan kulit dank lien mengekuh adanya luka. b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat ( integritas kulit tidak utuh). c. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan informasi ditandai dengan klien mengatakan tidak mengetahui tentang penyakitnya, klien tidak mampu menyebutkan cara mengatasi penyakitnya. d. Gangguan rasa nyaman e. Inkontinensia urinarius aliran berlebih berhubungan dengan disinergia sfingter eksternal detrusor ditandai dengan klien sukar menahan kencing, kencing diatas tempat tidur, dank lien tidak mampu mengontrol kencing f. Inkontinensia urinarius fungsional berhubungan dengan keterbatasan neuromuskular ditandai dengan mengeluarkan urine sebelum mencapai toilet.

N. Daftar Fustaka 1. Pranarka K. 2000. Inkontinensia dalam Darmojo R.B. dan Martono H.H. Buku Ajar Geriatri Ed.2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Purnomo B. Basuki. 2021. Dasar-dasar urologi edisi ketiga. Jakarta .: sagung seto 3. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, dan Praktek Klinik, Volume 2, Edisi 4.Jakarta: EGC 4. http://id.scribd.com/doc/86812161/Inkontinensia-Urine-Fix 5. http://id.scribd.com/doc/42708657/Askep-Klien-Dengan-Inkontinensia-Urine http://id.scribd.com/doc/42440336/Paper-Inkontinensia-Urin 6. http://id.scribd.com/doc/47179809/inkontinensia-urin
7. http://id.scribd.com/doc/79734795/Penatalaksanaan-Terapi-Non-Farmakologis

35

36

Anda mungkin juga menyukai