Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

LP DAN ASKEP TEORI HISRCHPRUNG


KELAS III.A

Disusun Oleh

1. Putu Adinda Saraswati (18C10002)


2. Ni Putu Ananda Putri Astawa (18C10004)
3. Kadaek Ari Saputra Jaya (18C10007)
4. Putu Artawan (18C10009)
5. Ni Putu Ayu Mariani Erawati (18C10015)
6. Ni Kadek Ayu Sarastini (18C10017)
7. Ni Made Cempaka Ningrum (18C10020)
8. Dewa Ayu Dalem Welli Meilani (18C10021)
9. Ni Wayan Nonik Yudiani (18C10047)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN
BALI
TAHUN 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat-Nya telah diselasaikannya Tugas yang berjudul " TUGAS
KEPERAWATAN ANAK LP DAN ASKEP TEORI HISRCHPRUNG ".
Adapun tujuan umum dari penyusunan Asuhan Keperawatan ini adalah
tugas dari mata kuliah Keperawatan Anak. Atas dukungan moral dan
materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ns. Ni Kadek Sriasih, S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kep.An yang telah


memberikan Tugas Keperawatan Anak II yang telah memberikan
bimbingan dalam penulisan Makalah ini.

2. Kepada teman kami dan rekan-rekan yang lainnya di Sarjana


Keperawatan A yang sudah menginspirasi saya dalam pembuatan
Tugas ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan
sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini

Denpasar, 14 Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah..............................................................................................................2
1.4 Tujuan.................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
2.1 Definisi................................................................................................................................3
2.3 Macam-macam Penyakit Hirschprung.............................................................................4
2.4 Etiologi Penyakit Hirschprung..........................................................................................4
2.5 Patofisiologi.........................................................................................................................5
2.6 Manifestasi Klinis...............................................................................................................6
2.7 Komplikasi..........................................................................................................................6
2.8 Pemeriksaan Penunjang....................................................................................................7
2.9 Penatalaksanaan...............................................................................................................12
BAB III....................................................................................................................................13
ASKEP TEORI.......................................................................................................................13
3.1 Pengkajian........................................................................................................................13
3.2 Analisi Data......................................................................................................................15
3.3 Diagnosa Keperawatan....................................................................................................16
3.4 Intervensi Keperawatan...................................................................................................17
3.5 Implementasi....................................................................................................................22
3.6 Evaluasi.............................................................................................................................22
WOC........................................................................................................................................23
Bab IV
4.1Kesimpulan …………………………………………………………………………..24
4.2 Saran…………………………………………………………………………………24
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................25

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan


pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang
yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab
obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling
sering pada neonatus.
Menurut catatan Swenson, 81, 1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit
ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat
ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang
memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan
urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi
seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3
kasus) (Budi Irwan, 2003).
Hirschsprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi Hirschsprung di Indonesia
tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono
mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN
Cipto Mangunkusomo Jakarta. Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini
dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus,
teknik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan Hirschsprung dengan
enterokolitis (Medicine and Linux, 01 September 2007) Karekteristik megakolon didapat
pada anak-anak adalah akibat dari kombinasi latihan BAB (Buang air besar) yang salah
dan gangguan mental dan emosional yang dikarenakan oleh anak tersebut tidak mau
mencoba untuk BAB.
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan
mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau

1
dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor
genetik dan faktor lingkungan.

1.2 Rumusan masalah

1.1.1 Apakah definisi dari penyakit hisprung ?


1.1.2 Bagaimana anatomi dan fisiologi penyakit hisprung ?
1.1.3 Apa saja macam-macam penyakit hirschprung ?
1.1.4 Bagaimana etiologi penyakit hirschprung ?
1.1.5 Bagaimana patofisiologi penyakit hirschprung ?
1.1.6 Apa saja manifestasi klinis penyakit hirschprung ?
1.1.7 Apa saja komplikasi penyakit hirschprung ?
1.1.8 Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit hirschprung ?
1.1.9 Apa saja penatalaksanaan penyakit hirschprung ?
1.1.10 Bagaimana askep teori penyakit hirschprung ?

1.4 Tujuan

1.1.11 Untuk mengetahui definisi dari penyakit hisprung.


1.1.12 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi penyakit hisprung.
1.1.13 Untuk mengetahui macam-macam penyakit hirschprung.
1.1.14 Untuk mengetahui etiologi penyakit hirschprung.
1.1.15 Untuk mengetahui patofisiologi penyakit hirschprung.
1.1.16 Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit hirschprung.
1.1.17 Untuk mengetahui komplikasi penyakit hirschprung.
1.1.18 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang penyakit hirschprung.
1.1.19 Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit hirschprung.
1.1.20 Untuk mengetahui askep teori penyakit hirschprung.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini


merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik).
Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak
mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam
menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus
besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan paling sering
pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan menekan feses
hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk
mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak
dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N, 2011).
Penyakit Hirschsprung adalah suatu penyakir tidak adanya ganglion saraf
parasimpatis pada lapisan mukosa dan submukosa usus besar mulai anus hingga usus di
atasnya. Dalam kondisi normal, otot-otot di usus akan memeras dan mendorong feses
(kotoran) secara ritmis melalui rektum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf yang
mengendalikan otot-otot ini (sel ganglion) hilang dari bagian usus sehingga tinja tidak
dapat didorong melalui usus secara lancar. Panjang bagian yang terkena usus bervariasi
pada masing-masing anak. Kotoran akan menumpuk terus di bagian bawah hingga
menyebabkan pembesaran pada usus dan juga kotoran menjadi keras kemudian membuat
bayi tidak dapat BAB.

2.2 Anatomi dan fisiologi


Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar
1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar
daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat dengan anus
diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum.
Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum.
Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal

3
mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran
balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.
Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut
dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka
dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu
kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir disebut sebagai
rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh).
Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter
ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9
inci).
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi
usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit. Kolon
sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah
terdehidrasi sampai berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml air per
hari dengan berat akhir feses yang dikeluarkan adalah 200 gram dan 80%-90%
diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak terabsorpsi, bakteri,
sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak terabsorpsi.

2.3 Macam-macam Penyakit Hirschprung

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :

a.       Penyakit Hirschprung segmen pendek

Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70%
dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.

b.      Penyakit Hirschprung segmen panjang


Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau
usus halus.

4
2.4 Etiologi Penyakit Hirschprung

Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi
ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk
berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di
kolon.
Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon
sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134).

2.5 Patofisiologi

Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan esofagus


pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke arah craniocaudal
kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia gestasi minggu ke-5 sampai ke-
12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al., 2010). Abnormalitas seluler dan molekuler
dalam perkembangan enteric nervous system, yaitu tidak sempurnanya migrasi neural
crest cells adalah penyebab utama Hirschsprung’s disease. Fenotif Hirschsprung
disebabkan oleh besarnya kemungkinan abnormalitas selama perkembangan enteric
nervous system dan menahan migrasi neural crest-derived cells. Semakin dini migrasi
nueral crest tertahan, maka akan semakin panjang segmen usus yang tidak memiliki sel
ganglion (aganglionosis). Faktor lain yang juga dicurigai sebagai penyebab
berkembangnya Hirschsprung’s disease antara lain berubahnya matriks.
Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa faktor
genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease, yaitu kurang lebih 12%
dari keseluruhan kasus. Walaupun banyak perkembangan yang menunjukkan
kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam patofisiologi Hirschsprung’s
disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap berkaitan dengan dua hal utama, genetik dan
microenvironmental, dalam mempengaruhi perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010).
Selain itu, beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara
lain hydrocephalus, diverticulum kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforated
anal, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s syndrome,
neuroblastoma, dan Ondine’s curse (Diaz, et al., 2015). Terdapat empat jenis kasus
Hirschsprung’s disease yang dilaporkan para ahli, yaitu (1) total colon aganglionosis
5
(TCA, 3-8% kasus), (2) total intestinal Hirschsprung’s disease dimana seluruh usus besar
terlibat, (3) ultra short segment Hirschsprung’s disease dimana melibatkan rectum bagian
distal, dan (4) tidak termasuk Hirschsprung’s disease yang merupakan kondisi yang
kontroversial dimana bagian colon yang aganglionosis berada di atas segmen distal yang
normal.

2.6 Manifestasi Klinis


Menurut (Suriadi, 2001 : 242) manifestasi Penyakit Hirschprung yaitu :
a. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti
pita.
c. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
d. Nyeri abdomen dan distensi.
e. Gangguan pertumbuhan.

Selain itu, manifestasi klinis menurut (Betz, 2002 : 197) yaitu :


A. Masa Neonatal :
1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
2. Muntah berisi empedu.
3. Enggan minum.
4. Distensi abdomen.

B. Masa bayi dan anak-anak :


1. Konstipasi
2. Diare berulang
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Distensi abdomen
5. Gagal tumbuh

2.7 Komplikasi
Berikut adalah komplikasi penyakit Hirschprung yaitu :

a.       Gawat pernapasan (akut)

6
b.      Enterokolitis (akut)

c.       Striktura ani (pasca bedah)

d.      Inkontinensia (jangka panjang)

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan
pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus.
Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada
kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping teknik
yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan
diagnosis.
a. Foto Polos Abdomen

Gambar 1. Foto polos abdomen pada noenatus dengan PH


PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus
letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Gambaran obstruksi
usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi
usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau
sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto polos
abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine

7
ataupun perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus
halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan.
Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran
masa feses lebih jelas dapat terlihat. Selain itu, gambaran foto polos juga
menunjukan distensi usus karena adanya gas. Enterokolitis pada PH dapat
didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur
irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme,
ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan
barium enema.

b. Barium enema

Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan


keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan
muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda
obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk PH adalah
segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen tertentu, daerah perubahan
dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan segmen dilatasi. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan Arnold dari tahun 1974 sampai
1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat mendiagnosis 60% dari 99
pasien dengan PH.6.
Dalam literatur dikatakan bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-
80% dan spesifisitas 65-100%.8 Hal terpenting dalam foto barium enema adalah

8
terlihatnya zona transisi. Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa
ditemukan pada foto barium enema yaitu 1. Abrupt, perubahan mendadak.
2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut.
3. Funnel, bentuk seperti cerobong.
Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium
enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat gambar
garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon
yang berada dalam keadaan kosong. Pemerikasaan barium enema tidak
direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya resiko
perforasi dinding kolon.

c. Foto retensi barium

Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema merupakan
hal yang penting pada PH, khusunya pada masa neonatus. Foto retensi barium
dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan foto polos abdomen untuk elihat
retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu barium membaur dengan feses ke arah
proksimal di dalam kolon berganglion normal. Retensi barium dengan obtipasi kronik
yang bukan disebabkan PH terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum
dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema barium ataupun
yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda PH. Apabila terdapat jumlah
retensi barium yang cukup signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan kecurigaan
PH walaupun zona transisi tidak.

2. Anorectal manometry

9
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson pada
tahun 1949 dengan memasukkan balón kecil dengan kedalaman yang berbeda- beda
dalam rektum dan kolon. Alat ini melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi
fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Pada dasarnya,
alat ini memiliki 2 komponen dasar yaitu transduser yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau
komputer. Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit
Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.
2. Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik; Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak terkoordinasi
dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.
3. Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang.
Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses.
Tidak dijumpai relaksasi spontan. Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal
manometri tersebut dikerjakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan
histologis meragukan, misalnya pada kasus PH ultra pendek. Laporan positif palsu
hasil pemeriksaan manometri berkisar antara 0-62% dan hasil negatif palsu 0-24%.
Pada literature disbutkan bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75-100% dan
spesifisitasnya 85-95 %. Hal serupa hamper tidak jauh beda dengan hasil penelitian
lain yang menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas
sebesar 95%. Perlu diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus prematur atau
neonatus aterm belum berkembang sempurna sebelum berusia 12 hari. Keuntungan
metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak invasif dan dapat segera

10
dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi
umum.

3. Pemeriksaan Histopatologi

Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang dapat


dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon yang normal
menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus
sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi PH didasarkan atas absennya sel
ganglion pada kedua pleksus tersebut. Disamping itu akan terlihat dalam jumlah
banyak penebalan serabut saraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin
tinggi apabila menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu
enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf Gambar 4: gambaran manometri
anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Pada penderita
Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi sfingter ani.
Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya peningkatan asetilkolinesterase
di mukosa dan submukosa disertai dengan manifestasi gejala yang khas dan adanya
foto barium enema yang menunjukkan adanya zona transisi sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis PH. Hanya saja pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterase memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab
beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya
perdarahan. Disamping memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan
pewarnaan enolase spesifik neuron dan pewarnaan protein S-100, metode
peroksidase-antiperoksidase yang dapat memudahkan penegakan diagnosis PH.
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan
eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus
mienterik. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab memerlukan

11
anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang
mempersulit tindakan bedah definitif selanjutnya. Disamping itu juga teknik ini dapat
menyebabkan komplikasi seperti perforasi, perdarahan rektum, dan infeksi. Noblett
tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan menggunakan alat khusus, untuk
mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan
pleksus Meissner.
Metode ini dapat dikerjakan lebih sederhana, aman, dan tidak memerlukan
anastesi umum serta akurasi pemeriksaan yang mencapai 100%. Akan tetapi, menurut
sebuah penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung
pada specimen, tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan
keahlian dari spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut dipenuhi
akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%.9 Untuk pengambilan sampel
biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan
sel ganglion Meisner dan ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila hasil biopsi isap
meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach.

2.9 Penatalaksanaan
Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop atau
double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali
normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut :
a) Prosedur Duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.
b) Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion
dengan saluran anal yang dibatasi.
c) Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon
yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
d) Intervensi bedah
Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami
obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat
dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi
di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.
1) Persiapan prabedah
a) Lavase kolon

12
b) Antibiotika
c) Infuse intravena
d) Tuba nasogastrik
e) Perawatan prabedah rutin
f) Pelaksanaan pasca bedah, terdiri dari :
• Perawatan luka kolostomi
• Perawatan kolostomi
• Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan
suhu.
• Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima.
Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi.
Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan
bagaimana memakaikan kantong kolostomi. (Betz, 2002 : 198)

BAB III
ASKEP TEORI

3.1 Pengkajian

1. Identitas

Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan
merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan
kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih
sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan
kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan
sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).

2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru Iahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah
Iahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah
dan diare.

13
b. Riwayat kesehatan sekarang

Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total


saat Iahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium.
Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi
usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare,
distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi

c. Riwayat kesehatan dahulu

Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit


Hirschsprung

d. Riwayat kesehatan keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya

e. Riwayat kesehatan lingkungan


Tidak ada hubungan dengan lingkungan
f. Imunisasi
Tidak ada imuniasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung

3. Pemeriksaan fisik

a. Sistem kardiovaskuler : Tidak ada kelainan


b. Sistem pernapasan : Tidak ada kelainan
c. Sistem saraf : Tidak ada kelainan.
d. Sistem lokomotor/musculoskeletal : Gangguan rasa nyaman : nyeri
e. Sistem endokrin : Tidak ada kelainan
f. Sistem integument : Akral hangat, hipertermi
g. Sistem pendengaran : Tidak ada kelainan
h. Sistem pencernaan : Pemeriksaan yang didapatkan sesuai
dengan manifestasi klinis. Pada survey umum terlihat Iemah atau gelisah.
TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya
iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam bisa

14
didapatkan pada kondisi syok atau sepsis diikuti dengan keluarnya udara dan
mekonium atau tinja yang menyemprot. Pada pemeriksaan fisik fokus pada area
abdomen, lipatan paha, dan rectum akan didapatkan :
1) Inspeksi: Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan
rectum dan feses akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan
berbau busuk
2) Auskultasi: Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut
dengan hilangnya bising usus.
3) Perkusi: Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
4) Palpasi: Teraba dilatasi kolon abdominal.
4. Pola Kebiasaan
1. Bernafas :pada pasien hirscprug biasanya mengalami gangguan pola napas atau sesak
karena adanya distensi abdomen
2. Makan dan minum : Biasanya pasien yang menderita penyakit hirschprung akan
mengalami gangguan pola makan karena pasien yang menderita hirscprung disertai
denga muntah-muntah
3. Eliminasi: biasanapasien penderita hirscprung mengalami gangguan eliminasi karena
pasien dengan penyakit hirscprung disertai demgan diare
4. Bergerak : biasanya pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan bergerak
5. Tidur dan istirahat : biasanya pada pasien hirscprung takan mengalami gangguan tidur
dan istirahat karena nyeri pada perut
6. Pakaian : Biasanya pasien yang mengalami hirscprung tidak ada masalah pada
berpakaian
7. Suhu :pada pasien hirscprung akan mengalami gamgguan pola kebutuhan suhu
Karena pasien hirscprug mengalami deman diatas normal 37,8 c
8. Kebersihan: pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan pola kebutuhan
kebersihan
9. Menghindari bahaya lingkungan : pada pada pasien hirscprung tidak mengalami
gangguan pada pola kebutuhan menghindai bahaya lingkungan
10. Berkomunikasi dengan orang lain : pada pasien hiscprung tidak mengalami gangguan
pada pola kebutuhan berkomunikasi
11. Beribadah : biasanya pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan kebutuhan
beribadah

15
12. Bekerja : Biasanya pada pasien hirscprung akan mengalami gangguan pada pola
bekerja/ beraktivitas karena kondisinya lemah
13. Bermain/berekreasi : biasanya pada pasien hirsprung akan mengalami gangguan pola
kebutuhan bermain/berekreasi karena kondisi lemah
14. Belajar : Pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan pada kebutuhan belajar
atau memanfaatkan fasilitas kesehatan

3.2 Analisi Data


Data Subjektif :
a. Biasanya ibu klien mengatakan anaknya dengan perut kembung
b. Ibu klien biasanya mengatakan muntah berwarna hijau
c. Ibu klien biasanya mengatakan diare
d. Ibu klien biasanya mengeluh anaknya demam
e. Ibu klien biasanya mengeluh anaknya sesak nafas
f. Ibu klien biasanya mengeluh anaknya tidak nyaman
g. Ibu klien biasanya mengeluh anaknya nyeri saat di pegang
Data Objektif :
a. Klien tampak obstipasi.
b. Tampak mekonium yang lambat keluar.
c. Ada obstruksi usus yang fungsional.
d. Terjadi distensi abdomen.
e. Klien konstipasi selama beberapa minggu/ bulan.
f. Terjadi obstruksi usus akut.
g. Distress pernafasan.
h. Akral teraba hangat.

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
3. Resiko kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
5. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen

16
6. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak

17
3.4 Intervensi Keperawatan
NO PERENCANAAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
1 Gangguan eliminasi BAB : obstipasi Dapat melakukan eliminasi 1. Mual muntah berkurang 1. Monitor bising usus setiap 2 jam sekali 1. Untuk mengetahui pergerakan
berhubungan dengan spastis usus dan dengan beberapa adaptasi 2. Defekasi lencer 2. Monitor pergerakan usus, meliputi usus
tidak adanya daya dorong sampai fungsi eliminasi secara 3. Tidak memuntahkan ASI dan frekuensi, konsistensi, bentuk, volume, dan 2. Untuk mengetahui
normal dan bisa dilakukan formula yang diberikan warna dengan cara yang tepat konsistensis , frekuensi, bentuk,
3. Monitor tanda – tanda vital volume, warna feses
4. Jaga intake/asupan yang akurat dan catat 3. Untuk mengetahui adanya
output tanda – tanda syok
5. Anjurkan ibu untuk memberikan ASI pada 4. Menjaga keseimbangan cairan
anaknya setiap 2 jam dalam tubuh pasien
6. Berikan terapi IV, jika diperlukan 5. Agar asupan cairan tubuh
7. Kolaborasi dengan dokter tentang rencana seimbang
pembedahan 6. Membantu memenuhi cairan
dalam tubuh
7. Untuk melanjutkan pengobatan
selanjutnya
2 Gangguan nutrisi kurang dari Asupan nutrisi dapat terpenuhi 1. Berat badan normal 1. Timbang pasien secara berkala 1. Mengetahui penurunan atau
kebutuhan tubuh berhubungan 2. Intake ASI/formula yang adekuat 2. Monitor tanda- tanda vital peningkatan berat badan
dengan intake yang inadekuat. 3. Mual/muntah berkurang 3. Monitor makanan/cairan yang dikonsumsi 2. Mengetahui tanda – tanda syok

18
4. Nafsu makan meningkat 4. Tingkatkan asupan oral (ASI/formula) 3. Mengetahui asupan cairan yang
5. Gunakan sute alternative (NGT dan masuk pada tubuh
parenteral), jika diperlukan 4. Membantu meningkatkan
asupan nutrisi
5. Nutrisi parenteral dibutuhkan
jika kebutuhan per-oral yang
sangat kurang dan untuk
mengantisipasi pasien yang
sudah mulai merasa mual dan
muntah
3 Resiko kekurangan cairan tubuh Asupan cairan tubuh dapat 1. Tidak terjadi tanda – tanda 1. Timbang pasien secara berkala 1. Mengetahui adanya penurunan
berhubungan muntah dan diare. terpenuhi dehidrasi 2. Monitor tanda – tanda vital atau peningkatan berat badan
2. Tanda – tanda vital dalam rentang 3. Monitor perubahan status paru atau 2. Mengetahui adanya tanda –
normal jantung yang menunjukkan kelebihan tanda syok
3. Intake ASI/formula yang adekuat cairan atau dehidrasi 3. Mengetahui adanya perubahan
4. Mual/muntah berkurang 4. Amati turgor kulit secara berkala status paru dan jantung
5. Monitor status hidrasi (misalnya, 4. Untuk mengetahui status
membrane mukosa lembab, denyut nadi hidrasi
adekuat, dan tekanan darah ortostatik) 5. Untuk mengetahui status
6. Intruksikan anggota keluarga untuk hidrasi
mencatat warna, volume, frekuensi dan 6. Mengetahui karakteristik dari
konsistensi tinja

19
7. Berikan terapi IV, seperti yang ditentukan tinja
8. Tingkatkan intake/cairan per oral 7. Membantu memenuhi
9. Posisikan untuk mencegah aspirasi kebutuhan cairan dalam tubuh
10. Konsultasikan dengan dokter jika tanda – 8. Meningkatkan asupan cairan
tanda dan gejala kelebihan volume cairan dalam tubuh
menetap atau memburuk 9. Mencegah aspirasi saat muntah
10. Untuk melakukan tindakan
selanjutnya
4 Gangguan rasa nyaman berhubungan Diharapkan kebutuhan rasa 1. Bayi/ anak tidak menangis 1. Sarankan orang tua hadir selama prosedur 1. Untuk kenyamanan anak
dengan adanya distensi abdomen. nyaman terpenuhi 2. Bayi.anak tenang pengobatan 2. Menyediakan manajemen nyeri
3. Tidak mengalami gangguan pola 2. Berikan tindakan kenyamanan sesuai usia non- pharcological
tidur 3. Kaji nyeri 3. Mengetahui tingkat nyeri dan
4. Ciptakan lingkungan yang mendukung dan menentikan tindakan
penuh kasih saying selanjutnya
5. Berikan analgetik yang sesuai 4. Terapi menggabungkan budaya
klien dan usia serta faktor
perkembangan
5. Mengurangi nyeri
5 Ketidakefektifan pola nafas Pola nafas pasien paten 1. Menunjukkan jalan nafas yang paten 1. Monitor tanda – tanda vital secara berkala 1. Untuk mengetahui tanda –
berhubungan dengan distensi (klien tidak merasa tercekik, iram 2. Monitor respirasi dan status O2 tanda syok
abdomen nafas, frekuensi pernafasan dalam 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara 2. Mengetahui status O2 dalam
rentang normal, tidak ada suara nafas

20
abnormal) tambahan tubuh dan respirasi
2. Tanda – tanda vital dalam rentang 4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan 3. Mengetahui adanya suara
normal ventilasi tambahan
3. Tidak ada sianosis dan dispnea 5. Atur intake cairan untuk mengoptimalkan 4. Untuk memaksimalkan
keseimbangan ventilasi dan mencegah aspirasi
5. Mengoptimalkan keseimbangan
cairan dalam tubuh
6 Nyeri akut berhubungan dengan Rasa nyeri dapat berkurang 1. Bayi/anak tidak menangis 1. Monitor tanda – tanda vital 1. Untuk mengetahui tanda –
insisi pembedahan 2. Bayi/anak tenang 2. Observasi dan monitor skala nyeri tanda syok
3. Tidak mengalami gangguan pola 3. Anjurkan keluarga berada disisi klien 2. Mengetahui tingkat nyeri
tidur untuk meningkatkan rasa aman dan 3. Memberikan rasa nyaman dan
4. Nyeri dapat berkurang ke skala 0- 2 mengurangi ketakutan tenang pada klien
4. Dorong keluarga untuk mendapingi klien 4. Memberikan rasa aman dan
dengan cara yang tepat tenang pada klien
5. Ciptakan lingkungan yang tenang dan 5. Mendukung keamanan dan
mendukung ketenangan pada klien
6. Berikan sentuhan usapan yang lembut dan 6. Memberikan rasa aman dan
menenangkan pada anak/bayi tenang pada klien untuk
7. Berikan pijatan bagian tubuh dan lembut distraksi rasa nyeri
dan menenangkan 7. Memberikan rasa aman dan
8. Berikan analgesik sesuai resep tenang pada klien untuk

21
distraksi rasa nyeri
8. Mengurangi nyeri
7 Kurang pengetahuan berhubungan Pengetahuan orang tua tentang 1. Ibu mengungkapan suatu pemahan 1. Jelaskan pada ibu tentang penyakit yang 1. Untuk mengetahui
dengan keadaan status kesehatan kesehatan anaknya dapat tentang proses penyakitnya dialami oleh anaknya perkembangan anaknya
anak bertambah 2. Ibu memahami terapi yang di 2. Berikan ibu jadwal pemeriksaan 2. Mengurangi kecemasan
programkan oleh dokter diagnostik 3. Mengurangi ras kecemasan
3. Berikan informasi tentang rencana operasi 4. Untuk meningkatkan
4. Berikan penjelasan pada ibu tentang pengetahuan ibu dalam
perawatan setelah operasi perawatan anaknya
A.

22
3.5 Implementasi

Implementasi adalah pengolahan dari perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan pada implementasi ini terdiri dari tindakan
mandiri, saling ketergantungan / koaborasi dan tindakan rujukan / ketergantungan

implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. 

3.6 Evaluasi
1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong dapat teratasi dengan kriteria hasil
a. Pola eliminasi berfungsi normal dengan kriteria defekasi normal
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat dapat teratasi dengan kriteria hasil
a. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
3. Resiko kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare dapat teratasi dengan
kriteria hasil
a. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi,
turgor kulit normal
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen dapat teratasi
dengan kriteria hasil
a. Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis,
tidak mengalami gangguan pola tidur.
5. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dapat teratasi
dengan kriteria hasil
a. Pola nafas efektif
b. Kecepatan dan irama pernafasan dalam batas nomal
6. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan dapat teratasi dengan kriteria hasil
a. Nyeri berkurang
b. Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak meringis,
tidak mengalami gangguan pola tidur
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak dapat teratasi
dengan kriteria hasil
a. Pengetahuan orang tua bertambah tentang kesehatan anaknya

23
Predisposisi genetik gangguan perkembnngan dari sistem saraf enterik
dengan tidak adanya sel – sel ganglion bagian distal kolon
WOC

Ketidakmampuan pengembangan dan


pengempisan pada area aganglionik Penyakit Hirschprung

Obstruksi pada Gerakan peristaltik tidak Obstruksi kolon


usus teratur distal

Tidak dapat mendorong bahan – bahan yang


Konstipasi konstipasi
dicerna

Perut membesar dan Obstruksi kolon


penyumbatan
distensi abdomen proksimal

Penimbunan feses MK : Gangguan


Intervensi pembedahan MK : Kurang
MK : Ketidakefektifan eliminasi Pengetahuan
MK : Gangguan
pola nafas Rasa Nyaman
G3 gastrointestinal
Kerusakan jaringan
pascabedah
MK : Resiko Mual, muntah,
kekurangan cairan kembung
tubuh MK : Nyeri Akut

MK : Kebutuhan nutisi
anoreksia
24 kurang dari kebutuhan
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan
keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada
bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan
(ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga
usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk
setiap individu. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami
dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya
tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga,
dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang
terjadi.

3.2 Saran
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit
hisprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M, Howa d K. But her, Joanne M.Dochterman, Cheryl M.Wagner. 2016.
Nursing Intervensions Classification (NIC). Jakarta : Elsevier

CAHYANINGSIH DWI. 2013. ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN


MASYARAKAT PERKOTAAN PADA ANAK DENGAN POST KOLOSTOMI HARI KE-2 KARENA
HIRSCHPRUNG DI RUANG TERATAI LANTAI 3 UTARA RSUP FATMAWATI. lib.ui.ac.id (Diases
13 Maret 2021)

Dianita ayu.R 2015. Hirschprung disease. Fakultas kedokteran Universitas Brawijaya.


https://id.scribd.com/document/265104694/LP-Hisprung akses : 11 maret 2021 pukul 20.00 WITA

Fitroh Nasrowi. Keperawatan pada penyakit hisprung. Academi.edu


https://www.academia.edu/37614378/Askep_Hisprung_Asuhan_Keperawatan_pada_Penyakit_Hispru
ng akses : 11 maret 2021 pukul 20.15.

Herdman, T. Heather, Shigemi Kamitsuru.2018. Nanda-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan


Klasifikasi. Jakarta : EGC

Motorhead, Sue, Marion Johnson, Meridean L.Maas, Elizabeth Swanson. 2016. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Jakarta: Elsevier

Santosa Yohanes. 2017. CONGENITAL MEGACOLON (HIRSCHSPRUNG'S DISEASE). Link


: spesialis1.iba.fk.unair.ac.id (Diases 13 Maret 2021)
Sinta. 2011. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hirschsprung's Disease. Link :
sinta.unud.ac.id (Diases 13 Maret 2021)
Trisnawan Putu,dkk. 2016. METODE DIAGNOSIS PENYAKIT HIRSCPRUNG. Link :
ojs.unud.ac.id (diakses 13 Maret 2021)

26

Anda mungkin juga menyukai