Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KEGAWATDARURATAN DENGAN RETENSI URINE STASE KEPERAWATAN


KEGAWATDARURATAN RSUD BAYU ASIH PURWAKARTA

Disusun Oleh:

Putri Nur Fadilah


122080147

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN PROFESI NERS


UNIVERSITAS MEDIKA SUHERMAN
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
RETENSI URIN

A. Definisi
Retensi urin adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan isi kandung kemih
sepenuhnya selama proses pengeluaran urin (Brunner & Suddarth, 2010). Retensi urin adalah
suatu keadaan penumpukan urin di kandung kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk
mengosongkannya secara sempurna. Retensi urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan
urin dari fesika urinaria (Arif, 2001). Retensi urin adalah tertahannya urin di dalam kandung
kemih, dapat terjadi secara akut maupun kronis (Depkes RI, 2008).

B. Anatomi Saluran Kemih


Alat-alat kemih terdiri dari : ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter, buli-buli (vesika
urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih mempunyai lapisan otot yang mampu
menghasilkan gerakan peristaltik. Gambaran anatomi saluran kemih sebagai berikut :
Ginjal

Ginjal menghasilkan air seni dengan membuang air dan berbagai bahan metabolik
yang berbahaya yang mayoritas dihasilkan oleh alat-alat lain.
Pelvis Renalis (Pielum)
Mengumpulkan air seni yang datang dari apeks papilla. Mengecil menjadi ureter yang
dilalui air seni dalam porsi-porsi kecil sampai ke dalam kandung kemih. Kapasitas rata-rata
3-8 ml. Air seni mula-mula terkumpul di kaliks, saat sfingter kaliks berkontraksi. Kemudian,
otot-otot dinding kaliks, sfingter forniks, berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan
sfingter kaliks berelaksasi. Lalu air seni terdorong ke dalam pelvis renalis. Air seni dibuang
dengan cepat oleh penutupan bergantian dari sfingter pelvis dan kaliks.
Ureter
Berbentuk seperti pipa yang sedikit memipih, berdiameter 4-7 mm. Panjang
bervariasi + 30 cm pada laki-laki dan + 1 cm lebih pendek dari wanita. Kedua ureter
menembus dinding kandung kemih pada fundusnya, terpisah dalam jarak antara 4-5 cm,
miring dari arah lateral, dari belakang atas ke medial depan bawah.
Ureter berjalan sepanjang 2 cm di dalam kandung kemih dan berakhir pada suatu
celah sempit (ostium ureter).

Kandung kemih (Buli-buli)


Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk
suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Buli-buli berfungsi menampung urin dari
ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme berkemih. Kapasitas
maksimal (volume) untuk orang dewasa + 350-450 ml; kapasitas buli-buli pada anak menurut
Koff :
Kapasitas buli-buli = [ Umur (tahun) + 2] x 30 ml
Bila buli-buli terisi penuh, verteks dan dinding atas terangkat dan membentuk suatu
bantal yang lonjong dan pipih, yang dapat meluas sampai tepi atas simfisis pubis. Selama
kontraksi otot kandung kemih, ketika dikosongkan selama berkemih, bentuknya menjadi
bulat.
Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui proses
miksi. Secara anatomis, uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : uretra posterior dan uretra
anterior. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan uretra posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi
oleh saraf simpatik sehingga saat buli-buli penuh, sfingter terbuka. Sfingter ani eksterna
terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai
keinginan seseorang; pada saat kencing, sfingter ini terbuka dan tetap menutup pada saat
menahan kencing.
Panjang uretra wanita + 3-5 cm dengan diameter 8 mm, berada di bawah simfisis
pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. + 1/3 medial uretra terdapat sfingter uretra
eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot
Levator ani berfungsi mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli-buli pada saat
perasaan ingin miksi. Miksi terjadi bila tekanan intra vesika melebihi tekanan intrauretra
akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.
Panjang uretra pria dewasa + 23-25 cm. Uretra posterior pria terdiri atas uretra pars
prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars
membranasea. Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum
penis; uretra anterior terdiri atas : (1) pars bulbosa, (2) pars pendularis, (3) fossa navikularis,
dan (4) meatus uretra eksterna.
Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan adanya aktivitas
sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung kencing normal, tekanan
intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor
dan active compliance dari kandung kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor
memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral.
Mekanisme active compliance kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga
memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks S2-
S4. Selain akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi
aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan
tekanan intravesikal dan urin tidak mengalir keluar
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung
kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan.
Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari
relaksasi otot lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi
kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kencing juga ditemukan
sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urin akan keluar.
Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung dari refleks yang menghambat
aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.

C. Patofisiologi
Penderita retensi urin mengeluhkan tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit
yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan. Retensi
urin dapat terjadi menurut lokasi, faktor obat dan faktor lainnya seperti ansietas, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya. Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra
vesikal berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis
dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot
detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal,
vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi
prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi
urethra sehingga urin sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen.
Faktor obat dapat mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan
filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan produksi urin menurun. Faktor lain berupa
kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan
tensi otot perut, perianal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik. Dari semua
faktor di atas menyebabkan urin mengalir lambat kemudian terjadi poliuria karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien, sehingga terjadi distensi bladder dan distensi
abdomen.

D. Etiologi
1. Kelemahan otot detrusor :
- Kelainan medulla spinalis.
- Kelainan saraf perifer.
2. Hambatan / obstruksi uretra :
- Batu uretra.
- Klep uretra.
- Striktura uretra.
- Stenosis meatus uretra.
- Tumor uretra.
- Fimosis.
- Parafimosis.
- Gumpalan darah.
- Hiperplasia prostat.
- Karsinoma prostat.
- Sklerosis leher buli-buli.
3. Inkoordinasi antara Detrusor-Uretra :
Cedera kauda ekuina.
Menurut lokasi, penyebab retensi urin :
1. Supravesikal :
Kerusakan terjadi pada pusat miksi di Medula Spinalis setinggi Th12-L1; kerusakan
saraf simpatis dan parasimpatis, baik sebagian atau seluruhnya.
2. Vesikal :
Berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien DM atau
penyakit neurologis.

3. Infravesikal (distal kandung kemih) :


Berupa pembesaran prostat (kanker, prostatitis), tumor pada leher vesika, fimosis,
stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis
leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).
Pada retensi urin kronik, disebabkan oleh: obstruksi uretra yang semakin berat,
sehingga kandung kemih mengalami dilatasi. Pada keadaan ini, urin keluar terus menerus
karena kapasitas kandung kemih terlampaui. Penderita tidak mampu berkemih lagi, tetapi
urin keluar terus tanpa kendali (Arif, 2001).

E. Klasifikasi
Retensi urin dapat terjadi secara akut, yaitu : penderita secara tiba-tiba tidak dapat
miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin
miksi yang hebat disertai mengejan, seringkali urin belum menetes atau sedikit-sedikit;
dapat pula terjadi secara kronis, yaitu penderita secara perlahan-lahan dan dalam waktu
yang lama tidak dapat miksi, merasakan nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit/tidak
ada sama sekali walaupun buli-buli penuh. Retensi urin dapat terjadi sebagian, yaitu
penderita masih bisa mengeluarkan urin, tetapi terdapat sisa kencing yang cukup banyak di
kandung kemih ; pada retensi urin total, penderita sama sekali tidak dapat mengeluarkan
urin (Arif, 2001).

F. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala dari retensi urin meliputi:
1. Rasa tidak nyaman hingga rasa nyeri yang hebat pada perut bagian bawah hingga
daerah genital.
2. Tumor pada perut bagian bawah.
3. Tidak dapat kencing.
4. Kadang-kadang urin keluar sedikit-sedikit, sering, tanpa disadari, tanpa bisa ditahan
(inkontinensi paradoksa).
Pada retensi urin akut, penderita akan merasa nyeri yang hebat di daerah
suprapubik, dan bila penderita tidak terlalu gemuk, akan terlihat/teraba benjolan di daerah
suprapubik. Pada retensi urin totalis, penderita sama sekali tidak bisa miksi, gelisah,
mengedan bila ingin miksi, dan terjadi inkontinensia paradoksal. Pada anamnesa, pasien
akan mengeluh sulit buang air kecil. Pada inspeksi, palpasi dan perkusi, akan didapatkan
buli-buli yang mengembang. Pada perkusi akan terdengar pekak, yang menentukan adanya
buli-buli yang penuh pada penderita yang gemuk (Uliyah & Hidayat, 2006).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos abdomen  menunjukkan bayangan buli-buli penuh, mungkin terlihat
bayangan batu opak pada uretra atau pada buli-buli.
2. Uretrografi  akan tampak adanya striktur uretra.
3. Pemeriksaan darah rutin : Hb, leukosit, LED, Trombosit.
4. Pemeriksaan Faal Ginjal : kreatinin, ureum, klirens kreatinin.
5. Pemeriksaan urinalisa : warna, berat jenis, pH (Purnomo, 2011).

H. Penatalaksanaan
Urin dapat dikeluarkan dengan cara kateterisasi atau sistostomi. Penanganan pada
retensi urin akut berupa : kateterisasi – bila gagal – dilakukan Sistostomi.
1. Kateterisasi uretra
Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui
uretra.
Indikasi kateterisasi :
a. Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik yang
disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan darah) yang
menyumbat uretra.
b. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
c. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada
operasi prostatektomi, vesikolitektomi.
d. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
e. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik untuk
buli-buli.
Kontraindikasi kateterisasi : Ruptur uretra, ruptur buli-buli, bekuan darah pada buli-
buli.
2. Kateterisasi Suprapubik
Kateterisasi Suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang
pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan mengeluarkan urin.
Kateterisasi suprapubik ini biasanya dilakukan pada :
a. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
b. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra, misalkan pada ruptur
uretra atau dugaan adanya ruptur uretra.
c. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
d. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR Prostat.
3. Sistostomi Trokar
Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi lokal dan mempergunakan alat trokar.
Kontraindikasi Sistostomi Trokar : tumor buli-buli, hematuria yang belum jelas
penyebabnya, riwayat pernah menjalani operasi daerah abdomen/pelvis, buli-buli yang
ukurannya kecil (contracted bladder), atau pasien yang mempergunakan alat prostesis
pada abdomen sebelah bawah.

Langkah-langkah Sistostomi Trokar :


a. Desinfeksi lapangan operasi.
b. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
c. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan Lidokain 2% mulai dari kulit, subkutis hingga
ke fasia.
d. Insisi kulit suprapubik di garis tengah pada tempat yang paling cembung + 1 cm,
kemudian diperdalam sampai ke fasia.
e. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit 10 cc untuk
memastikan tempat kedudukan buli-buli.
f. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya tahanan dari fasia
dan otot-otot detrusor.
g. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-buli akan keluar
urin memancar melalui sheath trokar.
h. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator (penusuk) dan sheath
dikeluarkan melalui buli-buli sedangkan bagian slot kateter setengah lingkaran tetap
ditinggalkan.
i. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah lingkaran, kemudian
balon dikembangkan dengan memakai aquadest 10 cc. Setelah balon dipastikan
berada di buli-buli, slot kateter setengah lingkaran dikeluarkan dari buli-buli dan
kateter dihubungkan dengan kantong penampung urin (urinbag).
j. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi ditutup dengan
kain kasa steril.

k. Menusukkan alat trokar ke dalam buli-buli

l. Setelah yakin trokar masuk ke buli-buli, obturator dilepas dan hanya slot kateter
setengah lingkaran ditinggalkan. Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat
pula digunakan alat trokar konvensional, hanya saja pada langkah ke-8, karena alat
ini tidak dilengkapi dengan slot kateter setengah lingkaran maka kateter yang
digunakan adalah NG tube nomer 12 F. Kateter ini setelah dimasukkan ke dalam
buli-buli pangkalnya harus dipotong untuk mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun setelah
pemasangan kateter sistotomi adalah :
a. Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.
b. Mencederai rongga/organ peritoneum.
c. Menimbulkan perdarahan.
d. Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik akan
menimbulkan infeksi, ekskrutasi kateter, timbul batu saluran kemih, degenerasi maligna
mukosa buli-buli, dan terjadi refluks vesiko-ureter.

4. Sistostomi Terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontraindikasi pada tindakan
sistostomi trokar atau bila tidak tersedia alat trokar. Dianjurkan untuk melakukan
sistostomi terbuka jika terdapat jaringan sikatriks / bekas operasi di daerah
suprasimfisis, sehabis mengalami trauma di daerah panggul yang mencederai uretra
atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada buli-buli yang tidak mungkin dilakukan
tindakan per uretram. Tindakan ini sebaiknya dikerjakan dengan memakai anestesi
umum.
Langkah-langkah dalam sistostomi terbuka
a. Desinfeksi seluruh lapangan operasi.
b. Mempersempit daerah operasi dengan kain steril.
c. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
d. Insisi vertikal pada garis tengah + 3-5 cm diantara pertengahan simfisis dan
umbilicus.
e. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba yang merupakan
pertemuan fasia yang membungkus muskulus rektus kiri dan kanan. Muskulus rektus
kiri dan kanan dipisahkan sehingga terlihat jaringan lemak, buli-buli dan peritoneum.
Buli-buli dapat dikenali karena warnanya putih dan banyak terdapat pembuluh darah.
f. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk memudahkan memegang
buli-buli.
g. Dilakukan fiksasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
h. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara 2 tempat yang telah difiksasi.
i. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau tajam hingga
keluar urin, yang kemudian (jika perlu) diperlebar dengan klem. Urin yang keluar
dihisap dengan mesin penghisap.
j. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya : tumor, batu, adanya perdarahan,
muara ureter atau penyempitan leher buli-buli.
k. Pasang kateter Foley ukuran 20F-24F pada lokasi yang berbeda dengan luka operasi.
l. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan sero-muskularis.
m.Tinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi lapis. Balon kateter
dikembangkan dengan aquadest 10 cc dan difiksasikan ke kulit dengan benang sutra.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urin berhubungan dengan hambatan aliran urin
2. Nyeri akut berhubungan dengan radang urethra, distensi bladder
3. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan
4. Resiko infeksi berhubungan dengan iritasi kandung kemih
5. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan hambatan aliran urin

J. Intervensi Keperawatan
1. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan Intervensi Rasional
Setelah dilakukan 1. Dorong pasien untuk 1. Meminimalkan retensi urin
tindakan keperawatan berkemih tiap 2-4 jam distensi berlebihan pada
selama 1x24 jam dan bila tiba-tiba kandung kemih.
diharapkan pasien akan dirasakan. 2. Tekanan ureteral tinggi
berkemih lancar dengan 2. Tanyakan pasien tentang menghambat pengosongan
kriteria hasil : inkontinensia stres. kandung kemih.
a. Berkemih dengan 3. Observasi aliran urin, 3. Berguna untuk mengevaluasi
jumlah yang cukup perhatikan ukuran dan obsrtuksi dan pilihan
b. Tidak teraba distensi ketakutan. intervensi.
kandung kemih 4. Awasi dan catat waktu 4. Retensi urin meningkatkan
dan jumlah tiap tekanan dalam saluran
berkemih.. perkemihan atas.
5. Perkusi/palpasi area 5. Distensi kandung kemih dapat
suprapubik dirasakan diarea suprapubik.

2. Gangguan rasa nyaman: nyeri


Tujuan Intervensi Rasional
Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri, perhatikan 1. Memberikan informasi untuk
tindakan keperawatan lokasi, intensitas nyeri. membantu dalam menetukan
selama 1x24 jam 2. Plester selang drainase intervensi.
diharapkan nyeri akan pada paha dan kateter 2. Mencegah penarikan
berkurang dengan kriteria pada abdomen. kandung kemih dan erosi
hasil: 3. Pertahankan tirah baring pertemuan penis-skrotal.
a. Menyatakan nyeri bila diindikasikan. 3. Tirah baring mungkin
hilang/ terkontrol 4. Berikan tindakan diperlukan pada awal selama
b. Menunjukkan rileks, kenyamanan fase retensi akut.
istirahat dan 5. Dorong menggunakan 4. Meningktakan relaksasi dan
peningkata aktivitas rendam duduk, sabun mekanisme koping.
dengan tepat hangat untuk perineum. 5. Meningkatkan relaksasi otot.
6. Kolaborasi dalam 6. Untuk menghilangkan nyeri
pemberian obat analgetik berat dan memberikan
sesuai indikasi relaksasi mental dan fisik

3. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan


Tujuan          Intervensi Rasional

Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji ulang tanda atau 1. Intervensi cepat dapat
keperawatan selama 1x24 gejala yang memerlukan mencegah komplikasi lebih
jam diharapkan kecemasan tindakan atau evaluasi serius
pasien akan berkurang medik.
dengan kriteria hasil: 2. Berikan informasi tentang 2. Membantu pasien memahami
a. Mengakui dan prosedur dan apa yang tujuan dari apa yang akan
mendiskusikan akan terjadi, contoh dilakukan dan mengurangi
takut/masalah kateter, iritasi kandung
b. Menunjukkan rentang kemih. masalah karena ketidak tahuan
perasaan yang tepat dan 3. Dorong pasien untuk 3. Membantu pasien memahami
penampilan wajah menyatakan rasa takut perasaan dapat merupakan
tampak rileks/istirahat dan atau perasaan rehabilitasi.
perhatian. 4. Mendefinisikan masalah,
4. Dorong pasien atau orang memberikan kesempatan
terdekat untuk untuk menjawab pertanyaan
menyatakan masalah / dan solusi pemecahan masalah
perasaan. 5. Menyatakan penerimaan dan
5. Pertahankan perilaku menghilangkan rasa malu
nyata dalam melakukan pasien.
prosedur atau menerima 6. Mungkin merupakan
pasien. ketakutan yang tidak
6. Berikan informasi bahwa dibicarakan
kondisi tidak ditularkan 7. Peningkatan tiba-tiba pada
secara seksual aliran urine dapat
7. Anjurkan menghindari menyebabkan distensi
makanan berbumbu, kopi, kandung kemih dan
dan minuman kehilangan tonus kandung
mengandung alkohol. kemih, mengakibatkan
episode retensi urinaria akut.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan terpasangnya kateter urethra.


Tujuan Intervensi Rasional
Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan system 1. Mencegah pemasukan bakteri
keperawatan selama 1x24 kateter steril, berikan dan infeksi
jam diharapkan tidak ada perawatan kateter regular 2. Untuk mengetahui
tanda resiko infeksi dengan dengan sabun dan air, hemodinamika pasien.
kriteria hasil: berikan salep antibiotic di 3. Kateter suprapubik
a. Tidak ada kemerahan sekitar sisi kateter. meningkatkan resiko infeksi
b. Tidak ada 2. Awasi tanda tanda vital, yang di indikasi kan dengan
pembengkakan perhatikan demam ringan, iritema.
c. Klien mampu menggigil, nadi dan 4. Agar bakteri dan penyakit
menyebutkan factor- pernafasan cepat, gelisah. tidak menyebar dari
faktor resiko penyebab 3. Observasi sekitar kateter lingkungan dan orang lain.
infeksi suprapubik. 5. Mengurangi paparan dari
d. Klien mampu 4. Bersihkan lingkungan lingkungan.
memonitor lingkungan setelah digunakan oleh 6. Mencegah terjadinya infeksi
penyebab infeksi klien. dari mikroorganisme yang ada
e. Klien mampu 5. Jaga agar barier kulit yang di tangan.
memonitor tingkah laku terbuka tidak terpapar 7. Mencuci tangan menggunakan
penyebab infeksi lingkungan dengan cara sabun lebih efektif untuk
f. Tidak terjadi paparan menutup dengan kasa membunuh bakteri.
saat tindakan streril. 8. Mencegah infeksi nosokomial.
keperawatan 6. Ajarkan klien dan 9. Mencegah infeksi nosokomial.
keluarga tekhnik mencuci 10. Meminimalkan
tangan yang benar. terkontaminasi mikroba atau
7. Pergunakan sabun anti bakteri.
microbial untuk mencuci 11. Menjaga ketahanan sistem
tangan. imun.
8. Cuci tangan sebelum dan 12. Infeksi lebih lanjut dapat
sesudah melakukan memperburuk resiko infeksi
tindakan keperawatan. pada klien.
9. Terapkan Universal 13. Dapat melaporkan kepada
precaution. petugas lebih cepat, sehingga
10. Pertahankan lingkungan penangan lebih efisien.
aseptik selama 14. Untuk mempercepat
perawatan. perbaikan kondisi klien
11. Anjurkan klien untuk
memenuhan asupan
nutrisi dan cairan
adekuat.
12. Ajarkan klien dan
keluarga untuk
menghindari infeksi.
13. Ajarkan pada klien dan
keluarga tanda-tanda
infeksi.
14. Kolaborasi pemberian
antibiotik bila perlu.

5. Gangguan pola eliminasi urine berhubungan infeksi bladder, gangguan neurology,


hilangnya tonus jaringan perianal, efek terapi.

Tujuan Intervensi Rasional


Setelah dilakukan 1. Dorong pasien utnuk 1. Meminimalkan retensi
tindakan berkemih tiap 2-4 jam urin distensi berlebihan
keperawatan selama dan bila tiba-tiba pada kandung kemih.
1x24 jam diharapkan dirasakan. 2. Tekanan ureteral tinggi
tidak terjadi 2. Tanyakan pasien tentang menghambat
gangguan eliminasi inkontinensia stres. pengosongan kandung
urin dengan kriteria 3. Observasi aliran urin, kemih.
hasil: perhatikan ukuran dan 3. Berguna untuk
a. Berkemih dengan ketakutan. mengevaluasi obsrtuksi
jumlah yang cukup 4. Awasi dan catat waktu dan pilihan intervensi.
b. Tidak teraba dan jumlah tiap 4. Retensi urin
distensi kandung berkemih.. meningkatkan tekanan
kemih 5. Perkusi/palpasi area dalam saluran
suprapubik perkemihan atas.
6. Dorong pasien untuk 5. Distensi kandung kemih
berkemih bila terasa dapat dirasakan diarea
adanya dorongan. suprapubik.
7. Dorong masukan cairan 6. Berkemih dengan
sampai 3000 ml/hari. dorongan mencegah
8. Awasi tanda-tanda vital. retensi urine
9. Berikan obat-obatan 7. Peningkatan aliran cairan
antispasmodik. mempertahankan perfusi
ginjal dan membersihkan
ginjal dan kandung
kemih dari pertumbuhan
bakteri
8. Kehilangan fungsi ginjal
mengakibatkan
penurunan eliminasi
cairan dan akumulasi sisa
toksik.
9. Menghilangkan spasme
kandung kemih
DAFTAR PUSTAKA
Retensi Urin Permasalahan dan Penatalaksanaan Widjoseno Gardjito Lab/UPF Ilmu Bedah
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi. Iskandar Japardi. Fakultas Kedokteran Bagian
Bedah. Universitas Sumatera Utara
Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap Pertama
Kali dan Berulang.Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara
Purnomo B.B . 2003. ‘Dasar-dasar Urologi’. SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. CV.Infomedika : Jakarta. 227-233.
Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Doenges. M. E. (2000). Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.
Hudak, C. M & Barbara, M. G. (1997). Keperawatan kritis: pendekatan holistik. Jakarta:
EGC.
Perry & potter. (2006). Fundamental keperawatan. Jakarta: EGC.
Mansyoer Arif, dkk. 2001. Kapita selekta kedokteran Jilid 1 Edisi ke tiga. Jakarta: Media
Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai