LAPORAN PENDAHULUAN
oleh:
Fitri Muna Rahayu, S.Kep.
NIM 182311101085
A. Konsep Teori
1. Anatomi Fisiologi
a. Ureter
Pelvis ginjal mengalirkan urin masuk ke dalam ureter, sebuah selang muskular
yang mencapai kandung kemih. Panjang ureter sekitar 25 cm dan mencapai
diameter maksimal sekitar 1,7 cm. Bagian ureter melewati posterior kandung kemih
dan masuk dari bawah, menembus dinding muskularnya, dan muara ureter ke
kandung kemih berdada di lantai. Terdapat flap mukosa yang berfungsi sebagai
katup pada muara setiap ureter ke dalam kandung kemih, mencegah urin balik
kembali ke dalam ureter saat kandung kemih berkontraksi.
Lapisan ureter terdiri dari selang berupa otot polos, dikelilingi secara eksternal
oleh selubung jaringan ikat fibrosa yang longgar yang mengikatnya ke dinding
tubuh, dan lapisan internal terdiri dari mukosa dengan epitel transisional, sejenis
epitel yang unik pada saluran kemih. Saat urin memasuki ureter dan
meregangkannya, dinding otot berkontraksi dan memulai gelombang peristaltik
yang mengalirkan urin dari pelvis ginjal ke kandung kemih. Kontraksi ini terjadi
setiap beberapa detik sampai menit, seiring dengan laju urin dari atas. Lumen ureter
sangat sempit dan mudah tersumbat atau terluka oleh batu ginjal.
b. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan kantung muskular yang berada di lantai rongga
pelvis dan berada di belakang simfisis pubis. Dindingnya terdiri dari tiga lapisan
otot polos yang secara kolektif disebut detrusor. Kandung kemih dilapisi secara
internal oleh epitel transisi yang sangat tebal yang memberikan perlindungan dari
urine kaustik. Muara dua ureter dan uretra ditandai berupa area segitiga halus yang
disebut trigone di lantai kandung kemih; Area ini merupakan tempat infeksi
kandung kemih yang umum.
Kandung kemih dapat sangat meregang; Saat terisi, kandung kemih
mengembang ke arah superior, mukosa yang tadinya keriput menjadi lebih rata, dan
epitel menipis (dari lima atau enam lapisan sel menjadi dua atau tiga saja). Kandung
kemih yang cukup penuh mengandung sekitar 500 mL urin dan membentang sekitar
12,5 cm dari atas ke bawah. Kapasitas maksimumnya adalah 700 sampai 800 mL.
c. Uretra
Uretra mengalirkan urin dari kandung kemih ke orifisium uretra eksternal,
titik keluar dari tubuh. Pada wanita, uretra mempunyai panjang 3 – 4 cm yang
terikat ke dinding anterior vagina oleh jaringan ikat fibrosa. Orifiumnya terletak di
antara lubang vagina dan klitoris. Uretra laki-laki sekitar 18 cm dan melewati penis;
Uretra memiliki tiga wilayah: uretra prostat (segera setelah keluar dari kandung
kemih), di mana uretra melewati prostat dan tidak hanya menerima air kencing tapi
juga air mani; Uretra membranosa, segmen pendek berdinding tipis yang melewati
lantai panggul; Dan uretra spongiousum, bagian yang melewati penis (korpus
spongiosum).
Pada pria, detrusor menebal di dekat uretra untuk membentuk sfingter uretra
interna involunter (otot polos). Sfingter ini berkontraksi selama ejakulasi untuk
mencegah air mani masuk ke dalam kandung kemih. Wanita tidak memiliki sfingter
uretra internal, namun kedua jenis kelamin memiliki otot volunter (otot skeletal)
pada sfingter uretra eksternal yang mengelilingi uretra saat melewati lantai panggul
(uretra membran pada pria). Sfingter ini memberikan kontrol volunter pada saat
berkemih.
d. Kelenjar Prostat
Prostat merupakan kelenjar pada organ reproduksi laki laki yang memiliki
volume normal sekitar 20 gram, lebar 4 cm, dan panjang 2 cm. Kelenjar prostat
terletak di posterior simfisis pubis, superior pada membran perinium, inferior ke
kandung kemih, dan anterior rektum. Prostat berada dalam kontinuitas kandung
kemih dan dikelilingi kapsul yang terdiri dari kolagen, elastin, dan otot polos
(Muruve, 2017).
Urea 1.800 21
Amonia 60 0,68
Fosfat 83 1
Kalsium 17 0,2
Magnesium 13 0,16
2. Pengertian BPH
American Urologycal Asscociation (2018) menjelaskan bahwa Benign
Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan diagnosa histologi yang mengacu pada
proliferasi jaringan epitel kelenjar, dan otot polos pada zona prostat.
3. Epidemiologi BPH
Deters (2017) menjelaskan bahwa prevalensi BPH di seluruh dunia
adalah sekitar 30 juta.penyakit ini umunya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
50% laki laki diatas usia 60 tahun mengalami BPH. Penyakit ini merupakan
penyakit yang memerlukan intervensi pembedahan terbanyak nomor 2 pada laki
laki diatas 60 tahun. Prevalensi BPH di Afrika dan Amerika lebih banyak
berhubungan dengan tingginya tingkat testosteron, aktifitas 5 alpha reduktase,
dan aktivitas faktor pertumbuhan.
4. Klasifikasi BPH
Foo (2017) menjelaskan bahwa BPH dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingkat keparahannya menggunakan indikator persistent postvoid residual urine
(PVRU), maximum voided volume (MVV), dan quality of life (QoL).
a. BPH stadium 1: pasien mengalami BPH, tidak memiliki obstruksi yang
signifikan, dan tidak ada gejala yang mengganggu. Pasien BPH stadium satu
biasaya hanya akan dilakukan observasi dan diberi konseling.
b. BPH stadium 2: pasien mengalami BPH, tidak memiliki obstruksi yang
signifikan, namun memiliki gejala yang mengganggu. Pasien BPH stadium
2 mendapatkan penanganan menggunakan terapi farmakologi seperti halnya
alpha blocker.
c. BPH stadium 3: pasien dengan BPH stadium 3 memiliki obstruksi yang
signifikan terlepas dari ada atau tidaknya gejala yang mengganggu. Pasien
stadium 3 membutuhkan pengobatan yang lebih agresif, seperti halnya
inhibitor 5 alpha reduktase, dan menawarkan opsi untuk intervensi
pembedahan.
d. BPH stadium 4: pasien dengan BPH stadium 4 mengalami komplikasi klinis
BPH seperti halnya retensi urin (akut atau kronis), batu kandung kemih,
perdarahan berulang atau infeksi berulang. BPH stadium 4 membutuhkan
intervensi pembedahan.
5. Etiologi BPH
Ikatan Ahli Urologi Indonesia (2015) menjelaskan bahwa faktor risiko
yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya testis yang fungsional
sejak pubertas (faktor hormonal). Terdapat hubungan positif antara BPH dengan
riwayat BPH dalam keluarga, kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi
vitamin E, konsumsi daging merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik
pada prostat, dan penyakit jantung. Terdapat beberapa hipotesa yang menjadi
etologi BPH meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan
epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron dalam sel prostat merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam
inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadar DHT pada orang normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5alfa–reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara
kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel
prostat (apoptosis).
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Sel-sel stroma merupakan sel yang mengontrol diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat melalui suatu mediator yang disebut Growth factor.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri (intrakrin dan autokrin), serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel
stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan
ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi,
ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika kadar hormone
androgen menurun, maka akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
7. Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra dan akan
menghambat aliran urin. Kondisi ini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam
vesika urinaria Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi
lebih kuat dengan tujuan untuk melawan tahanan itu (Belleza, 2016). Kontraksi
yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomis dari vesica urinaria
berupa hipertrofi otot, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel vesica urinaria.
Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada
vesica urinaria dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih bawah
atau lower urinary tract symptom (LUTS). Semakin meningkatnya resistensi uretra,
oto tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intra
vesika urinaria yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian vesica
urinaria termasuk ke dalam muara ureter. Tekanan pada muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik atau refluk urin dari vesica urinaria ke ureter atau terjadi
refluks vesicoureter. Apabila kondisi ini berlangsung terus, maka akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal (Foo, 2017).
Penyakit BPH terdiri dari dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urin (obstruksi infra vesika
urinaria), sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan
kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha
adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,
yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Mayo
Clinic. 2018).
8. Komplikasi BPH
Mayo Clinic (2018) menjelaskan bahwa beberapa komplikasi yang dapat
terjad pada BPH adalah:
a. Retensi urin atau ketidakmampuan untuk berkemih. Intervensi yang perlu
dilakukan apaila pasien dengan BPH mengalami retensi urin adalah dengan
pemasangan kateter langsung pada vesica urinaria atau melalui intervensi
pembedahan
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Pasien BPH yang tidak mampu mengosongkan
vesika urinaria dapat meningkatkan resiko infeksi pada kandung kemih. Jika
ISK sering terjadi, maka diperlukan intervensi untuk pengangkatan prostat.
c. Kerusakan vesica urinaria. Vesica urinaria yang tidak mampu dikosongkan
akan menyebabkan peregangan dan akan melemah seiring berjalannya
waktu. Hal ini dapat mengakibatkan dinding otot kandung kemih tidak lagi
mampu berkontraksi dengan baik.
d. Kerusakan ginjal. Tekanan pada kandung kemih akibat retensi urin dapat
merusak ginjal atau memungkinkan infeksi kandung kemih yang dapat
menuju ginjal.
Usia lanjut
Testosteron ↓ Esterogen ↑
Mempengaruhi RNA
dalam inti sel
Ketidakefektifan
Akumulasi urin di VU Peregangan VU Nyeri akut pola seksualitas
Hidroureter Hematuria
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola
defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltik usus akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: pada sistem ini biasanya pasien BPH tidak mengalami
permasalahan
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Retensi urin berhubungan dengan distensi vesica urinaria
b. Nyeri akut berhubungan dengan distensi vesica urinaria
c. Ketidakefektifan pola seksual berhubungan dengan adanya resiko
impotensi, dan nyeri yang dialami
d. Ansietas berhubungan dengan tindakan intervensi pembedahan
e. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
f. Resiko infeksi berhubungan dengan akumulasi urin di vesica urinaria
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Retensi urin (00023) NOC NIC
Eliminasi urin (0503) Perawatan retensi urin (0620)
Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian komprehensif tentang
keperawatan selama 3x24 jam eliminasi urin pasien
diharapkan menunjukkan eliminasi 2. Monitor efek samping pengggunaan obat
urin yang efektif dengan kriteria hasil: 3. Monitor derajat distensi kandung kemih
Indikator Aw 1 2 3 4 5 4. Kolaborasi pemberian terapi obat yang sesuai
al indikasi
Pola
eliminasi Manajemen eliminasi perkemihan (0590)
Bau 1. Monitor pola, frekuensi, dan keluaran urin
Kejerniha 2. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda awal
n urin terjadinya infeksi
Mengenali 3. Ajarkan pasien untuk mengkonsumsi cairan
keinginan sesuai kebutuhan
untuk 4. Informasikan tentang pengosongan kandung
berkemih kemih sebelum melakukan tindakan
Nokturia 5. Bantu pasien mengembangkan pola berkemih
Inkontinen yang sesuai
sia urin
2. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
(3016) 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
selama 3x24 jam nyeri akut pada pasien Terapi relaksasi (6040)
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 4. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
nafas dalam
Indikator Aw 1 2 3 4 5 5. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
al
Melaporka
n nyeri
berkurang
Mengenali
nyeri
Mengetah
ui
penyebab
nyeri
Mencari
bantuan
3. Ketidakefektifan pola NOC NIC
seksual berhubungan (0212) Konseling seksual (5248)
dengan adanya resiko setelah dilakukan perwatan selama 1x24 1. Diskusikan efek perubahan pola sesksual dengan
impotensi, dan nyeri yang jam pasien mampu menunjukakan pasien dan orang terdekatnya
dialami pengetahuan tentang fungsi seksual 2. Informasikan tentang hubungan penyakit dengan
dengan kriteria hasil: perubahan pola seksual yang dialmai pasien
Indikator Aw 1 2 3 4 5 3. Libatkan pasangan saat konseling dengan pasien
al 4. Diskusikan untuk konseling dengan tim kesehatan
Mengungk lain
apkan
pemahama
n tentang
fungsi
seksual
Mengeksp
resikan
penerimaa
n
perubahan
pola
seksual
Mengeksp
resikan
kenyaman
an
terhadap
perubahan
4. Ansietas (00146) NOC NIC
Tingkat Kecemasan (1211) Pengurangan kecemasan (5820)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
selama 1x 24 jam, ansietas pada pasien
menyakinkan
dapat teratasi, dengan kriteria hasil:
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku
Indikator Aw 1 2 3 4 5 klien
al 3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang
Menyamb akan dirasakan yang mungkin akan alami klien
aikan rasa selama prosedur
takut 4. Berikan informasi 42actual terkait diagnosis,
Tekanan perawatan dan prognosis
darah 5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa
Frekuensi aman dan mengurangi ketakutan
nadi 6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan
Frekuensi ketakutan
pernafasan 7. dukung penggunaan mekanisme koping yang
sesuai
8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik
relaksasi
9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
5 Defisit pengetahuan NOC NIC
(00126) Pengetahuan : Prosedur penanganan Pengajaran: Perioperatif (5610)
(1814)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. informasikan kepada pasien dan keluarga untuk
selama 1x24 jam, defisiensi pengetahuan jadwal tanggal, waktu dan lokasi operasi.
pada pasien dapat teratasi, dengan 2. Informasikan kepada pasien dan keluarga
kriteria hasil: perkiraan lama operasi
Indikator Aw 1 2 3 4 5 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar belakang,
al budaya dan tingkat pengetahuan terkait operasi
Pemahama 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga terkait
n tentang kecemasannya
prosedur 5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya
penangana 6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi (misalnya
n jenis anestesi, diit yang sesuai, pengosongan
Pengetahu saluran cerna, pemeriksaan lab yang dibutuhkan,
an tentang perisapan area operasi, terapi intravena, pakaian
efek operasi, ruang tunggu keluarga, transportasi
samping menuju ruang operasi dan lain-lain.
penangana 7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan pasien
n kepada semua pihak yang terlibat dalam proses
Pengetahu operasi
an tentang 8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan
kontraindi 9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi,
kasi batuk dan nafas dalam
penangana 10. Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi
n
6. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai
Setelah dilakukan tindakan keperawatan setiap pasien
selama 3x24 jam, tidak terjadi infeksi 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai
pada pasien dengan kriteria hasil: SOP rumah sakit
3. Batasi jumlah pengunjung
Indikator Aw 1 2 3 4 5 4. Ajarkan cara mencuci tangan
al Perlindungan infeksi (6550)
Suhu 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
tubuh 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
Nanah Manajemen nutrisi (1100)
pada luka 7. Tentukan status gizi pasien
Kemampu 8. Identifikasi adanya alergi
an Identifikasi resiko (6610)
mengident 9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
ifikasi 10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
faktor
risiko
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
D. Discharge Planning
Belleza (2016) menjelaskan bahwa discharge planing yang bisa diberikan
pada pasien dengan BPH adalah sebagai berikut:
1. Intruksikan dengan lisan dan tertulis tentang kebutuhan untuk memantau
keluaran urin dan strategi untuk mencegah komplikasi
2. Ajarkan pasien untuk melakukan latihan yang berfungsi untuk meningkatkan
kembali kemampuan kontrol kandung kemih
3. Informasikan pada pasien untuk sementara menghindari peregangan dan
pengangkatan beban berat
4. Informasikan pada pasien untuk menghindari makanan pedas, alkohon, dan
kopi untuk menghindari ketidaknyamanan kandung kemih
5. Motivasi pasien untuk meningkatkan masukan cairan.
DAFTAR PUSTAKA
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2018. Prostate
Enlargement (Benign Prostatic Hyperplasia).
https://www.niddk.nih.gov/health-information/urologic-diseases/prostate-
problems/prostate-enlargement-benign-prostatic-hyperplasia diakses pada
6 Januari 2019