Anda di halaman 1dari 28

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BENIGN


PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH) DI RUANG MAWAR RUMAH SAKIT
DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

oleh:
Fitri Muna Rahayu, S.Kep.
NIM 182311101085

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
FEBRUARI, 2019
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori
1. Anatomi Fisiologi
a. Ureter
Pelvis ginjal mengalirkan urin masuk ke dalam ureter, sebuah selang muskular
yang mencapai kandung kemih. Panjang ureter sekitar 25 cm dan mencapai
diameter maksimal sekitar 1,7 cm. Bagian ureter melewati posterior kandung kemih
dan masuk dari bawah, menembus dinding muskularnya, dan muara ureter ke
kandung kemih berdada di lantai. Terdapat flap mukosa yang berfungsi sebagai
katup pada muara setiap ureter ke dalam kandung kemih, mencegah urin balik
kembali ke dalam ureter saat kandung kemih berkontraksi.

Lapisan ureter terdiri dari selang berupa otot polos, dikelilingi secara eksternal
oleh selubung jaringan ikat fibrosa yang longgar yang mengikatnya ke dinding
tubuh, dan lapisan internal terdiri dari mukosa dengan epitel transisional, sejenis
epitel yang unik pada saluran kemih. Saat urin memasuki ureter dan
meregangkannya, dinding otot berkontraksi dan memulai gelombang peristaltik
yang mengalirkan urin dari pelvis ginjal ke kandung kemih. Kontraksi ini terjadi
setiap beberapa detik sampai menit, seiring dengan laju urin dari atas. Lumen ureter
sangat sempit dan mudah tersumbat atau terluka oleh batu ginjal.

b. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan kantung muskular yang berada di lantai rongga
pelvis dan berada di belakang simfisis pubis. Dindingnya terdiri dari tiga lapisan
otot polos yang secara kolektif disebut detrusor. Kandung kemih dilapisi secara
internal oleh epitel transisi yang sangat tebal yang memberikan perlindungan dari
urine kaustik. Muara dua ureter dan uretra ditandai berupa area segitiga halus yang
disebut trigone di lantai kandung kemih; Area ini merupakan tempat infeksi
kandung kemih yang umum.
Kandung kemih dapat sangat meregang; Saat terisi, kandung kemih
mengembang ke arah superior, mukosa yang tadinya keriput menjadi lebih rata, dan
epitel menipis (dari lima atau enam lapisan sel menjadi dua atau tiga saja). Kandung
kemih yang cukup penuh mengandung sekitar 500 mL urin dan membentang sekitar
12,5 cm dari atas ke bawah. Kapasitas maksimumnya adalah 700 sampai 800 mL.

c. Uretra
Uretra mengalirkan urin dari kandung kemih ke orifisium uretra eksternal,
titik keluar dari tubuh. Pada wanita, uretra mempunyai panjang 3 – 4 cm yang
terikat ke dinding anterior vagina oleh jaringan ikat fibrosa. Orifiumnya terletak di
antara lubang vagina dan klitoris. Uretra laki-laki sekitar 18 cm dan melewati penis;
Uretra memiliki tiga wilayah: uretra prostat (segera setelah keluar dari kandung
kemih), di mana uretra melewati prostat dan tidak hanya menerima air kencing tapi
juga air mani; Uretra membranosa, segmen pendek berdinding tipis yang melewati
lantai panggul; Dan uretra spongiousum, bagian yang melewati penis (korpus
spongiosum).
Pada pria, detrusor menebal di dekat uretra untuk membentuk sfingter uretra
interna involunter (otot polos). Sfingter ini berkontraksi selama ejakulasi untuk
mencegah air mani masuk ke dalam kandung kemih. Wanita tidak memiliki sfingter
uretra internal, namun kedua jenis kelamin memiliki otot volunter (otot skeletal)
pada sfingter uretra eksternal yang mengelilingi uretra saat melewati lantai panggul
(uretra membran pada pria). Sfingter ini memberikan kontrol volunter pada saat
berkemih.

d. Kelenjar Prostat
Prostat merupakan kelenjar pada organ reproduksi laki laki yang memiliki
volume normal sekitar 20 gram, lebar 4 cm, dan panjang 2 cm. Kelenjar prostat
terletak di posterior simfisis pubis, superior pada membran perinium, inferior ke
kandung kemih, dan anterior rektum. Prostat berada dalam kontinuitas kandung
kemih dan dikelilingi kapsul yang terdiri dari kolagen, elastin, dan otot polos
(Muruve, 2017).

Gambar 1. Anatomi Saluran Reproduksi


Prostat merupakan kelenjar reproduksi sekunder pada laki-laki yang
menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-
32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat
dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian
Stilbestrol (Muruve, 2018).
e. Proses pengeluaran Urin / Berkemih
Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat
otomatis. Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi berkemih,
keadaan ini disebabkan oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih
sampai reseptor pada uretra posterior ketika mulai terisi urin pada tekanan kandung
kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor kandung kemih ke segmen
sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus kemudian secara reflek kembali lagi
ke kandung kemih melalui syaraf parasimpatis (Syaifuddin, 2001).
Berkemih pada dasarnya merupakan reflek spinal yang akan difasilitasi dan
dihambat oleh pusat-pusat susunan syaraf yang lebih tinggi. Urin yang memasuki
kandung kemih tidak begitu meningkatkan tekanan intravesika sampai terisi penuh.
Pada kandung kemih ketegangan akan meningkat dengan meningkatnya isi organ
tersebut, tetapi jari-jaripun bertambah, oleh karena itu peningkatan tekanan hanya
akan sedikit saja, sampai organ tersebut relatif penuh. Selama proses berkemih otot-
otot perinium dan sfingter uretra eksterna relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan
urin akan mengalir melalui uretra. Kontraksi otot-otot perinium dan sfingter
eksterna dapat dilakukan secara volunter, sehingga mencegah urin mengalir
melewati uretra atau menghentikan aliran urin saat sedang berkemih (Guyton,
2006).
Proses miksi terdiri dari dua langkah utama:
1. Pengisian : kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di
dindingnya meningkat akan timbul sensasi berkemih pertama kali yang
biasanya timbul pada saat volume vesica urinaria terisi antara 150-350 ml dari
kapasitas normal sekitar 300-600 ml. , yang kemudian mencetuskan langkah
kedua. Terjadinya distensi atau peningkatan tegangan pada kandung kemih
mencetuskan refleks I yang menghasilkan kontraksi kandung kemih dan refleks
V yang menyebabkan relaksasi uretra.
2. Pengososngan : timbul refleks saraf yang disebut reflek miksi (refleks
berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal
setidaknya menimbulkan kesadaran dan keinginan untuk berkemih. Ketika
proximal uretra mengalirkan urin maka akan mengaktifkan refleks II yang akan
menghasilkan kontraksi kandung kemih dan IV sehingga stingfer eksternal dan
uretra akan berelaksasi, sehingga urin dapat keluar. Jika tejadi distensi pada
uretra yang bisa disebabkan karena sumbatan, atau kelemahan sfingter uretra
maka akan mengaktifkan refleks III, sehingga kontraksi kandung kemih
melemah.
Reflek berkemih adalah refleks medulla spinalis yang seluruhya bersifat
autonomik, tetapi dapat dihambat atau dirangsang di otak. Pusat yang lebih tinggi
dapat mencegah berkemih, bahkan ketika refleks berkemih muncul, yaitu dengan
membuat kontraksi tonik terus menerus pada sfingter eksternus kandung kemih
sampai mendapat waktu yang baik untuk berkemih. Jika sudah tiba saat berkemih,
pusat cortical dapat merangsang pusat berkemih sacral untuk membantu
mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu yang 9 bersamaan menghambat
sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi
(Guyton, 2006).
f. Volume dan Kandungan Urin
Rata-rata orang dewasa menghasilkan 1 – 2 L urin per hari atau sebanyak 0.5-
1,0 mg /KgBB/24 jam. Output lebih dari 2 L / hari disebut diuresis atau poliuria.
Asupan cairan dan beberapa obat dapat meningkatkan output sementara, sebanyak
20 L / hari. Penyakit seperti diabetes dapat ditandai dengan poliuria kronis.
Keluaran urin rendah, yang disebut oliguria, dapat terjadi akibat penyakit ginjal,
dehidrasi, syok sirkulasi, dan pembesaran prostat, dan lain-lain. Jika output urin
turun menjadi kurang dari 400 mL / hari, konsentrasi limbah metabolisme yang
tidak aman akan terakumulasi dalam plasma darah. Uremia adalah kondisi di mana
kadar limbah nitrogen berada dengan kondisi berbahaya dalam darah, biasanya
mengindikasikan gagal ginjal.

g. Warna Urin Tergantung pada Keadaan Hidrasi Tubuh


Komposisi dan sifat dasar urin adalah sebagai berikut:
a) Warna urin bervariasi dari hampir tidak berwarna sampai kuning pekat,
tergantung pada keadaan hidrasi tubuh. Warna kuning urin disebabkan oleh
pigmen yang dihasilkan oleh pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang telah
kadaluwarsa. Warna yang tidak biasa dapat diberikan pada urin oleh makanan,
vitamin, obat-obatan, dan penyakit metabolik tertentu. Pyuria (nanah dalam
urin) dapat mengindikasikan infeksi ginjal. Hematuria (darah dalam urin)
mungkin karena infeksi saluran kemih, berbagai penyakit ginjal, trauma, atau
batu ginjal.
b) Urin segar memiliki bau khas tapi tidak harus berbau busuk. Bakteri yang
berkembang biak di dalam urin menurunkan urea menjadi amonia, dan
menghasilkan bau tajam khas seperti popok basah basi. Asparagus, makanan
lain, dan beberapa penyakit metabolik dapat memberi aroma khas pada urin.
Diabetes mellitus memberi aroma aseton yang manis dan beraroma buah.
c) Berat jenis. Berat jenis adalah rasio densitas (g / mL) suatu zat dibandingkan
terhadap densitas air suling. Menurut definisi, air suling memiliki berat jenis
1.000, dan urin berkisar antara 1,001 saat sangat encer sampai 1,028 saat sangat
kental.
d) Urin dapat memiliki osmolaritas serendah 50 mOsm / L pada individu yang
sangat terhidrasi atau setinggi 1.200 mOsm / L pada individu yang mengalami
dehidrasi. Dibandingkan dengan osmolaritas darah (300 mOsm / L), maka urin
dapat berupa hipotonik atau hipertonik.
e) pH urin berkisar antara 4,5 sampai 8,2 namun biasanya sekitar 6,0 (agak asam).
Inilah salah satu alasan mengapa saluran kemih perlu dilindungi oleh epitel
transisional, jaringan yang hanya ditemukan di daerah ini.
f) Komposisi kimia. Urine mengandung rata-rata 95% air dan 5% zat terlarut;
Merupakan suatu kondisi abnormal jika ditemukan glukosa, hemoglobin bebas,
albumin, atau pigmen empedu di dalam urin; Kehadiran zat-zat ini bisa menjadi
indikator penting penyakit.
Zat Terlarut Konsentrasi (mg/dL) Output (g/hari)

Urea 1.800 21

Kreatinin 150 1,8

Amonia 60 0,68

Klorida 533 6,4

Sodium / Natrium 333 4,0

Potasium / Kalium 166 2,0

Fosfat 83 1

Kalsium 17 0,2

Magnesium 13 0,16

2. Pengertian BPH
American Urologycal Asscociation (2018) menjelaskan bahwa Benign
Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan diagnosa histologi yang mengacu pada
proliferasi jaringan epitel kelenjar, dan otot polos pada zona prostat.

Gambar 2. Benign Prostate Hyperplasia


BPH merupakan kondisi dimana kelemjar prostat membesar dan tidak
bersifat kanker. BPH disebut juga hipertrophi prostat jinak atau obstruksi prostat
jinak. Kelenjar prostat mengalami dua kali masa pertumbuhan, yaitu pada masa
pubertas dan fase kedua dimulai sejak usia 25 tahun. BPH seringkali terjadi pada
fase pertumbuhan kedua. Ketika prostat membesar, kelejar akan menekan uretra,
dinding kandung kemih menjadi lebih tebal, dan pada akhirnya kandung kemih
akan melemah dan kehilangan kemampuan untuk mengosongkan atau
mengeluarkan urin seluruhnya (National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Diseases, 2018).

3. Epidemiologi BPH
Deters (2017) menjelaskan bahwa prevalensi BPH di seluruh dunia
adalah sekitar 30 juta.penyakit ini umunya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
50% laki laki diatas usia 60 tahun mengalami BPH. Penyakit ini merupakan
penyakit yang memerlukan intervensi pembedahan terbanyak nomor 2 pada laki
laki diatas 60 tahun. Prevalensi BPH di Afrika dan Amerika lebih banyak
berhubungan dengan tingginya tingkat testosteron, aktifitas 5 alpha reduktase,
dan aktivitas faktor pertumbuhan.

4. Klasifikasi BPH
Foo (2017) menjelaskan bahwa BPH dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingkat keparahannya menggunakan indikator persistent postvoid residual urine
(PVRU), maximum voided volume (MVV), dan quality of life (QoL).
a. BPH stadium 1: pasien mengalami BPH, tidak memiliki obstruksi yang
signifikan, dan tidak ada gejala yang mengganggu. Pasien BPH stadium satu
biasaya hanya akan dilakukan observasi dan diberi konseling.
b. BPH stadium 2: pasien mengalami BPH, tidak memiliki obstruksi yang
signifikan, namun memiliki gejala yang mengganggu. Pasien BPH stadium
2 mendapatkan penanganan menggunakan terapi farmakologi seperti halnya
alpha blocker.
c. BPH stadium 3: pasien dengan BPH stadium 3 memiliki obstruksi yang
signifikan terlepas dari ada atau tidaknya gejala yang mengganggu. Pasien
stadium 3 membutuhkan pengobatan yang lebih agresif, seperti halnya
inhibitor 5 alpha reduktase, dan menawarkan opsi untuk intervensi
pembedahan.
d. BPH stadium 4: pasien dengan BPH stadium 4 mengalami komplikasi klinis
BPH seperti halnya retensi urin (akut atau kronis), batu kandung kemih,
perdarahan berulang atau infeksi berulang. BPH stadium 4 membutuhkan
intervensi pembedahan.
5. Etiologi BPH
Ikatan Ahli Urologi Indonesia (2015) menjelaskan bahwa faktor risiko
yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya testis yang fungsional
sejak pubertas (faktor hormonal). Terdapat hubungan positif antara BPH dengan
riwayat BPH dalam keluarga, kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi
vitamin E, konsumsi daging merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik
pada prostat, dan penyakit jantung. Terdapat beberapa hipotesa yang menjadi
etologi BPH meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan
epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron dalam sel prostat merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam
inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadar DHT pada orang normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5alfa–reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara
kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel
prostat (apoptosis).
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Sel-sel stroma merupakan sel yang mengontrol diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat melalui suatu mediator yang disebut Growth factor.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri (intrakrin dan autokrin), serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel
stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan
ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi,
ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika kadar hormone
androgen menurun, maka akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

6. Manifestasi Klinis BPH


National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, (2018)
menjelaskan bahwa manifestasi klinis BPH meliputi:
a. Frekuensi berkemih dx atau lebih dalam 24 jam
b. Ketidakmampuan menunda buang air kecil
c. Kesulitan memulai berkemih
d. Nocturia (sering berkemih pada malam hari)
e. Retensi urin
f. Inkontinensia urin
g. Nyeri pada saat ejakulasi maupun buang air kecil
h. Urin memiliki warna atau bau yang tidak biasa

7. Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra dan akan
menghambat aliran urin. Kondisi ini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam
vesika urinaria Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi
lebih kuat dengan tujuan untuk melawan tahanan itu (Belleza, 2016). Kontraksi
yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomis dari vesica urinaria
berupa hipertrofi otot, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel vesica urinaria.
Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada
vesica urinaria dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih bawah
atau lower urinary tract symptom (LUTS). Semakin meningkatnya resistensi uretra,
oto tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intra
vesika urinaria yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian vesica
urinaria termasuk ke dalam muara ureter. Tekanan pada muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik atau refluk urin dari vesica urinaria ke ureter atau terjadi
refluks vesicoureter. Apabila kondisi ini berlangsung terus, maka akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal (Foo, 2017).
Penyakit BPH terdiri dari dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urin (obstruksi infra vesika
urinaria), sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan
kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha
adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,
yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Mayo
Clinic. 2018).

8. Komplikasi BPH
Mayo Clinic (2018) menjelaskan bahwa beberapa komplikasi yang dapat
terjad pada BPH adalah:
a. Retensi urin atau ketidakmampuan untuk berkemih. Intervensi yang perlu
dilakukan apaila pasien dengan BPH mengalami retensi urin adalah dengan
pemasangan kateter langsung pada vesica urinaria atau melalui intervensi
pembedahan
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Pasien BPH yang tidak mampu mengosongkan
vesika urinaria dapat meningkatkan resiko infeksi pada kandung kemih. Jika
ISK sering terjadi, maka diperlukan intervensi untuk pengangkatan prostat.
c. Kerusakan vesica urinaria. Vesica urinaria yang tidak mampu dikosongkan
akan menyebabkan peregangan dan akan melemah seiring berjalannya
waktu. Hal ini dapat mengakibatkan dinding otot kandung kemih tidak lagi
mampu berkontraksi dengan baik.
d. Kerusakan ginjal. Tekanan pada kandung kemih akibat retensi urin dapat
merusak ginjal atau memungkinkan infeksi kandung kemih yang dapat
menuju ginjal.

9. Pemeriksaan Penunjang BPH


Belleza (2016) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang yang bisa
dilakukan untuk memastikan diagnosa Benign Prostate Hyperplasia adalah:
a. Digital Rectal Examination (DRE).
Pemeriksaan rectal atau colok dubur ini berfungsi untuk mengetahui
apakah terdapat pembesaran kelenjar prostat, dan ada atau tidaknya rasa sakit.
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat
diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul
yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume
prostat dengan DRE cenderung lebih kecil daripada ukuran yang sebenarnya.
b. Urinalisis
Pemeriksaan ini merupakan skrining ada atau tidaknya hematuria dan
ISK yang merupakan komplikasi dari BPH. Apabila hasil pemeriksaan
urinalisis menunjukkan warna kuning, coklat gelap, atau merah darah, maka
dicurigai pasien mengalami BPH. Hasil lain yang mendukung adalah apabila
diketahui pH lebih dari 7, ditemukannya bakteri, leukosit, dan sel darah merah.
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria.
Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai
adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.
c. Urine culture
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan ada atau tidaknya Staphylococcus
aureus, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas, atau Escherichia coli
d. BUN/Cr
Hasil pemeriksaan BUN yang meningkat menunjukkan bahwa fungsi
ginjal terganggu.
e. Prostate specific antigen (PSA)
Pemeriksaan ini berfungsi untuk mendeteksi adanya glikoprotein dalam
darah. Kadar yang meningkat menunjukkan adanya BPH.
f. WBC
Kadar sel darah putih yang lebih dari 11.000/mm3 mengindikasikan
adanya infeksi
g. Uroflowmetry
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menilai tingkat obstruksi pada
kandung kemih. Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama
proses berkemih. Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi
gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat
diperoleh informasi mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum
(Qmax), laju pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini
dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun
setelah terapi.
h. Pemeriksaan residual urin
Pada pasien dengan BPH, pemeriksaan ini menunjukkan pengosongan
kandung kemih yang tertunda, adanya obstruksi saluran kemih, dan adanya
pembesaran prostat, divertikula kandung kemih, serta penebalan abnormal
kansung kemih. setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-
rata 12 mL. 13 Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG,
bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih
akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakteremia. 3,13
Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh obstruksi saluran
kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume residu
urine yang banyak pada pemeriksaan awal berkaitan dengan peningkatan risiko
perburukan gejala. Peningkatan volume residu urine pada pemantauan berkala
berkaitan dengan risiko terjadinya retensi urine.
i. Cystometrogam
Pemeriksaan ini berfungsi untuk mengukur tekanan dan volume
kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi kandung kemih yang
berkaitan dengan BPH.
j. Cystourethroscopy
Pemeriksaan ini berfungsi untuk melihat derajat pembesaran prostat
dan perubahan dinding kandung kemih.
10. Penatalaksanaan BPH

Gambar 4. Guideline Penatalaksanaan BPH


Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien.
Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif
(watchful waiting), (2) medikamentosa, (3) pembedahan, dan (4) lain-lain (kondisi
khusus) (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2015).
a. Terapi konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu
pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya
tetap diawasi. Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai
segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
1) Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah
makan malam,
2) Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
3) Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
4) Jangan menahan kencing terlalu lama.
5) Penanganan konstipasi
b. Terapi Medikamentosa
Pilihan pengobatan medikamentosa yang dapat digunakan pada pasien BPH
adalah a-blocker, 5a-reductase inhibitor, PDE5 Inhibitor, terapi kombinasidan
fitoterapi.
c. Terapi Pembedahan
1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku pembedahan pada pasien BPH dengan
volume prostat 30-80 ml, namun tidak ada batas maksimal volume prostat
untuk tindakan ini. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH
hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
2) Laser Prostektomi
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan
khususnya pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.
3) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung
kemih (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang
ukurannya kecil (kurang dari 30 ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus
medius prostat.
4) Prostatektomi
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan
morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi
adalah perdarahan yang memerlukan transfusi. Komplikasi jangka panjang
dapat berupa kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra dan
inkontinensia urin.
d. Terapi Lain untuk Kondisi Khusus

Terapi lain yang dapat dilakukan meliputi


1) Trial Without Catheterization (TwoC)
TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara
spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian
diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin.22 TwoC baru
dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian α1-blocker selama minimal 3-7
hari. TwoC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine
akut yang pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.
2) Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandiri maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap
dipasang pada pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami
gangguan fungsi ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam
lingkungan bersih ketika kandung kemih pasien sudah terasa penuh atau secara
periodik.
3) Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara
pemasangan kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk
mengalirkan urine.
4) Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering digunakan
untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang tidak dapat
menjalani tidakan operasi.
B. Clinical Pathway

Usia lanjut

Ketidakseimbangan esterogen dan progesteron

Testosteron ↓ Esterogen ↑

Mempengaruhi RNA
dalam inti sel

Benign Prostate Hiperplasia sel stoma


Proliferasi sel prostat jaringan
Hyperplasia

Penyempitan lumen Kurangnya informasi Ancaman perubahan


Pembedahan
uretra tentang penyakit status kesehatan

Tekanan intravesikel Terputusnya


Defisit pengetahuan Ansietas
↑ kontinuitas jaringan

Hipertrofi otot Pelepasan mediator


Resiko infeksi Resiko impotensi
detrusor kimiawi nyeri

Ketidakefektifan
Akumulasi urin di VU Peregangan VU Nyeri akut pola seksualitas

Retensi Urin Kompensasi VU

Hidroureter Hematuria

Hidrnefritis Penurunan fungsi


ginjal
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal masuk rumah
sakit dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Identifikasi adanya nyeri atau tidak.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya BPH, berapa lama keluhan berkaitan dengan BPH
yang dialami pasien, apa yang dilakukan pasien saat mengalami penyakit BPH,
dan pertolongan apa yang sudah di dapatkan.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Ppasien dengan BPH perlu dilakukan perngkajian terkait penyakit terdahulu
selain BPH.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien dengan BPH umumnya tidak memiliki riwayat keluarga dengan
penyakit serupa.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti nyeri
yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien yang merupakan
pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAK seperti halnya
kesulitan memulai untuk berkemih, kesulitan menahan keinginan berkemih,
rasa sakit ketika berkemih, dan adanya warna dan bau yang berbeda pada
urinnya.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien dapat mengalami gangguan
karena salah satu manifestasi klinis BPH adalah nocturia. Nocturia dapat
mengganggu pola tidur pasien.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas) sebagaimana
biasanya. Hal ini dilakukan karena ada perubahan pola eliminasi pasien
yang seringkali mengganggu aktivitas sehari hari yang biasa pasien
lakukan.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada
bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap BPH. Dampak
psikologis dapat muncul pada pasien yang masih dalam perawatan dirumah
sakit.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien BPH, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap agama yang
dianut, masih bisa mengartikan makna dan tujuan serta harapan pasien
terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena merasa
dirinya tidak berguna.
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami
gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batuk tidak efektif sehingga terjadi
penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang akibat
general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan
respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi akibat
akumulasi sekret.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan
respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi infeksi
terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi,
nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: frekuensi berkemih biasanya sering, namun pasien
mengeluhkan kesulitan untuk memulai berkemih, rasa tidak puas saat
berkemih, nyeri, dan adanya warna dan bau yang berbeda pada urin.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.

5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal, pola
defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltik usus akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: pada sistem ini biasanya pasien BPH tidak mengalami
permasalahan
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Retensi urin berhubungan dengan distensi vesica urinaria
b. Nyeri akut berhubungan dengan distensi vesica urinaria
c. Ketidakefektifan pola seksual berhubungan dengan adanya resiko
impotensi, dan nyeri yang dialami
d. Ansietas berhubungan dengan tindakan intervensi pembedahan
e. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
f. Resiko infeksi berhubungan dengan akumulasi urin di vesica urinaria
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Retensi urin (00023) NOC NIC
Eliminasi urin (0503) Perawatan retensi urin (0620)
Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian komprehensif tentang
keperawatan selama 3x24 jam eliminasi urin pasien
diharapkan menunjukkan eliminasi 2. Monitor efek samping pengggunaan obat
urin yang efektif dengan kriteria hasil: 3. Monitor derajat distensi kandung kemih
Indikator Aw 1 2 3 4 5 4. Kolaborasi pemberian terapi obat yang sesuai
al indikasi
Pola
eliminasi Manajemen eliminasi perkemihan (0590)
Bau 1. Monitor pola, frekuensi, dan keluaran urin
Kejerniha 2. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda awal
n urin terjadinya infeksi
Mengenali 3. Ajarkan pasien untuk mengkonsumsi cairan
keinginan sesuai kebutuhan
untuk 4. Informasikan tentang pengosongan kandung
berkemih kemih sebelum melakukan tindakan
Nokturia 5. Bantu pasien mengembangkan pola berkemih
Inkontinen yang sesuai
sia urin
2. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
(3016) 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
selama 3x24 jam nyeri akut pada pasien Terapi relaksasi (6040)
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 4. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
nafas dalam
Indikator Aw 1 2 3 4 5 5. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
al
Melaporka
n nyeri
berkurang
Mengenali
nyeri
Mengetah
ui
penyebab
nyeri
Mencari
bantuan
3. Ketidakefektifan pola NOC NIC
seksual berhubungan (0212) Konseling seksual (5248)
dengan adanya resiko setelah dilakukan perwatan selama 1x24 1. Diskusikan efek perubahan pola sesksual dengan
impotensi, dan nyeri yang jam pasien mampu menunjukakan pasien dan orang terdekatnya
dialami pengetahuan tentang fungsi seksual 2. Informasikan tentang hubungan penyakit dengan
dengan kriteria hasil: perubahan pola seksual yang dialmai pasien
Indikator Aw 1 2 3 4 5 3. Libatkan pasangan saat konseling dengan pasien
al 4. Diskusikan untuk konseling dengan tim kesehatan
Mengungk lain
apkan
pemahama
n tentang
fungsi
seksual
Mengeksp
resikan
penerimaa
n
perubahan
pola
seksual
Mengeksp
resikan
kenyaman
an
terhadap
perubahan
4. Ansietas (00146) NOC NIC
Tingkat Kecemasan (1211) Pengurangan kecemasan (5820)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
selama 1x 24 jam, ansietas pada pasien
menyakinkan
dapat teratasi, dengan kriteria hasil:
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku
Indikator Aw 1 2 3 4 5 klien
al 3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang
Menyamb akan dirasakan yang mungkin akan alami klien
aikan rasa selama prosedur
takut 4. Berikan informasi 42actual terkait diagnosis,
Tekanan perawatan dan prognosis
darah 5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa
Frekuensi aman dan mengurangi ketakutan
nadi 6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan
Frekuensi ketakutan
pernafasan 7. dukung penggunaan mekanisme koping yang
sesuai
8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik
relaksasi
9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
5 Defisit pengetahuan NOC NIC
(00126) Pengetahuan : Prosedur penanganan Pengajaran: Perioperatif (5610)
(1814)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. informasikan kepada pasien dan keluarga untuk
selama 1x24 jam, defisiensi pengetahuan jadwal tanggal, waktu dan lokasi operasi.
pada pasien dapat teratasi, dengan 2. Informasikan kepada pasien dan keluarga
kriteria hasil: perkiraan lama operasi
Indikator Aw 1 2 3 4 5 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar belakang,
al budaya dan tingkat pengetahuan terkait operasi
Pemahama 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga terkait
n tentang kecemasannya
prosedur 5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya
penangana 6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi (misalnya
n jenis anestesi, diit yang sesuai, pengosongan
Pengetahu saluran cerna, pemeriksaan lab yang dibutuhkan,
an tentang perisapan area operasi, terapi intravena, pakaian
efek operasi, ruang tunggu keluarga, transportasi
samping menuju ruang operasi dan lain-lain.
penangana 7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan pasien
n kepada semua pihak yang terlibat dalam proses
Pengetahu operasi
an tentang 8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan
kontraindi 9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi,
kasi batuk dan nafas dalam
penangana 10. Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi
n
6. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai
Setelah dilakukan tindakan keperawatan setiap pasien
selama 3x24 jam, tidak terjadi infeksi 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai
pada pasien dengan kriteria hasil: SOP rumah sakit
3. Batasi jumlah pengunjung
Indikator Aw 1 2 3 4 5 4. Ajarkan cara mencuci tangan
al Perlindungan infeksi (6550)
Suhu 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
tubuh 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
Nanah Manajemen nutrisi (1100)
pada luka 7. Tentukan status gizi pasien
Kemampu 8. Identifikasi adanya alergi
an Identifikasi resiko (6610)
mengident 9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
ifikasi 10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
faktor
risiko
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

D. Discharge Planning
Belleza (2016) menjelaskan bahwa discharge planing yang bisa diberikan
pada pasien dengan BPH adalah sebagai berikut:
1. Intruksikan dengan lisan dan tertulis tentang kebutuhan untuk memantau
keluaran urin dan strategi untuk mencegah komplikasi
2. Ajarkan pasien untuk melakukan latihan yang berfungsi untuk meningkatkan
kembali kemampuan kontrol kandung kemih
3. Informasikan pada pasien untuk sementara menghindari peregangan dan
pengangkatan beban berat
4. Informasikan pada pasien untuk menghindari makanan pedas, alkohon, dan
kopi untuk menghindari ketidaknyamanan kandung kemih
5. Motivasi pasien untuk meningkatkan masukan cairan.
DAFTAR PUSTAKA

American Urologycal Asscociation. 2018. Surgical Management of Lower Urinary


Tract Symptoms Attributed to Benign Prostatic Hyperplasia (2018).
https://www.auanet.org/guidelines/benign-prostatic-hyperplasia/lower-
urinary-tract-symptoms-(2018) diakses pada 6 Januari 2019

Belleza, M. 2016. Benign Prostatic Hyperplasia. https://nurseslabs.com/benign-


prostatic-hyperplasia/ diakses pada 6 Januari 2019

Deters, L.A. 2018. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH.


https://emedicine.medscape.com/article/437359-overview#a3 dikses pada 6
Januari 2019

Foo, K. T. 2018. Pathophysiology of Clinical Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).


Asian Journal of Urology. 1(1)

Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran


Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Jakarta: IAUI

Mayo Clinic. 2018. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).


https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/benign-prostatic-
hyperplasia/symptoms-causes/syc-20370087 diakses pada 6 Januari 2019

Muruve, N. A. 2018. Prostate Anatomy.


https://emedicine.medscape.com/article/1923122-overview#a2 diakses
pada 6 Januari 2019

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2018. Prostate
Enlargement (Benign Prostatic Hyperplasia).
https://www.niddk.nih.gov/health-information/urologic-diseases/prostate-
problems/prostate-enlargement-benign-prostatic-hyperplasia diakses pada
6 Januari 2019

Anda mungkin juga menyukai