Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ratnawati

NIM : 017190340014
Mata Kuliah : Tafsir Tematik (Ahkam)
Dosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Shohib Rifa’i, M.A.

SA’I ANTARA SHAFA DAN MARWAH

                

          

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka
Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa
baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu
kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri
kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah 2:158)

Sebab Turun Ayat

Al-Bukhari dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bahwa dia penah


ditanya tentang Shafa dan Marwah. Anas menjawab, “Dulu, kami menganggap
keduanya bagian dari tradisi Jahiliyah. Ketika Islam datang, kami menahan diri dari
keduanya. Lalu, Allah menurunkan, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan
bagian dari syiar (agama) Allah.”.

Makna Global

Allah berfiman, yang maknanya: sungguh Shafa dan Marwah, wahai kaum
Mukmin, termasuk pertanda agama Allah yang diciptakan oleh Allah bagi para
hamba-Nya sebagai tanda dan syiar. Kalian, hai orang-orang Mukmin, beribadahlah
di sana dengan cara berdo’a, berdzikir, dan berbagai jenis ibadah lainnya.

1
Demikian pula sa’i, yaitu berjalan tujuh kali bolak balik antara dua bukit, ini
merupakan bagian dari syiar agama dan salah satu bentuk ritual dalam haji. Tidak sah
berlebihan dalam sa’i, karena ia syariat Allah yang diperintahkan kepada kekasih-
Nya, Ibrahim.

Siapa saja diantara kalian, wahai kaum Mukmin, yang mengunjungi Baitullah
Al-Atiq untuk berhaji atau sekedar umrah, maka kalian tida dilarang untuk sa’i di
antara Shafa dan Marwah. Sebab, tidak ada dosa dan kesalahan baginya, mengingat ia
melakukan sa’i karena Allah untuk mematuhi perintah-Nya dan mencari ridha-Nya.
Kaum Musyrikin melakukan sa’i demi berhala, sementara kalian sa’i karena Allah,
Tuhan semesta alam. Karenanya, jangan tinggalkan sa’i antara Shafa dan Marwah
karena kekhawatiran mirip dengan orang-orang Musyrik. Mereka bersa’i antara Shafa
dan Marwah atas dasar kekafiran, sementara kalian bersa’i atas dasar iman dan
membenarkan utusan-Ku serta mematuhi perintah-Ku.

Tegasnya, tidak ada dosa dan kesalahan bagi kalian yang melakukan sa’i
antara Shafa dan Marwah.

Kelembutan Tafsir

Imam Fakhr Ar-Razi menyatakan, ketahuilah, hubungan ayat ini dengan ayat
sebelumnya adalah Allah SWT menerangkan, perpindahan kiblat ke Ka’bah adalah
untuk menyempurnakan nikmat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW dan
ummatnya, dengan menghidupkan kembali syariat-syariat Nabi Ibrahim dan
agamanya. Adapun sa’i antara bukit Shafa dan Marwah termasuk syariat Nabi
Ibrahim, sebagaimana kisah pembangunan Ka’bah dan lari-lari kecil yang dilakukan
oleh Hajar antara dua bukit ini.

Syukur berarti membalas nikmat dan kebaikan dengan pujian dan pengakuan.
Makna syukur yang seperti ini mustahil bagi Allah, karena tidak akan ada seorang

2
pun yang memiliki kemampuan memberikan kenikmatan yang layak untuk disyukuri
Allah. Maka dari itu, kata “Syakirun” dalam firman Allah “Fainnallaha syakirun
‘alim” berarti sebaliknya, justru Allah yang memberi pahala dan balasan.
Maksudnya, Allah memberi pahala sebagai balasan (rasa syukur atau terima kasih),
dan sekali-kali Dia tidak akan menyia-nyiakan perbuatan orang-orang yang beramal.

Kandungan Hukum

Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, wajib ataukah sunnah?

Ulama ahli fiqih berbeda pendapat terkait dengan hukum sa’i antara Shafa dan
Marwah. Dalam hal ini ada tiga pendapat:

1. Pendapat pertama menyatakan bahwa sa’i adalah salah satu rukun haji yang
bila ditinggalkan, hajinya tidak sah. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Syafi’i,
Maliki dan salah satu dari dua riwayat Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang
diriwayatkan dari para sahabat Nabi, seperti: Ibnu Umar, Jabir dan Aisyah.
Dalil: Kelompok ini berpendapat bahwa sa’i merupakan satu diantara
rukun-rukun haji, berdalil dengan sumber-sumber sebagai berikut:
pertama, sabda Nabi Muhammad SAW:

ِ ْ
‫لس ْع َى‬ َ َ‫اس َع ْوافَإ َّن اهللا َكت‬
َّ ‫ب َعلَْي ُك ُم ا‬
“Bersa’ilah kalian karna sesungguhnya Allah telah mewajibkan sa’i atas
kalian”
Kedua, berdasarkan riwayat yang valid, Nabi Muhammad SAW
melakukan sa’i dalam haji wada’. Saat beliau berada di dekat bukit Shafa,
beliau membaca “Innash Shafa wal Marwata min sya’airillah.”. Beliau
memulai dari bukit Shafa, lalu bersabda, “Mulailah dengan apa yang Allah
mulai dengannya.”. Kemudian, beliau menyelesaikan sa’inya hingga tujuh
putaran dan menyuruh sahabatnya mengikutinya. Beliau bersabda

3
“Ambillah (contoh) dariku atas haji yang kalian lakukan.”. Kata perintah
dalan hadits ini berindikasi wajib yang konsekuensinya sa’i adalah rukun
haji.
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari jalur Aisyah, ia berkata, “Demi
hidupku, Allah tidak akan menyempurnakan ibadah haji bagi orang yang
tidak melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah”.
2. Pendapat kedua menyatakan, sa’i hukumnya wajib, tetapi bukan termasuk
rukun haji. Orang yang meninggalkan wajib membayar dam (denda).
Pendapat ini diikuti oleh Abu Hanifah dan ats-Tsauri.
Dalil: Abu Hanifah dan Ats-Tsauri yang berpendapat bahwa sa’i adalah
wajib dan bukan termasuk rukun, berdalil sebagai berikut:
Pertama, ayat “Maka barang siapa yang berhaji dan berumrah, maka
tidaklah ia berdosa bersa’i antara keduanya.” menunjukkan diangkatnya
dosa (tidak ada dosa) bagi orang yang melakukan sa’i. Ini menunjukkan,
sa’i hukumnya mubah, dan sekali-kali ia bukanlah rukun. Hanya saja, apa
yang dilakukan Nabi Muhammad SAW menjadikannya wajib, seperti
wukuf di Muzdalifah, melempar jumrah dan tawaf Ifadhah, yang apabila
ditinggalkan cukup membayar dam (denda).
Kedua, mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Asy-
Sya’abi dari Urwah bin Mudharris ath-Tha’i ia berkata, “Aku pernah
menghadap Nabi Muhammad SAW di Muzdalifah, lalu aku bertanya,
wahai Rasulullah SAW, aku datang dari gunung Tha’i. Tidak ada satu
gunung pun yang aku lewati, kecuali aku berhenti di sana. Apakah aku
telah berhaji?” kemudian Rasulullah menjawab : “barang siapa shalat
bersamaku saat ini, dan wukuf bersamaku di tempat ini, dan benar-benar ia
telah sampai di Arafah sebelumnya, pada waktu pagi atau siang, maka
hajinya telah sempurna, dan ia (boleh) membersihkan kotorannya.”

4
3. Pendapat ketiga menyatakan bahwa sa’i hukumnya sunnah, dan orang yang
meninggalkannya tidak dikenakan sanksi apa pun. Pendapat ini dikemukakan
Ibnu Abbas, Anas dan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dalil: kelompok yang berpendapat bahwa hukum sa’i adalah sunnah, tidak
wajib dan bukan pula rukun haji berdalil sebagai berikut:
Pertama, firman Allah ”Dan barang siapa berbuat kebajikan
(tathawwu’), maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi
Maha Mengetahui.”. Dalam ayat ini Allah menjelaskan, bahwa sa’i adalah
tathawwu’ (sunnah), bukan wajib. Dengan demikian, berdasarkan zahir
ayat, orang yang meninggalkannya tidak terkena sanksi apapun.
Kedua, hadits Nabi Muhammad SAW :

ُ‫اْلَ ُّج َعَرفَة‬


ْ
“Haji itu (wukuf di) Arafah.”
Menurut hadits ini orang yang wukuf di Arafah hajinya telah sempurna.
Hal ini mengandung konsekuensi bahwa hajinya telah sempurna dilihat
dari segala segi meskipun ada beberapa yang ditinggalkan. Lalu, tersisalah
satu amal lagi yang dikerjakan, yaitu sa’i.
Ibnu Al-Jauzi melaporkan, riwayat tentang sa’i yang bersumber dari Imam
Ahmad berbeda-beda. Al-Atsram mengutip, bahwa orang yang
meninggalkan sa’i hajinya tidak sah. Namun Abu Thalib berpendapat, tidak
apa-apa, baik meninggalkannya disengaja atau karena lupa. Hanya saja,
tidak baik ditinggalkan. Sedang Al-Maimun berpendapat, bahwa sa’i
hukumnya sunnah.

Tarjih

Penulis kitab Al-Mughni, Ibnu Qudhammah, menyatakan, yang lebih kuat


adalah pendapat yang kedua. Lebih lanjut ia mengulas, itulah pendapat yang lebih

5
kuat karena dalil-dalil yang dikemukakan mengarah pada wajib secara mutlak, dan
kesempurnaannya itu bukan hanya karena kedudukan sa’i sebagai penyempurna suatu
kewajiban.

Menurut kami (Ash-Shabuni), yang benar adalah pendapat mayoritas ulama,


karena Nabi Muhammad SAW melaksanakan sa’i kemudian beliau bersabda:

‫ُخ ُذو َامنَا ِس َك ُك ْم‬


“Ambillah dariku manasik (ibadah haji) kalian.”

padahal, mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW itu wajib. Adapun pendapat
ulama yang berpendapat sunnah dengan mengambil kesimpulan ayat “Dan barang
siapa yang berbuat kebajikan, maka sesungguhnya Allah mensyukuri segala kebaikan
lagi Maha Mengetahui”, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab, makna ayat itu
sebagaimana yang dikatakan oleh Ath-Thabari, Barang siapa yang berbuat tathawwu’
(melakukan sa’i sunnah), yaitu dengan melaksanakan haji dan umrah untuk kedua
kalinya.

Kesimpulan

Pertama Shafa dan Marwah merupakan bagian dari syiar agama Allah dan
lambang ketaatan, dimana kita beribadah kepada Allah. Kedua, sa’i antara bukit
Shafa dan Marwah merupakan upaya untuk menghidupkan kembali sejarah yang
pernah terjadi antara ibu Nabi Ismail (Siti Hajar) dengan Nabi Ismail. Ketiga,
kemusyrikan yang dilakukan kaum Musyrikin Jahiliyah dengan mengusap-usap
berhala ketika sa’i tidak menghalangi kaum Mukmin untuk melakukan sa’i antara
bukit Shafa dan Marwah. Keempat, hukum melaksanakan sa’i adalah wajib bagi
orang yang melakasanakan haji atau umrah. Kelima, melakukan haji dan umrah yang
sunnah (setelah melaksanakan yang wajib) menjadi bukti kesempurnaan iman.

6
Keenam, Allah berterimakasih kepada hamba-Nya sehingga Dia memberikan pahala
bagi orang yang taat dan memberi balasan dengan sebaik-baik balasan.

Hikmah Tasyri’

Allah memerintahkan kepada kaum Mukmin ketika melakukan haji dan


umrah agar melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah serta menjadikannya syiar
agama dan lambang ketaatan kepada-Nya. Hal itu sebagai upaya untuk
menghidupkan kembali sejarah yang pernah terjadi antara Nabi Ismail dengan ibunya
(Siti Hajar), sosok beriman yang sangat sabar setelah keduanya ditinggal Nabi
Ibrahim di tempat yang tandus dengan tanpa sedikit pun air, tidak ada penghuni, juga
tidak ada tumbuhan. Nabi Ibrahim meninggalkan keduanya di tempat yang tandus
yang sangat luas, yang tidak ada seorang pun penghuni di sana bukan lain adalah
untuk melaksanakan perintah Allah dan agar tempat ini diramaikan dengan adanya
orang-orang yang menghuninya. Kemudian Allah menjadikan tempat ini sebagai
tempat untuk membangun Baitul Atiq (Ka’bah), tempat ziarah berjuta-juta manusia.

Anda mungkin juga menyukai