Anda di halaman 1dari 17

HUKUM SAFAR BAGI WANITA TANPA MAHRAM

Disusun oleh
Ummu ‘Abdillah As-Salafiyah

Sesungguhnya pembicaraan mengenai wanita dan hal-hal yang berkaitan dengannya sangatlah
penting, khususnya pada zaman sekarang ini, dimana wanita muslimah menghadapi fitnah
(ujian) yang dapat menyebabkan hilangnya kemuliaan dan kedudukannya yang terhormat dalam
dienul Islam.

Agama Islam menjaga kehormatan dan akhlaq kaum muslimin serta menjaga masyarakat agat
tidak jatuh kedalam kehinaan. Di antara cara mewujudkan hal tersebut adalah larangan bagi
wanita untuk bersafar tanpa mahrom yang menyertainya.

Sebagian ulama’ menukil kesepakatan tentang terlarangnya wanita safar tanpa suami atau
mahram yang menyertainya. Berikut pembahasan tentang masalah ini. Wabillah taufiq.

HADITS-HADITS TENTANG LARANGAN WANITA SAFAR TANPA MAHROM


1. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

ِ ‫ال َر ُج ٌل يَا َرسُو َل هَّللا ِ إِنِّي أُ ِري ُد أَ ْن أَ ْخ ُر َج فِي َجي‬


‫ْش َك َذا‬ َ َ‫الَ تُ َسافِ ِر ْال َمرْ أَةُ إِالَّ َم َع ِذي َمحْ َر ٍم َوالَ يَ ْد ُخ ُل َعلَ ْيهَا َر ُج ٌل إِالَّ َو َم َعهَا َمحْ َر ٌم فَق‬
َ َ‫َو َك َذا َوا ْم َرأَتِي تُ ِري ُد ْال َح َّج فَق‬
ْ ‫ال‬
‫اخرُجْ َم َعهَا‬

“Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahromnya, dan janganlah
seorang (laki-laki) menemuinya melainkan wanita itu disertai mahromnya. Maka seseorang
berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya aku ingin pergi
mengikuti perang anu dan anu, sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau
bersabda: “Keluarlah (pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)”. [HSR. Imam Bukhari (Fathul
Baari IV/172), Muslim (hal. 978) dan Ahmad I/222 dan 246]

2. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫الَ تُ َسافِ ِر ْال َمرْ أَةُ ثَالَثًا إِالَّ َم َع ِذي َمحْ َر ٍم‬

“Janganlah seorang wanita safar sejauh tiga hari (perjalanan) melainkan bersama dengan
mahramnya”. [HSR. Imam Bukhari (1087), Muslim (hal. 970) dan Ahmad II/13; 19; 142-143;
182 dan Abu Daud]

3. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ٌ‫ْس َم َعهَا حُرْ َمة‬ َ ‫الَ يَ ِحلُّ ال ْم َرأَ ٍة تُ ْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر أَ ْن تُ َسافِ َر َم ِس‬
َ ‫يرةَ يَوْ ٍم َولَ ْيلَ ٍة لَي‬

“Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar sejauh
sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertainya)”. [HSR. Imam Bukhari
(Fathul Baari II/566), Muslim (hal. 487) dan Ahmad II/437; 445; 493; dan 506]
4. Dari Qaz’ah maula Ziyaad berkata: “Aku mendengar Abu Sa’id (Al-Khudry Radhiyallahu
‘anhu), yang telah mengikuti dua belas peperangan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
berkata: “Empat perkara yang aku dengar dari rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
membuat aku takjub dan kagum, yaitu: “Janganlah seorang wanita safar sejauh dua hari
(perjalanan) tanpa disertai suami atau mahramnya, janganlah berpuasa pada dua hari Idul Fitri
dan Idul Adlha, janganlah sholat setelah mengerjakan dua sholat yaitu setelah sholat Ashar
sampai tenggelam matahari dan setelah sholat Subuh sampai terbit matahari, dan janganlah
bepergian jauh kecuali menuju tiga masjid: masjidil Haram, masjidku (masjid nabawi) dan
masjidil Aqsho.” [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/73), Muslim (hal. 976) dan Ahmad
III/34 dan 45]

DIFINISI MAHROM
Definisi mahram bagi wanita adalah orang yang haram (selamanya-Red) menikah dengannya,
karena nasab, pernikahan atau susuan.

a. Mahram karena nasab seperti: anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, bapaknya, paman dari
bapaknya, paman dari ibunya, kakeknya, anak saudara laki-lakinya (keponakannya), anak
saudara perempuannya (keponakannya), sama saja baik saudara seayah seibu, saudara seayah,
atau seibu.

b. Mahram karena pernikahan seperti: suami putrinya (menantu), suami cucu dari putrinya (terus
keturunannya kebawah), putra suaminya (anak tiri), anak-anak dari putra suaminya, anak-anak
dari putri suaminya (terus kebawah), baik dari istri sebelum dia, sesudah dia atau bersamanya,
ayah atau kakek suami (terus ke atas), baik dari pihak ayah suami atau ibu suami.

c. Mahram karena susuan sama seperti mahram karena nasab berdasarkan sabda rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ِ ‫اع َما يَحْ ُر ُم ِمنَ النَّ َس‬


‫ب‬ َ ‫يَحْ ُر ُم ِمنَ الر‬
ِ ‫َّض‬

“Penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan karena nasab”. [HSR Imam
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’I Ibnu Maajad dan Ahmad]

BOLEHKAH WANITA SAFAR UNTUK MENGERJAKAN HAJI TANPA DISERTAI


MAHRAM ?
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang safarnya seorang wanita tanpa disertai mahram untuk
melaksanakan ibadah haji. Sebagian Ahlul ilmi berkata: “Tidak wajib bagi wanita tersebut,
karena mahram termasuk As-sabiil (perjalanan ke baitullah) berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :

ً‫َم ِن ا ْستَطَا َع إِلَ ْي ِه َسبِيال‬

“(Bagi) Orang yang sanggup mengadakan perjalan ke baitullah”. [Ali Imaran 97]
Mereka (ahlul ilmi) berkata: “Apabila tidak ada mahram yang menyertainya berarti wanita
tersebut tidak sanggup mengadakan perjalan ke Baitullah”. Itu adalah pendapat Sufyan Ats-
Tsauri dan penduduk Kufah.

Sebagian ahlul ilmi berkata: “Apabila jalan menuju ke Baitullah itu aman, maka wanita-wanita
tersebut dapat keluar bersama orang banyak untuk berhaji”. Ini adalah pendapat Malik bin Anas
dan Syafi’i. [Lihat Tuhfatul Ahwadzi IV/332]

Al-Qurthuby berkata: “Sebab perbedaan pendapat ini adalah karena zhahir hadits ini
bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬


ً‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع إِلَ ْي ِه َسبِيال‬ ِ َّ‫َوهللِ َعلَى الن‬

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang
mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali Imran : 97]

Karena zhahir ayat itu adalah kesanggupan badan, maka wajib bagi setiap orang ynag kuat
badannya untuk berhaji, dan wanita yang tidak mendapatkan mahram (yang akan menyertainya
untuk berhaji), akan tetapi kuat badannya, maka wajib bagi wanita tersebut untuk berhaji. Ketika
penomena ini sering berlawanan, para ulama’ berbeda pendapat dalam menakwilkan hal itu.
[Dinukil dari Kasyful Khafa’ ‘an Ahkam safar An-Nisaa’; ta’lif : Muhammad Musa Nashr hal. 8-
9]

Itu adalah sebab terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ulama’ dalam masalah ini,
sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby rahimahullah.

DALIL-DALIL ULAMA’ YANG MELARANG WANITA SAFAR TANPA MAHRAM


UNTUK BERHAJI
1. Hadits-hadits di awal pembahasan ini yang melarang wanita safar tanpa disertai mahram.
2. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu (hadits no. 1 di awal pembahasan).
Ulama’ berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
shahabat untuk meninggalkan jihad dan agar dia pergi berhaji bersama istrinya, yang demikian
itu menguatkan masalah mahram (bagi wanita) dalam safar, baik berhaji atau selainnya”.
3. Para Ulama’ berkata: “As-Sabil (mengadakan perjalanan) dalam firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :

ً‫َم ِن ا ْستَطَا َع إِلَ ْي ِه َسبِيال‬

“(Bagi) Orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah”. [Ali Imaran 97]

adalah umum dan mahram termasuk didalamnya.

4. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Abdurrahman bin Abi Bakar
Radhiyallahu ‘anhu untuk menemani Aisyah Radhiyallahu ‘anha berumroh dari Tan’im. [lih.
Jaami’ Ahkaamin Nisa’ II/hal. 458-459]
DALIL-DALIL ULAMA’ YANG MEMBOLEHKAN WANITA SAFAR TANPA MAHRAM
DAN BANTAHANNYA
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬


ً‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع إِلَ ْي ِه َسبِيال‬ ِ َّ‫َوهللِ َعلَى الن‬

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang
mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali Imran : 97]

Mereka berkata: “Telah datang hadits dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa as-sabiil
(mengadakan perjalanan) dalam ayat tersebut ditafsirkan dengan Az-Zaad (bekal/makanan) dan
kendaraan.

2. Umar Radhiyallahu ‘anhu mengidzinkan istri-istri nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


melaksanakan hajinya yang terakhir serta mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf
Radhiyallahu ‘anhuma menemani mereka. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Bukhari.
[Fathul Baari IV/72]

3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ِ ‫الَ تَ ْمنَعُوا إِ َما َء هَّللا ِ َم َسا ِج َد هَّللا‬

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah menuju ke masjid-masjid Allah”.

Mereka berkata: “Masjidil Haram termasuk di antara masjid-masjid Allah dalam hadits tersebut”.

4. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu :

َ ‫ير ِة َحتَّى تَطُوفَ بِ ْال َك ْعبَ ِة الَ تَخَافُ أَ َحدًا إِالَّ هَّللا‬
َ ‫ت بِكَ َحيَاةٌ لَتَ َريَ َّن الظَّ ِعينَةَ تَرْ تَ ِح ُل ِمنَ ْال ِح‬
ْ َ‫فَإ ِ ْن طَال‬

“Apabila engkau berumur panjang, maka engkau akan melihat seorang wanita berpindah (safar)
dari satu kampung sehingga ia berthawaf di Ka’bah dan dia tidak takut kepada seorangpun
kecuali kepada Allah”.

5. Dikiaskan dengan safarnya wanita sendirian dalam rangka hijrah dari negeri kafir dan
melarikan diri dari penawanan. Itu adalah safar yang wajib sebagaimana safar untuk menunaikan
ibadah haji.

6. Persangkaan bahwa larangan tersebut berlaku hanya untuk bersafar sejauh tiga hari perjalanan
atau lebih (hari yang paling banyak dalam hadits-hadits yang melarang). Adapun jika satu hari
maka tidak termasuk dalam larangan, karena banyaknya riwayat-riwayat tersebut seolah-oleh
riwayat yang paling banyak (yakni tiga hari) menghapuskan hukum riwayat yang sedikit (satu
hari).

7. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa larangan tersebut khusus untuk gadis, adapun wanita
lanjut usia yang tidak menarik lagi maka ia boleh safar tanpa suami atau mahram.
JAWABAN ATAS PERMASALAHAN INI ADALAH SEBAGAI BERIKUT (WABILLAHI
TAUFIQ)
1. Penafsiran As-Sabiil dengan Az-zaad (bekal) dan Ar-rahilah (kendaraan), haditsnya dlaif dari
seluruh jalan-jalannya, didlaifkan oleh Ahlul ilmi, baik zaman dulu ataupun sekarang. [lih.
Sebagian jalannya dalam Tirmidzi dalam Al-Hajj III/168 hadits 813 dan dalam At-Tafsir V/225;
Ibnu Maajah 2896, 2807; Hakim dalam Al-Mustadrak I/442; Daru Quthni II/215, 216; Baihaqi
IV/327,330; Musnad Asy-Syafi’I hal. 109; dan Al Hilyah V/106; Thabrani III/4, 12; Ibnu Ady
dalam Al-Kaamil I/226, 221 dan Al-Uqaily III/332]

2. Tentang idzin Umar terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhaji, hal
tersebut terjadi setelah kebimbangan Umar Radhiyallahu ‘anhu, dan beliau menjaga ketat
terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan dalam berbagai
riwayat hadits tersebut. Dan hal itu terjadi setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sehingga Umar tidak mempunyai wewenang merobah apa yang telah ditetapkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, , terlebih lagi apa yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (Yakni Umar bin Al-Khaththab tidak berhak merobah larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bagi wanita untuk bersafar tanpa mahram-Red). Kemudian Umar tidak membolehkan
hal tersebut selain bagi istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Adapun hadits yang artinya:


“Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah menuju ke masjid-masjid Allah”.

Hadits tersebut shahih, akan tetapi maknanya umum dan dikhususkan untuk masjid-masjid yang
tidak bersafar untuk menuju ke masjid tersebut.

4. Tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ady bin Hatim, hadits tersebut
diperselisihkan karena dalam satu riwayat hadits tersebut diriwayatkan dari Ady bin Hatim dan
dalam riwayat yang lain: dari “seseorang yang tidak dikenal” dari Ady bin Hatim. Seandainya
hadits ini shahih, pengambilan dalil dengan hadits ini perlu ditinjau lagi. Karena rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengkhabarkan sesuatu perkara yang akan terjadi menjelang
hari kiamat bukanlah berarti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan perkara tersebut,
maka tidaklah ditetapkan perkara tersebut akan kebolehannya atau keharamannya melainkan
dengan nash-nash lain dan qarinah-qarinah yang lain. Misalnya sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :

ِ َ‫كث َرةُ ْاله‬


‫رج‬ ْ ‫ِم ْن أَ ْشرا ِط السَّا َع ِة‬

“Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah banyaknya pembunuhan”.

Itu bukanlah berarti pembunuhan dibolehkan.

5. Qiyas ini lemah, karena Allah mewajibkan haji berdasarkan kesanggupan (istitha’ah). Maka
wanita yang tidak mendapatkan mahram yang dapat menyertainya, berarti ia tidak sanggup
menunaikan ibadah haji, berdasarkan larangan nabi n bagi wanita untuk bersafar tanpa mahram,
baik untuk perkara wajib ataupun tidak wajib. Telah diketahui oleh para ulama’ bahwa An-
Nahyu (larangan) menunjukkan al-fasad (kerusakan/batal), kecuali ada indikasi yang merubah
hal itu, sedangkan dalam hal ini tidak ada indikasi tersebut.

Seorang wanita yang hijrah atau melarikan diri dari penawanan, dia melakukannya dengan
terpaksa (harus) karena di dalam pelarian dan hijrahnya tersebut terdapat maslahat yang besar.
Dan tinggalnya wanita tersebut di bumi kafir dan penawanan merupakan sebab kerusakan
agamanya dan kesesatan wanita tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِ َّ‫ت فَالَ تَرْ ِجعُوه َُّن إِلَى ْال ُكف‬


‫ار‬ ٍ ‫ت فَا ْمت َِحنُوه َُّن هللاُ أَ ْعلَ ُم بِإِي َمانِ ِه َّن فَإ ِ ْن َعلِ ْمتُ ُموه َُّن ُم ْؤ ِمنَا‬ ُ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا إِ َذا َجآ َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬
ٍ ‫َات ُمهَا ِج َرا‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir”. [Al-
Mumtahanah: 10]

Melakukan sesuatu yang lebih sedikit bahaya dan bencananya diperbolehkan dalam keadaan
terpakasa (darurat), seperti makan bangkai ketika dikhawatirkan mati kelaparan, sebagaimana
dalam kaidah ilmu ushul.

ِ ‫ات تُبِ ْي ُح ْال َمحْ ظُوْ َرا‬


‫ت‬ ُ ‫ضرُوْ َر‬
َّ ‫اَل‬

“Kebutuhan dalam keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”.

Imam Al-Khaththaby berkata [1] “Seandainya sama saja (safar wanita untuk haji dengan
safarnya karena hijrah dari bumi kafir) maka pastilah wanita boleh berhaji seorang diri tanpa
disertai seorang mahram-pun, atau tanpa disertai seorang wanita tsiqoh. Tetapi karena seorang
wanita tidak diperbolehkan pergi haji sendirian kecuali bersama seorang wanita yang tsiqah [2]”.
[Ma’alimus Sunan II/145]

6. Sebagian ahlul ilmi berkata: “Sesungguhnya perbedaan lafazh-lafazh ini karena berbedanya
orang-orang yang bertanya dan berbedanya tempat. Larangan safar (wanita tanpa mahram)
sejauh tiga hari perjalanan bukanlah penjelasan tentang bolehnya safar (wanita tanpa mahram)
sejauh sehari semalam perjalanan, dan satu bariid (kurang-lebih 12 mil)”.

Imam An-Naway rahimahullah berkata menukil perkataan Al-Baihaqy: “Seolah-olah beliau


ditanya tentang seorang wanita yang safar tanpa disertai mahram sejauh tiga hari tiga malam
perjalanan, maka beliau bersabda: “Tidak boleh”. Juga beliau ditanya tentang seorang wanita
yang safar tanpa disertai mahram sejauh dua hari dua malam perjalanan, maka beliau bersabda:
“Tidak boleh”. Dan beliau ditanya tentang safarnya tanpa disertai mahram sejauh satu hari satu
malam perjalanan, maka beliau bersabda: “Tidak boleh”. Demikian juga dengan satu bariid .
Kemudian setiap mereka menyampaikan apa yang mereka dengar, Adapun lafazh yang berbeda-
beda yang datang dari satu perawi, maka kemungkinan perawi tersebut mendengarnya dari
beberapa tempat lalu dia meriwayatkan sesekali yang ini dan lain kali yang itu. Ini semuanya
shahih, dan semuanya itu bukan batasan minimal tentang apa yang dinamakan safar, dan (dengan
hal itu) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghendaki batasan minimal safar.” [Syarhu
Muslim IX/103]

Syaikh Muhammad Musa Nashr berkata: “Riwayat-riwayat tersebut menunjukkan batasan-


batasan maksimal safar adalah tiga hari (perjalanan), dan batasan minimalnya adalah satu bariid.
Satu bariid menurut para ulama’adalah 4 farsakh, satu farsakh adalah tiga mil dan satu mil adalah
seribu hasta. Tidak tersembunyi lagi tentang dha’ifnya riwayat satu bariid.” [Kasyful Khafa’ ‘An
Ahkaam Safarin Nisa’, hal. 15]

Imam Nawawy berkata menukil ucapan Imam Baihaqi: “Kesimpulannya setiap yang dinamakan
safar, maka seorang wanita dilarang mengerjakannya tanpa disertai suami atau mahram, sama
saja baik sejauh tiga hari, dua hari, satu hari, satu bariid atau selainnya, berdasarkan riwayat Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘anhu secara mutlak dan merupakan riwayat terakhir dari Imam Muslim:

‫الَ تُ َسافِ ِر ْال َمرْ أَةُ إِالَّ َم َع ِذي َمحْ َر ٍم‬

“Janganlah seorang wanita safar melainkan disertai oleh mahramnya”.

Ini mencakup seluruh apa yang dinamakan safar”. [Syarhu Muslim IX/102]

7. Pendapat tersebut dinukil oleh Al-Qadli Iyaadl rahimahullah dari Al-Baihaqy (dinukil dari
Syarh Muslim IX/104).
Pembedaan ini tidak ada dalilnya, bahkan tertolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengecualikan gadis dari wanita yang lanjut usia dalam hadits tersebut.

Karena lafazh ٌ‫( إِ ْم َرأَة‬wanita) dalam hadits tersebut umum, mencakup seluruh wanita, baik muda
maupun tua, cantik atau jelek. Kemudian, sesungguhnya tabi’at dan syahwat pada diri manusia
satu sama lain berbeda-beda, karena tiap-tiap yang buruk itu pasti ada yang
mencarinya/menyukainya. Seandainya perkara tersebut seperti apa yang mereka katakan, maka
pastilah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan mengajarkan kepada istri-istri beliau,
dan istri-istri sahabat, serta wanita-wanita kaum muslimin setelah mereka.

‫َو َما َكانَ َربُّكَ ن َِسيَّا‬

“Tidaklah Rabbmu lupa”. [Maryam : 64]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Apa yang dikatakan oleh Al-Baaji ini tidak dapat
diterima, karena wanita adalah sesuatu yang sangat diinginkan, dan tempat syahwat, walaupun ia
sudah tua. Per-bahasa mengatakan:

‫لِ ُكلِّ َسا قِطَ ٍة الَقِطَ ٍة‬

Tiap-tiap yang buruk itu pasti ada yang mencarinya/menyukainya.

Di dalam safar akan ditemui orang-orang yang bodoh dan rendah (akhlaqnya), yakni orang-orang
yang tidak menghentikan perbuatan keji (walaupun) terhadap wanita lanjut usia atau selainnya
karena syahwat yang menguasainya, sedikit diennya, keperwiraannya, penghianatannya, dan
semisalnya. Wallahu a’lam”.

Telah diketahui oleh para ulama ushul bahwa: “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat
dibutuhkan”, seandainya seperti itu maka pastilah sudah diketahui oleh para salaf kita
Radhiyallahu ‘anhum [lih. Kasyful Khafa’ an Ahkaami Safarin Nisa’ oleh Syeikh Muhammad
Musa Nashr. Hal. 12-13]

Di antara ulama ada juga yang memperbolehkan wanita safar untuk haji bersama dengan wanita
lain yang tsiqoh (terpercaya), tanpa mahram laki-laki. Yang berpendapat demikian adalah Imam
Syafi’i rahimahullah, akan tetapi pendapat ini tertolak dan menyelisihi sunnah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.

Imam Al-Khaththaby berkata: “Seorang wanita merdeka lagi muslimah dan tsiqoh yang
disifatkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah, bukanlah seorang laki-laki yang termasuk mahram
bagi wanita (yang bersafar) tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang wanita
bersafar kecuali dengan laki-laki dari mahramnya. Maka pembolehan beliau (Imam Asy-Syafi’i)
bagi wanita safar untuk berhaji dengan tidak adanya syarat (yakni adanya mahram laki-laki-pent)
yang telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah menyelisihi sunnah.
Apabila keluarnya wanita tersebut tanpa disertai mahram (laki-laki) adalah suatu perbuatan
maksiat, maka tidak boleh mewajibkan wanita tersebut untuk berhaji (tanpa maharam), karena
hal itu merupakan ketaatan terhadap suatu perintah yang akan mengantarkan pada perbuatan
maksiat.” [Ma’alimus Sunan II/144]

Wallahu A’lam Bish-Shawwab.

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti dengan baik sampai hari kiamat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
7574821]
________
Footnote
[1]. Rangkaian perkataan beliau sebelumnya dalam rangka membantah hujjah para ulama yang
bermadzhab Syafi’i, yang berpendapat bahwa wanita boleh safar berhajji dengan disertai wanita
muslimah lain, yang terpercaya, walaupun tanpa mahram. Mereka mengqiyaskan dengan wanita
muslimah yang boleh safar sedirian, tanpa mahram, karena melarikan diri dari negeri kafir.
Tetapi mereka tidak membolehkan wanita safar berhajji seorang diri.-Red
[2]. Menurut pendapat para ulama yang bermadzhab Syafi’i, yang beliau bantah-Red, itu
menunjukkan bedanya kedua hal tersebut sehingga tidak boleh diqiaskan-Red

Sumber: https://almanhaj.or.id/2848-hukum-safar-bagi-wanita-tanpa-mahram.html
Headline
Hukum Safar Bagi Wanita Tanpa Mahram
Wajib Diketahui
Wanita dalam agama Islam ditempatkan pada derajat yang tinggi karena peran dan fungsinya
yang luar biasa dalam sebuah keluarga. Dalam hidupnya, wanita memiliki beberapa perbedaan
dari laki-laki dan mengemban tugas berat yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki terkuat
sekalipun. Yakni mengalami masa menstruasi yang terkadang selama prosesnya sulit dijalani
karena saat menstruasi kondisi hormon tidak stabil sehingga sangat berpengaruh terhadap emosi
dan kesehatan tubuh.

ads

Kemudian wanita juga akan mengandung benih-benih dari calon janin yang dalam prosesnya
wanita juga akan menalami ketidakstabilan hormon bahkan rentan keguguran dan kehilangan
nyawa dari proses kehamilannya. Setelah mengandung sekitar sembilan bulan lamanya maka
perempuan akan mengalami proses melahirkan yang tidak hanya akan merasakan sakit yang luar
biasa tapi juga mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan seorang anak ke dunia ini.

kemudian setelah melahirkan maka wanita akan merasakan bagaimana bahagia dan lelahnya
menyusui anak-anak setiap dua atau tiga jam sekali di setiap harinya yang nantinya anak-anak
tersebut akan menjadi clon-calon penerus generasi selanjutnya dimana pada masa menyusui ini
wanit akan merasa sangat letih karena kekurangan waktu tidur; kemudian yang terakhir adalah
menopause, pada usia dewasa menuju ke usia tua, wanita akan mengalami masa menopause,
yakni masa dimana wanita tidak bisa lagi mengandung bayi karena sel telur dalam tubuhnya
sudah habis yang ditandai dengan berhentinya siklus menstruasi.

(Baca juga: Berjabat Tangan Bukan Muhrim Dalam Islam; Tawadhu Dalam Islam)

Begitu luar biasanya peran seorang wanita sehingga Islam sangat memuliakan seorang wanita.
Namun di samping kemuliannya yang tinggi, wanita juga memiliki potensi besar untuk
menciptakan fitnah karena kemuliaan yang dimilikinya tersebut. Oleh karena itu banyak aturan
dan larangan terhadap apa-apa yang berkaitan dengan perempuan, dimana aturan dan larangan
tersebut dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kemulian seorang wanita. Mulai dari
bagaimana kewajiban seorang wanita untuk mengenakan pakaian tertutup dan bagaimna seorang
wanita diharuskan untuk menjaga perilaku dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

(Baca Juga: Hukum Selfie Dalam Islam , Hukum Onani Menurut Islam)

Artikel kali akan membahas secara khusus mengenai hukum safar bagi wanita tanpa mahram.
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa wanit memiliki kemuliaan yang tinggi dalam agama Islam
dan memiliki banyak aturan serta larangan untuk tetap menjaga kemuliaan tersebut, maka saat
seorang wanita melakukan safar atau perjalananpun ada aturan-aturan tertentu yang
menyertainya.

Hukum Mengenai Safar Bagi Wanita Tanpa Mahram


Safar sendiri secara bahasa memiliki artian “melakukan perjalanan”. Safar juga memiliki arti
terbuka, hal ini dikarenakan orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat
tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga dengan akhlaknya, orang yang melakukan safar
akan membuka akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang
tidak mengadakan perjalanan.

Sedangkan secara istilah, Safar diartikan dalam berbagai pendapat dari ulama. Ada yang
mengartikannya sebagai perjalanan dengan jarak lebih dari 85 km; dan ada pula yang
mengembalikan artian dari batasan perjalanan/safar tersebut kepada kebiasaan masyarakat
masing-masing.

(Baca juga: Siksa Neraka Bagi Pezina; Hukum Tiup Lilin Ulang Tahun dalam Islam)

Di masa lalu, Islam tidak memperkenankan seorang wanita untuk melakukan safar atau tinggal di
suatu tempat yang jaraknya jarak safar, kecuali jika safarnya dilakukan bersama mahramnya
maka diperbolehkan.

Mahram dalam agama Islam dilihat dari tiga sisi. Yang pertama adalah kekerabatan; yang kedua
adalah persusuan; yang ketiga adalah pernikahan.

Mahram yang dilihat dari Kekerabatan adalah laki-laki yang berasal dari keluarga sang wanita
tersebut. Ada tujuh laki-laki sebagai mahram dalam keluarga, yakni: ayah, kakek dan seterusnya
ke atas yang berasal dari pihak ayah maupun ibu; Kemudian anak, cucu dan seterusnya ke bawah
yang lahir dari anak laki-laki maupun anak perempuan; kemudian Saudara kandung sebapak dan
seibu atau saudara sebapak saja maupun seibu saja; selanjutnya adalah Keponakan yakni anak
dari saudara laki-laki sebapak dan seibu atau saudara sebapak saja maupun seibu saja;
Keponakan yang berasal dari saudara perempuan sebapak dan seibu, saudara sebapak saja
maupun seibu saja); Paman dari saudara laki-laki bapak, mencakup saudara sebapak dan seibu,
saudara sebapak saja maupun seibu saja); dany yang terakhir adalah Paman dari saudara laki-laki
ibu, mencakup sebapak dan seibu, saudara sebapak saja maupun seibu saja).

Sponsors Link

(Baca juga: Cara Menghindari Riya Menurut Islam; Cara Rasullullah Mendidik Anak


Perempuan)

Kemudian mahram yang dilihat dari Persusuan adalah yang berasal dari keluarga, penjelasannya
sama seperti pada mahram dari kekerabatan di atas.

Sedangkan mahram yang dilihat dari Pernikahan adalah seseorang yang terikat hubungan
mahram dengan kita karena adanya ikatan pernikahan antara seorang wanita dengan eorang laki-
laki yang memiliki keluarga lain, baik itu anak atau saudara lainnya. Dalam hal ini ada empat
orang mahram yang terbentuk dari ikatan pernikahan, yakni anak-anak suami dan seterusnya ke
bawah meskipun statusnya sebagai anak kandung ataupun anak tiri; Kemudan Mertua yakni
bapak, kakek, dan seterusnya ke atas yang berasal dari suami, baik yang berasal dari sisi
bapaknya maupun ibunya); selanjutnya adalah Menantu, yakni mencakup suami anak maupun
suami cucu dan seterusnya ke bawah jika telah terjadi akad nikah, meskipun pernikahan mereka
telah berakhir karena kematian, talak maupun rusak akadnya;  lalu mahram selanjutnya adalah
Suami dari ibu, suami nenek dan seterusnya ke atas namun jika mereka bercerai sebelum
berhubungan suami istri maka tidak ada hubungan mahram.

(Baca juga: Menikah Tanpa Izin dengan Orangtua Dalam Islam; Keutamaan Menjaga Lisan
dalam Islam)

Hukum mengenai safar bagi wanita tanpa mahram sendiri memiliki banyak pendapat yang
dikemukakan oleh para ulama dan didasarkan pada hadis bahkan al-Qur’an. Ada yang
membolehkan dan adapula yang mengharamkan.

1. Safar bagi wanita tanpa mahram : “Haram”


Pendapat Pertama datang dari Abu Hanifah dan Ahmad yang menyatakan bahwa seorang wanita
tidak boleh melaksanakan safar meskipun itu adalah safar wajib, kecuali dengan mahramnya.

Hal ini didasarkanpada hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan
janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu ada
seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan
diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji”. Maka
Beliau bersabda: “Tunaikanlah hajji bersama istrimu” (HR Bukhori)

(Baca juga: Hukum Menggambar Makhluk Hidup Dalam Islam; Ciri-ciri Orang Munafik Dalam
Islam)

2. Safar bagi wanita tanpa mahram : “Boleh”


Pendapat Kedua datang dari Hasan Basri, Auza’I, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad yang
menyatakan bahwa seorang wanita muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa
mahram. Mengenai perkara ini, Imam Malik sendiri menyatakan bahwa mahram yang
mendampingi seorang wanita bisa diganti dengan rombongan wanita yang bisa dipercaya selama
perjalanan yang dilakukan aman. Imam al Baji al-Maliki berkata :

ads

“Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri
dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan
– yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut
seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan,
maka seperti ini dianggap aman bagi wanita yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman
wanita. “ (al-Muntaqa : 3/17)
Hal ini juga diperkuat dengan beberapa dalil dari hadis yang artinya:

“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang
mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka’bah tanpa takut
kepada siapapun kecuali kepada Allah”.  (HR. Bukhari)

Dari Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Kemudian beliau
berhaji dengan mereka. Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu
Umar. Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram. (Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-
Muhalla)

“Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat
wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata:  “Apakah semua wanita memiliki mahram
untuk pergi haji?!” (Riwayat Baihaqi)

(Baca juga: Keistimewaan Wanita Berjilbab bagi Muslimah; Cara Menghormati Orang Tua


dalam Islam)

“Dalam masalah ibadah mahdha dasarnya adalah  ta’abbud, ( menerima apa adanya tanpa dicari-
cari alasannya, seperti jumlah rekaat sholat) dan dalam masalah mu’amalat dasarnya
adalah ta’lil.( bisa dicerna dengan akal dan bisa dicari alasannya, seperti jual beli dan
pernikahaan )”. (Kaidah Fiqhiyah)

Masalah safar wanita termasuk dalam katagori mu’amalat, sehingga bisa kita cari alasan dan
hikmahnya yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan
adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan
dianggap aman.

(Baca Juga: Hukum Sholat Jumat Bagi Wanita , Hikmah Puasa Daud Bagi Wanita)

“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan,
tempat dan perorangan.“ (Kaidah Fiqhiyah)

“Apa-apa yang diharamkan karena dzatnya, tidaklah dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat,
dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan menutup jalan ( kemaksiatan ), maka dibolehkan
pada saat dibutuhkan.“ (Kaidah Fiqhiyah).

Safar yang dilakukan wanita terbagi menjadi tiga bentuk: yang pertama adalah safar mubah;
yang kedua adalah safar mustahab; dan yang ketiga adalah safar wajib.

 Safar mubah, adalah ketika seorang wanita melakukan perjalan dengan tujuan untuk
rekreasi.
 Safar Mustahab, adalah safar yang dianjurkan yakni seperti saat seorang wanita
melakukan perjalanan untuk mengunjungi orang sakit atau  menyambung silaturahmi.
 Safar Wajib, adalah ketika seorang wanita melakukan perjalanan untuk melaksanakan
ibadah, misalnya seperti saat menjalankan ibadah haji, menolong orang sakit dan berbakti
kepada orang tua.
 Assalamu Alaikum Ustadz,
 Baru baru ini saya membaca fatwa dari  internet mengenai fatwa Saudi mengenai
dilarangnya wanita bepergian tanpa didampingi muhrimnya…apakah benar begitu
Ustadz? dan menurut Islam bagaimana yang benarnya, apalagi saya seorang wanita karir
yang sering bepergian ke luar negeri…
 Mohon bantuan jawabannya…
 Tsara
  
 Wa alaikum salam Wr Wb,
 Pengertian Safar
 Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti terbuka, disebut
demikian  karena orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat
tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga orang yang melakukan safar akan terbuka
akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak
mengadakan perjalanan. (Ibnu mandhur, Lisan al-Arab).
 Oleh karenanya, wanita yang tidak menggunakan jilbab, sehingga sebagian anggota
tubuhnya terlihat disebut dengan “Safirah“ (wanita terbuka auratnya).
 Adapun Safar secara istilah para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasnya.
Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85
km. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, batasan suatu perjalanan disebut dengan
safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing. Mereka
berpedoman dengan kaidah fiqih yang menyatakan:
 “Setiap istilah yang tidak mempunyai batasan di dalam bahasa Arab, dan tidak pula
dalam syariat (al-Qur’an dan sunnah), maka dikembalikan kepada kebiasaan
masyarakat.“
 Pengertian Mahram
 Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya. (Mukhtar
as-Shihah: 1/ 56)
 Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan
seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti hubungan bapak, anak, saudara dan
paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara
sesusuan.“
 Bentuk-bentuk Safar Wanita
 Safar yang dilakukan wanita bisa dibagi menjadi tiga bentuk:
 Pertama: Safar Mubah, seperti melakukan perjalan untuk rekreasi.
 Kedua: Safar Mustahab (yang dianjurkan), seperti melakukan perjalanan untuk
mengunjungi orang sakit atau  menyambung silaturahim.
 Imam Baghawi berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari (4/76):
“Para ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan seorang perempuan
melakukan perjalanan yang bukan wajib, kecuali harus disertai suaminya atau
mahramnya. Kecuali bagi perempuan kafir yang masuk Islam kemudian ingin berhijrah
dari Dar al-Harbi (Negara Kafir) atau dia dalam keadaan ditawan musuh dan bisa lepas.“
 Pernyataan di atas kurang akurat, karena pada kenyataannya terdapat perbedaan pendapat
dalam masalah ini, seperti yang diriwayatkan dari al-Karabisi salah satu ulama Syafi’iyah
yang membolehkan wanita melakukan safar mustahab tanpa disertai mahram.
 Ketiga: Safar Wajib, seperti melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji,
menolong orang sakit dan berbakti kepada orang tua.
 Jika seorang wanita melakukan safar dalam bentuk ketiga ini tanpa mahram, para ulama  
berselisih pendapat tentang status hukumnya:
 Pendapat Pertama, mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh melaksanakan ibadah
haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam
salah satu riwayat dari beliau.
 Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadist yang melarang seorang wanita
melakukan safar tanpa mahram, diantaranya adalah hadist Ibnu Abbas: radhiyallahu
‘anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabdas :
 “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita
dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu
ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah
mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi
menunaikan hajji”. Maka Beliau bersabda: “Tunaikanlah hajji bersama istrimu” (HR
Bukhori)
 Hadits di atas menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang wanita
muslimah.
 Pendapat Kedua, mengatakan bahwa seorang wanita muslimah dibolehkan
melaksanakan ibadah haji tanpa mahram.  Dan mahram bukanlah syarat wajib haji bagi
seorang wanita muslimah. Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’I, Imam Malik Syafi’I,
dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Dhahiriyah. Pendapat
ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau. (al-Majmu’: 8/382, al-
Furu’: 3/ 177)
 Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombongan wanita yang
bisa dipercaya selama perjalanan aman. Berkata Imam al Baji al-Maliki :
 “Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan
sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat
banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka
bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan
para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi wanita yang
bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa : 3/17)
 Dalil mereka sebagai berikut :
 Dalil Pertama: Hadist Adi bin Hatim, bahwa Nabi shollallahu alahi wassalam bersabda :
 “Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang
mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka’bah
tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah”.  (HR. Bukhari)
 Hadit di atas berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu
menunjukkan kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan  kepada suatu
perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari : 16 /148)
 Dalil Kedua: Atsar Ibnu Umar.
 Dari Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Kemudian
beliau berhaji dengan mereka. Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram
lagi bagi Ibnu Umar. Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram. (Disebutkan
Ibnu Hazm dalam  al-Muhalla)
 Dalil Ketiga: Atsar Aisyah.
 “Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah
syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata:  “Apakah semua wanita memiliki
mahram untuk pergi haji?!” (Riwayat Baihaqi)
 Dalil Keempat: Kaidah Fiqhiyah.
 “ Dalam masalah ibadah mahdha dasarnya adalah  ta’abbud, ( menerima apa adanya
tanpa dicari-cari alasannya, seperti jumlah rekaat sholat) dan dalam masalah mu’amalat
dasarnya adalah ta’lil.( bisa dicerna dengan akal dan bisa dicari alasannya, seperti jual
beli dan pernikahaan ) ”
 Masalah safar wanita termasuk dalam katagori mu’amalat, sehingga bisa kita cari alasan
dan hikmahnya yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud
dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang
banyak dan jalan dianggap aman.
 Dalil Kelima: Kaidah Fiqhiyah
 “Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu,
keadaan, tempat dan perorangan.“
 Berdasarkan kaidah di atas, sebagian ulama kontemporer seperti Syekh Abdurrozaq
Afifi(Fatawa wa Rasail: 1/201) membolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau
bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh
mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang.  Bahkan keadaan seperti ini
jauh lebih aman dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya
kota-kota besar.
 Dalil Keenam: Kaidah Fiqhiyah.
 “Apa-apa yang diharamkan karena dzatnya, tidaklah dibolehkan kecuali dalam keadaan
darurat, dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan menutup jalan ( kemaksiatan ),
maka dibolehkan pada saat dibutuhkan “
 Ketidakbolehan wanita melakukan safar tanpa mahram tujuannya untuk menutup jalan
kemaksiatan dan bahaya baginya, maka hal itu menjadi dibolehkan manakala ada
kebutuhan, khususnya jika ditemani dengan rombongan yang dipercaya dan keadaan
jalan aman.
 Pendapat Yang Kuat:
             Pendapat yang kuat bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji bagi wanita
muslimah berdasarkan hadist dan atsar di atas. Tetapi boleh bersama rombongan
perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.
 Adapun hadist Ibnu Abbas yang mensyaratkan mahram, peristiwa tersebut bukan pada
haji wajib, tetapi pada haji yang sunnah. Karena haji baru diwajibkan pada tahun 10 H,
dimana Rasulullah pada waktu itu juga melaksanakan ibadah haji.
 Walaupun demikian, diharapkan bagi wanita yang ingin melaksanakan haji dan umrah
atau melakukan safar wajib lainnya, hendaknya bersama mahramnya, karena itu lebih
terhindar dari fitnah dan marabahaya lainnya. Ini pada safar wajib, tentunya dalam safar
mubah dan mustahab lebih ditekankan lagi.  Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu yang
dibutuhkan sekali, kita bisa mengambil pendapat ulama yang membolehkan dengan
syarat-syarat yang sangat ketat. Dengan demikian Islam dipahami sebagai agama yang
selalu menjaga kehormatan dan keselamatan wanita, sekaligus memberikan solusi-solusi
yang bisa dipertanggung jawabkan baik secara agama maupun secara sosial disaat tidak
ada pilihan lain. Wallahu A’lam.
 Dr. Ahmad Zain , MA
 Apakah hukum safar wanita tanpa mahram?
 Wanita tidak boleh safar tanpa mahram atau tanpa suaminya. Hal ini ditegaskan oleh
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 ٌ‫ْس َم َعهَا حُرْ َمة‬ َ ‫اآلخ ِر أَ ْن تُ َسافِ َر َم ِس‬
َ ‫يرةَ يَوْ ٍم َولَ ْيلَ ٍة لَي‬ ِ ‫الَ يَ ِحلُّ ِال ْم َرأَ ٍة تُ ْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬.
 “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar sejauh
perjalanan sehari semalam tanpa bersama mahramnya.”[1]
  
 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
 ‫ْت فِي غ َْز َو ِة َك َذا َو َك َذا‬ ُ ‫ َوالَ تُ َسافِ َر َّن ا ْم َرأَةٌ إِالَّ َو َم َعهَا َمحْ َر ٌم فَقَا َم َر ُج ٌل فَقَا َل يَا َرسُو َل هللاِ ا ْكتُتِب‬، ‫الَ يَ ْخلُ َو َّن َر ُج ٌل بِا ْم َرأَ ٍة‬
َ‫ت ا ْم َرأَتِي َحا َّجةً قَا َل ْاذهَبْ فَ ُح َّج َم َع ا ْم َرأَتِك‬ ِ ‫ َوخ ََر َج‬.
 “Tidak boleh seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita. Tidak boleh seorang
wanita bersafar kecuali bersama mahramnya.” Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan
berkata, “Saya telah tercatat untuk ikut perang ini dan itu, sedangkan istriku telah keluar
untuk berhaji.” Beliau bersabda, “Pergilah dan berhajilah bersama istrimu!”[2]
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh lelaki tersebut untuk membatalkan
jihadnya dan dia diperintahkan untuk menemani istrinya untuk bersafar. Ini menunjukkan
wanita haram bersafar tanpa mahram atau tanpa suaminya. Oleh karena itu, seorang
wanita yang merasa beriman kepada Allah dan hari akhir haruslah mengindahkan
larangan ini. Dan larangan ini merupakan ijma’ atau kesepakatan para ulama,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani  rahimahullah:
 ‫ك‬ ِ ْ‫َار ال ِّشر‬ ِ ‫ج ِم ْن د‬ ِ ْ‫ع فِ ْي َغي ِْر ْال َح ِّج َو ْال ُع ْم َر ِة َو ْال ُخرُو‬ٌ ‫از ال َّسفَ ِر لِ ْل َمرْ أَ ِة بِاَل َمحْ َر ٍم َوهُ َو إِجْ َما‬
ِ ‫ َوا ْستُ ِد َّل بِ ِه َعلَى َعد َِم َج َو‬.
 “Dan hadits ini dijadikan dalil yang menunjukkan tidak dibolehkannya safar bagi seorang
wanita tanpa mahramnya. Dan ini adalah ijma’ (kesepakatan para ulama) pada selain haji,
umrah dan keluar dari negeri syirik.”[3]
  
 Apakah cukup dengan diantar dan dijemput jika seorang wanita safar dan tinggal
di hotel?
 Apabila wanita tersebut masih berstatus “sedang bersafar” meskipun dia sedang tinggal
di hotel, penginapan, rumah orang lain dan semisalnya, maka dia harus ditemani oleh
mahram atau suaminya. Jika tidak maka dia telah melakukan hal yang terlarang
sebagaimana disebutkan pada dua hadits di atas. Berbeda jika wanita tersebut diantar atau
dijemput oleh mahramnya di suatu tempat yang wanita tersebut akan bermukim (tinggal)
di sana, maka hal tersebut tidak mengapa, selama bisa terjaga keamanannya.
 Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada wanita-wanita yang berhijrah dari
Mekkah ke Madinah dan berniat untuk tinggal di Madinah, mereka mendapatkan
keringanan untuk bersafar tanpa mahram, karena keberadaan mereka di Mekkah sangat
berbahaya untuk mereka. Di Madinah sebagian besar mereka tidak memiliki mahram,
sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan kepada para sahabat untuk
menikahi mereka.
 Allahu a’lam bishshawab. Billahittaufiq.
  
 [1] HR Al-Bukhari no. 1088 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
 [2] HR Al-Bukhari no. 3006 dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.
 [3] Fathul-Bari II/568.

Anda mungkin juga menyukai