Jika ditinjau dari bahasa, muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun (huruf
mimnya di-dhammah) yang maknanya adalah orang yang berihram dalam
pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya
adalah mahramun (huruf mimnya di-fathah) artinya orang yang diharamkan nikah
dengannya selama2nya (baik lelaki atau perempuan lain).
Dengan info ini, seharusnya kita terhindar dari salah kaprah ini. Berikutnya, aku
akan bahas mengenai mahram.
Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi
oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan
safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat
wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari
hukum-hukum mahram.
Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab
(keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan
kerena pernikahan).
Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah
disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di
antaranya telah disebutkan ALLOH SWT,“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu
kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari
penyusuan.” An-Nisa(4):23.
Ayat di atas menunjukkan dan menjelaskan bahwa seorang wanita yang menyusui
seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan
miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi
air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi
anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak,
berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta
dua anak yang disusui oleh wanita yang sama.
Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang
mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits
Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan
kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Selain itu, yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan
bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak
mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia
mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Kesimpulan:
- Istilah yg ‘benar’ untuk laki-laki/perempuan yg dilarang dinikahi adalah MAHRAM.
Muhrim = orang yg berihram.
- Seorang perempuan yg hendak bepergian hendaknya dilindungi lelaki yg menjadi
mahramnya, agar terhindar dari kejahatan yg mungkin muncul selama perjalanan.
- Seseoang dinyatakan menjadi mahram apabila dia menyusu sebelum umur 2
tahun, dan tindakan menyusu dilakukan (sedikitnya) 5 kali penyusuan.
Pertanyaan:
Assalaamu'alaikum Wr.Wb.
Seperti yang saya ketahui, yang bukan aurat adalah telapak tangan dan wajah.
Saya ingin mengetahui mengenai pemakaian kaus kaki. Karena ada sebagaian yang
memakai ada yang tidak. Dan telapak kaki terlihat. Apakah boleh menampakkan
telapak kaki kepada non muhrim, tetapi waktu sholat telapak kaki tidak terlihat
(memakai kaus kaki).
Terima kasih
Lita
Jawa Barat
Jawaban:
Para ulama memang berbeda dalam menetapkan batas aurat wanita. Yang
umumnya mengatakan seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan. Namun
sebagian ulama Al-Hanafiyah dan khususnya Imam Abu Hanifah ra. sendiri
mengatakan bahwa yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan
kaki. Kaki yang dimaksud bukan dari pangkal paha tapi yang dalam bahasa arab
disebut qodam, yaitu dari tumit kaki ke bawah. Menurut beliau qadam bukan
karena aurat karena kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.
Sehingga para wanita pengikut mazhab Al-Hanafiyah sudah merasa cukup shalat
dengan menggunakan rok panjang sebagai bawahan tanpa harus menutup bagian
bawah kakinya dan tanpa harus mengenakan kaos kaki.
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan tapak tangan. Sehingga kaki tetap merupakan aurat yang tidak
boleh diperlihatkan kepada non mahram. Baik di dalam shalat mapun di luar shalat.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni 1 :
1-6, Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah
dan tapak tangannya di dalam shalat.
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah
seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam
Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak
tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat
wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain
At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus
juga mewakili pendapat jumhur ulama.
Selain itu ada hadits Aisyah ra yang menetapkan batas aurat wanita :
Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali
ini dan ini� Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.
Memang ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa hadits Asma` binti Abu
Bakar dianggap dhaif, tapi tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang
menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut.
Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan
hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau 'hijab wanita muslimah', 'Al-Irwa`,
shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.
Apa batasan aurat seorang wanita di hadapan sesama wanita muslimah, wanita fajirah dankâfirah?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullâh memfatwakan: “Aurat wanita di hadapan
sesama wanita tidaklah berbeda karena perbedaan agama. Sehingga aurat wanita dengan wanita
muslimah sama dengan aurat wanita kafirah, dan aurat dengan wanita yang ‘afîfah (menjaga
kehormatan diri) sama dengan aurat wanita fajirah. Kecuali bila di sana ada sebab lain yang
mengharuskan untuk lebih menjaga diri. Akan tetapi wajib kita ketahui bahwa aurat itu bukan diukur
dari pakaian, karena yang namanya pakaian itu harus menutupi tubuh. Walaupun aurat wanita dengan
sesama wanita adalah antara pusar dan lutut, akan tetapi pakaian itu satu perkara sedangkan aurat
perkara lain. Seandainya ada seorang wanita mengenakan pakain yang menutup tubuhnya dengan
baik/rapi kemudian tampak dadanya atau kedua buah dadanya karena satu dan lain hal di hadapan
wanita lain1, sementara dia telah mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dengan baik, maka hal
ini tidak apa-apa. Adapun bila ia mengenakan pakaian pendek yang hanya menutupi pusar sampai ke
lututnya dengan alasan aurat wanita dengan sesama wanita adalah dari pusar ke lutut maka hal ini
tidak boleh, dan aku tidak yakin ada orang yang berpandangan demikian.”