Anda di halaman 1dari 7

MUHRIM DAN MAHRAM

Kaum muslim(ah) seringkali dibingungkan (salah kaprah) dengan istilah muhrim


dan mahram. Aku sendiri, pada awalnya, termasuk yg golongan ini.

Muhrim, bagi kebanyakan kaum muslim, berarti pihak2 yg DILARANG DINIKAHI.


Sementara istilah mahram sendiri, mungkin tidak banyak yg tahu.

Jika ditinjau dari bahasa, muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun (huruf
mimnya di-dhammah) yang maknanya adalah orang yang berihram dalam
pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya
adalah mahramun (huruf mimnya di-fathah) artinya orang yang diharamkan nikah
dengannya selama2nya (baik lelaki atau perempuan lain).

Dengan info ini, seharusnya kita terhindar dari salah kaprah ini. Berikutnya, aku
akan bahas mengenai mahram.

Dari sebuah referensi, aku dapatkan keterangan sebagai berikut…

Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi
oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan
safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat
wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari
hukum-hukum mahram.

Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab
(keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan
kerena pernikahan).

Mahram karena nasab:


Ayah kandung, kakek dari jalur ayah maupun dari jalur ibu dan seterusnya keatas
(kalo ada buyut), saudara kandung laki-laki, anak kandung, cucu dan seterusnya
kebawah (kalo ada cicit), saudara laki2 kandung ayah (yaitu paman dari jalur
ayah), saudara laki-laki kandung ibu(paman dari jalur ibu), saudara laki-laki
kandung kakek, saudara kandung laki-laki nenek, anak laki-laki dari saudara
kandung laki-laki/perempuan (yaitu keponakan laki-laki), cucu saudara kandung
dan seterusnya kebawah.

Mahram karena pernikahan:


Suami, ayah suami (mertua), kakek dari suami, anak laki-laki dari suami (anak
tiri), suami dari anak (menantu), suami ibu (ayah tiri), suami nenek (kakek tiri).

Mahram karena susuan:


Anak susuan, anak dari anak susuan (cucu susuan) dan seterusnya ke bawah, Ayah
susuan, Ayah dari ayah/ibu susuan, saudara laki-laki dari ayah susuan, saudara
laki-laki dari ibu susuan, saudara laki-laki sesusuan, anak laki-laki dari saudara
sesusuan, cucu laki-laki dari saudara sesusuan dan seterusnya ke bawah.
(note: urutan mahram susuan sama dgn urutan mahram karena nasab berdasarkan
hadits “Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah
nasab”[HR. Al Bukhari dan Muslim])

Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:


1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari
jalur laki-laki maupun wanita
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua)
dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu
perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu
perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita

Dalilnya adalah,“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu


yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan…” An-Nisa(4): 23

Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah
disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di
antaranya telah disebutkan ALLOH SWT,“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu
kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari
penyusuan.” An-Nisa(4):23.

Ayat di atas menunjukkan dan menjelaskan bahwa seorang wanita yang menyusui
seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan
miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi
air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi
anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak,
berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta
dua anak yang disusui oleh wanita yang sama.

Dengan demikian, anak si ibu tidak diperbolehkan menikah dg anak sepersusuan,


karena keduanya (berdasar ayat di atas) sudah menjadi mahram. Kemudian cucu
dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena
susuan, dan seterusnya ke bawah. Saudara dari orang tua susu adalah mahram
sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram
sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.

Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:


1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-
Nisa ayat 23.
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari
keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah
berdasarkan An-Nisa: 23.
Dari referensi lain, ada hal yg masih ‘diperdebatkan’…yakni masalah definisi
sepersusuan. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan
Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan
adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun,
berdasarkan firman ALLOH SWT,“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama
2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” Al-
Baqarah(2): 233

Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang
mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits
Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan
kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.

Selain itu, yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan
bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak
mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia
mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.

Kesimpulan:
- Istilah yg ‘benar’ untuk laki-laki/perempuan yg dilarang dinikahi adalah MAHRAM.
Muhrim = orang yg berihram.
- Seorang perempuan yg hendak bepergian hendaknya dilindungi lelaki yg menjadi
mahramnya, agar terhindar dari kejahatan yg mungkin muncul selama perjalanan.
- Seseoang dinyatakan menjadi mahram apabila dia menyusu sebelum umur 2
tahun, dan tindakan menyusu dilakukan (sedikitnya) 5 kali penyusuan.
Pertanyaan:

Assalaamu'alaikum Wr.Wb.

Seperti yang saya ketahui, yang bukan aurat adalah telapak tangan dan wajah.
Saya ingin mengetahui mengenai pemakaian kaus kaki. Karena ada sebagaian yang
memakai ada yang tidak. Dan telapak kaki terlihat. Apakah boleh menampakkan
telapak kaki kepada non muhrim, tetapi waktu sholat telapak kaki tidak terlihat
(memakai kaus kaki).

Terima kasih

Lita
Jawa Barat

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh


Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa
ba`du,

Para ulama memang berbeda dalam menetapkan batas aurat wanita. Yang
umumnya mengatakan seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan. Namun
sebagian ulama Al-Hanafiyah dan khususnya Imam Abu Hanifah ra. sendiri
mengatakan bahwa yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan
kaki. Kaki yang dimaksud bukan dari pangkal paha tapi yang dalam bahasa arab
disebut qodam, yaitu dari tumit kaki ke bawah. Menurut beliau qadam bukan
karena aurat karena kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.

Sehingga para wanita pengikut mazhab Al-Hanafiyah sudah merasa cukup shalat
dengan menggunakan rok panjang sebagai bawahan tanpa harus menutup bagian
bawah kakinya dan tanpa harus mengenakan kaos kaki.

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan tapak tangan. Sehingga kaki tetap merupakan aurat yang tidak
boleh diperlihatkan kepada non mahram. Baik di dalam shalat mapun di luar shalat.

Al-Malikiyah dalam kitab 'Asy-Syarhu As-Shaghir� atau sering disebut kitab


Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas
aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) adalah seluruh
badan kecuali muka dan tapak tangan.

Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya 'al-Muhazzab', kitab di


kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya
adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.

Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni 1 :
1-6, Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah
dan tapak tangannya di dalam shalat.

Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah
seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam
Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak
tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.

Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat
wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain
At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus
juga mewakili pendapat jumhur ulama.

Selain itu ada hadits Aisyah ra yang menetapkan batas aurat wanita :

Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali
ini dan ini� Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.

Memang ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa hadits Asma` binti Abu
Bakar dianggap dhaif, tapi tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang
menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut.
Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan
hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau 'hijab wanita muslimah', 'Al-Irwa`,
shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Batasan Aurat Wanita Muslimah

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullâh

Apa batasan aurat seorang wanita di hadapan sesama wanita muslimah, wanita fajirah dankâfirah?

Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullâh memfatwakan: “Aurat wanita di hadapan
sesama wanita tidaklah berbeda karena perbedaan agama. Sehingga aurat wanita dengan wanita
muslimah sama dengan aurat wanita kafirah, dan aurat dengan wanita yang ‘afîfah (menjaga
kehormatan diri) sama dengan aurat wanita fajirah. Kecuali bila di sana ada sebab lain yang
mengharuskan untuk lebih menjaga diri. Akan tetapi wajib kita ketahui bahwa aurat itu bukan diukur
dari pakaian, karena yang namanya pakaian itu harus menutupi tubuh. Walaupun aurat wanita dengan
sesama wanita adalah antara pusar dan lutut, akan tetapi pakaian itu satu perkara sedangkan aurat
perkara lain. Seandainya ada seorang wanita mengenakan pakain yang menutup tubuhnya dengan
baik/rapi kemudian tampak dadanya atau kedua buah dadanya karena satu dan lain hal di hadapan
wanita lain1, sementara dia telah mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dengan baik, maka hal
ini tidak apa-apa. Adapun bila ia mengenakan pakaian pendek yang hanya menutupi pusar sampai ke
lututnya dengan alasan aurat wanita dengan sesama wanita adalah dari pusar ke lutut maka hal ini
tidak boleh, dan aku tidak yakin ada orang yang berpandangan demikian.”

(Majmu’ah As’ilah Tuhimmul Usratil Muslimah, hal. 83-84)

Anda mungkin juga menyukai