Anda di halaman 1dari 8

NAMA : CALVIN

NIM : 217011119
KELAS : 1C
1. Kemahraman diambil dari kata dasar Mahram yang memiliki pengertian semua orang
yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan
dalam syariat Islam. Mahram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang
(perempuan, laki-laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan,
sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antaranya. Selain
itu, mahram juga diartikan orang laki-laki yang dianggap dapat melindungi perempuan
yang akan melakukan ibadah haji (suami, anak laki-laki, dsb). Dari definisi mahram
diatas, dapat kita ambil garis besar bahwa mahram adalah sebuah istilah yang berarti
perempuan yang haram dinikahi. Mahram berasal dari makna haram, yaitu perempuan
yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang perempuan dengan
kaitanya bolehnya terlihat sebagai aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Dalam pelaksanaan mahram, secara garis besar mahram dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Mahram Nikah (Mahal al-Nikah)
Mahram nikah yaitu larangan untuk menikah. Bentuk kemahraman ini adalah semata-
mata mengharamkan pernikahan saja, tetapi tidak membuat seseorang boleh melihat
aurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Menurut pendapat para ulama’ mahram nikah
dibagi menjadi dua, yaitu:
a) keharaman bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad) keharaman yang bersifat abadi ada
yang disepakati da nada juga yang masih diperselisihkan. Yang disepakati ada tiga,
yaitu hubungan keturunan atau nasab, hubungan kekeluargaan karena tali pernikahan
atau besanan, dan hubungan persusuan. Sedangkan yang diperselisihkan adalah zina
dan li’an. Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat bahwa zina dengan seorang
wanita tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita tersebut atau anak
wanitanya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’I berpendapat bahwa
zina menyebabkan keharaman.
b) keharaman yang bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat)
yaitu seorang perempuan dilarang dikawin selama dalam keadaan tertentu.64 Jika
nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan menjadi halal. Adapun prempuan-
perempuan yang di larang dinikahi hingga waktu tertentu, yaitu; saudara perempuan
istri, bibinya dari garis ayah dan ibu.isteri orang lain dan perempuan yang menjalani
masa iddah, perempuan yang dijatuhi talak 3, kawin denga perempuan pezina hingga
ia taubat.

2. Mahram Aurat (Mahal al-Zinah)


Mahram aurat yaitu larangan melihat aurat. Maksudnya adalah aurat bagi perempuan
dihadapan laki-laki asing, yang bukan mahramnya, adalah seluruh badannya.66 Dengan
demikian, mahallu zinah ini menjadi pembatas aurat wanita yang boleh dilihat oleh laki-
laki mahram dan sesama wanita. Aurat perempuan atau anggota tubuh yang harus ditutupi
itu berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi dengan siapa dia berkumpul atau bertemu.
Apakah dengan laki-laki, dengan laki-laki yang semahram, dengan laki-laki yang tidak
semahram, dengan sesama perempuan atau saat shalat. Penjelasan ini berdasarkan
pandangan ulama’ Fiqih madzab empat yaitu: Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Berikut
penjelasan batasan-batasan aurat perempuan menurut Fiqih empat madzab :
a) Aurat Perempuan dengan Sesama Wanita
Jumhul Ulama berpendapat bahwa aurat wanita didepan perempuan lain sama dengan
auratnya laki-laki yaitu antara pusar sampai lutut.Namun menurut suatu pendapat
dalam madzhab Maliki dan Hanbali, aurat wanita dengan wanita lain adalah kedua
kemaluan depan dan belakang saja. Menurut Imam al-Mardawi dalam kitab al-Inshaf
mengatakan bahwa ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Hanbali.
b) Aurat Anak Perempuan (Belum Baligh) Menurut madzhab Hanafi, Maliki dan
Hanbali, aurat anak kecil usia 4 tahun tidak ada aurat baginya. Sedangkan aurat anak
perempuan usia 7 tahun keatas menurut madzhab Hanbali didepan laki-laki bukan
mahram adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah, leher,kepala, tangan sampai siku dan
kaki. Kemudian anak perempuan usia 10 tahun auratnya sama dengan wanita usia
dewasa, yakni seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan menurut madzhab
Syafi’I, Hanafi dan Hanbali
c) Aurat Perempuan dengan Laki-laki Bukan Mahram Menurut Madzhab Hanbali seluruh
tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya, baik saat shalat maupun diluar shalat.72
Sedangkan menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’I bahwa aurat wanita itu adalah
seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Menurut Imam Hanafi wajah dan
kedua tangan perempuan boleh terbuka/bukan aurat.
d) Aurat Perempuan dengan Laki-laki Mahram Menurut madzhab Hanafi, madzhab
Maliki dan madzhab Hanbali aurat bagi wanita didepan laki-laki mahram adalah selain
wajah kepala dan leher ditambah dengan dada.
e) Aurat Perempuan Ketika Shalat Menurt madzhab Hanbali aurat perempuan ketika
shalat adalah seluruh tubuh kecuali wajah. Menurut madzhab Syafi’I aurat perempuan
ketika shalat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan luar dan dalam.76
Sedangkan menurut madzhab Hanafi aurat perempuan ketika shalat adalah seluruh
tubuh kecuali telapak tangan bagian dalam dan bagian luar.
Kemahraman ada dalam Hukum Islam sebagai salah satu wasilah/ sarana untuk menjaga
individu dan masyarakat dari terjadinya perbuatan fahisyah/keji dan kriminalitas yang
telah merata di masyarakat. Islam memang meletakkan penghalang-penghalang guna
menjaga agar seorang hamba tidak jatuh dalam kejelekan.
2) Hak anak dalam perspektif Islam :
1. Memperoleh Nasab (Identitas Diri)
Setiap anak berhak memperoleh pengakuan dalam silsilah keturunan (nasab). Hal ini akan
menciptakan pengakuan yang jelas dari masyarakat, yang akan memperkuat perasaan tenang
bagi anak karena ia benar-benar berasal dari keturunan orang tuanya. Hal ini sesuai dengan surat
al-Ahzab ayat 5, yang berbunyi: َ ۤ ُ‫ال ۚ فَ اِ ْن ل ِٕى ِه ْم ه‬ ِ ُ‫س ط‬
ِ ‫ع ْن َد ّٰل‬ َ ۤ ‫و ا نُ ُك ْم فِى َء هُ ْم فَ اِ ْخ‬
َ ‫ب ا ٰ ْم تَ ْع لَ ُم ْوْٓ ا ا َّ َو اَ ْق‬
َ ‫ف ْي َم ْٓا اَ ْخ‬
‫د ِ يْ ِن َو َم َو ا ِل ْي ُك ْم ْو ًر ا َّر‬hh‫ط َس َع َل يْ ۚ َو َل ا ل‬ ِ ‫ب ه َو ل ْ أ ْي ُك ْم جُ نَ اح‬ ِ ‫ك ْن َّم ا تَ َع َّم َد ْت ٰ تُ ْم‬ ُ ‫ب ا اُ ْد‬
ِ ‫ع ْو هُ ْم ِ ٰل‬ َ
ُ ‫" ِح ْي ًم ا ۚ َو كَ انَ ّٰلالُ َغ فُ ْو بُ ُك ْم ُ ل‬Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
‫ق‬
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-
maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
2. Memperoleh Penyusuan (Radha')
Seorang Ibu pasti tahu bahwa ASI merupakan nutrisi yang terbaik untuk bayi. ASI ini
merupakan hak seorang anak. Seorang anak yang telah dikandung dan dilahirkan oleh ibunya,
maka merupakan hak baginya untuk dijaga keberlangsungan hidupnya, antara lain dengan
disusui.
3. Hidup dan Tumbuh Berkembang
Di dalam Islam, menjaga kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak adalah keharusan bagi
setiap orang tua. Meremehkan atau mengendorkan pelaksanaan pemberian hak ini dianggap
sebagai suatu dosa besar. Hak anak untuk hidup dan terus berkembang ini dijelaskan dalam surat
al-An'am ayat 151 yang berbunyi:
4. Diberi Nafkah
Orang tua wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya sampai sang anak memiliki
kemampuan untuk menafkahi dirinya sendiri. Tak hanya nafkah berupa makanan yang halal,
setiap anak berhak atas nafkah kasih sayang yang adil dari kedua orang tuanya. Menafkahi anak
tak ditentukan nominalnya karena ketentuan masingmasing anak berbeda usia dan gaya
hidupnya. Namun, secara wajar, kebutuhan pokok yang diperlukan setiap anak adalah makanan
dan minuman yang bergizi, pakaian, serta tempat tinggal yang layak.
5. Mendapatkan Pengasuhan dan Pemeliharaan yang Baik
Wajib hukumnya merawat dan mengasuh anak dengan baik untuk kemaslahatan dan
keberlangsungan hidupnya. Kita sebagai orang tua harus memenuhi hak anak berupa penjagaan
dan pengawasan dalam keselamatan jasmani dan rohani Si Kecil, dari segala bahaya yang dapat
menimpanya. Tak hanya itu, orang tua wajib memberikan pendidikan dan pengajaran bagi Si
Kecil agar ia dapat mengembangkannya dalam kehidupannya.
6. Mendapatkan Keadilan dan Persamaan Derajat
Dari ayat ini, sudah jelas bahwa Islam memandang semua manusia, baik itu pria dan wanita,
memiliki derajat yang sama di sisi Allah SWT. Ini termasuk untuk anak-anak. Meskipun masih
kecil, mereka juga berhak mendapatkan keadilan dan persamaan derajat.
7. Mendapatkan Cinta Kasih
Sudah merupakan kewajiban bagi setiap orang tua untuk mencintai anak-anaknya. Islam pun
memerintahkan agar orang tua memperlihatkan perasaan cinta secara nyata kepada anak-anaknya
agar anak benar-benar merasa bahwa kedua orang tuanya sangat mencintai dan mengasihi
mereka. Karena itu, jangan lupa untuk mencium, memeluk, dan mengatakan bahwa orang tuanya
sangat mencintai mereka.
8. Bermain
Ingatkah cerita saat Rasulullah SAW membiarkan kedua cucunya memanjat punggung beliau
saat sujud dalam salat dan beliau memperpanjang sujudnya hingga kedua cucunya tersebut turun
dari punggungnya. Beliau tidak tega menyuruh mereka turun karena mereka sedang asyik
bermain. Dalam Islam, anak pun berhak untuk bermain, dan wajib bagi orang tua untuk
memastikan bahwa mereka mendapatkan haknya tersebut.
9. Mendapat Perlindungan dari Api Neraka
Allah SWT secara tegas mengingatkan kepada para orang tua untuk terus melindungi dan
menjaga diri dan keluarganya, termasuk anakanaknya, dari siksa api neraka .Untuk memberikan
hak ini pada Si Kecil, kedua orang tua wajib memberikan Si Kecil pendidikan dan pengajaran
dengan sebaik-baiknya, sehingga Si Kecil akan terhindar dari siksa api neraka bila ia tahu
tentang perbuatan-perbuatan yang mendatangkan dosa.

Hak anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak :


1) berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi;
2) berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3) berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;
4) berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
5) berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika karena suatu sebab orang
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar,
maka anak tersebut;
6) berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik,
mental, spiritual, dan sosial ;
7) berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya ;
8) berhak memperoleh pendidikan luar biasa, selain pendidikan dan pengajaran bagi anak pada
umumnya, bagi anak yang menyandang cacat; sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus ;
9) berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya,
sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan ;
10) berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi perkembangan diri 11) yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial ;
12) selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab
atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a) diskriminasi ;
b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual ;
c) penelantaran ;
d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan ;
e) ketidakadilan ;
f) perlakuan salah lainnya ;
13) berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/ atau aturan
hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak dan merupakan pertimbangan terakhir ;
14) berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b) pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c) pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
e) pelibatan dalam peperangan ;
15) berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi ;
16) berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum ; penangkapan, penahanan, atau
tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku
dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir ;
17) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa
b) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan
upaya hukum yang berlaku ;
c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum ;
18) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak dirahasiakan
19) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya .

Undang-Undang Perlindungan Anak tidak memberikan penekanan yang tegas akan hak anak

untuk memperoleh pendidikan dan bimbingan agama dari orang tua mereka dan bentuk

perlindungan anak dalam keluarga juga belum dirumuskan secara jelas. Pasal 6 Undang-Undang

ini menyatakan bahwa “setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua”. Pasal ini

mengandung ketentuan yang lebih menekankan pada “kebebasan anak” (termasuk dalam

masalah agama), bukan pada kewajiban orang tua untuk membimbing anak-anak mereka. Hal ini

diperkuat dengan tidak adanya ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk

membimbing anak-anak mereka dalam hal agama, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 26

Undang-Undang ini. Di lain pihak, Undang-Undang ini memberikan perhatian yang besar

tentang kewajiban dan tanggung jawab orang tua dalam perlindungan anak dalam kaitannya

dengan perkawinan anak mereka, yaitu dengan adanya kewajiban untuk mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak. Ketentuan ini merupakan sesuatu baru, yang tidak terdapat

dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, yang berkaitan dengan perlindungan anak.

Hal ini dimungkinkan karena adanya tuntutan keselarasan dan konsistensi dengan peraturan

perundangundangan yang lain, yang melarang terjadinya perkawinan anak yang belum cukup

umur, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun kewajiban dan

tanggung jawab keluarga (di luar orang tua) adalah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab

orang tua, jika orang tua si anak tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu

sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya tersebut, yang dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 26 ayat 2).

Sayangnya, sampai saat ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal

tersebut belum dibuat, sehingga belum ada landasan yuridis yang khusus mengatur masalah

peralihan kewajiban dan tanggung jawab orang tua kepada keluarga, dalam menyelenggarakan

perlindungan anak dalam keluarga. Hal lain yang nampak terdapat perbedaan antara Undang-

Undang Perlindungan Anak dan hukum Islam berkenaan dengan hak anak, ialah tidak

disinggungnya hak anak untuk memperoleh warisan dari orang tuanya. Akan tetapi, menurut

penulis, tidak dicantumkannya ketentuan mengenai hak seorang anak untuk memperoleh warisan

dari orang tuanya, disebabkan oleh perspektif yang digunakan Undang-Undang ini dalam melihat

kedudukan seorang anak dalam lingkup yang luas (bukan hanya dalam wilayah domestik

[keluarga], melainkan juga dalam wilayah publik), maka pembahasan ketentuan yang berada

pada wilayah domestik (keluarga) menjadi tidak detail dan jelas.

Anda mungkin juga menyukai