Anda di halaman 1dari 6

Hukum Safar Bagi Seorang Wanita

Oleh : Salma Azizah

I.

Pengantar
Pada era yang kian modern ini, fenomena wanita yang melakukan sebuah perjalanan
(safar) tanpa mahram untuk suatu kepentingan tertentu kian menjamur. Ada yang melakukan
suatu perjalanan dalam rangka bisnis, tuntutan pekerjaan, pendidikan, hingga dalam rangka
menyebarkan syiar islam. Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi transportasi yang
semakin modern, kesulitan-kesulitan serta hambatan dalam perjalanan pun semakin bisa
diminimalisir sehingga untuk melakukan perjalanan pun semakin mudah. Ada pesawat untuk
perjalanan udara. Ada kapal pesiar untuk perjalanan laut. Juga ada kereta, mobil, motor dan
sebagainya untuk perjalanan darat. Hal ini membuat fenomena safarnya seorang wanita tanpa
mahram semakin marak.
Namun perlu digarisbawahi bahwasanya sebagai seorang muslim, segala macam aspek
perbuatan harus dilandasi oleh hukum syara. Dan begitupula kiranya seorang muslim dan
muslimah dalam memandang fenomena tersebut, juga dalam menyikapinya.
Islam sendiri merupakan agama rahmatan lil alamin. Rahmatnya meliputi seluruh
alam, baik bagi umat muslim maupun umat non-muslim, juga baik bagi kaum adam maupun
kaum hawa. Berbeda dengan agama lainnya, islam juga turut memuliakan wanita dan
menempatkan wanita pada posisi yang seharusnya. Islam menempatkan wanita sebagaimana
kadar potensi wanita itu sendiri. Oleh kerenanya, tulisan ini akan menunjukan salah satu hal
yang menjadi perhatian islam dalam rangka memuliakan wanita; yakni hukum safar bagi
seorang wanita dalam islam.
Dan sebelum menuju pembahasan yang lebih lanjut, perlu diketahui bahwasanya
tulisan ini dibangun atas dasar paradigma yang menyatakan bahwasanya hukum islam
merupakan hukum yang memuliakan wanita dan menempatkan wanita pada posisi yang
semestinya; bukan hukum yang menindas wanita.

II.

Hukum Safarnya Seorang Wanita

A. Pengertian Safar
Safar secara bahasa diambil dari bahasa arab

yang bermakna terbuka, nampak dan

melakukan perjalanan1, disebut demikian karena diri seorang musafir akan terbuka dari tempat
tinggalnya ke tempat yang terbuka. Serang musafir juga akan terbuka perilaku, akhlaq, dan
perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika dia tidak melakukan perjalanan.2

1
2

Mujam Maqayis Lughah


Ibnu mandhur, Lisan al-Arab

Sedangkan secara syariat safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat
menempuh perjalanan menuju suatu tempat,3 yang dengan adanya niat safar tersebut mampu
merubah suatu hukum dalam islam4.

B. Hukum Seorang Mahram Bagi Wanita yang Hendak Melakukan Safar.


a. Hukum Asal Safarnya Seorang Wanita
Berkaitan dengan mahram ketika seorang wanita melakukan sebuah safar, Imam
Bukhori, Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas r.a,
bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:

Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan kecuali bersama mahram.(H.R


Bukhori, Muslim dan Ahmad)
Hadits ini melarang kaum hawa melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang
mahram, sekaligus perintah bahwasanya seorang wanita yang melakukan perjalanan harus
didampingi oleh seorang mahram. Namun, hadits tersebut tidak menjabarkan secara rinci
kondisi dimana dilarangnya seorang wanita melakukan sebuah safar tanpa didampingi oleh
seorang mahram. Hadits tersebut tidak menjelaskan ketentuan-ketentuan khusus bagi kasuskasus khusus. Tidak ada penjelasan khusus mengenai batas waktu maksimal. Tidak ada
penjelasan khusus mengenai batas jarak maksimal. Namun apakah itu artinya tidak ada
penjelasan lebih lanjut terkait batas jarak ataupun waktu maksimal seorang wanita ketika
melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh seorang mahram?
Jawabannya, tidak. Hadits tersebut merupakan hadits mutlak, yang menyatakan
bahwasanya haram hukumnya seorang wanita melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi
oleh seorang mahram. Namun di samping adanya hadits mutlak, dalam kasus safarnya seorang
wanita terdapat pula hadits muqayyad yang memperinci kasus tersebut. Hadits muqayyad-lah
yang akan menjelaskan ketentuan-ketentuan khusus bagi kasus-kasus khusus. Hadits
muqayyad-lah yang akan menjelaskan, hal-hal terkait batas jarak maksimal ataupun batas
waktu maksimal.
Namun, sebelumnya perlu diketahui, apabila kita mengambil dalil yang menjadikan
jarak sebagai standar wanita boleh atau tidaknya seorang wanita melakukan safar tanpa
didampingi oleh mahram, itu artinya otomatis standar waktu tidak akan bisa kita gunakan.
Begitu juga sebaliknya. Oleh karenya, untuk menetukan apakah kita akan menjadikan waktu
ataukah jarak sebagai standar, maka kita harus memahami manakah hadits yang lebih rajih.
Maka pertanyaannya, apa batas maksimal yang layak dijadikan standar? Apakah waktu
ataukah jarak?

3
4

Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472
Muhsin Baharudin Blog, oleh: Muhsin, 22 Desember 2014

b. Nash yang Menjadikan Jarak Standar


Berkenaan dengan batas jarak tempuh maksimal, terdapat riwayat Abu Dawud adalah
sebagai berikut: Telah meriwayatkan kepada kami Yusuf bin Musa, dari Jarir, dari Suhail, dari
Saad bin Abi Saad, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda:

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian
satu barid kecuali bersama mahramnya.(H.R Abu Dawud)
Satu barid dalam konteks ini setara dengan empat fasakh, yang setiap fasakhnya itu
setara dengan 22km. Maka, satu barid di sini setara dengan 88-89km.
c. Nash yang Menjadikan Waktu Standar
Ketika kembali ditelusuri, Abu Dawud juga meriwaytakan hadits yang menyatakan
bahwasanya yang menjadi standar boleh atau tidaknya wanita melakukan safar tanpa
didampingi oleh seorang mahram adalah jarak. Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari
Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda:

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
bepergian sehari semalam kecuali bersama mahramnya. (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi,
Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)5
Namun apabila dilihat faktanya, tidak semua perawi meriwayatkan hal yang serupa
dalam perkara safarnya seorang wanita.
Imam Bukhori, Imam Muslim (keduanya dari Abu Said al-Kudzri), Imam Ahmad
(dari Ibnu Said), meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian
dua hari, tiga hari, di atas tiga hari kecuali bersama mahramnya.
Selain itu, Imam Bukhori, dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar
bahwasaya Rasulullah SAW bersabda:
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian
tiga hari kecuali bersama mahramnya.
Dan ada pula riwayat Imam Muslim (dari Ibnu Umar), at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
ad-Darimi dari Abu Said al-Khudzri bahwasanya Rasulullah bersabda:
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian
tiga hari dan lebih kecuali bersama mahramnya.
Dari hadits-hadits yang telah dipaparkan sebelumnya, jelas bahwa terdapat perbedaan
standar waktu maksimal seorang wanita melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi oleh
seorang mahram. Dan dengan menggabungkan beberapa hadits muqayyad tersebut, maka dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwasanya batas maksimal waktu tempuh seorang wanita
5

al-Alim al-Jalil Atha bin Khalil Abu Rusythah, Ensiklopedi Jawab Soal Amir Hizbut Tahrir, Al-Azhar Publishing, 2014.

melakukan safar tanpa didampingi oleh seorang mahram ialah satu hari satu malam. Hal ini
dilakukan guna menggabungkan seluruh hadits muqayyad yang membahas perkara safarnya
seorang wanita. Hakikatnya, tidak adanya safar selama dua hari, tiga hari, lebih dari tiga hari,
dan seterusnya yang memenuhi waktu safar selama satu malam satu malam. Dan pada faktanya,
apabila seseorang melakukan safar selama tiga hari, dua hari, ataupun lebih, maka setidaknya
dia telah pasti melakukan safar selama satu hari malam. Dan hal ini juga dilakukan dalam
rangka mengambil kehati-hatian.

d. Waktu ataukah Jarak?


Apabila diteliti kembali, kuantitas perawi yang meriwayatkan hadits yang menjadikan
waktu sebagai standar lebih banyak, yakni oleh 4 orang perawi. Sedangkan hadits yang
menjadikan jarak sebagai standar hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud seorang diri, dan Abu
Dawud sendiri merupakan salah satu perawi yang meriwayatkan hadits yang menjadikan
waktu sebagai standar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan, dalil yang menjadikan waktu
sebagai standar merupakan dalil yang lebih rajih.
Itu artinya, standar wanita boleh atau tidaknya seorang wanita melakukan safar tanpa
didampingi oleh mahram ialah waktu. Maka, sejauh apapun seorang wanita hendak menempuh
perjalanan (tanpa mahram), bahkan hingga ratusan atau ribuan kilometer sekalipun, hal itu
boleh-boleh saja apabila waktu yang ditempuh tidak lebih dari satu hari satu malam (24 jam);
misalkan karena menggunakan pesawat. Namun boleh di sini sama sekali tidak mengandung
makna harus, melainkan sebatas boleh (pilihan untuk melakukannya ataukah tidak).
Sebagai catatan, hukum safar bagi seorang wanita menjadi berbeda apabila kondisi
lingkungan sekitar sedang berada dalam kategori tidak aman; seperti ketika sedang dalam masa
peperangan, masa pemberontakan, dan lain sebagainya. Apabila hal-hal tersebut sedang terjadi,
maka seorang wanita sama sekali tidak boleh bepergian tanpa didampingi oleh seorang
mahram, walaupun hanya setengah hari.

C. Kondisi dimana Seorang Wanita Boleh Melakukan Safar Tanpa Didampingi Oleh
Seorang Mahram
Pada hukum asalnya, seorang wanita harus didampingi oleh seorang mahram ketika ia
hendak melakukan sebuah perjalanan (safar). Namun dalam beberapa kondisi tertentu, seorang
wanita diperbolehkan melakukan sebuah safar tanpa didampingi oleh seorang mahram. Berikut
ialah kondisi-kondisi khusus, dimana seorang wanita boleh melakukan safar tanpa didampingi
oleh seorang mahram:
a. Ketika seorang wanita melakukan sebuah safar, sedangkan mahramnya wafat di tengah
perjalanan (masiroh), sementara dia sudah jauh meninggalkan tempat tinggal asalnya.6
b. Ketika seorang wanita wajib berhijrah.7 Sebagai contoh, terdapat seorang wanita di
sebuah negeri kufur, yang kemudian masuk islam. Seluruh syarat hijrah yang ada telah
6
7

Terjemahan Al-Muntaqa Min Faraid Al-Fawaid hal 44-45


Terjemahan Al-Muntaqa Min Faraid Al-Fawaid hal 44-45

ia penuhi, kecuali adanya seorang mahram. Namun walaupun begitu, ia tetap


diwajibkan untuk berhijrah, walaupun tanpa didampingi oleh seorang mahram.
c. Ketika seorang wanita melakukan zina (dalam kondisi wanita tersebut belum
menikah/ghairu muhshon), sehingga dia dihukum dengan pengasingan (pengusiran),
sementara dia tidak mempunyai mahram.8
d. Ketika seorang wanita dijatuhkan sebuah tuduhan oleh seorang hakim, sehingga
mengharuskannya untuk datang, sementara dia tidak berada di situ ketika itu.9 Maka ia
boleh pergi menuju tempat tersebut tanpa didampingi oleh seorang mahram (apabila
memang ia tidak memiliki seorang mahram)

III.

Apa Maslahat dari Diwajibkannya Seorang Wanita Melakukan Safar


Bersama Seorang Mahram?

Maslahat dari hukum suatu perkara merupakan salah satu hal yang menarik untuk
dibahas. Namun yang perlu menjadi titik penting, hendaknya pembahasan tentang maslahat
suatu hukum didahulukan oleh status hukum itu sendiri. Sehingga tidak akan timbul sebuah
presepsi yang mengatakan bahwasanya mengamalkan suatu hukum syara adalah karena
maslahat dari hukum syara tersebut. Dan terlebih, Allah sendiri telah mengatakan bahwasanya
setiap hukum syara pasti terdapat maslahat di dalamnya, baik yang telah manusia ketahui
maupun yang tidak dan belum diketahui oleh manusia.
Islam sangat memuliakan seorang wanita. Hal inilah merupakan salah satu bukti islam
yang memuliakan kaum hawa. Dengan diwajibkannya seorang wanita melakukan safar
bersama seorang mahram, hal itu dapat menghindari hal-hal yang tidak dinginkan menimpa
seorang wanita, seperti pelecehan dan semacamnya. Telebih mengingat fakta kondisi
lingkungan kini yang marak akan terjadinya kekerasan, pencurian, pelecehan, dan lain
sebagainya. Apalagi pada faktanya, kini wanita menjadi sasaran empuk atas terjadinya semua
tragedi-tragedi tersebut. naudzu billaahi min dzalik-

IV. Kesimpulan
Seorang wanita boleh melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram,
apabila perjalanan yang ia tempuh tidak menghabiskan waktu lebih dari 24 jam. Dan apabila
keadaan lingkungan sedang tidak aman, wanita dianjurkan untuk sama sekali tidak melakukan
safar tanpa didampingi seorang mahram. Hal ini membuktikan bahwasanya islam sangat
melindungi kaum wanita.

8
9

Terjemahan Al-Muntaqa Min Faraid Al-Fawaid hal 44-45


Terjemahan Al-Muntaqa Min Faraid Al-Fawaid hal 44-45

Refrensi
al-Alim al-Jalil Atha bin Khalil Abu Rusythah, Ensiklopedi Jawab Soal Amir
Hizbut Tahrir, Al-Azhar Publishing, 2014.
Ibnu mandhur, Lisan al-Arab.
Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472.
Mujam Maqayis.
Muhsin Baharudin Blog, oleh: Muhsin, 20 Februari 2010.
Prof. Dr. Falih bin Muhammad bin Falih ash-Shughair, Safar, Definisi Dan
Hukumnya, IslamHouse.com, 2014.
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita Edisi Lengkap, 2011.
Terjemahan Al-Muntaqa Min Fara`id Al-Fawa`id hal. 44-45.

Tentang Penulis

Nama
TTL
Alamat
Kelas
Nama Orang Tua
Hobi
Cita-cita
Motto Hidup

: Salma Azizah Dzakiyyunnisa


: Bandung, 07 Februari 2000
: Jln. Pluto Utara II No.04, Komplek Margahayu Raya, Bandung
: kelas X SMA
: Ahmad Ponsen Sindu Prawito dan Yane Agustina Utami
: Menulis, Menghafalkan Quran, Menanam
: Mujtahidah dan Hafidzah
: Berani untuk bermimpi,
Berjuang untuk meraih,
Wujudkan segala asa yang terpatri,
untuk HIDUP MULIA atau MATI SYAHID

Anda mungkin juga menyukai