Disusun oleh:
Afifah Az-Zahra
Septi Cahyani
HIDAYATURRAHMAN
2019 M/1440 H
ABSTRAK
Hidayaturrahman berkenaan dengan hukum bersafar wanita tanpa mahram untuk menuntut ilmu
prespektif Madzhab Syafi‟i. Penelitian ini diajukan untuk memperkaya informasi terkait hukum-
hukum islam kontemporer yang merujuk pada dalil-dalil yang sahih dan sesuai dengan jalan para
salafus salih. Pembahasan dalam hal ini diuraikan secara rinci dan detail agar dapat dengan
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diambil dan diteliti .
Data dalam penelitian ini bersumber dari perpustakaan tertulis (library research), maka
pengumpulannya ialah dengan cara menelusuri kitab-kitab,buku ilmiah, dan referensi tertulis
lainnya yang berkaitan dengan hukum bersafar wanita tanpa mahram prespektif imam syafi‟i.
Dalam pembahasan ini kitab yang menjadi rujukan utama adalah kitab Fatwa-Fatwa tentang
Wanita, Fiqih sunnah, Sahih Fiqh as-Sunnah,dan kitab Kifayatul Akhyar. Sedangkan penelitian
tambahan diambil dari hasil skripsi, makalah, jurnal dan artikel yang berkaitan dengan
pembahasan.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa hukum bersafar wanita tanpa mahram untuk
menuntut ilmu mendapat rukhsah atau keringanan sehingga diperbolehkan dengan syarat
perjalanannya harus aman dan terjamin. Dari kesimpulan hukum dalam penelitian ini menjadi
bukti bahwa ilmu fiqih sangatlah elastis dan lentur sehingga dapat diterapkan sepanjang masa
PERSPEKTIF SYAFI’I
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, seseorang tertuntut menjadi pribadi yang lebih
cerdas baik dari segi wawasan intelektual, spiritual maupun sosial. Seiring dengan
perkembangan zaman, manusia juga harus menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga mampu
bersikap lebih bijak. Begitu pula dengan wanita, selain harus membekali diri dengan ilmu
kerumah tanggaan, ia juga tertuntut menjadi seseorang yang memiliki intelektual yang tinggi.
Karena wanita mengambil peran paling penting dalam mendidik anak-anaknya dan memiliki
pengaruh paling besar untuk masa depannya kelak. Berangkat dari realita tersebut, wanita
Sebagaimana yang telah diketahui, syari‟at islam mengharuskan wanita untuk bepergian
dengan didampingi mahramnya. Yang menjadi kendala saat ini adalah ketika para wanita
berkeinginan untuk menuntut ilmu namun sulit bepergian jauh karena tidak ada mahram yang
mendampinginya. Meskipun sebenarnya, para ulama juga berselisih pendapat tentang hukum
Maka berangkat dari permasalahan tersebut, makalah ini ditulis untuk membahas secara
lebih rinci hukum safar wanita tanpa mahram dengan alasan menuntut ilmu prespektif Imam
Syafi‟i
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Hukum Wanita yang Bersafar Tanpa Mahram untuk Menuntut Ilmu
C. Tujuan
Untuk Mengetahui Hukum Wanita yang Bersafar Tanpa Mahram untuk Menuntut Ilmu
D. Manfaat
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
Hidayaturrahman
b. Guna Memahami Lebih Rinci Hukum Safar Wanita Tanpa Mahram untuk Tujuan
Secara etimologi safar berasal dari bahasa arab yaitu Saafara-yusaafiru yang
artinya Berpergian.1 Bepergian jauh disebut safar, karena dengan safar akan menampakkan
wajah asli dan akhlak musafir tersebut.2 Secara istilah para Ulama mendefiniskan safar
dengan keluar dari negeri tempat bermukim menuju suatu tempat dengan jarak tempuh
tertentu yang membolehkan seseorang untuk mengqasar atau menjama‟ shalatnya.3 Adapun
dalam Shahih Fikih Sunnah disebutkan bahwa pengertian safar secara bahasa adalah
menempuh suatu jarak, kebalikan dari mukim. Secara istilah adalah seseorang yang keluar
dari daerahnya menuju suatu tempat dengan menempuh perjalanan pada jarak tertentu.4
Para ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai
safar. Ibnu al-Mundzir menyebutkan ada sekitar 20 pendapat tentang masalah ini.5 Imam
Taqiyuddin menyebutkan dalam Kifayatul Akhyar hendaknya safar tersebut jauh, yaitu
apabila menempuh jarak 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km.6 Ini adalah pendapat Ibnu
„Umar, Ibnu „Abbas, Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri,Malik , Al-Laits, Syafi‟i, Ahmad, Ishaq,
Adapun pendapat kedua yaitu mengatakan bahwa jarak minimal sebuah perjalanan
disebut safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta berkisar
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 635
2
Ibnu Mandhur, Lisan Al- „Arab, (Lebanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2009), jild. 4 hlm. 424
3
https://wahdah.or.id/fiqh-safarperjalanan-jauh-1/ diakses pada tanggal 13 maret 2019 jam 07:44
4
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid As-Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah, terj. Bangun Sarwo Aji Wibowo,
dkk, cet. Ke-5, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2015), jild. 1, hlm. 744
5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah terjemah, (Jakarta timur: al-I‟tisham, 2000 M)jilid. 1, Hlm. 417
6
Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Suriah: Maktabah Al-
Hidayah, tt), jiid 1, hl. 141
128 km). Ini adalah pendapat Ibnu Mas‟ud, Suwaid bin Ghaflah, asy-Sya‟bi, an-Nakha‟i,
Pendapat ketiga menyatakan bahwa tidak ada batasan untuk jarak safar. Hal
tersebut dikembalikan kepada „urf atau kebiasaan. Ini meruaka pendapat madzhab Dzahiri
dan yang dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah serta muridnya Ibnu Qayyim.7
Pendapat yang kuat, adalah pendapat yang ketiga yaitu tidak ada batasan untuk
jarak safar. Maka hal itu dikembalikan pada kebiasaan masing-masing orang. Dan tentu
transportasi.
Batasan dalam masalah ini adalah sesuai perkataan orang, “Aku akan melakukan
safar (perjalanan) ke daerah ini”, bukan “Aku ingin pergi.” Dan dalam hal ini harus
dianggap safar menurut kebiasaan orang seperti mempersiapkan bekal dan lainnya.8
Sedangkan dalam Fiqih Sunnah pendapat yang paling kuat dalam permasalahan ini
adalah hadits yang diriwayatkan Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Baihaqi dari Yahya bin
Yazid. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat. Ia
menjawab, „Rasulullah Salallahu Alaihi wa Salam mengerjakan shalat dua rakaat kalau
Keraguan mengenai masalah mil atau farsakh ini dapat dijawab dengan penjelasan
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa‟id Al-Khudri, “Apabila Rasulullah Salallahu Alaihi
wa Salam berpergian jauh satu farsakh, beliau mengqashar shalat.” ( Sa‟id bin Manshur
7
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid As-Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah, terj. Bangun Sarwo Aji Wibowo,
dkk, cet. Ke-5, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2015), jild. 1, hlm. 753-754
8
Ibid, hlm. 757
dan disebutkan Al-Hafidz dalam kitab At-Talkhish) Ia juga tidak memberikan komentar
Sebagaimana diketahui, satu farsakh sama dengan tiga mil. Jadi, hadits Abu Sa‟id
ini menghapus keraguan yang terdapat di hadits Anas. Selain itu, juga sebagai penegas
bahwa jarak paling dekat Rasulullah Salallahu Alaihi wa Salam mengqashar shalat adalah
tiga mil. Dan 1 farsakh = 5.541 meter, sedangkan 1 mil = 1.748 meter.9
Adapun pendapat yang penulis gunakan adalah pendapat pertama. Yaitu yang
mengatakan bahwa jarak perjalanan disebut safar jika telah mencapai 85 km.
1) Safar yang haram, yaitu safar untuk melakukan perkara yang Allah atau Rasul-
2) Safar wajib, yaitu safar untuk umrah yang wajib, atau untuk jihad yang wajib.
3) Safar sunnah, misalnya safar untuk umrah yang tidak wajib, safar untuk haji
4) Safar mubah, misalnya safar untuk perdagangan yang diperbolehkan dan setiap
5) Safar makruh, misalnya safarnya seseorang sendirian tanpa teman kecuali pada
1) Pengertian Mahram
9
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah terjemah, (Jakarta timur: al-I‟tisham, 2000 M), jilid. 1, Hlm. 417
10
Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Suriah: Maktabah Al-
Hidayah, tt), jiid 1, hlm. 141
Mahram secara etimologi berasal dari kata Harama-yuharimu haraaman wa mahraman
yang berarti semua orang yang haram dinikahi. Sedangkan menurut Imam Nawawi dalam
kitabnya Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, mahram adalah suami atau semua yang haram
menikahi wanita tersebut selamanya, baik karena hubungan nasab, persususan maupun karena
pernikahan.
2) Dasar Hukum
Landasan hukum tentang mahram terdapat dalam Qs. An-Nisa‟ ayat 22:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu,
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang laiki-laki tidak boleh menikahi mahramnya,
yaitu wanita yang telah dinikahi bapaknya atau kakeknya hingga ke atas baik dari jalur ayah
maupun dari jalur ibu, baik sudah dicampuri atau belum dicampuri. Dan apabila seorang laki-laki
menikahi wanita dengan akad yang sah, maka wanita tersebut haram menikah dengan anak
suaminya (menantu) atau cucu dari jalur anak laki-laki maupun perempuan. Para ulama
kemudian memberikan persyaratan kriteria mahram yaitu harus baligh dan berakal.
Yang dimaksud menuntut disini bukanlah makna menuntut pada umumnya tetapi
mempelajari atau mencari. Sedangkan Ilmu secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu „ilm
yang berarti memahami mengerti atau mengetahui. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan
tersebut.
Ilmu secara bahasa juga berarti kebalikan dari kebodohan, yaitu mengetahui sebagaimana
Pengertian ilmu pengetahuan menurut para ahli secara umum adalah seluruh usaha sadar
untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi
Maka menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah
tingkah laku dan perilaku kea rah yang lebih baik, karena pada dasarnya ilmu menunjukkan jalan
menuju kebenaran dan meninggalkan kebodohan. Dasar hukum menuntut ilmu disebutkan dalam
Maka dari dalil tersebut bisa kita simpulkan bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi wa Salam
mewajibkan setiap dari ummatnya untuk menuntut ilmu serta sangat melebihkan seseorang yang
berilmu daripada yang tidak berilmu. Menuntut ilmu juga menjadikan seseorang yang tidak tahu
menjadi tahu. Dari yang sekedar tahu menjadi mampu memahami kemudian menerapkan atau
Penelitian Terdahulu
(Ahmad fawaid:2014) Reinterpretasi konsep mahram dengan pendekatan teori hermeneutika,
yang menghasilkan kesimpulan bahwa larangan perempuan bersafar tanpa mahram baik
melaksanakan haji atau kepentingan lainnya bersifat temporal sesuai dengan standar keamanan.
mahram dengan pendekatan teori hermeneutika Paul Ricoecur, dengan mengkaji interpretasi
teks yaitu analisis data dengan proses semiologi struktural dan apropirasi. Menghasilkan
rangkuman arti mahram secara kontekstual, namun tidak melepaskan arti mahram secara
tekstual.
(Holilul rohman: 2017) Reinterpretasi konsep mahram dalam perjalanan perempuan prespektif
(Indri Yulianingsih:2018) Penyertaan Mahram bagi perempuan dalam Ibadah Haji dan Umrah.
Dengan menggunakan metode kualitatif yang mana datanya bersumber dari kpustakaan dan
mengumpulkan data dengan meneliti kitab Sunan Ibnu Majah dan dibantu kitab-kitab ilmu hadist
yang lain. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode takhrij, kritik sanad dan kritik
matan. Menghasilkan kesimpulan bahwa hadist bersafar tanpa mahram dapat di terima dan boleh
diamalkan karna statusnya hasan li dzatihi.Adapun hukum boleh tidaknya bersafar tanpa
mahram bagi wanita disimpulkan sesuai waktu dan kondisi wanita tersebut.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, hukum asal safar wanita tanpa
ال يحل إلهرأة تؤهن باهلل واليىم األخر أن تسافر هسيرة يىم و ليلة ليس هعها حرهة
“Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah Ta‟ala dan hari akhir
melakukan safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertai).”
Pada jurnal kali ini, penulis menspesifikkan pembahasan hukum safar tanpa mahram menurut
pendapat Imam Syafi‟I dan ulama-ulama madzhabnya. Merujuk dari berbagai kitab induk milik
madzhab Syafi‟I dapat disimpulkan bahwa madzhab Syafi‟I mengambil pendapat diperbolehkan
bagi seorang wanita bersafar tanpa mahram.11 Sebab mahram bukanlah syarat wajib dalam safar.
Para ulama Imam Syafi‟I berpendapat, diperbolehkan seorang wanita bersafar tanpa mahram
untuk ibadah yang wajib bersama rombongan wanita sehingga terjamin perjalanannya. Bahkan
al-Karbasyi, salah satu ulama madzhab Syaf‟I berpendapat bahwa tidak mengapa seorang wanita
11
Abi Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syafar an-Nawawi, Raudhah at-Thalibin, cet. 4, (Beirut, Lebanon:
Daar al-Kotob al-Ilmiyyah, 2013) jilid. 2, hlm. 284
bersafar untuk haji tanpa didampingi mahram maupun wanita yang lainnya selagi diyakini
perjalanannya aman.12
Syari‟at islam telah mengatur dengan sempurna segala bentuk persoalan manusia dari
berbagai aspek. Hukum asal wanita safar tanpa mahram adalah haram. Hal ini sebagai bentuk
penghormatan dan penjagaan Allah kepada hamba-Nya terkhusus bagi wanita. Namun seiring
tuntutan zaman yang mengharuskan seorang wanita membekali diri dengan ilmu yang mumpuni
juga menyadari sangat pentingnya ilmu syar‟I hari ini, Allah dengan segenap rahmat-Nya
memberikan rukhsah atau keringanan bagi seorang wanita yang hendak bersafar untuk tujuan
menunutut ilmu meskipun tanpa mahram. Selagi wanita tersebut mampu bersafar secara
proposional, dalam artian dapat menjaga adab, aurat dan memberi pengaruh baik dalam safarnya
12
Abi Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syafar an-Nawawi, Raudhah….., hlm. 19
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hukum asal safar wanita tanpa mahram adalah haram atau tidak diperbolehkan. Hal ini
sebagai bentuk penghormatan dan penjagaan Allah kepada hamba-Nya terkhusus bagi wanita.
Adapun para ulama Imam Syafi‟i berpendapat, diperbolehkan seorang wanita bersafar tanpa
mahram untuk ibadah yang wajib bersama rombongan wanita sehingga terjamin perjalanannya.
Sedangkan menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Rasulullah Shalallahu „alaihi wa
sallam bersabda,
َ ٌب ا ْل ِع ْل ِم فَ ِريضَة
ْ علَى ُك ِّل ُم
س ِلم َ
ُ َط ل
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh
Maka berangkat dari hal ini dan seiring dengan tuntutan zaman yang mengharuskan
seorang wanita untuk mebekali dirinya dengan ilmu yang mempuni juga menyadari sangat
pentingnya ilmu syar‟i hari ini, Allah Subhanalllahu wa Ta‟ala memberikan rukhshah atau
keringanan bagi seorang wanita yang hendak bersafar dengan tujuan menuntut ilmu meskipun
tanpa mahram. Selagi wanita tersebut mampu bersafar secara proposional, dalam artian dapat
menjaga adab, aurat, dan memberi pengaruh yang positif dalam safarnya. Wallahu a‟lam
bishshawab.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa jurnal yang kami susun masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Harapan ke depan semoga ada penulis lain yang dapat membahas permasalahan ini
Al-Qur‟an al-Karim
As-Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. Shahih Fiqh As-Sunnah, terj. Bangun Sarwo Aji
Wibowo, dkk, cet. Ke-5, Jakarta: Pustaka Azzam, 2015 M
Al-Husaini, Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayatul Akhyar, Suriah: Maktabah
Al-Hidayah, tt
an-Nawawi, Abi Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syafar. Raudhah at-Thalibin, cet. 4, Beirut,
Lebanon: Daar al-Kotob al-Ilmiyyah, 2013 M