Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Disusun Oleh:
Siti Qomariyah
2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
Dakwah merupakan suatu aktifitas yang mulia yang menjadi kewajiban bagi setiap
muslim, dengan tujuan memberikan segala informasi mengenai Islam dan mengajak
orang lain agar bersedia melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan nilai-nilai
Islam.
Artinya: "Dan hendaklah ada diantara kalian kamu segolongan umat yang menyeru
pada kebajikan, menyuruh kepada ma'ruf dan mencegah pada yang munkar, mereka
itulah orang-orang yang beruntung". (ali-Imran" 104).
Islam sebagai sebuah ajaran llahiyah yang berisi tata nilai kehidupan hanya
akan menjadi sebuah konsep yang melangit jika teraplikasikan dalam kehidupan
nyata. Masyarakat akan tenggelam dalam kesesatan dan tetap dalam kegelapan jika
tidak tersinari oleh cahaya keislaman. Manusia akan hidup dalam kebingungan dan
kebimbangan jikalau hidup tanpa pegangan yang kokoh dengan ajaran Allah. Maka
dakwah mutlak diperlukan sebagai suatu ikhtiar untuk menyebarkan ajaran Islam di
tengah masyarakat agar tercipta individu (khairul bariyyah), keluarga (usrah), dan
masyarakat (jama'ah) yang menjadikannya sebagai pola pikir (way of thinking) dan
pola hidup (way of life) agar tercapai bahagia dunia dan akhirat.
Umat Islam mempunyai peran yang sangat penting sebagai pelaku yang harus
menyebarkan dan menumbuhkan benih-benih amar ma'ruf itu di tengah-tengah
pergaulan hidup masyarakat. Usaha untuk menyebarluaskan Islam, serta
merealisasikan ajarannya di tengah-tengah kehidupan manusia adalah sebagian dari
usaha dakwah yang di laksanakan dalam keadaan apapun dan bagaimanapun harus
dilaksanakan oleh umat Islam. Untuk mempermudahkan dakwah Islam biasanya
dibentuk suatu organisasi atau lembaga yang merupakan sebuah kekuatan umat yang
disusun dalam satu kesatuan berupa bentuk persatuan mental dan spiritual serta fisik
material di bawah komandan pimpinan sehingga dapat melakasanakan tugas lebih
mudah, terarah dan jelas motifasinya serta jelas arah dan tujuannya sehingga dapat
mengetahui tahapan-tahapan yang harus dilaluinya
Pilang adalah desa yang dikenal dengan desa batik, juga dikenal sebagai desa
pusat keislaman di kawasan Masaran, sebelum adanya ma’had aly hidayaturrahman
seluruh masyarakat desa Pilang selalu dihantui rasa takut saat melewati area Pondok
yang konon dulunya hanya kebun pekarangan samping pemakaman yang ditumbuhi
1 http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28028/1/NIA%20NAJIAH-FDK.pdf
rerumputan yang menjulang langit, di daerah ini akan ramai jika ada acara
pemakaman saja, dan bisa dikatakan desa ini seprti desa mati karena terlalu lenggang
dari aktifitas warga terlebih sangat minim dari yang namanaya kajian, tetapi semenjak
ma’had aly di dirikan, kehadiran mahad aly di desa Pilang telah menjadi lembaga
tafaqquhfiddin yaitu tempat mendalami agama, yang sekaligus menjadi lembaga
pendidikan masyarakat yang memberikan siraman keagamaan bak memberi penerang
dan menjadi bibit merebaknya kajian-kajian ilmu di segala kalangan terkhusus para
ibu.
Karena hal-hal diatas, penulis tertarik sekali untuk melakukan penelitian ilmiah yang
akan memaparkan dan menjelaskan tentang keeksistensian ma’had aly
Hidayaturrahman dan oleh karena itu jurnal ini mengangkat judul:
Eksistensi Ma’had Aly Hidayaturrahman dalam Membina Ta’lim Ibu-ibu Desa Pilang
B. Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengentahui
keeksistensian Ma’had Aly Hidayaturrahman, pengaruh pembinaan ta’lim dan
pengaplikasiannya terhadap kehidupan ibu-ibu desa Pilang.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis:
a. Mampu menambah khasanah pengetahuan berkaitan dengan ilmu
komunikasi
b. Penelitian ini menambah bacaan di perpustakaan Ma’had Aly
Hidayaturrahman.
2. manfaat Praktis :
a. Menjadi acuan bagi masyarakat dan Ma’had Aly sebagai bahan
evaluasi dalam membangun komunikasi yang lebih baik dengan
masyarakat pada umumnya, khususnya warga desa pilang.
b. Menjadi salah satu syarat untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia
E. Tinjauan pustaka
Maksud dari tinjauan pustaka ini adalah untuk membedakan perbedaan
anatara penelitian satu dengan yang lainnya, agar kebenaran penelitian dapat
dipertanggung jawabkan serta terhindar dari duplikatif. Berdasarkan
pengamatan peneliti, sampai saat ini belum ada penelitian yang secara khusus
dan lengkap membahas tentang eksistensi Ma’had Aly Hidayaturrahman
dalam membina ta’lim ibu-ibu desa Pilang. Untuk mendukung penelitian ini,
maka penulis mengambil beberapa skripsi, sebagai bahan pertimbangan untuk
membedakan penelitian yang telah ada. Adapun beberapa skripsi tersebut
adalah:
Pertama, skripsi yang berjudul´”Peran Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam
Mengembangkan Dakwah di Desa Kananga Menes Pandeglang Banten” oleh
Nia Najiah jurusan komunikasi dan penyiaran islam NIM : 108051000138
penulis menggambarkan aktifitas pondok pesantren Al-Ishlah yang berperan
dalam mendirikan mejelis ta'lim yang tersebar dibeberapa daerah, mendirikan
pengajian untuk remaja, dan dari pengembangan dakwahnya membudayakan
busana muslim, dan menanamkan semangat untuk mengikuti ketrampilan
yang ada di pondok pesantren Al Ishlah, jadi dalam skripsi ini tidak
membahas bentuk pembinaan talim kepada ibu-ibu secara khusus.
A. Majelis Ta’lim
Istilah majelis ta’lim berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua suku kata yaitu
majelis yang berarti tempat duduk dan ta’lim yang artinya belajar. Dengan demikian,
secara bahasa yang dimaksud majelis ta’lim adalah tempat belajar. Adapun secara
istilah, majelis ta’lim adalah sebuah lembaga pendidikan nonformal yang memiliki
jamaah dengan jumlah yang relatif banyak, usia yang heterogen, memiliki kurikulum
berbasis keagamaan dan waktu yang fleksibel sesuai kebutuhan jamaah.
Selain itu ada beberapan tokoh yang memaparkan pengertian majelis ta’lim. Muhsin
menyatakan bahwa majelis ta’lim adalah tempat atau lembaga pendidikan, pelatihan,
dan kegiatan belajar mengajar dalam mempelajari, mendalami, dan memahami ilmu
pengetahuan agama Islam dan sebagai wadah dalam melaksanakan berbagai kegiatan
yang memberikan kemaslahatan kepada jamaah dan masyarakat sekitarnya.
Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa majelis ta’lim
adalah suatu tempat kegiatan transfer ilmu agama Islam dari mu’allim kepada
muta’allim yang dilakukan secara rutin untuk menambah pengetahuan keagamaan,
memperkuat iman, dan menanamkan akhlak mulia sehingga mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
1) Mu’allim dalam kegiatan majelis ta’lim tidak boleh pilih kasih, sayang kepada
yang bodoh, berperilaku baik dalam mengajar, bersikap lembut, memberi pengertian
dan pemahaman, serta menjelaskan dengan menggunakan atau mendahulukan nash
tidak dengan ra’yu kecuali bila diperlukan.
Mu’allim senantiasa berlaku baik, tidak suka menyiksa fisik, balas dendam,
membenci, dan mencaci murid.
Wahidin juga menyebutkan karakteristik mu’allim, yaitu lemah lembut, toleransi, dan
santun; memberi kemudahan dan membuang kesulitan; memerhatikan sunah tahapan;
kembali pada Al-Quran dan Sunnah dan bukan kepada fanatisme mazhab;
menyesuaikan dengan bahasa jamaah; serta memperhatikan adab dakwah.
b. Muta’allim (murid yang menerima pelajaran) atau biasa disebut dengan jamaah
majelis ta’lim.
Materi dalam majelis ta’lim berisi tentang ajaran Islam. Oleh karena itu, materi atau
bahan pengajarannya berupa: tauhid, tafsir, fiqh, hadits, akhlak, tarikh Islam, ataupun
masalah-masalah kehidupan yang ditinjau dari aspek ajaran Islam. Penjelasan dari
masing-masing teori adalah sebagai berikut:
1) Tauhid adalah ilmu yang mempelajari tentang keesaan Allah SWT dalam
mencipta, menguasai, dan mengatur alam raya ini.
3) Fiqh, isi materinya meliputi shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Selain itu, juga
dibahas hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman sehari-hari, meliputi pengertian
wajib, sunnah, halal, haram, makruh, dan mubah.
Tarikh adalah sejarah hidup para Nabi dan para sahabat khususnya sahabat Nabi
Muhammad.
Masalah-masalah kehidupan yang ditinjau dari aspek ajaran Islam merupakan tema
yang langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang kesemuanya juga
dikaitkan dengan agama, artinya dalam menyampaikan materi tersebut berdasarkan
alQuran dan hadits.
Tuti Amaliyah juga menyebutkan materi-materi yang dikaji di dalam majelis ta’lim.
Menurutnya, kategori pengajian itu diklasifikasikan menjadi lima bagian: 1) Majelis
ta’lim tidak mengajarkan secara rutin tetapi hanya sebagai tempat berkumpul,
membaca sholawat, berjamaah, dan sesekali pengurus majelis ta’lim mengundang
seorang guru untuk berceramah.
2) Majelis ta’lim yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan dasar ajaran
agama seperti membaca al-Quran dan penerangan fiqh.
3) Majelis ta’lim yang mengajarkan tentang fiqh, tauhid, akhlak yang diajarkan dalam
pidato mubaligh yang kadang-kadang disertai dengan tanya jawab.
4) Majelis ta’lim seperti nomor 3, yang disertai dengan penggunaan kitab sebagai
pegangan, ditambah dengan ceramah.
3. Metode Penyajian Majelis Ta’lim Salah satu faktor yang membuat keberhasilan
dalam majelis ta’lim adalah metode yang digunakan mu’allim dalam menyampaikan
materi kajian. Adapun metode penyajian majelis ta’lim yaitu:
a. Metode ceramah
Ada dua macam metode ceramah dalam majelis ta’lim. Pertama, ceramah umum, di
mana mu’allim bertindak aktif dengan memberikan pelajaran, sedangkan pesertanya
berperan pasif hanya mendengarkan atau menerima materi yang disampaikan. Kedua,
ceramah terbatas, di mana biasanya terdapat kesempatan untuk bertanya jawab. Jadi,
antara mu’allim dengan jamaah dama-sama aktif.
Metode halaqah
Dalam hal ini mu’allim memberikan pelajaran biasanya dengan memegang suatu
kitab tertentu. Jamaah mendengarkan keterangan mu’allim sambil menyimak kitab
yang sama atau melihat ke papan tulis di mana pengajar menuliskan hal-hal yang
disampaikannya. Bedanya dengan metode ceramah terbatas adalah dalam metode
halaqah peranan mu’allim sebagai pembimbing jauh lebih menonjol karena mu’allim
seringkali harus mengulang-ulang sesuatu bacaan dengan ditirukan oleh jamaah serta
membetulkan bacaan yang salah.
Metode mudzakarah
Metode ini dilaksanakan dengan cara tukar menukar pendapat atau diskusi mengenai
suatu masalah yang telah disepakati untuk dibahas. Dalam metode ini, mu’allim
seolah-olah tidak ada, karena semua jamaah biasanya terdiri dari orang-orang yang
pengetahuan agamanya setaraf atau jamaahnya terdiri dari pada ulama. Namun
demikian, peserta awam biasanya diberi kesempatan.
Metode campuran
21 Dalam hal ini berarti satu majelis ta’lim menyelenggarakan kegiatan pendidikan
atau pengajian tidak dengan satu macam metode saja, melainkan dengan berbagai
metode secara berselang-seling
4. Manfaat dan Tujuan Majelis Ta’lim Majelis ta’lim sebagai lembaga pendidikan
nonformal memiliki beberapa fungsi, di antaranya:
e. Fungsi seni dan budaya, yakni sebagai tempat pengembangan seni dan budaya
Islam;
Adapun tujuan majelis ta’lim, meliputi tujuan pendidikan dan tujuan pengajaran.
Tujuan pendidikan majelis ta’lim adalah sebagai berikut:
b. Jamaah dapat memahami serta mengamalkan dienul Islam dengan segala aspeknya
dengan benar dan proporsional;
Dari beberapa fungsi dan tujuan adanya majelis ta’lim tersebut, dapat dikatakan
bahwasanya majelis ta’lim merupakan salah satu lembaga yang dapat memberikan
pendidikan karakter bagi para jamaahnya. Seperti yang telah diuraikan, bahwa tujuan
penyampaian pendidikan di majelis ta’lim di antaranya yaitu sebagian besar pada
aspek pengetahuan keagamaan (rohani) dan aspek pengetahuan umum (akal), serta
sebagian kecil sekali ditujukan pada aspek ketrampilan. Oleh karena itu, Helmawati
menyimpulkan bahwa tujuan dari majelis ta’lim yaitu agar jamaah memiliki karakter
beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan.2
Ma’had Aly merupakan salah satu bentuk usaha pelembagaan tradisi akademik
pesantren, yang dilakukan sekitar dua dekade yang lalu. Cikal bakal pelembagaan ini
adalah program-program kajian takhassus yang sudah berkembang berpuluh-puluh
tahun di lingkungan pesantren. Pembentukan Ma’had Aly dilatarbelakangi oleh
kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pendidikan pesantren tingkat tinggi yang
mampu melahirkan ulama di tengah-tengah kamajuan dunia ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini. Disamping mempertahankan tradisi keilmuan yang sudah
menjadi ciri khas pesantren bertahun-tahun, Ma’had Aly juga berusaha melakukan
pembaharuan dalam kurikulum dan metodologi pengajaran.
Kualitas dan kuantitas mahasantri dalam sebuah pesantren mempunyai peran besar
terhadap nilai pesantren. Semakin banyak mahasantri yang dimiliki dan semakin
beragam daerah asal mahasantri, maka nilai pesantren akan semakin lebih tinggi,
karena kemahsyuran sebuah pesantren dapat dilihat dari kondisi objektif santrinya.[3]
Oleh karena itu studi terhadap mahasantri akan difokuskan pada daerah asal daerah
mahasantri, latar belakang pendidikan keluarga, serta kemampuan ekonomi
mahasantri, serta perkembangan kuantitas mahasantri.
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri.
Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang digunakan
untuk asrama para santri. Di samping itu kata “pondok” berasal dari kata “funduq”
yang berarti hotel atau asrama.
Kata ma’had aly secara etimologi berarti pesantren tinggi atau dengan kata lain
setingkat dengan perguruan tinggi. Munculnya Ma’had Aly dilatar belakangi oleh
langkanya pendidikan formal yang secara khusus mencetak ulama dalam masyarakat
yang sedang mengalami perubahan, meskipun banyak perguruan tinggi Islam.
Secara historis eksistensi ma’had ‘aly di Indonesia pada awalnya muncul dari
beberapa pesantren terutama di Jawa, sebagai upaya pengembangan dari program
takhasshush yang merupakan jenjang pendidikan tingkat tinggi dalam tradisi
pendidikan pondok pesantren khususnya yang mempertahankan sistem klasik dengan
orientasi pengkaderan ulama, melalui jenjang takhasshush inilah dibina para kader
ulama (biasa disebut kiai) yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan bidang
spesialisasi keilmuan yang diprogramkan. Secara umum, meskipun institusi
takhasshush ini bersifat non formal dan tidak pernah pengelolanya berurusan dengan
pemerintah untuk mendapat pengakuan dan penyetaraan secara formal namun dari
segi efektifitas dapat dikatakan berhasil dan kualitas luarannya dapat diunggulkan.
Siapa yang lebih mendalam penguasaan ilmu-ilmu fiqih beserta segenap ilmu-ilmu
alatnya (bahasa arab, ilmu tafsir, musthalah hadis, dsb) antara seorang alumni
takhasshush fiqih dari sebuah pondok pesantren misalnya, dengan seorang luaran S1
dari fakultas syari’ah suatu perguruan tinggi agama Islam yang formal di negeri ini
baik negeri maupun swasta. Padahal, rumusan misi dan tujuan kedua lembaga di atas
bisa dipastikan sama atau -paling tidak- hampir sama atau mirip-mirip. Mengapa hal
itu bisa terjadi? Banyak faktor yang terkait; namun yang paling mendasar adalah
persoalan penerjemahan orientasi pendidikan dalam tataran operasionalnya, yang bila
lebih dijabarkan akan tercakup dengan sendirinya persoalan kurikulum, metodologi,
pendidik/pengajar, anak didik/anak ajar, lingkungan dan sebagainya.
Memperhatikan efektifitas program takhasshush atau ma’had ‘aly di satu sisi dalam
upaya mencapai misi pendidikannya, dan menyadari fenomena dis-orientasi yang
terjadi secara umum pada PTAI pada sisi yang lain, sudah kurang lebih satu dekade
terakhir DEPAG RI melalui Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren
(Ditpekepontren) secara serius memelopori upaya pengembangan ma’had ‘aliy yang
ada di pesantren, menjadikannya sebagai suatu institusi formal dan menyetarakannya
dengan perguruan tinggi Islam (PTAI) yang ada, akan tetapi pola pendidikan dan
tradisi kesarjanaan kepesantrenan tetap dipertahankan, orientasinya jelas ialah
menghasilkan para ulama yang selain memiliki potensi karismatik dan kepemimpinan
tentu berbekal penguasaan ilmu-ilmu Islam yang memadai dan secara khusus
memiliki satu bidang spesialisasi yang menjadi area kompetensi keilmuannya.
Menuru t Direktur Pekapontren DEPAG RI, DR. H. Amin Haedari, MA, ditargetkan
perangkat-perangkat aturan tentang perguruan tinggi ma’had ‘aly bisa rampung
paling lambat tahun 2007 dan akan diadakan launching ma’had ‘aly secara nasional
sebagai sebuah bentuk perguruan tinggi Islam resmi, sejajar dengan perguruan tinggi
Islam lainnya namun tetap dengan karakter khas-nya. Adanya konsep ma’had ‘aliy
yang tengah dikembangkan oleh DEPAG RI sebagai perguruan tinggi khas untuk
kaderisasi ulama (bukan cendekiawan) inilah yang kemudian dipandang oleh para
pimpinan lembaga WI dan kalangan asatidzah (dosen STIBA) sangat relevan dengan
plat-form gerakan dakwah WI yang didasari oleh manhaj Salaf yang salah satu
prinsipnya adalah “al-‘ilm qabla al-qaul wa al-’amal” (berilmu sebelum berkata dan
berbuat). Dalam konteks gerakan dakwah, prinsip tersebut mengharuskan keberadaan
orang-orang memiliki penguasaan ilmu (syar’i) yang mendalam (minimal memadai)
sebagai ikon utama dalam usaha dakwah menuju pencapaian tujuan-tujuannya.
Pondok pesantren dalam arti sudah mampu melaksanakan pendidikan diniyah pada
jenjang pendidikan tinggi, maka pemerintah mengeluarkan peraturan dalam peraturan
pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 pasal 20 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan
diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik
dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi”.
Melihat dari isi peraturan pemerintah tersebut jelas bahwa pemerintah telah
memberikan wewenang kepada pesantren untuk melaksanakan pendidikan Ma’had
Aly sebagai jenjang pendidikan tinggi. Dengan beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi untuk bisa mendirikan Ma’had Aly atau paling tidak terakreditasi B+ atau
A, yang menjadi standaritas pemerintah dalam memberikan izin kepada pesantren
untuk bisa mendirikan Ma’had Aly tersebut.
Berdasarkan dari pemikiran di atas pesantren saat ini sedang dan akan mengambil
langkah strategis dengan membentuk program pendidikan pasca santri. Program ini
merupakan jenjang pendidikan lanjutan bagi para santri yang telah menyelesaikan
pendidikannya (dalam waktu tertentu) di pesantren. Dalam istilah pesantren program
ini disebut ma’had aly.
Ma’had aly dibentuk dalam rangka mempersiapkan kader-kader ulama yang memiliki
integritas ilmiah, amaliyah, dan khuluqiyyah yang berkualitas dan memiliki keadilan,
kesetaraan, keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, dan kerakyatan. Ma’had aly
berdasarkan Ahlus Sunnah Waljama’ah dengan dasar Islam dimaksudkan bahwa
Ma’had aly diadakan, diselenggarakan, dan dikembangkan berangkat (point of
depture) dari ajaran Islam, proses pengelolaannya secara Islami dan menuju apa yang
diidealkan oleh pendidikan yang Islami.
1. Dasar
Ma’had Aly berdasarkan Islam dan Pancasila. Dengan Islam dimaksudkan bahwa
Ma’had Aly diadakan, diselenggarakan dan dikembangkan berangkat dari ajaran
Islam, dilaksanakan proses pengelolaannya secara Islami dan menuju apa yang
diedialkan oleh model-model pendidikan yang Islami, dan dengan Pancasila
dimaksudkan bahwa Ma’had Aly diselenggarakan, dikembangkan dan diamalkan
dalam wacana Pancasila sebagai landasan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
bagi seluruh warga Negara Indonesia.
2. Visi
Visi Ma’had Aly dalam abad 21 ini adalah menjadi salah satu pusat studi Islam di
Indonesia. Diyakini sepenuhnya bahwa budaya, karya-karya ulama, cendikiawan dan
ilmuan-ilmuan muslim Indonesia mampu menjadi sumber kajian Islam mengiringi
pusat-pusat kajian Islam dari Timur Tengah, Eropa, Amerika dan Negara-negara lain
yang juga menyimpan sumber-sumber akademik ajaran Islam.
3. Misi
Sesuai dengan visi di atas, maka misi Ma’had Aly adalah Pertama: mengadakan
kajian Islam secara Kaffah, dan komprehensip atau holistik agar bangsa dan negara
Indonesia mampu menghadapi tantangan zamannya atau mampu hidup terhormat
dalam tatanan kehidupan internasional modern tanpa kehilangan jati dirinya. Kedua,
Ma’had Aly rnengembangkan sistem Pondok Pesantren yang mampu menjadi sumber
pengembangan IPTEKS (ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni) lengkap
pemanfaatannya dalam bingkai ajaran Islam. Melalui misi kedua ini, diharapkan
Ma’had Aly dapat memberikan sumbangan yang substansial dan konstruktif bagi
bangsa dan negara Indonesia secara terus-menerus mencari penyempurnaan Sistem
Pendidikan Nasionalnya.
4. Operasional
Seiring dengan tantangan kehidupan dalam era globalisasi dengan persaingan yang
keras dan dinamika yang tinggi, maka orientasi Ma’had Aly dalam abad ke-21 ini
tidak lain kecuali harus berorientasi pada mutu, kebenaran dan kebaikan bagi seluruh
kepentingan bangsa dan negara serta agama sebagai konsekuensi logis bahwa Islam
adalah rahmatan lil ‘alamin. Orientasi ini dimaksudkan untuk mengatasi
kecenderungan akhir-akhir ini di mana nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia
terasa amat terpuruk dan jauh dari nilai Islami.
5. Tujuan
a. Menyiapkan dan mengantarkan mahasantri menjadi ulama yang memiliki sifat-
sifat sebagaimana dicontohkan Rosulullah (siddiq, amanah, tabligh dan fathonah).
6. Fungsi
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Bogdan
dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang
menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-
A. Metode Penelitian
B. Tipe Penelitian
Tipe penilitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif.
Metode penelitian deskriptif adalah salah satu metode penelitian yang banyak
digunakan pada penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan suatu kejadian.
Seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2011), penelitian deskriptif adalah
sebuah penelitian yang bertujuan untuk memberikan atau menjabarkan suatu
keadaan atau fenomena yang terjadi saat ini dengan menggunakan prosedur
ilmiah untuk menjawab masalah secara aktual. Maka metode penelitan deskriptif
adalah sebuah metode yang digunakan untuk mendeskripsikan,
menginterpretasikan sesuatu fenomena, misalnya kondisi atau hubungan yang
ada, pendapat yang berkembang dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk
menjawab masalah secara aktual. Dengan demikian, peneliti beranggapan bahwa
metode penelitian deskriptif sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh
peneliti.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dalam skripsi ini adalah ibu-ibu desa Pilang RT 08
Penentuan Informan
2. Subjek masih terikat penuh serta aktif pada lingkungan dan kegiatan yang
sasaran penelitian.
Penentuan informan dalam penelitian ini dengan beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Informan Formal: ibu-ibu desa pilang yang ikut serta dalam majelis ta’lim
yang diisi oleh mahasantri hidayaturrahman sebanyak 5 orang.
F. Sumber Data
Sumber data yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari
lapangan. Data ini dapat diperoleh melalui pengamatan langsung maupun
hasil wawancara kepada informan berdasarkan pedoman wawancara yang
dibuat oleh peneliti.
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini didapat melalui peninggalan tertulis yang
dilakukan dengan cara membaca buku-buku literatur, dokumen, dan tulisan
yang dianggap peneliti berkenan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
1. Data Primer
Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari informan penelitian,
berupa hasil wawancara, data primer akan menjadi sumber data utama dalam
penelitian. Dalam mendapatkan data primer, dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a) Wawancara;
b) Observasi;
2. Data Sekunder
Data Sekunder merupakan data yang mendukung data primer. Data yang
ditambahkan atau pelengkap yang bisa didapat dari studi pustaka dan
literaturliteratur yang berkaitan dengan penelitian.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menguraikan respon per kategorinya
memilih mana yang penting dan yang akan diperbaiki, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain.4
1. Profil
Ma’had Aly Putri Hidayaturraman yang terletak di desa Pilang, Masaran, Sragen,
Jawa Tengah ini berdiri pada tahun 2005 M, dengan nama PGSD Hidayaturrahman
dengan masa pendidikan 2 tahun. Karena besarnya kebutuhan masyarakat secara
umum akan ulumuddin, terlebih dari kalangan wanita, maka pada tahun 2011 M
PGSD Hidayaturrahman bermetamorfosis menjadi Ma’had Aly Putri
Hidayaturrahman, dengan masa pendidikan 3 tahun, atau 6 semester. Lembaga
Sebagai lembaga tinggi islam dengan system asrama, ma’had ‘aly putri
hidayaturrahman merupakan “pusat kajian” dan pengembangan ilmu keislaman untuk
mewujudkan tenaga pengajar dan da’iyyah yang terampil dalam penguasaan ilmu
fiqih dan ushul fiqih.
Desa Pilang Masaran Sragen terletak di antara kaki Gunung Lawu dan Merapi
Merbabu, secara topografis terbelah pleh Sungai Bengawan Solo yang berdampak
pada perbedaan karakter masing-masing wilayah. Desa Pilang mempunyai letak
geografis yang unik, yakni berada di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Jarak
dari Pusat Kota Sragen ekitar 13 kiometer, jarak tempuh tersebut didukung oleh
infrasruktur yang baik, dan sebagai mana wilayah di Kabupaten Sragen lainnya,
untuk menuju Desa Pilang pengunjung akan disuguhi areal persawahan yang luas dan
subur.
Desa Pilang terletak di sebelah utara ibu kota Kecamatan Masaran dengan
jarak 14 km dengan batas wilayah desa yakni sebelah barat berbatasan dengan
wilayah Kecamatan Plupuh, sebelah timur dengan Desa Pring Anom, sebelah utara
Kondisi tanah di Desa Pilang pada dataran renah dan sebagian persawahan
tadah hujan. Luas wilayah Desa Pilang 1.691.070 ha, Penggunaan lahan terdiri dari :
Tanah sawah sekitar : 163.000ha, tanah kering sekitar 774.035 ha, dan tanah
pekarangan maupun bangunan sekitar 754.035ha, (data Desa Pilang 2014)
Desa Pilang berada pada ketinggian 100 M dari permukaan air laut, Curah
hujan rata-rata 24,25 mm perbulan dengan suhu udara rata-rata 27-29 derajat Celsius.
Musim penghujan terjadi pada rentang Bulan Oktober sampai Bulan April, sedangkan
musim kemarau berlangsung pada rentang Bulan Mei sampai dengan Bulan
September.
Dari aspek pemerintahan, Desa Pilang dipimpin oleh Kepala Desa dengan
didampingi oleh 11 orang pamong desa, yang didukung oleh 3 daerah kebayanan dan
7 dukuh dengan jumlah Rukun Tetangga sekitar 37, serta memiliki perangkat
pendukung BPD sebanyak 11 orang. (2014: Desa Pilang diolah). Jumlah penduduk
yag terdata di Kantor pemerintahan desa sebanyak 4.487 jiwa, yang terdiri dari
pendududk laki-laki 2.195 dan perempuan 2.292 jiwa, terhimpun dalam 1.265 KK.
Dari aspek Pendidikan sebanyak 1284 lulus SD, 1072 lulus SLTP, 572 lulus SLTA,
dan lulusan PT sekitar 89. Sedangkan dari aspek agama yang dianut mayoritas
beragama islam, dimana yang beragama katholik sebanyak 6 orang, Protestan
sebanyak 14 orang serta bergama Hindu sebanyak 5 orang. Berdasarkan jenis mata
pencaharian mayoritas petani (511) dan buruh tani (341, selanjutnya adalah dengan
profesi pedagang (275) PNS (65) Swasta (59) dan lainnya merupakan pekerja dengan
ragam profesi seperti Polisi/ TNI, Penjahit, Montir, Sopir, Tukang kayu/batu, guru
dan Pemulung.6
6http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5894/2/PROS_Solichul%20Hadi%20Ab%2C%20M
uladi%20W_Pengembangan%20Potensi%20Desa_fulltext.pdf, pada tanggal 3 Mei 2019 pukul 23:35
C. Respon positif masyarakat desa Pilang terhadap pembinaan ta’lim yang
dilakukan ma’had aly
a. Diisi oleh tamu kehormatan
Berdasarkan wawancara dari ibu widiyati, 40 tahun “saya semangat ikut
ta’lim Karena sudah menjadi rutinitas sejak dulu, dan longgarnya sabtu
siang, pokonya habis dhuhur, karena bos-bos batik kalo sabtu sore gaji
karyawan. Yang saya dapatkan dari ta’lim yang diisi oleh mba-mba
Pondok saya rutin baca al-kahfi setiap malam jum’at, dan lebih menjaga
silaturahmi anatar tetangga. Saya antusian mendengarkan kajian yang
diisi oleh mba-mba Pondok biar kenal, bisa berbagi pengalaman,
istilahnya kita kedatangan tamu kehormatan dari daerah lain”.
b. Dari segi keilmuan lebih unggul
Berdasarkan wawancara dari ibu Asih, 26 tahun ” “saya semangat ikut
ta’lim buat menambah ilmu, biar g sekedar arisan sama ngobrol biasa
jadi kan lebih manfaat, lagian cuman dua minggu sekali jadi g ada
salahnya disempet-sempetin, kumpul-kumpul dengan tetangga juga. Yang
saya dapatkan dari ta’lim yang diisi oleh mba-mba Pondok kemarin saya
dapat materi karakteristik pasangan ternyata memang antara laki-laki
dengan perempuan ada perbedaan jadi saya dituntut bisa memahami
suami saya g cemberut terus kalo ada yang beda. Saya antusian
mendengarkan kajian yang diisi oleh mba-mba Pondok karena dari segi
kelilmuannya lebih”.
c. Menambah keakraban dengan masyarakat
Berdasarkan wawancara dari ibu Wiji, 52 tahun “saya semangat ikut
ta’lim Karena bisa menambah wawasan, ilmu, pengalaman, emang
diprogramnya siang. Kalo sore punya kesibukan masing-masing terutama
yang punya anak kecil. Yang saya dapatkan dari ta’lim yang diisi oleh
mba-mba Pondok saya mendapat materi cara mendidik anak, terus tenang
kewajiban seorang istri jadi saya lebih memahami kewajiban istri kalo
saya masih kurang dalam menjalankan kewajiban saya jadi ingin
memperbaiki. Saya antusian mendengarkan kajian yang diisi oleh mba-
mba Pondok karena sudah di programkan di ibu-ibu RT 08 mba-mba
Pondok untuk menyampaikan ilmunya biar g Cuma dapat dari ustadz-
ustdz lain dari mba pondoknya iya, menambah keakraban dengan
masyarakat”.
d. Yang disampaikan mba Pondok pasti bermanfaat imunya bagi ibu-ibu.
berdasarkan wawancara dengan ibu siti uminatun,40 tahun “saya
semangat ikut ta’lim biar nambah ilmunya, biar dapat pahala karena
mencari ilmu suatu kewajiban. Yang saya dapatkan dari ta’lim yang diisi
oleh mba-mba Pondok tau adab minum air putih dan ternyata ada
hikmahnya kalo. Saya antusian mendengarkan kajian yang diisi oleh mba-
mba Pondok karena memandang imunya lebih banyak, jadi kalo mba
Pondok yang menyampaikan diusahakan duduk didepan karena apa yang
disampaikan bermanfaat untuk ibu-ibu”.
e. Ingin belajar fikih dari mba Pondok karena mereka memiliki pengalaman
didalamnya.
Berdasarkan wawancara dengan ibu Eni, 39 tahun. “saya semangat ikut
ta’lim Karena tholabul ilmi wajib, waktunya kapan diusahakan untuk
disempatkan. Yang saya dapatkan dari ta’lim yang diisi oleh mba-mba
Pondok saya dapat materi perhisan dunia yang ada tujuh yang salah
satunya tidak mengungkit kebaikan dan diusahakan bisa seperti itu. Saya
antusian mendengarkan kajian yang diisi oleh mba-mba Pondok ingin
belajar dari mereka karena mereka punya pengalaman dalam belajar
fikih”.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis dapat mengambil kesimpulan
dari analisis respon masyarakat desa pilang terhadap eksistensi ma’had aly
Hidayaturrahman dalam membina ta’lim ibu-ibu desa pilang terdapat dua
kategori sebagai berikut:
1. Respon positif, ibu-ibu dewasa ini semakin sadar akan tuntutan wajibnya
belajar agama dan merasa haus akan ilmu-ilmu yang guna menjadi bekal
di akhirat kelak, mereka tetap antusias hadir dan rela menyempatkan
waktu demi mengemu siraman kalbu, meskipun ta’lim diadakan disiang
hari yang biasanya para ibu memilih mengisi waktu siangnya dengan
istirahat, disamping itu karena ta’lim ibu-ibu sudah di programkan pada
siang hari. adapun implikasi yang para ibu rasakan setelah mereka
mendapatkan materi yang disampaikan oleh mahsantri hidayaturrahman
atau sebutan akrab masyarakat yang biasa disapa dengan julukan “mba
Pondok” diantaranya para ibu menjadi lebih termotivasi mengamalkan
amalan membaca surat al-kahfi pada malam jum’at dan surat al-mulk
disetiap menjelang tidur, ibu-ibu menjadi semakin erat menjaga
silaturahmi antar tetangga dan saling memberi hadiah walaupun hanya
memberi semangkuk kuah sayur, ibu-ibu semakin faham akan kewajiban
seorang istri dan dituntut untuk memperbaiki diri ketika didapati
kekurangan dalam menjalankan perannya, ibu-ibu semakin faham dan bisa
mengerti keadaan bahwa dalam pernikahan ada perbedaan antara laki-laki
dengan perempuan sehingga setelah itu tidak ada kata dongkol dihadapan
pasangannya, ibu-ibu bisa mengambil hikmah mengapa kita dianjurkan
sebelum minum membaca basmalah karena mempengaruhi kualitas air
yang ada didalamnya air akan menjadi kristal, dan alas an para ibu antuias
menghadiri ta’lim yang disampaikan oleh mahasantri Hidayaturrahman
karena para ibu merasa bahwa ilmu mereka lebih diatas mereka, dan
mereka ingin belajar dari mereka, karena mereka memiliki pengalaman
belajar fikih, adapula sebagai ajang perkenalan dan berbagi pengalaman
sekaligus upaya untuk menambah keakraban dengan masyarakat. Ibarat
kata mereka adalah tamu kehormatan karena mereka datang dari berbagai
penjuru kota yang berbeda untuk menyampaikan kajian ta’lim.
2. Respon negative, terkadang ketika menyampaikan materi mahasantri
hidayaturrahman terlalu lama sehingga para ibu sudah kehilangan daya
fokusnya dan mengeluh, atau ketika penyampaian bahasa yang digunakan
terlalu tinggi sehingga susah dimengerti, adapula keluhan seorang ibu
yang mengaku grogi, dan belum siap mental karena seringnya ditunjuk
mendadak untuk membacakan al-qur’an didepan ibu-ibu satu RT minder
karena bacaan al-qur’annya belum benar. ada ibu yang menyayangkan
bahwa belum ada kajian untuk remaja terkhusus bagi remaja terdekat yang
berada dipesisir Pondok.
Dari sini bisa kita nilai bahwa respon masyarakat terhadap eksistensi mahad
aly Hidayaturrahman dalam membina ta’lim ibu-ibu, sudah baik dan
memberikan pengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan dengan
antusias mereka mengikutinya, kehadiran mahad aly Hidayaturrahman
ditengah -tengah masyarakat dianalogikan sebagai penghidup merebaknya
kajian-kajian ilmu karena dahulunya desa Pilang hampir bisa dikatakan
sebagai desa mati terutama di Kawasan berdirinya mahad aly
hidayaturrahman karena dahulunya tanah kosong dekat pemakaman yang
ditumbuhi rerumputan sehingga memunjulkan stigma negative dan
menimbulkn rasa takut untuk melintasi Kawasan ini.
Saran
1. Bagi para mahasantri yang dijadwalkan mengisi kajian ta’lim diharapkan
lebih mengefisienkan waktu, pilihlah materi yang mudah di fahami oleh
para ibu, adapun ketika sesi qiroatul qur’an sebaiknya mahasantri
mengejakan atau menuntun mereka per ayat lantas mereka menirukannya
supaya tidak menimbulkan rasa grogi ibu-ibu dan beban mental, dan
diusahakan remaja yang terutama berada dipesisir Pondok diadakan kajian
ilmu jadi tidak cuman yang jauh-jauh saja yang diperhatikan tetapi
melupakan yang lebih dekat. Dan pesan terakhir dari salah seorang ibu
“jangan sungkan-sungkan untuk menyampaikan ilmu, lanjutkan, tetap
sampaikan ilmu, meskipun kadang kurang didengarkan oleh ibu-ibu”.
2. Bagi para ibu yang aktif mengikuti ta’lim, supaya lebih memperhatikan
adab bermajelis ilmu, dengan tidak asik mengobrol sendiri, memang
sudah menjadi fitroh perempuan itu suka berbicara tapi tetap diminta
untuk bisa mengkondisikannya, karena secara tidak langsung saat ibu-ibu
mengabaikan mereka sama saja ibu sedang menyakiti perasaan mereka,
yang bisa saja memunculkan rasa jera dan tersinggung tidak mau
menyampaikan kajian lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28028/1/NIA%20NAJIAH-
FDK.pdf
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/9849/5/BAB%20II.pdf
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/9849/5/BAB%20II.pdf
http://digilib.unila.ac.id/16431/18/BAB%20III.pdf
https://ma-hidayaturrahman.com/,
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5894/2/PROS_Solichul%20Hadi%20Ab%2
C%20Muladi%20W_Pengembangan%20Potensi%20Desa_fulltext.pdf
ABSTRAK