Anda di halaman 1dari 5

“HUKUM WANITA BEPERGIAN TANPA MAHRAM”

Dosen Pembimbing : Achmad Junaedi, S.Ag., M,Pd.I

Di Susun Oleh :
MOH JOHARI KUMARA 14201.14.22048

PROGRAM STUDY SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PAJARAKAN-PROBOLINGGO
2023/2024
"NU DI INDONESIA: HUKUM WANITA BEPERGIAN TANPA MAHRAM"

DATA DIRI

Nama : Moh Johari Kumara


Tempat Lahir : Probolinggo
Tanggal Lahir : 13 Juni 2005
Prodi : S1 KEPERAWATAN
Asal Sekolah : UNHASA
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Jenis Kelamin : Lanang
Status : Belum Nikah
PENGERTIAN :
Hukum wanita berpergian tanpa mahram wanita bepergian tanpa mahram menurut catatan fiqih
klasik hukumnya haram dan ini sudah termasuk dalam beberapa hadis hanya saja durasi
waktunya berbeda-beda ada Hadis yang menyatakan sabda Nabi adalah wanita haram bepergian
tanpa mahram apabila durasinya sehari semalam dalam hadis lain nabi membatasi tiga hari tiga
malam sehingga apabila tidak sampai sehari semalam pergi ke toko atau menginap di rumah
teman maka wanita tidak haram pergi tanpa mahram beberapa ulama Fiqih berpendapat bahwa
karena Nabi Muhammad saw menentukan batas waktunya maka mereka sepakat memutuskan
wanita yang keluar tanpa mahram hukumnya haram antara lain nabi yang menyebutkan durasi
waktu sebagai berikut
Artinya wanita tidak boleh bepergian selama 3 hari kecuali bersama dengan mahramnya
menurut ulama Fiqih mutaakhirin tidak diperbolehkannya wanita musafir tanpa mahram
tujuannya adalah agar aman dari fitnah jadi apabila wanita musafir atau bepergian aman dari
fitnah maka hukumnya boleh atau tidak haram sedangkan yang dimaksud fitnah di sini dalam
kitab-kitab fiqih Syafi'i dan ulama-ulama Syafi'iyah seperti kitab Faidul Qodir karangan ulama
Fiqih nusantara terkenal yaitu Syekh Abdul Qodir Bin Abdul Latif Bin Hasan Al Indonisi
almandaili as Syafi'i dilahirkan pada tahun 1329 Hijriyah di Kabupaten Mandailing Natal
Sumatera Utara yang dimaksud fitnah adalah pelecehan seksual dan seorang wanita boleh
musafir tanpa mahram jika aman dari pelecehan seksual seperti khalwat berduaan dengan yang
bukan mahram
Kebanyakan ulama nu kerap merujuk ketentuan perempuan bepergian tanpa mahram ini pada
hadist diantaranya sebagai berikut :

‫ َال ُتَس اِفِر الَم ْر َأُة َثَالًثا ِإاَّل َم َع ِذ ي َم ْح َر ٍم‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما أن رسول هللا صلى هللا عليه وآله وسلم قال‬

Artinya, “Dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Janganlah seorang wanita bepergian
selama tiga hari kecuali bersama mahramnya,’” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam redaksi hadits yang lainnya disebutkan, ‫ قال رسول هللا صلى هللا‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫ ال َيحل المرأة تؤمن باهلل واليوم اآلخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة إال ومعها ذو َم حرم‬:‫عليه وسلم‬
Artinya, “Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, ’Janganlah seorang wanita
bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya,’” (HR
Tirmidzi).

Tapi selain hadits-hadits tentang larangan bepergian untuk perempuan seperti di atas,
ternyata ada juga hadits-hadits yang menyatakan kebolehan bepergian untuk perempuan.
Dalam satu riwayat dalam Shahih Muslim, disebutkan sahabat Umar bin Khatthab RA
memperkenankan istri Nabi Muhammad SAW untuk melakukan perjalanan haji dan umrah,
yang ternyata tanpa didampingi mahram mereka, melainkan didampingi sahabat Utsman bin
Affan dan Abdurrahman bin Auf. Tentu saja perjalanan haji dan umrah istri-istri Nabi ini
dari Madinah ke Makkah, yang jaraknya tak kurang dari 400 km.
‫ فبعث معهَّن عثمان وعبدالرحمن بن‬،‫أن عمر رضي هللا عنه أِذ ن ألزواج النبي صلى هللا عليه وسلم في آخر حجة حَّجها‬
‫عوف‬
Artinya, “Umar mengizinkan para istri nabi SAW pergi haji pada haji yang terakhir dan
mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf,” (HR Muslim). Oleh sebagian
ulama mazhab, keamanan dan tiada fitnah inilah yang dijadikan larangan bepergian, bukan
karena tiadanya mahram. Ada juga pendapat bahwa mahram dapat digantikan dengan
seorang wanita yang dapat dipercaya. Hanya saja, hal itu hanya dibolehkan dalam bepergian
yang dinilai wajib, seperti haji.
Beragam pandangan dari hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perempuan bepergian
tanpa mahram itu memungkinkan dan boleh dengan mengacu pendapat bahwa mereka mesti
aman dalam perjalanan, atau jika dalam konteks menetap di luar daerah, aman di tempat
tujuan. Bagaimana untuk keperluan belajar atau kerja? Mengingat kian banyak mahasiswi
menempuh pendidikan di luar daerah bahkan luar negeri, serta banyaknya pekerja migran.
Realitasnya, gelombang wanita perantauan ini telah terjadi dari masa ke masa. Hal ini
dibolehkan, merujuk fatwa kontemporer dari Darul Ifta’ Al-Mishriyyah menyatakan:
‫ هو جواز سفرها مع الرفقة المأمونة‬:‫والمختار للفتوى في شأن سفر المرأة لحضور منحة علمية من دون زوج أو محرم‬
‫بشرط األمان وموافقة الزوج أو الولي‬...
Artinya, “Pendapat yang lebih dipilih dalam adalah bepegian demi untuk menuntut ilmu
tanpa ditemani mahram atau suami adalah boleh, asalkan ditemani dengan rekan yang
terpercaya, aman, serta diiringi dengan izin dari pihak suami atau walinya.” Lebih jauh,
larangan bepergian untuk perempuan kiranya tidak hanya soal halal haram, tapi juga perlu
ditinjau dari pertimbangan adat atau sosial yang masih berkembang di masyarakat. Di zaman
sekarang, kenyataannya perempuan telah bergerak melampaui fatwa-fatwa di atas: para
pekerja migran, pelajar di negeri-negeri jauh, maupun bepergian ke beragam tempat di
penjuru negeri. Hal ini menunjukkan bahwa prasyarat keamanan dan perlindungan inilah
yang menjadi lebih utama dalam upaya memberi ruang lebih untuk perempuan di ranah
publik.

ARGUMEN:
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam di Indonesia memiliki pandangan yang
beragam. Meskipun NU memiliki tradisi Islam yang kuat, terdapat keberagaman interpretasi
dalam hal hukum wanita bepergian tanpa mahram. Beberapa argumen yang dapat diajukan
menurut pandangan NU mungkin mencakup:

1. Keselamatan Wanita : NU mungkin berpendapat bahwa aturan tersebut ditetapkan untuk


melindungi keselamatan dan keamanan wanita. Mahram sering dianggap sebagai pelindung dan
pendamping yang dapat memberikan perlindungan ekstra.

2. Konteks Budaya: NU dapat mempertimbangkan konteks budaya Indonesia dalam


merumuskan pandangan terhadap perjalanan wanita. Pandangan ini mungkin mencerminkan
tradisi lokal dan nilai-nilai kearifan lokal.

3.Kebersamaan Keluarga: Argumentasi mungkin berkisar pada nilai-nilai kebersamaan keluarga


dan peran mahram sebagai elemen penting dalam memelihara hubungan keluarga yang kuat.

4.Keseimbangan Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab: NU mungkin mencoba mencapai


keseimbangan antara memberikan kebebasan individu dan mempertahankan nilai-nilai moral
dan etika Islam dalam menetapkan aturan mengenai bepergian wanita.

Penting untuk dicatat bahwa ini hanyalah potensi argumen, dan pandangan individu dalam NU
bisa bervariasi. Interpretasi dan pandangan tentang hukum ini dapat bergantung pada
pemahaman tokoh agama dan konteks lokal.
PENDAPAT:
Sebagai individu, saya berpendapat karena berbedanya waktu yang ditentukan oleh
rasulullah dalam beberapa hadits , bahwa berdasarkan kesepakatan ulama bahwa yang menjadi
lillah (alasan) diharuskannya wanita yang bepergian / shafar harus dengan mahram adalah untuk
menghindari fitnah, jika aman dari fitnah maka bepergian tanpa harus dengan mahram. Adapun
pengertian fitnah disini menurut kitab-kitab fiqih dari ulama salaf adalah aman dari gangguan
jima’ dan mukoddumah’nya (dipegang-pegang, disenggol-senggol atau gangguan seksual,
pelecehan seksual).

Anda mungkin juga menyukai