Anda di halaman 1dari 11

HUKUM PENGGUNAAN JASA WARIA BAGI

MUSLIMAH DISALON KECANTIKAN

Ahmad Muhajir
Jurusan Tarbiyah, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Palangkaraya
Jl. G. Obos Kompleks Islamic Centre, Palangka Raya, Indonesia
E-mail: hajir5225@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang hukum penggunaan jasa
waria bagi muslimah disalon. Adapun yang menjadi latar belakang penulisan ini
karena di sekeliling kita biasanya terdapat waria-waria yang menjadi pekerja di
salon yang mana waria adalah seorang laki-laki, dan juga sekarang ini sangatlah
banyak salon-salon kecantikan yang mempekerjakan para waria disalon mereka.
Di sini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yaitu menggunakan metode
library riset sebagai bahan penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa
pemberian jasa tersebut masih boleh dilakukan dengan syarat selama waria
tersebut melayani wanita muslimah tanpa syahwat, hanya sebagai bentuk dari
profesionalisme, dan waria juga tidak mempunyai pekerjaan yang lebih baik
selain bekerja di salon kecantikan. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan
akan menjadi manfaat bagi para mahasiswa, para peneliti dan semua pihak yang
membacanya.
Keyword: Hukum, Waria, Muslimah, Salon Kecantikan.

Pendahuluan
Pada zaman sekarang ini orang-orang serba menuntut untuk berpenampilan
menarik di manapun mereka berada, terutama bagi wanita muslimah rasa ingin
mempercantik diri dan menyempurnakan penampilan di tempat yang sesuai
dengan keinginan mereka yaitu salon kecantikan.
Dalam suatu salon terdapat alat-alat yang dapat merawat atau mempercantik
diri seperti hair dzyer, make up, cream massage, gunting dan lain sebagainya,

1
dengan alat-alat itu seseorang dapat terpuaskan sesuai dengan keinginannya,
tinggal memesan kepada pelayan atau pemilik salon maka si pelayan itu akan
mengerjakan apa yang diinginkan oleh pelanggan.
Yang menjadi sorotan dalam penelitian ini adalah pegawai dalam salon adalah
seorang waria, yang mana waria adalah seorang laki-laki, karena sekarang
sangatlah banyak seorang waria bekerja di salon-salon kecantikan. Dimana waria
itu berdandan dan bertingkah laku layaknya wanita, padahal Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah
menyatakan bahwa perempuan dilarang memakai pakaian laki-laki, dan laki-laki
dilarang memakai pakaian perempuan. Di samping itu, beliau melaknat laki-laki
yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. termasuk
di antaranya ialah gaya bicara, gerak-geriknya, cara berjalan, pakaiannya, dan
sebagainya.1 Sebab hakikatnya pula seorang wanita muslimah tidak.
diperbolehkan bersentuhan dengan lain jenis, yaitu laki-laki. Oleh karena itu
penulis mengangkat judul “Hukum Penggunaan Jasa Waria Bagi Muslimah
Disalon Kecantikan” di dalam penelitian tersebut.

Metode
Metode penelitian ini termasuk dalam pendekatan penelitian kualitatif yaitu
menggunakan metode library riset, dalam penelitian ini penulis sedikit
mengungkap tentang Hukum Penggunaan Jasa Waria Bagi Muslimah Disalon
Kecantikan.

Hasil Dan Pembahasan


Pengertian Waria Dalam Islam
Islam memang mengenal banci atau Khuntsa. Al-Khuntsa dalam Bahasa
Arab, berasal dari kata khanatsa yang berarti ''lunak'' atau ''melunak''.2 Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam khuntsa adalah seseorang yang diragukan jenis
kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan, karena memilki alat kelamin laki-
laki dan perempuan secara bersamaan atapun tidak memiliki alat kelamin sama

1
Dr. yusuf qordhowi, Halal dan Haram dalam islam, (penerjemah: Mu’amal Hamidy),
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003) hal. 96-97
2
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:Pustaka
Progressif, 1997), hal. 6.

2
sekali baik alat kelamin laki-laki atau perempuan. Akar kata “khuntsa” adalah “al-
khants” bentuk jamaknya “khunatsa” artinya “lembut” atau “pecah”. Dalam
bahasa Indonesia, istilah ini dikenal dengan sebutan “banci”, “waria” (wanita-
pria) atau “wadam” (wanita Adam).3 Banci adalah seorang yang bersifat laki-laki
dan perempuan (tidak laki-laki dan tidak perempuan) atau laki-laki yang
bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan atau sebaliknya.4
Menurut istilah fiqhiyah khuntsa adalah orang yang mempunyai alat kelamin
laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali.5
Menurut Wahbah Az-Zuhaili Khuntsa adalah orang yang berkumpul pada
dirinya dua alat kelamin, kelamin laki-laki dan kelamin perempuan, atau orang
tidak di dapati pada dirinya alat kelamin laki-laki dan perempuan sama sekali.6
Menurut M. Ali Hasan dalam bukunya Hukum Waris Dalam Islam beliau
mengatakan khuntsa ialah orang yang mempunyai dua kelamin, atau tidak
mempunyai ke dua alat tersebut. Hanya ada satu lubang yang tidak serupa dengan
alat itu.7
Yang dimaksud Khuntsa secara terminologi menurut Muhammad makluf
ialah orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus, atau
tidak memiliki alat kelamin sama sekali.8
Menurut bahasa Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan al-Arab mengatakan
bahwa khuntsa adalah orang yang memilki sekaligus apa yang dimiliki oleh laki-
laki dan perempuan. Beliau juga mengatakan khuntsa adalah orang yang tidak
murni (sempurna) sebagai laki-laki atau perempuan.9
Menurut Masyfuk Zuhdi (ahli Fiqih Indonesia) orang yang lahir dengan alat
kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial, sehingga
biasanya tersisih dari kehidupan masyarakat normal serta mencari jalan sendiri,

3
Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
hal. 934.
4
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 1990), hal. 74.
5
Fatchur Rohman, IlmuWaris (Bandung: Al-Ma’arif, 1971), hal. 482.
6
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (Cet. X; Damaskus: Dar al-Fikr,
2006), hal. 7899.
7
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hal. 313.
8
Muhammad Makluf, Fiqih Mawaris (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,1998), hal.141.
9
Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, (Al-Qahirah: Dar Al-Ma’arif, t. th), hal. 1272

3
seperti melacurkan diri, menjadi wanita atau melakukan homoseksual, padahal
perbuatan tersebut sangat dikutuk oleh Islam.10
Waria dalam konteks psikologi termasuk sebagai penderita
transeksualisme,yakni seorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan
sempurna. Namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan
jenis.11
Studi secara Psikologi pernah dilakukan dengan satu kesimpulan bahwa satu
kekacauan yang dihadapi kaum waria ternyata telah melahirkan satu bentuk
kekacauan yang dihadapi waria berupa tiga aspek sekaligus, yakni Psikologi,
sosial, dan budaya. Hasil studi ini menjelaskan bahwa penyimpangan seksual
yang ada di dalam diri waria ternyata telah melahirkan satu bentuk penyimpangan
sosial, seperti pelacuran, seks bebas, dan pemerkosaan, meskipun hukum
menyadari bahwa perbuatan itu di luar keinginan pelaku dan merupakan
penyakit.12
Selanjutnya ditemukan fenomena sosial, bahwa kehidupan waria amatlah
beragam. Selain mereka bekerja sebagai pelacur, mereka juga bekerja di berbagai
bidang seperti salon kecantikan, pedagang, pembantu rumah tangga, dan lain
sebagainya. Dari segi mata pencaharian, bagian terbesar kaum waria mencari
nafkah dalam dunia pelacuran, hampir semua waria mengalami proses pelacuran,
sebelum kemudian mereka bekerja diberbagai bidang seperti, di salon-salon
kecantikan, berdagang dan sebagainya.13
Bagi waria pekerjaan yang non-pelacur yang paling diminati oleh mereka
adalah bekerja di salon-salon kecantikan, karena mereka hampir tidak mengalami
kesulitan baik dalam pandangan sosial ataupun kesulitan dalam belajar dan
bekerja melayani pelanggan. Agaknya dunia salon memang sudah menjadi satu
konstruksi dan bagian dari pekerjaan waria, sesuai dengan hasil pengamatan
bahwa salon-salon yang dikelola atau yang mempekerjakan waria mengakui

10
Masjfuk Zuhdi, Op,Masail Fiqhiyah, (Cet. 3; Jakarta:PT Toko Gunung Agung, 1997),
hal 56.
11
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormal Seksual, (Bandung: CV Maju
Mundur, 1989) hal. 247
12
Soedjono, Pathlogi Sosial, (Bandung: Alumni, 1982) hal. 147
13
Koeswinaryo, Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: LKIS, 2004) hal. 44

4
bahwa banyak konsumen yang dengan sabar menunggu untuk dirawat oleh waria,
meski kapster non-waria tidak sedang melayani konsumen. Menurutnya hasil
waria jauh lebih bagus dibanding kapster perempuan.14

Analisis Hukum Waria Menurut Para Ulama


Khuntsa, secara umum para ulama mendefinisikannya sebagai orang yang
mempunyai dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan. Atau, bahkan tidak
mempunyai alat kelamin, baik kelamin laki-laki maupun perempuan. Artinya, dia
bukan laki-laki juga bukan perempuan. Waria (khuntsa) menurut Ibnu Qudamah
dalam kitabnya al-Mughni Syarah al-Kabir mengatakan sebagai berikut :

‫والخنثى هوالذي في قبله فرجان ذكر رجل وفرج امرأة‬


Artinya: Yang dinamakan khuntsa adalah orang yang mempunyai alat
kelamin dua yaitu penisnya laki-laki dan vaginanya perempuan.15
Seperti yang sudah kita ketahui dan di ajarkan oleh para ustad bahwa hukum
menyentuh yang bukan mahromnya adalah haram, ini sesuai dengan pendapat
para ulama madzhab, walaupun memang ada perselisihan di antara para ulama
madzhab dalam perincian hukumnya. Ulama-ulama yang mengharamkannya, di
antaranya :
1. Bersentuhan dengan wanita tua yang laki-laki tidak memiliki syahwat lagi
dengannya, begitu pula laki-laki tua dengan wanita muda, atau sesama wanita
tua dan laki-laki tua, itu dibolehkan oleh ulama Hanafiyah dan Hambali
dengan syarat selama aman dari syahwat antara satu dan lainnya. Karena
keharaman bersentuhan yang mereka anggap adalah khawatir terjerumus
dalam fitnah. Jika keduanya bersentuhan tidak dengan syahwat, maka fitnah
tidak akan muncul atau jarang.
2. Ulama Malikiyyah mengharamkan bersentuhan dengan wanita non mahram
meskipun sudah tua yang laki-laki tidak akan tertarik lagi padanya. Mereka
berdalil dengan dalil keumuman dalil yang menyatakan haramnya.

14
Ibid. hal 50
15
M. Ulul Azmi, Perkawinan Waria (Khuntsa) ditinjau menurut perspektif hukum Islam ,
Skripsi (Riau: Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Qasim, 2011), hal. 63.

5
3. Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat haramnya bersentuhan dengan
wanita non mahram, termasuk pula yang sudah tua. Syafi’iyah tidak
membedakan antara wanita tua dan gadis.
Keharanman ini tentunya di tujukan bagi yang bukan mahrom, berbeda
masalahnya jika yang salaman ini adalah mahrom ataupun suami istri, dalam kitab
fathul mu‟in di terangkan: “dan sekira haram melihatnya, maka haram pula
melihatnya, sebab memegang itu lebih nikmat”.16
Ulama’ Syafi’i dan Malikiyah tidak memperbolehkan menyenuh dan melihat
wanita walau hanya sekedar tangan dan telapak wajah dan tidak terjadi
membedakan wanita itu tua atau masih muda.
Sedangkan menurut ulama’ Hanafi dan sebagian pengikut Malikiyah
memperbolehkan melihat dan menyentuh wanita lain dengan syarat bahwa wanita
tersebut telah tua, tidak menimbulkan syahwat dan terjadi syahwat keduanya.
Sehubungan dengan ini pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan sebagai berikut:17
a. Banci adalah manusia yang bersifat laki-laki dan perempuan (tidak laki-laki dan
perempuan).
b. Banci adalah laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian seperti perempuan
dan sebaliknya, wadam, waria.
Berdasarkan pengertian khuntsa (banci) menurut bahasa dan istilah, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa khuntsa adalah manusia yang tidak sempurna
kejadianya baik secara fisik maupun psikis.
Khuntsa ada dua macam, yaitu: khuntsa “ghairul al- Musykil” (tidak sulit) dan
khuntsa “al-musykil” (sulit).
1) al-Khuntsa ghairul al-Musykil, yaitu orang/khuntsa yang jelas
tandatandakelelakiannya atau tanda-tanda keperempuanannya. Tanda-
tanda inibisa dilihat secara fisik, mana yang lebih dominan. Untuk yang
belumbaligh, biasanya dilihat dari saluran mana dia kencing. Jika air

16
-Keputusan muktamar, munas, dan konbes nahdlotul ulama’. (khalitsa:surabaya) 2011.
hlm.335
17
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 74.

6
kencing keluar dari kemaluan laki-laki, maka dia dihukumi sebagai laki-
laki. Dan jika keluar dari kelamin perempuan, maka dihukumi sebagai
perempuan. Sedangkan setelah baligh, jika dia mimpi junub, (maaf)
penisnya lebih menonjol dari sebelumnya, suaranya lantang, menyukai
tantangan, keluar jenggot atau kumis, dan sebagainya maka dia dihukumi
sebagai laki-laki. Adapun jika dia mengalami menstruasi, payudaranya
membesar, suaranya lembut, menyukai permainan atau aktifitas yang
cenderung disukai wanita, suka berdandan, dan sebagainya maka dia
dihukumi sebagai perempuan.
2) Khuntsa al-Musykil, yaitu orang/khuntsa yang mempunyai tanda-tanda
maskulinitas dan feminitas dalam dirinya, misalnya; dia buang air kecil
dari saluran kencing perempuan dan laki-laki secara bersamaan, atau
tumbuh jenggot dan payudara dalam satu waktu sehingga tidak diketahui
apakah dia laki-laki atau perempuan. Dan, sejatinya yang dimaksud
dengan kata alKhuntsa dalam kitab-kitab fiqih adalah khuntsa ini, yakni
khuntsa al-Musykil. Namun demikian, jika seorang khuntsa musykil
mengaku sebagai laki-laki, maka dia dihukumi sebagai laki-laki. Dan jika
dia mengaku sebagai perempuan, maka dia dihukumi sebagai seorang
perempuan.
Dalam hal Hunsa Musykil tersebut para ulama’ berbeda pendapat menurut
ulama’ Maliki, Hambali dan sebagian ulama Hanafi memberi kemurahan terhadap
Hunsa Musykil untuk dapat menyentuh dan melihat wanita karena Hunsa Musykil
telah ada sejak lahir, dan para ulama’ memberikan kesempatan untuk
memperbaiki diri, sedangkan ulama Syafi’i dan sebagian ulama Hanafi
menghukumi mereka tetap sebagai laki-laki karena pada kenyataannya mereka
mempunyai kelamin laki-laki.
Pada dasarnya menyentuh wanita, memang tidak diperbolehkan secara mutlak
akan tetapi dari kalangan madzhab Hanafi dan pendapat ulama pengikut imam
Maliki berpendapat jika aman dari fitnah dan tidak akan terjadi syahwat maka
diperbolehkan. Begitu juga, boleh melihat wanita ketika Khitbah, mengajar, jadi
saksi dan dalam berbisnis, itu diperbolehkan.

7
Seorang waria yang bekerja disalon kecantikan, hanya mempunyai keahlian
dalam bidang salon kecantikan karena mudah untuk mempelajari dan
dipraktekkan, juga menghindarkan mereka dari pekerjaan lama mereka yang
dilarang oleh syari’at.
Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa “menolak kerusakan itu didahulukan
dari pada menarik kebaikan”. Dalam arti bahwa setiap amal perbuatan yang
diperbolehkan karena adanya uzur, apabila uzur itu hilang maka, amal itu seketika
menjadi batal.18
Apabila dihubungkan dari jasa waria dan kaidah di atas terdapat
mafsadat/akibat buruk dan manfaatnya, yaitu:
a) Dalam kemafsadatannya, waria yang bekerja di salon kecantikan pastinya
akan memandang dan menyentuh pelanggannya yaitu wanita muslimah,
baik disengaja atau tidak, menurut ulama dalam kitab-kitab salaf hal itu
dilarang, karena secara disengaja atau tidak, akan terjadi khalwat antara
keduanya dan akan terjadi fitnah. Perkara itu juga dilarang ketika waria
melakukan pekerjaaan tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri bukan
untuk kepentingan umum seperti yang dikemukakan dalam kaidah fikih
“Apabila berkumpul perkara yang umum dengan perkara yang khusus
maka dimenangkan oleh perkara yang umum”.19
Banyak dari kalangan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh
wanita selain mahromnya tidak diperbolehkan dan tidak ada rukhsah
(keringanan) di dalamnya ataupun keadaannya, baik wanita tersebut tua
atau masih muda, dan darurat atau tidak.
b) Apabila dilihat dari segi manfaatnya, waria yang bekerja di salon
kecantikan akan mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik dari pada
pekerjaan lamanya yang dilarang oleh syari’at, waria juga memberi
kemanfaatan kepada wanita yang meminta jasa kepadanya, dan ini
hukumnya sementara sebab apabila waria tersebut mempunyai keahlian
yang lain dan lebih baik dari pemberi jasa di salon kecantikan, maka

18
Sayyid Ali Bakri Ahda, Faraidul Bahiyah, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadiin),
hal.22
19
Ibid,. hal.25

8
pemberian jasa itu tidak diperbolehkan, disebabkan dharuri bersifat
sementara. Dalam kajian fikih disebutkan. 20
“Darurat itu membolehkan
yang dilarang dan keperluan mendesak dapat menepati posisi darurat”.
Di samping itu juga hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahrom hanya diperbolehkan jika ada hajat, seperti muamalah (bisnis),
menjadi saksi, mengajar ilmu agama, yang fardhu a’in. Adapun selain itu
agama tidak memperbolehkan karena dua faktor yaitu rawan terjadi khalawat
muharramah (berduaan tanpa disertai Mahram). Dan rawan terjadi Mandhina
Syahwat (potensi bermaksiat). Khalwat hanya dibolehkan jika wanita atau lebih
bersama satu laki-laki atau satu wanita dengan laki-laki mahramnya.21
Meskipun tidak dipungkiri bahwa pemberian jasa tersebut masih boleh
dilakukan dengan syarat selama waria tersebut melayani wanita muslimah
tanpa syahwat, hanya sebagai bentuk dari profesionalisme, dan waria juga tidak
mempunyai pekerjaan yang lebih baik selain bekerja disalon kecantikan.
Kemaslahatan manusia memang akan selalu dipengaruhi perkembangan,
tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam tersebut
pada waktu-waktu yang ada saja dan tidak fleksibel, akan membawa kesulitan.
Simpulan
Berdasarkan analisis di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam khuntsa adalah seseorang yang
diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan, karena
memilki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara bersamaan atapun
tidak memiliki alat kelamin sama sekali baik alat kelamin laki-laki atau
perempuan. Akar kata “khuntsa” adalah “al-khants” bentuk jamaknya
“khunatsa” artinya “lembut” atau “pecah”. Dalam bahasa Indonesia, istilah
ini dikenal dengan sebutan “banci”, “waria” (wanita-pria) atau “wadam”
(wanita Adam).

20
Ibid., hal.24
21
K.H. Qohwanul Adib,”Rubik Masali”, kaki langit edisi 39, 2010

9
2. Beberapa dasar yang tidak memperbolehkannya waria atau laki-laki
menyentuh wanita muslimah, terdapat pendapat yang membolehkannya
dengan beberapa syarat tertentu. Pertama, itu boleh dilakukan selama
tidak menimbulkan syahwat antara waria yang notabenya laki-laki
terhadap wanita muslimah, Kedua, itu boleh dilakukan selama waria
tersebut tidak mempunyai pekerjaan yang lebih baik dari pada
memberikan jasa disalon kecantikan, itu dikarenakan bersifat dharuri yang
mana dharuri bersifat sementara. Ketiga, itu boleh dilakukan yaitu laki-laki
menyentuh wanita muslimah yang memang untuk berbisnis (Muamalah),
mengajar yang Fardhu ain, dan untuk menjadi saksi itu dilakukan untuk
kemaslahatan bersama.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia


(Surabaya:Pustaka Progressif, 1997)
Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta:Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996)
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988)
Dr. yusuf qordhowi, Halal dan Haram dalam islam, (penerjemah: Mu’amal
Hamidy), (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003)
Fatchur Rohman, IlmuWaris (Bandung: Al-Ma’arif, 1971)
Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, (Al-Qahirah: Dar Al-Ma’arif, t. th)
K.H. Qohwanul Adib,”Rubik Masali”, kaki langit edisi 39, 2010
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormal Seksual, (Bandung: CV
Maju Mundur, 1989) Soedjono, Pathlogi Sosial, (Bandung: Alumni, 1982)
Keputusan muktamar, munas, dan konbes nahdlotul ulama’.
(khalitsa:surabaya) 2011.
Koeswinaryo, Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: LKIS, 2004)
M. Ulul Azmi, Perkawinan Waria (Khuntsa) ditinjau menurut perspektif
hukum Islam , Skripsi (Riau: Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Qasim,
2011)
Masjfuk Zuhdi, Op,Masail Fiqhiyah, (Cet. 3; Jakarta:PT Toko Gunung
Agung, 1997)
Muhammad Makluf, Fiqih Mawaris (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada,1998)
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 1990)
Sayyid Ali Bakri Ahda, Faraidul Bahiyah, (Kediri: Madrasah Hidayatul
Mubtadiin)
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (Cet. X; Damaskus: Dar
al-Fikr, 2006)

11

Anda mungkin juga menyukai