Anda di halaman 1dari 12

HIDUP DALAM DAKWAH, DAKWAH SAMPAI MATI, MATI

DALAM DAKWAH

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah
Islam Perspektif Ilmu Budaya
Dosen Pembina :
Prof. Dr. Masdar Hilmy, MA., Ph.D.
Dr. Ngainun Naim, M.H.I
Dr. Phil. Syaifudin Zuhri

Oleh :
Abdulloh Faqih
NIM: 12502185021

PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM


INTERDISIPLINER
PASCASARJANA IAIN TULUNGAGUNG
Maret 2019
HIDUP DALAM DAKWAH, DAKWAH SAMPAI MATI, MATI DALAM
DAKWAH

(Oleh: Abdulloh Faqih, M.Ag)

Judul Buku : Living hadith in the Tablighi Jamaat

Pengarang : Barbara D. Metcalf

Penerbit : The Journal of Asian Studies

Tahun Penulisan : 1993

Tulisan Barbara D. Metcalf ini membahas tentang tradisi living hadis


dalam organisasi Jamaah Tabligh di India. Baginya, istilah living hadis bagi para
pengikut Jamaah Tabligh memiliki dua makna, yakni: “mencoba hidup dengan
hadis (live by hadith)” dan “menginternalisasi teks hadis sampai pada titik bahwa
mereka bercita-cita secara ideal dalam arti menjadi hadis yang hidup (become
living hadith)” (Followers attempt to live by hadith but in such a way that they
aspire to internalize the written/heard texts to the point that they ideally become,
in a sense, “living hadith”). Metcalf mencontohkan bagaimana teks terjemah
ringkasan hadis berbahasa Urdu, Tablighin nisab yang lebih dikenal dengan kitab
Fazailil a'mal yang ditulis oleh Maulana Muhammad Zakariyya Kandahlawi
(1898- 1982), seorang ulama Jamaah Tabligh, tidak saja digunakan untuk
mengkomunikasikan ajaran-ajaran gerakan Jamaah Tabligh tetapi juga
membentuk organisasi dan pengalaman gerakan tersebut. Living hadis karenanya
tidak saja dimaknai sebagai gejala yang tampak di masyarakat berupa pola-pola
perilaku yang bersumber dari hadis Nabi, tetapi juga proses internalisasi hadis ke
arah pencapaian cita-cita ideal untuk menjadikan hadis sebagai “pedoman hidup
yang terus hidup”.

Munculnya gerakan Jama’ah Tabligh ini adalah respon Maulana Muhammad


Ilyas atas pelbagai persoalan sosial keagamaan yang terjadi di India ketika itu. Pertama,
membangkitkan kembali keimanan dan menegaskan ulang identitas relijius-kultural
Muslim. Dalam konteks ini, kelahirannya dapat dikatakan sebagai bentuk ortodoksi Islam
yang disegarkan kembali, maupun sebuah sufisme yang diperbaharui. Kedua,
kemunculannya juga merupakan tanggapan langsung terhadap gerakan-gerakan
pengalihan agama Hindu yang agresif yang dilakukan oleh gerakan Shuddhi (penyucian)
atau gerakan "re-conversion" (pertobatan kembali) oleh Hindu Arya Samaj, yang
melancarkan upaya besar besaran untuk meng-Hindu-kan kembali orang-orang yang telah
memeluk Islam pada masa lalu. Ketiga, mengislamkan kembali Muslim dari praktik-
praktik keagamaan dan kebiasaan sosial nenek moyang orang Hindu. Bukan hanya itu,
ada usaha pemusyrikan dan pemurtadan yang diawali oleh para misionaris Kristen, di
mana Inggris saat itu sedang menjajah India. Gerakan misionaris ini, didukung Inggris
dengan dana yang sangat besar. Mereka berusaha membolak-balikkan kebenaran Islam,
dengan menghujat ajaran-ajarannya dan menjelek-jelekkan Rasulullah SAW.

Tulisan Barbara D. Metcalf disini sebenarnya kajian atas beberapa kitab paling
penting dalam Jamaah Tabligh, yang diantaranya adalah;

1. Fadha’il al-A’mal atau disebut juga dengan Tabligh al-Nisab, karya Mawlana
Muhammad Zakariya al-Kandahlawi. Kitab ini mulanya berbahasa Urdu dan
sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Kitab ini berisi tujuh
keutamaan, yaitu: keutamaan al-Qur’an, keutamaan shalat, keutamaan dzikir,
keutamaan tabligh, hikayat para sahabat, kemerosotan umat dan keutamaan
ramadhan.
2. Kitab lain yang juga dijadikan pegangan standar bagi para pengikut Jama’ah
Tabligh ini adalah Hayatus Sahabah, karya Mawlana Yusuf alKandahlawi,
putra Maulana Muhammad Ilyas,
3. Muntakhab Ahadits, yang juga merupakan karya Maulana Yusuf al -
Kandahlawi yang disusun kembali oleh Maulana Sa’ad al-Kandahlawi.
Dalam kitab Muntakhab Ahadits inilah dijelaskan secara detail enam prinsip
(ajaran) gerakan Jama’ah Tabligh, yang kemudian mereka sebut dengan
“enam sifat sahabat”. Keenam prinsip tersebut adalah: Pertama, mewujudkan
hakekat syahadat; Kedua, shalat; Ketiga, ilmu disertai dzikir; Keempat,
memuliakan sesama muslim; Kelima, ikhlas beramal (meluruskan niat); dan
Keenam, dakwah dan tabligh di jalan Allah. Keenam prinsip tersebut juga
merupakan metode dakwah yang dikembangkan oleh Jama’ah Tabligh.
Bahkan, mereka mengklaim bahwa enam prinsip yang dikenal sebagai “enam
sifat sahabat” ini merupakan cara yang paling mudah dan ringkas untuk
mendeskripsikan seluruh ajaran Islam.
Barbara D. Metcalf juga membahas tentang kehidupan wanita jamaah
tabligh (jamaah masturoh) sangat damai, dan jauh dari hiruk pikuk kepentingan
duniawi. Mereka berbuat semata-mata karena Allah. Tak ada bahasan politik dan
menghindari ikhtilaful mazahib dalam jihad para masturoh seperti halnya para
suami mereka. Tugas mereka hanya berbhakti kepada Allah dan rasulNya bersama
suami mereka. Dalam jamaah tabligh, tugas dakwah bukan untuk kaum laki-laki
saja, tetapi juga tanggung jawab seorang perempuan. Sebagaimana di zaman
Rasulullah, perempuan juga ikut berdakwah bahkan terlibat aktif dalam
peperangan saat itu, namun saat ini tugas terpenting mereka adalah menyampaikan
kisah-kisah teladan kepada anak-anak mereka.
Kelebihan yang paling menonjol dari tulisan Barbara D. Metcalf ini adalah
munculnya terma Living Hadits yang sebelumnya sudah ada istilah Living Sunnah
dan Living Qur’an, sehingga di kemudian hari menjadi kajian baru yang menarik
di kalangan akademisi, menggeser kajian living sunnah dan bahkan menjadi nama
sebuah Jurnal di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tulisan ini juga sangat jelas
sebagaimana membaca kitab tafsir tahlili.
Kekurangan dalam makalah ini adalah banyaknya kisah-kisah yang
dimuat, sehingga terasa menjenuhkan. Dari segi tampilan juga kurang menarik,
baik dari bentuk font maupun layoutnya dan juga sulit diterjemahkan karena
banyak idiom yang kurang difahami oleh mesin translate, sehingga membutuhkan
banyak bacaan pendukung untuk memahaminya.
Sekedar tambahan informasi tentang Living Hadis, disini saya mengutip
secara ringkas penjelasan Saifuddin Zuhri Qudsy dalam Jurnal Living Hadis,
UIN SUKA, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016. Beliau berpendapat;
Secara lebih detail dan terperinci, kemunculan terma living hadis ini saya
petakan menjadi empat bagian.
Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan, living hadis hanyalah satu
terminologi yang muncul di era sekarang ini. Secara kesejarahan
sebenarnya ia telah eksis, misalnya tradisi Madinah, ia menjadi living
sunnah, lalu ketika sunnah diverbalisasi maka menjadi living hadis.
Kedua, Pada awalnya, kajian hadis bertumpu pada teks, baik sanad
maupun matan. Di kemudian hari, kajian living hadis bertitik tolak dari
praktik (konteks), fokus kepada praktik di masyarakat yang diilhami oleh
teks hadis. Sampai pada titik ini, kajian hadis tidak dapat terwakili, baik
dalam ma’ānil ḥadīṡ ataupun fahmil ḥadīṡ.
Ketiga, dalam kajian-kajian matan dan sanad hadis, sebuah teks hadis
harus memiliki standar kualitas hadis, seperti ṡaḥiḥ, hasan, daīf, maudu’.
Berbeda dalam kajian living hadis, sebuah praktik yang bersandar dari
hadis tidak lagi mempermasalahkan apakah ia berasal dari hadis sahih,
hasan, daīf, yang penting ia hadis dan bukan hadis maudu’. Sehingga
kaidah kesahihan sanad dan matan tidak menjadi titik tekan di dalam
kajian living hadis
Keempat, membuka ranah baru dalam kajian hadis. Kajiankajian hadis
banyak mengalami kebekuan, terlebih lagi pada awal tahun 2000an kajian
sanad hadis sudah sampai pada titik jenuh, sementara kajian matan hadis
masih juga bergantung pada kajian sanad hadis.
Dalam jamaah tabligh, tugas dakwah bukan untuk kaum laki-laki saja, tetapi juga tanggung jawab
seorang perempuan. Sebagaimana di zaman Rasulullah, perempuan juga ikut berdakwah, tetapi dengan
peraturan dan tertib serta tujuan yang cukup jelas. 

Usaha dakwah Mastūrah juga mempunyai tata tertib atau peraturan yang sangat ketat karena melibatkan
perempuan.

Ada beberapa syarat, peraturan dan  tata tertib yang harus dipatuhi oleh Mastrūah, yang dijabarkan dari
berbagai sumber sebagai berikut ;

Jama’ah Mastūrah

 Jama’ah Mastūrah harus musyawarah dengan markas, tidak boleh mastrūah tanpa
musyawarah  markas oleh laki-laki
 Dengan mahram haqiqi bagi jama’ah mastūrah tiga hari ialah isteri, anak wanita, ibu dan
suadara wanita. Sedangkan untuk mastūrah yang lebih tiga hari hanya boleh dilakukan oleh
isteri
 Dengan burkah atau dengan yang dapat menutup wajah, kaki, tangan
 Dakwah mastūrah ialah dakwah yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita, tetapi harus dengan
musyawarah laki-laki.

Syarat Jamaah Masturah

 Jama’ah mastūrah tiga hari harus laki-laki yang pernah khuruj tiga hari, sedangkan wanita
harus pernah datang dalam acara malam ijtimā’ atau ta’lim mastūrah. Sedangkan untuk amir
jama’ah mastūrah harus pernah khūruj selama 40 hari dan pernah menjadi amir
 Jamaah mastūrah 15 hari harus pasangan suami isteri yang pernah khūruj mastūrah selama 3
hari, sedangkan amir mastūrah harus harus pernah khūruj selama 40 hari dan sudah pernah
khuruj mastūrah selama 15 hari
 Jama’ah mastūrah 40 hari dalam negeri dan negeri tetangga harus pernah khūruj 4 bulan,
khuruj mastūrah 15 hari atau lima kali khuruj mastūrah tiga kali dan ditafaqud oleh Syura
Indonesia
 Jama’ah mastūrah 2 bulan ke India dan Pakistan harus pernah khūruj mastūrah 15
 hari atau 40 hari, ditafaqud oleh Syura Indonesia dan mendapatkan Syura Nizamuddin.
 Jammah yang mau keluar Masturoh tidak dibolehkan membawa anak
 Wanita yang hamil boleh mengikuti mastūrah selama 3 hari
 Wanita yang ikut mastūrah harus tinggal di rumah, tidak boleh tinggal di masjid
 Jumlah mastūrah minmal 4 pasang suami isteri dan maksimal tujuh pasang suami isteri

Pada mulanya kegiatan yang dipimpin oleh Maulana Muhammad Ilyas ini hanya
terkonsentrasi di Mewat, kemudian pada masa-masa selanjutnya kegiatan Jamaah Tabligh
berpusat di Masjid Bangle Wali, Nizamuddin, New Delhi. 1
Pada zamannya, ruang lingkup gerakan ini terbatas di India. Setelah Maulana Muhammad
Ilyas meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh puteranya, Maulana Muhammad Yusuf
al-Kandahlawi (1917-1965). Pada masa inilah, Jama’ahTabligh mengalami
perkembangan yang pesat, yaitu menyebar ke seluruh India, Pakistan, Bangladesh bahkan
melintasi pelbagai negara, hingga ke Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, Eropa hingga
Amerika Serikat.2

1 Muhammad Khalid Masud (ed.), Travellers in Faith; Studies of the Tablighi Jama’at as a
Transnational Islamic Movement for Faith Renewal (Leiden: Brill, 2000), vii.
2 Keterangan lebih lanjut, lihat M. Anwarul Haq, The Faith Movement of Maulana Muhammad Ilyas
(London: George Allen & Unwin Ltd., 1972).
Ia tidak sekedar berkaitan dengan pola-pola perilaku sebagai bagian dari respon
umat dalam interaksinya dengan hadis hadis Nabi, tetapi pengaruh signifikan
hadis terhadap kondisi dan pencapaian cita-cita umat itu sendiri.

Ini mengingatkan pada studi Woodward terhadap terjemah hadis Riyad as-Salihin
untuk melegitimasi kerjasama ormas keagamaan seperti NU dengan pemerintah
dan sebagai kritik terhadap kaum modernis, aktifis radikal dan penganut Islam
kejawen yang cenderung mengabaikan syariat. Terjemah hadis itu dilakukan
sebagai bagian dari komentar dan respon penerjemahnya atas situasi sosial yang
dihadapinya.22

Umumnya kajian living hadis memfokuskan pada pelbagai respon masyarakat


terhadap hadis berupa resepsi mereka terhadap teks hadis tertentu, hasil
pemahaman dan praktik yang dilakukannya.23 Resepsi sosial terhadap hadis
misalnya, dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti hadis tentang
shalawat yang kerap dijadikan landasan dalam tradisi shalawat pada acara atau
seremoni sosial keagamaaan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Studi tentang
tarian spiritual yang dilakukan oleh komunitas Joged Shalawat Mataram di
Yogyakarta menjadi contoh real fenomena living hadis. Tradisi tersebut
didasarkan pada sejumlah teks hadis yang memerintahkan untuk bershalawat atas
Nabi dan meneladaninya.24 Teks hadis yang hidup di masyarakat itulah yang
disebut dengan the living hadis.

Karena ia berkaitan dengan pola prilaku sebagai respon dan interaksi masyarakat
atas hadis, maka objek kajian living hadis sangat luas. Suryadilaga membaginya
ke dalam tiga wilayah kajian, yakni tradisi tulis, lisan dan praktik.25 Tradisi tulis
tidak hanya sebatas sebagai bentuk tulisan yang sering terpampang dalam tempat-
tempat yang strategis, tetapi juga tradisi tulis yang kuat dalam khazanah khas
Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi. Sedangkan tradisi lisan dalam living
hadis muncul seiring dengan praktik yang dijalankan oleh umat Islam, seperti
bacaan dalam salat shubuh di hari jum'at, tahlil, bacaan qunut subuh, shalawat,
talqi>n mayit, bacaan zikir dan do’a ba’da salat dan lainnya.26 Adapun tradisi
berupa praktik dalam living hadis merujuk pada praktik yang dilakukan oleh umat
Islam yang disandarkan pada hadis, seperti khitan perempuan, ruqyah, joged
shalawat, salat wetu telu, gerakan salat dhuha, pembacaan kitab hadis dan lainnya.

Kajian living hadis sebagaimana kajian ilmu-ilmu sosial tentu saja memiliki
potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan. Muhamad Ali misalnya,
mencontohkan bagaimana living hadis bisa menyentuh wilayah tradisi lisan dan
praktik keseharian yang luas, misalnya melalui bacaan, hapalan, lagu,
pemahaman, penerapan dan praktik masyarakat atau lembaga tertentu. Menarik
juga dikaji masalah hadis tertentu yang lebih populer di masyarakat tertentu
ketimbang ayat Al-Qur’an dan soal bagaimana bagaimana ayat dan hadis saling
menguatkan kepentingan dan konteks tertentu.32 Secara umum, Rafiq dalam
konteks penjelasannya tentang signifikansi studi living Al-Qur’an yang
dilakukannya, bisa dijadikan dasar untuk mempertegas signifikansi studi living
hadis dalam pengembangan kajian keislaman di Indonesia, di antaranya: 1)
perluasan bidang studi hadis khususnya dan kajian keislaman pada umumnya; 2)
penguatan penggunaan pendekatan multidisiplin terhadap studi hadis; dan 3)
pengungkapan beragam fenomena keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia.33

Dalam studi hadis, kajian living hadis tujuan utamanya adalah berusaha
menghubungkan fenomena hadis dengan fenomena masyarakat. Hadis dibatasi
oleh sanad dan matan, tetapi studi living hadis memperluasnya ke dalam
masyarakat yang menerima dan mempraktikkan kandungannya. Masyarakat
memproduksi sistem sosial, budaya dan agama berdasar pada penerimaannya atas
hadis. Dengan demikian, studi tentang hadis di sini bisa pula menjadi studi
tentang masyarakat itu sendiri. Karenanya studi hadis sangat penting dalam
menggunakan pendekatan multidisiplin yang bersifat empiris melalui ilmu-ilmu
sosial sebagai alat analisis.34 Ia tidak hanya menggunakan analisis teks, tetapi
juga analisis sosial, budaya dan sejarah untuk menunjukkan posisi hadis dalam
membentuk kehidupan masyarakat Muslim. Ia mengungkap fungsi aktual hadis
sebagai sebuah susunan teks, tulisan, pembacaan atau praktik ritual, di samping
fungsi idealnya sebagai pedoman. Sebagai susunan teks, hadis terdiri dari kata-
kata dan bahasa dengan makna tekstual tertentu. Sebagai tulisan, hadis bisa berupa
aksara Arab yang merangkai susunan hadis dalam satu atau sebagian kumpulan
hadis. Sebagai sebuah bacaan, hadis dibaca secara lisan. Sebagai praktik ritual,
hadis dijadikan landasan dalam kegiatan upacara atau ritual keagamaan di
masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, studi living hadis sangat penting dalam memberikan
informasi seputar tradisi Islam dan kaum Muslim di pelbagai wilayah lokal di
Indonesia, tidak hanya Melayu dan Jawa tetapi juga Sunda, Bali, Bugis, Dayak,
Ambon, Sasak, Papua dan lainnya. Studi fenomena budaya Islam lokal juga
penting dalam merespon narasi besar tentang masyarakat Muslim yang terlalu
digeneralisasi dan dianggap homogen. Ia tidaklah tunggal, tetapi sangat dinamis
sehingga tidak bisa dibatasi pada narasi dan pola yang sama. Bahkan kini
keragaman budaya lokal dan nasional semakin diperkaya dengan budaya
kosmopolit yang dihasilkan oleh budaya globalisasi jika tidak dikelola dengan
bisa saja mengancam keragaman budaya lokal di Indonesia.3

Dari teks hadis ke praktik masyarakat

Antropologi dipahami sebagai ilmu yang mengkaji tentang manusia (anthropos


dan logos). Meski banyak ilmu yang mempelajari tentang manusia, tetapi titik
tekan antropologi lebih pada masalah sejarah perkembangan manusia secara
biologis, ras, bahasa, dan budaya. Ia lalu dibedakan menjadi antropologi fisik dan
budaya. Antropologi budaya mengkaji tentang tujuh unsur budaya, yakni sistem
pengetahuan, ekonomi, teknologi, sosial, religi, kesenian dan bahasa. 37 Sistem
religi dan kepercayaan menjadi bagian penting dari kebudayaan.38 Ia kemudian
menjadi salah satu bidang spesialisasi dalam antropologi yang kemudian dikenal
dengan “antropologi agama.” Sebuah studi antropologis terhadap keyakinan,
institusi dan ideologi keagamaan

Dalam pandangan antropologi, fenomena living hadis sebagaimana juga


umumnya fenomena agama di masyarakat menunjukkan bahwa ia tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh budaya.45 Istilah budaya seringkali dipahami sebagai
hasil cipta, karsa dan rasa manusia melalui akal budinya (buddhi, buddhayah).46
Budaya memberi pengaruh signifikan dalam membentuk keragaman ekspresi
penerimaan hadis di kalangan kaum Muslim. Sumber teks hadis boleh jadi
umumnya sama, tetapi ekspresi dan kreasi penerimaannya di pelbagai wilayah
dunia Muslim berbeda-beda. Karenanya, posisi masyarakat sebagai penerima dan
pengembang budaya living hadis sangat signifikan. Terdapat sejumlah hadis yang
hanya bisa dipahami dengan baik secara kontekstual dengan menggunakan
perspektif masyarakatnya. Memahami hadis yang sudah dipraktikkan dan menjadi
tradisi di masyarakat menjadi tidak lengkap tanpa melibatkan kajian terhadap
masyarakat itu sendiri. Di sinilah arti penting antropologi bagi studi living hadis.

Karenanya, relevansi pendekatan antropologi bagi studi living hadis kiranya


terkait dengan kepentingannya untuk membantu mempelajari dinamika resepsi
hadis secara empirik. Kajian living hadis dalam hal ini harus diarahkan pada
konteks sosial budaya yang melingkupinya ketika hadis itu diresepsi dan
dipraktikkan saat ini. Pentingnya memahami hadis secara empiris ini terkait
dengan masyarakat sebagai pengguna dan penerima hadis itu sendiri. Tanpa
memahami masyarakat, maka pemahaman hadis dalam konteks saat ini menjadi
kurang sempurna.

Masyarakat melalui olah pikirnya membentuk dan mengkonstruksi ajaran hadis ke


dalam bentuk ritual, upacara dan tradisi yang melembaga dan diwariskan secara
turun-temurun. Masyarakat menerjemahkan ajaran hadis sesuai dengan
kebutuhannya di dalam lingkungan budayanya. Keragaman latar sosial budaya
melahirkan keragaman bentuk living hadis dalam setiap masyarakat.

Karenanya, kajian antropologi dalam living hadis pada akhirnya akan memberikan
gambaran tentang pengaruh keragaman budaya terhadap resepsi hadis di
masyarakat. Dalam konteks Islam di Indonesia, resepsi tersebut melahirkan
beragam tradisi Islam lokal di pelbagai daerah, seperti Jawa, Sunda, Bugis, Sasak
dan lainnya. Pemahaman tentang realitas living hadis yang berbeda bisa
menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan ajaran
Islam. Pemahaman hadis di pelbagai masyarakat yang tidak pernah bisa steril dari
pengaruh ragam latar budaya memunculkan kearifan dalam menerima perbedaan.
Living hadis mendorong upaya saling memahami di antara pelbagai keragaman
dalam praktik Islam dan agama lokal di Indonesia.47

Penerimaan akan keragaman tradisi Islam lokal dalam kajian living hadis
didasarkan pada landasan bahwa antropologi tidak mempersoalkan benar-
tidaknya, bidah-tidaknya, menyimpangtidaknya, ada tidaknya contoh Nabi,
bahkan dhaif-tidaknya sumber hadis dari suatu praktik living hadis di masyarakat.
Ia tidak berhak mengadili dan menilai. Antropologi berusaha memahami,
memaparkan dan menjelaskan praktik agama tanpa terlalu jauh melakukan
penilaian atas dasar keyakinan yang dianutnya.48 Bagi antropolog, biarlah para
ahli teologi yang melakukan pembuktian kebenaran praktik tersebut.49
Karenanya, siapapun bisa melakukan studi living hadis, Muslim atau Non
Muslim.

Praktik living hadis karenanya diharapkan memiliki kontribusi penting dalam


memperkuat apa yang disebut distingsi Islam Nusantara.50 Sebuah diskursus yang
menegaskan pentingnya penguatan identitas Islam lokal di Indonesia yang bagi
sebagian sarjana dianggap tidak betul-betul Islami, di mana living hadis juga
menjadi bagian penting dalam praktik keberagamaannya.51 Kajian living hadis
dengan menggunakan pendekatan antropologi dapat diarahkan pada analisis
konsep-konsep Islam lokal tentang bagaimana penerimaan hadis dan budaya di
masyarakat saling berinteraksi. Diskursus Islam lokal menjadi agenda penting
dalam konteks pengembangan studi living hadis di Indonesia. Sebuah cerminan
pertautan antara penerimaan Islam dan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan
penting artikulasi Islam di Nusantara yang sejak lama dikenal toleran dan
menerima perbedaan. Ia menjadi bagian dari keragaman “tradisi kecil” yang boleh
jadi tidak persis sama dengan “tradisi besar” Islam sebagai sumber awalnya.

Studi living hadis dan ragam perspektif antropologi Mengkaji living hadis dengan
pendekatan antropologi tidak bisa dilepaskan dengan ragam perspektif di
dalamnya. Para sarjana menyebut dengan beragam istilah yang boleh jadi secara
umum mengarah pada maksud yang kurang lebih sama, misalnya kerangka teori,
aliran, mazhab, paradigma hingga perspektif. Intinya semua merujuk pada cara
pandang teoritis peneliti dalam memahami budaya masyarakat yang bersumber
dari teori-teori antropolog sebelumnya. Peneliti akan dihadapkan pada ragam
pilihan perspektif antropologi termasuk dalam membaca tradisi living hadis. Bisa
saja peneliti menggunakan lebih dari satu perspektif antropologis untuk
penelitiannya. Pemahaman akan ragam perspektif antropologi ini penting untuk
memahami perkembangan teori-teori antropologi sekaligus untuk mempertajam
analisis terhadap objek pembahasan. Melalui analisis ragam perspektif pula
peneliti dituntut untuk memperjelas posisinya dalam perdebatan teoritis
antropologi yang selama ini berkembang. Berikut beberapa perspektif
antropologis yang diolah dari pelbagai sumber untuk dijadikan pijakan tepat oleh
para pengkaji living hadis.

Pertama, perspektif akulturasi. Perspektif ini merupakan perkembangan dari teori


klasik difusi kebudayaan yang saah satunya disebabkan adanya penyebaran
manusia. Penyebaran Islam dari Timur Tengah misalnya, melalui jalur budaya,
ekonomi, sosial dan politik kemudian menularkan budaya tertentu. Terjadi ragam
perubahan sebagai akibat adanya kontak budaya tersebut. Muncul konsep
akulturasi di mana suatu kebudayaan bertemu dengan budaya lain lalu mengambil
budaya baru tersebut dan mengubahnya menjadi seperti budaya sendiri.61
Pertemuan Islam dan budaya Jawa mengundang banyak analsis melalui perspektif
ini. Geertz misalnya, cenderung menganggap bahwa Islam di Jawa bercorak
sinkretik, artinya terdapat perpaduan di antara dua atau lebih budaya yang disebut
agama Jawa. Pandangan Geertz yang menggunakan konsep sinkretik selanjutnya
digunakan pula oleh Mulder, Koentjaraningrat dan Beatty.62 Sementara para
pengkritik Geertz seperti tampak pada Woodward, Pranowo, Muhaimin dan Nur
Syam cenderung menolaknya dan menganggap bahwa Islam dan budaya lokal
Jawa sesuatu yang akulturatif. Ia tidak antonim, tetapi kompatibel. Ada proses
mengambil dan menerima, sehingga terjadilah Islam tersebut sebagai agama yang
bercorak khas, Islam Jawa.63

Peneliti bisa menggunakan perspektif akulturatif dalam menganalisis gejala


sosial-budaya dalam konteks living hadis. Tradisi tahlilan di rumah keluarga yang
meninggal misalnya, tidak dipandang sinkretik atau tidak murni karena berbaur
dengan elemen pra-Islam. Melalui perspektif akulturatif, tradisi tersebut
dipandang secara positif bahwa Islam menyerap budaya lokal,
mengkompromikan, mengislamkan dan membentuknya menjadi identitas khas,
Islam lokal. Tidak ada bentuk sinkretisme atau sempalan di sini, yang ada adalah
proses akulturatif-kolaboratif yang positif dari tradisi lokal ke dalam tradisi Islam
lokal dan menjadi bagian dari identitasnya yang tidak terpisahkan.

Kedua, perspektif fungsional. Pengertian fungsi merujuk pada manfaat budaya


bagi kelangsungan masyarakat, baik laten (tidak disadari) maupun manifes (tidak
disadari atau dikehendaki). Fungsi religi misalnya, secara sosial dapat
mempersatukan masyarakat. Kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat
memiliki fungsi memelihara struktur masyarakat sehingga bisa lestari. Analisis
fungsional atau fungsional struktural dalam antropologi cenderung bersifat mikro
dan memiliki lokus terbatas (desa, komunitas, etnis dan lainnya).64 Karenanya
penggunaan perspektif fungsional dalam living hadis diarahkan pada fungsi
sosial-budaya praktik keseharian hadis dalam pandangan hidup, nilai, norma,
aturan dan perilaku masyarakat. Seluruh ritual Islam di masyarakat pada dasarnya
tidak bisa dilepaskan dari fungsi sosial-budaya. Salat, membaca Al-Qur’an, puasa,
Jumatan, muludan, haji, akikah dan lainnya, semua memiliki fungsi baik
psikologis, sosial, ekonomi maupun politik.

Salat berjamaah misalnya, memiliki fungsi sosial penting sebagai perekat


solidaritas sosial masyarakat. Begitu pun dzikir salah satunya berfungsi
menghindarkan diri dari kecemasan dan gangguan psikologis lainnya. Penelitian
antropologi Bowen menjelaskan bahwa salat di Indonesia memiliki banyak makna
dan fungsi sosial-politik. Ia bisa menjadi simbol perlawanan bagi masyarakat
Aceh, komunikasi di antara masyarakat Gayo dan menjadi penentu batas-batas
sosial di kalangan pengikut Islam Jamaah di Jakarta.65 Peneliti living hadis bisa
menggunakan perspektif ini untuk mengungkap ragam fungsi hadis dalam
kehidupan sosial-budaya masyarakat.

Ketiga, perspektif strukturalisme. Perspektif ini mendefinisikan budaya layaknya


struktur dalam bahasa. Ia memiliki pola atau model berupa relasi, oposisi biner
dan korelasi yang saling mempengaruhi di antara manusia dan tradisinya. Meski
etnis manusia di dunia berbedabeda, tetapi bukan berarti tidak terdapat pola atau
model dari realitas yang memiliki kesamaan sebagai pola umum yang berlaku
mendasar. Perspektif ini dirintis oleh Levi-Strauss. Ia umumnya dipakai untuk
membaca mitos dan dongeng yang hidup dalam struktur pengetahuan masyarakat
di masa lalu hingga sekarang.66 Peneliti bisa menggunakan perspektif ini untuk
menganalisis mitos atau dongeng di sekitar Nabi dan para sahabat yang
berkembang di masyarakat lokal. Bagi orang Sunda, cerita wawacan Amir
Hamzah, Nabi-Panghulu-Raja, Nabi Paras, barjanzi, wawacan Nabi Yusuf atau
cerita Keansantang yang bertemu Sayyidina Ali bisa menjadi objek kajian melalui
perspektif strukturalisme. Cerita tersebut boleh jadi bersumber dari sejumlah
hadis, athar sahabat atau kisah orang-orang suci yang masih hidup di masyarakat.
Analisis strukturalisme terhadap cerita tersebut bisa menjelaskan pola atau model
dari struktur pengetahuan orang Sunda.
Keempat, perspektif fenomenologi. Perspektif ini menggali secara mendalam
pelbagai gejala sosial-budaya dilihat dari sudut pandang, persepsi, pemikiran,
kemauan, dan keyakinan subjek penelitian (masyarakat) tentang sesuatu di luar
dirinya. Perspektif ini memiliki hubungan dekat dengan perspektif kognisi yang
mengkaji pikiran, mood, perasaan, keyakinan dan nilai yang dianut masyarakat.67
Ini terkait dengan kesadaran dan pandangan dunia subjek (pelaku) tentang “dunia”
tempat mereka berada, termasuk tradisi, ritual, upacara atau praktik yang mereka
lakukan. Karenanya perspektif ini—juga perspektif antropologi lainnya—tidak
berusaha menilai kebenaran pandangan pelaku tersebut. Peneliti “diam” dan
bertugas menggali pandangan subjektif pelaku tentang tradisinya dan masuk ke
dalam dunia pelaku yang ditelitinya (emik).68 Studi living hadis penting
menggunakan perspektif emik ini mengingat sejumlah tradisi akan lebih tepat bila
dipahami dengan menggunakan sudut pandang pelaku sebagai pemilik tradisi itu.
Tradisi “sumun” di masyarakat Sunda misalnya, awalnya berasal dari tradisi besar
Islam dalam Al-Qur’an dan hadis yang dikenal dengan konsep “tsumun”
(seperdelapan). Ia berarti bagian seperdelapan harta waris bagi istri mayit. Tetapi
bagi orang Sunda di Sumedang, konsep ini dipahami sebagai hibah (berapa pun
besarnya) dari anak pada janda mayit baik berkedudukan sebagai ibunya sendiri
maupun ibu tiri. Ini disebabkan pandangan orang Sunda bahwa penerima waris
dalam kenyataannya hanyalah anak kandung.69 Pandangan pelaku tradisi sumun
semacam ini tidak bisa dinilai oleh peneliti sebagai bentuk penyimpangan dari
ajaran tradisi besar Islam. Peneliti secara fenomenologis hanya berkewajiban
menggali cara pandang masyarakat tentang tradisi tersebut.

Kelima, perspektif hermeneutik, simbolik, atau interpretif. Inilah perspektif yang


banyak diminati para antropolog belakangan terkait budaya kaum Muslim.
Perspektif ini mencoba memahami gejala sosial budaya secara mendalam
layaknya sebuah teks (hermeneutik).70 Bila teks dipenuhi oleh simbol bahasa,
maka gejala sosial budaya juga pada dasarnya memiliki serangkaian simbol-
simbol berupa benda, perilaku, ritual, bacaan dan lainnya. Peneliti melalui
perspektif ini berusaha membaca, memahami dan menafsirkan jejaring makna
dalam simbol-simbol tersebut (interpretif, simbolik). Geertz menyebut perspektif
ini dengan thick description (deskripsi tebal). Ia bertugas menggali pandangan
subjektif pelaku tentang tradisinya dan masuk ke dalam dunia pelaku yang
ditelitinya (emik).68 Studi living hadis penting menggunakan perspektif emik ini
mengingat sejumlah tradisi akan lebih tepat bila dipahami dengan menggunakan
sudut pandang pelaku sebagai pemilik tradisi itu. Tradisi “sumun” di masyarakat
Sunda misalnya, awalnya berasal dari tradisi besar Islam dalam Al-Qur’an dan
hadis yang dikenal dengan konsep “tsumun” (seperdelapan). Ia berarti bagian
seperdelapan harta waris bagi istri mayit. Tetapi bagi orang Sunda di Sumedang,
konsep ini dipahami sebagai hibah (berapa pun besarnya) dari anak pada janda
mayit baik berkedudukan sebagai ibunya sendiri maupun ibu tiri. Ini disebabkan
pandangan orang Sunda bahwa penerima waris dalam kenyataannya hanyalah
anak kandung.69 Pandangan pelaku tradisi sumun semacam ini tidak bisa dinilai
oleh peneliti sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran tradisi besar Islam. Peneliti
secara fenomenologis hanya berkewajiban menggali cara pandang masyarakat
tentang tradisi tersebut.
Kelima, perspektif hermeneutik, simbolik, atau interpretif. Inilah perspektif yang
banyak diminati para antropolog belakangan terkait budaya kaum Muslim.
Perspektif ini mencoba memahami gejala sosial budaya secara mendalam
layaknya sebuah teks (hermeneutik).70 Bila teks dipenuhi oleh simbol bahasa,
maka gejala sosial budaya juga pada dasarnya memiliki serangkaian simbol-
simbol berupa benda, perilaku, ritual, bacaan dan lainnya. Peneliti melalui
perspektif ini berusaha membaca, memahami dan menafsirkan jejaring makna
dalam simbol-simbol tersebut (interpretif, simbolik). Geertz menyebut perspektif
ini dengan thick description (deskripsi tebal). Ia berusaha mendeskripsikan apa
yang sedang dikerjakan dan dipikirkan masyarakat untuk kemudian
diinterpretasikan.71 Penelitiannya tentang tradisi sabung ayam di Bali misalnya,
dipahaminya sebagai simbol dari “permainan mendalam” (deep play). Ia tidak
sekedar menunjukkan adu kekuatan ayam jago untuk berjudi, tetapi persaingan
pemiliknya untuk mendapatkan kekuatan. Ayam jago adalah simbol kejantanan
dan kebesaran status hirarki sosial pemiliknya.72

Perspektif ini sangat penting untuk memahami tradisi living hadis di masyarakat.
Tradisi sunat perempuan misalnya, meski tidak ada manfaatnya secara medis,
tetapi praktik ini tetap dilakukan. Sebuah praktik yang bisa dimaknai sebagai
upaya menempatkan anakanak dalam komunitas Muslim sebagai “pribadi
bermoral.”73 Umumnya praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan sebagai
sikap simbolik saja tanpa adanya pemotongan klitoris sebagaimana dilakukan di
negara-negara Afrika.74 Peneliti bisa terus menggali makna dari pelbagai simbol
tradisi tersebut melalui perspektif gender, psikologi, relasi sosial hubungannya
dengan hadis Nabi tertentu yang biasanya dijadikan sebagai landasan praktik
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai