DALAM DAKWAH
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah
Islam Perspektif Ilmu Budaya
Dosen Pembina :
Prof. Dr. Masdar Hilmy, MA., Ph.D.
Dr. Ngainun Naim, M.H.I
Dr. Phil. Syaifudin Zuhri
Oleh :
Abdulloh Faqih
NIM: 12502185021
Tulisan Barbara D. Metcalf disini sebenarnya kajian atas beberapa kitab paling
penting dalam Jamaah Tabligh, yang diantaranya adalah;
1. Fadha’il al-A’mal atau disebut juga dengan Tabligh al-Nisab, karya Mawlana
Muhammad Zakariya al-Kandahlawi. Kitab ini mulanya berbahasa Urdu dan
sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Kitab ini berisi tujuh
keutamaan, yaitu: keutamaan al-Qur’an, keutamaan shalat, keutamaan dzikir,
keutamaan tabligh, hikayat para sahabat, kemerosotan umat dan keutamaan
ramadhan.
2. Kitab lain yang juga dijadikan pegangan standar bagi para pengikut Jama’ah
Tabligh ini adalah Hayatus Sahabah, karya Mawlana Yusuf alKandahlawi,
putra Maulana Muhammad Ilyas,
3. Muntakhab Ahadits, yang juga merupakan karya Maulana Yusuf al -
Kandahlawi yang disusun kembali oleh Maulana Sa’ad al-Kandahlawi.
Dalam kitab Muntakhab Ahadits inilah dijelaskan secara detail enam prinsip
(ajaran) gerakan Jama’ah Tabligh, yang kemudian mereka sebut dengan
“enam sifat sahabat”. Keenam prinsip tersebut adalah: Pertama, mewujudkan
hakekat syahadat; Kedua, shalat; Ketiga, ilmu disertai dzikir; Keempat,
memuliakan sesama muslim; Kelima, ikhlas beramal (meluruskan niat); dan
Keenam, dakwah dan tabligh di jalan Allah. Keenam prinsip tersebut juga
merupakan metode dakwah yang dikembangkan oleh Jama’ah Tabligh.
Bahkan, mereka mengklaim bahwa enam prinsip yang dikenal sebagai “enam
sifat sahabat” ini merupakan cara yang paling mudah dan ringkas untuk
mendeskripsikan seluruh ajaran Islam.
Barbara D. Metcalf juga membahas tentang kehidupan wanita jamaah
tabligh (jamaah masturoh) sangat damai, dan jauh dari hiruk pikuk kepentingan
duniawi. Mereka berbuat semata-mata karena Allah. Tak ada bahasan politik dan
menghindari ikhtilaful mazahib dalam jihad para masturoh seperti halnya para
suami mereka. Tugas mereka hanya berbhakti kepada Allah dan rasulNya bersama
suami mereka. Dalam jamaah tabligh, tugas dakwah bukan untuk kaum laki-laki
saja, tetapi juga tanggung jawab seorang perempuan. Sebagaimana di zaman
Rasulullah, perempuan juga ikut berdakwah bahkan terlibat aktif dalam
peperangan saat itu, namun saat ini tugas terpenting mereka adalah menyampaikan
kisah-kisah teladan kepada anak-anak mereka.
Kelebihan yang paling menonjol dari tulisan Barbara D. Metcalf ini adalah
munculnya terma Living Hadits yang sebelumnya sudah ada istilah Living Sunnah
dan Living Qur’an, sehingga di kemudian hari menjadi kajian baru yang menarik
di kalangan akademisi, menggeser kajian living sunnah dan bahkan menjadi nama
sebuah Jurnal di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tulisan ini juga sangat jelas
sebagaimana membaca kitab tafsir tahlili.
Kekurangan dalam makalah ini adalah banyaknya kisah-kisah yang
dimuat, sehingga terasa menjenuhkan. Dari segi tampilan juga kurang menarik,
baik dari bentuk font maupun layoutnya dan juga sulit diterjemahkan karena
banyak idiom yang kurang difahami oleh mesin translate, sehingga membutuhkan
banyak bacaan pendukung untuk memahaminya.
Sekedar tambahan informasi tentang Living Hadis, disini saya mengutip
secara ringkas penjelasan Saifuddin Zuhri Qudsy dalam Jurnal Living Hadis,
UIN SUKA, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016. Beliau berpendapat;
Secara lebih detail dan terperinci, kemunculan terma living hadis ini saya
petakan menjadi empat bagian.
Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan, living hadis hanyalah satu
terminologi yang muncul di era sekarang ini. Secara kesejarahan
sebenarnya ia telah eksis, misalnya tradisi Madinah, ia menjadi living
sunnah, lalu ketika sunnah diverbalisasi maka menjadi living hadis.
Kedua, Pada awalnya, kajian hadis bertumpu pada teks, baik sanad
maupun matan. Di kemudian hari, kajian living hadis bertitik tolak dari
praktik (konteks), fokus kepada praktik di masyarakat yang diilhami oleh
teks hadis. Sampai pada titik ini, kajian hadis tidak dapat terwakili, baik
dalam ma’ānil ḥadīṡ ataupun fahmil ḥadīṡ.
Ketiga, dalam kajian-kajian matan dan sanad hadis, sebuah teks hadis
harus memiliki standar kualitas hadis, seperti ṡaḥiḥ, hasan, daīf, maudu’.
Berbeda dalam kajian living hadis, sebuah praktik yang bersandar dari
hadis tidak lagi mempermasalahkan apakah ia berasal dari hadis sahih,
hasan, daīf, yang penting ia hadis dan bukan hadis maudu’. Sehingga
kaidah kesahihan sanad dan matan tidak menjadi titik tekan di dalam
kajian living hadis
Keempat, membuka ranah baru dalam kajian hadis. Kajiankajian hadis
banyak mengalami kebekuan, terlebih lagi pada awal tahun 2000an kajian
sanad hadis sudah sampai pada titik jenuh, sementara kajian matan hadis
masih juga bergantung pada kajian sanad hadis.
Dalam jamaah tabligh, tugas dakwah bukan untuk kaum laki-laki saja, tetapi juga tanggung jawab
seorang perempuan. Sebagaimana di zaman Rasulullah, perempuan juga ikut berdakwah, tetapi dengan
peraturan dan tertib serta tujuan yang cukup jelas.
Usaha dakwah Mastūrah juga mempunyai tata tertib atau peraturan yang sangat ketat karena melibatkan
perempuan.
Ada beberapa syarat, peraturan dan tata tertib yang harus dipatuhi oleh Mastrūah, yang dijabarkan dari
berbagai sumber sebagai berikut ;
Jama’ah Mastūrah
Jama’ah Mastūrah harus musyawarah dengan markas, tidak boleh mastrūah tanpa
musyawarah markas oleh laki-laki
Dengan mahram haqiqi bagi jama’ah mastūrah tiga hari ialah isteri, anak wanita, ibu dan
suadara wanita. Sedangkan untuk mastūrah yang lebih tiga hari hanya boleh dilakukan oleh
isteri
Dengan burkah atau dengan yang dapat menutup wajah, kaki, tangan
Dakwah mastūrah ialah dakwah yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita, tetapi harus dengan
musyawarah laki-laki.
Jama’ah mastūrah tiga hari harus laki-laki yang pernah khuruj tiga hari, sedangkan wanita
harus pernah datang dalam acara malam ijtimā’ atau ta’lim mastūrah. Sedangkan untuk amir
jama’ah mastūrah harus pernah khūruj selama 40 hari dan pernah menjadi amir
Jamaah mastūrah 15 hari harus pasangan suami isteri yang pernah khūruj mastūrah selama 3
hari, sedangkan amir mastūrah harus harus pernah khūruj selama 40 hari dan sudah pernah
khuruj mastūrah selama 15 hari
Jama’ah mastūrah 40 hari dalam negeri dan negeri tetangga harus pernah khūruj 4 bulan,
khuruj mastūrah 15 hari atau lima kali khuruj mastūrah tiga kali dan ditafaqud oleh Syura
Indonesia
Jama’ah mastūrah 2 bulan ke India dan Pakistan harus pernah khūruj mastūrah 15
hari atau 40 hari, ditafaqud oleh Syura Indonesia dan mendapatkan Syura Nizamuddin.
Jammah yang mau keluar Masturoh tidak dibolehkan membawa anak
Wanita yang hamil boleh mengikuti mastūrah selama 3 hari
Wanita yang ikut mastūrah harus tinggal di rumah, tidak boleh tinggal di masjid
Jumlah mastūrah minmal 4 pasang suami isteri dan maksimal tujuh pasang suami isteri
Pada mulanya kegiatan yang dipimpin oleh Maulana Muhammad Ilyas ini hanya
terkonsentrasi di Mewat, kemudian pada masa-masa selanjutnya kegiatan Jamaah Tabligh
berpusat di Masjid Bangle Wali, Nizamuddin, New Delhi. 1
Pada zamannya, ruang lingkup gerakan ini terbatas di India. Setelah Maulana Muhammad
Ilyas meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh puteranya, Maulana Muhammad Yusuf
al-Kandahlawi (1917-1965). Pada masa inilah, Jama’ahTabligh mengalami
perkembangan yang pesat, yaitu menyebar ke seluruh India, Pakistan, Bangladesh bahkan
melintasi pelbagai negara, hingga ke Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, Eropa hingga
Amerika Serikat.2
1 Muhammad Khalid Masud (ed.), Travellers in Faith; Studies of the Tablighi Jama’at as a
Transnational Islamic Movement for Faith Renewal (Leiden: Brill, 2000), vii.
2 Keterangan lebih lanjut, lihat M. Anwarul Haq, The Faith Movement of Maulana Muhammad Ilyas
(London: George Allen & Unwin Ltd., 1972).
Ia tidak sekedar berkaitan dengan pola-pola perilaku sebagai bagian dari respon
umat dalam interaksinya dengan hadis hadis Nabi, tetapi pengaruh signifikan
hadis terhadap kondisi dan pencapaian cita-cita umat itu sendiri.
Ini mengingatkan pada studi Woodward terhadap terjemah hadis Riyad as-Salihin
untuk melegitimasi kerjasama ormas keagamaan seperti NU dengan pemerintah
dan sebagai kritik terhadap kaum modernis, aktifis radikal dan penganut Islam
kejawen yang cenderung mengabaikan syariat. Terjemah hadis itu dilakukan
sebagai bagian dari komentar dan respon penerjemahnya atas situasi sosial yang
dihadapinya.22
Karena ia berkaitan dengan pola prilaku sebagai respon dan interaksi masyarakat
atas hadis, maka objek kajian living hadis sangat luas. Suryadilaga membaginya
ke dalam tiga wilayah kajian, yakni tradisi tulis, lisan dan praktik.25 Tradisi tulis
tidak hanya sebatas sebagai bentuk tulisan yang sering terpampang dalam tempat-
tempat yang strategis, tetapi juga tradisi tulis yang kuat dalam khazanah khas
Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi. Sedangkan tradisi lisan dalam living
hadis muncul seiring dengan praktik yang dijalankan oleh umat Islam, seperti
bacaan dalam salat shubuh di hari jum'at, tahlil, bacaan qunut subuh, shalawat,
talqi>n mayit, bacaan zikir dan do’a ba’da salat dan lainnya.26 Adapun tradisi
berupa praktik dalam living hadis merujuk pada praktik yang dilakukan oleh umat
Islam yang disandarkan pada hadis, seperti khitan perempuan, ruqyah, joged
shalawat, salat wetu telu, gerakan salat dhuha, pembacaan kitab hadis dan lainnya.
Kajian living hadis sebagaimana kajian ilmu-ilmu sosial tentu saja memiliki
potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan. Muhamad Ali misalnya,
mencontohkan bagaimana living hadis bisa menyentuh wilayah tradisi lisan dan
praktik keseharian yang luas, misalnya melalui bacaan, hapalan, lagu,
pemahaman, penerapan dan praktik masyarakat atau lembaga tertentu. Menarik
juga dikaji masalah hadis tertentu yang lebih populer di masyarakat tertentu
ketimbang ayat Al-Qur’an dan soal bagaimana bagaimana ayat dan hadis saling
menguatkan kepentingan dan konteks tertentu.32 Secara umum, Rafiq dalam
konteks penjelasannya tentang signifikansi studi living Al-Qur’an yang
dilakukannya, bisa dijadikan dasar untuk mempertegas signifikansi studi living
hadis dalam pengembangan kajian keislaman di Indonesia, di antaranya: 1)
perluasan bidang studi hadis khususnya dan kajian keislaman pada umumnya; 2)
penguatan penggunaan pendekatan multidisiplin terhadap studi hadis; dan 3)
pengungkapan beragam fenomena keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia.33
Dalam studi hadis, kajian living hadis tujuan utamanya adalah berusaha
menghubungkan fenomena hadis dengan fenomena masyarakat. Hadis dibatasi
oleh sanad dan matan, tetapi studi living hadis memperluasnya ke dalam
masyarakat yang menerima dan mempraktikkan kandungannya. Masyarakat
memproduksi sistem sosial, budaya dan agama berdasar pada penerimaannya atas
hadis. Dengan demikian, studi tentang hadis di sini bisa pula menjadi studi
tentang masyarakat itu sendiri. Karenanya studi hadis sangat penting dalam
menggunakan pendekatan multidisiplin yang bersifat empiris melalui ilmu-ilmu
sosial sebagai alat analisis.34 Ia tidak hanya menggunakan analisis teks, tetapi
juga analisis sosial, budaya dan sejarah untuk menunjukkan posisi hadis dalam
membentuk kehidupan masyarakat Muslim. Ia mengungkap fungsi aktual hadis
sebagai sebuah susunan teks, tulisan, pembacaan atau praktik ritual, di samping
fungsi idealnya sebagai pedoman. Sebagai susunan teks, hadis terdiri dari kata-
kata dan bahasa dengan makna tekstual tertentu. Sebagai tulisan, hadis bisa berupa
aksara Arab yang merangkai susunan hadis dalam satu atau sebagian kumpulan
hadis. Sebagai sebuah bacaan, hadis dibaca secara lisan. Sebagai praktik ritual,
hadis dijadikan landasan dalam kegiatan upacara atau ritual keagamaan di
masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, studi living hadis sangat penting dalam memberikan
informasi seputar tradisi Islam dan kaum Muslim di pelbagai wilayah lokal di
Indonesia, tidak hanya Melayu dan Jawa tetapi juga Sunda, Bali, Bugis, Dayak,
Ambon, Sasak, Papua dan lainnya. Studi fenomena budaya Islam lokal juga
penting dalam merespon narasi besar tentang masyarakat Muslim yang terlalu
digeneralisasi dan dianggap homogen. Ia tidaklah tunggal, tetapi sangat dinamis
sehingga tidak bisa dibatasi pada narasi dan pola yang sama. Bahkan kini
keragaman budaya lokal dan nasional semakin diperkaya dengan budaya
kosmopolit yang dihasilkan oleh budaya globalisasi jika tidak dikelola dengan
bisa saja mengancam keragaman budaya lokal di Indonesia.3
Karenanya, kajian antropologi dalam living hadis pada akhirnya akan memberikan
gambaran tentang pengaruh keragaman budaya terhadap resepsi hadis di
masyarakat. Dalam konteks Islam di Indonesia, resepsi tersebut melahirkan
beragam tradisi Islam lokal di pelbagai daerah, seperti Jawa, Sunda, Bugis, Sasak
dan lainnya. Pemahaman tentang realitas living hadis yang berbeda bisa
menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan ajaran
Islam. Pemahaman hadis di pelbagai masyarakat yang tidak pernah bisa steril dari
pengaruh ragam latar budaya memunculkan kearifan dalam menerima perbedaan.
Living hadis mendorong upaya saling memahami di antara pelbagai keragaman
dalam praktik Islam dan agama lokal di Indonesia.47
Penerimaan akan keragaman tradisi Islam lokal dalam kajian living hadis
didasarkan pada landasan bahwa antropologi tidak mempersoalkan benar-
tidaknya, bidah-tidaknya, menyimpangtidaknya, ada tidaknya contoh Nabi,
bahkan dhaif-tidaknya sumber hadis dari suatu praktik living hadis di masyarakat.
Ia tidak berhak mengadili dan menilai. Antropologi berusaha memahami,
memaparkan dan menjelaskan praktik agama tanpa terlalu jauh melakukan
penilaian atas dasar keyakinan yang dianutnya.48 Bagi antropolog, biarlah para
ahli teologi yang melakukan pembuktian kebenaran praktik tersebut.49
Karenanya, siapapun bisa melakukan studi living hadis, Muslim atau Non
Muslim.
Studi living hadis dan ragam perspektif antropologi Mengkaji living hadis dengan
pendekatan antropologi tidak bisa dilepaskan dengan ragam perspektif di
dalamnya. Para sarjana menyebut dengan beragam istilah yang boleh jadi secara
umum mengarah pada maksud yang kurang lebih sama, misalnya kerangka teori,
aliran, mazhab, paradigma hingga perspektif. Intinya semua merujuk pada cara
pandang teoritis peneliti dalam memahami budaya masyarakat yang bersumber
dari teori-teori antropolog sebelumnya. Peneliti akan dihadapkan pada ragam
pilihan perspektif antropologi termasuk dalam membaca tradisi living hadis. Bisa
saja peneliti menggunakan lebih dari satu perspektif antropologis untuk
penelitiannya. Pemahaman akan ragam perspektif antropologi ini penting untuk
memahami perkembangan teori-teori antropologi sekaligus untuk mempertajam
analisis terhadap objek pembahasan. Melalui analisis ragam perspektif pula
peneliti dituntut untuk memperjelas posisinya dalam perdebatan teoritis
antropologi yang selama ini berkembang. Berikut beberapa perspektif
antropologis yang diolah dari pelbagai sumber untuk dijadikan pijakan tepat oleh
para pengkaji living hadis.
Perspektif ini sangat penting untuk memahami tradisi living hadis di masyarakat.
Tradisi sunat perempuan misalnya, meski tidak ada manfaatnya secara medis,
tetapi praktik ini tetap dilakukan. Sebuah praktik yang bisa dimaknai sebagai
upaya menempatkan anakanak dalam komunitas Muslim sebagai “pribadi
bermoral.”73 Umumnya praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan sebagai
sikap simbolik saja tanpa adanya pemotongan klitoris sebagaimana dilakukan di
negara-negara Afrika.74 Peneliti bisa terus menggali makna dari pelbagai simbol
tradisi tersebut melalui perspektif gender, psikologi, relasi sosial hubungannya
dengan hadis Nabi tertentu yang biasanya dijadikan sebagai landasan praktik
tersebut.