Anda di halaman 1dari 11

Muta’allim: Jurnal Pendidikan Agama Islam

e-ISSN: 2828-6227
Vol. 1, No. 1 (2022): page-page
http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/mjpai

Kehujjahan ‘Urf, Saddudzara’i, Mazhab Sahabat dan Syar’u Man Qablana


sebagai Sumber Hukum Islam yang Mukhtalaf

Mohammad Abdul Jabbar, Sabrina Salsabilla Ali


Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia
200101110147@student.uin-malang.ac.id

ABSTRACT

Studying the science of ushûl fiqh including knowing the sources of mukhtalaf Islamic law
is very important to learn because it is related to our daily muamalah activities. The
presence of various sources of Islamic law will have a positive influence, especially in
regulating the law in human life. In addition, with the source of Islamic law, we will not
easily fall into error or even be blind to something. In this article, we will review four
important components that are included in the types of sources of mukhtalaf Islamic law
(which are still debated or still being debated by scholars) including, 'urf, saddudzara'i,
syar'u man qablana and mazhab sahabat. To discuss the four points above, the author of this
article uses the literature review method in writing this research.

Keywords: Mazhab Sahabat; Saddudzara’i; Syar’u Man Qablana; ‘Urf

ABSTRAK

Mempelajari ilmu ushûl fiqih termasuk mengetahui sumber hukum Islam yang mukhtalaf
sangat penting untuk dipelajari karena berkaitan dengan kegiatan muamalah kita sehari-
hari. Hadirnya macam-macam sumber hukum Islam ini akan membawa pengaruh yang
positif utamanya dalam mengatur hukum-hukum dalam kehidupan manusia. Selain itu,
dengan mengetahui kehujjahan sumber hukum Islam kita tidak akan mudah terjerumus
ke dalam kesesatan atau bahkan sampai taklid buta terhadap sesuatu. Di dalam artikel ini
akan mengulas empat komponen penting yang termasuk ke dalam jenis sumber hukum
Islam mukhtalaf (yang masih diperdebatkan atau masih diperselisihkan oleh para ulama’)
diantaranya yakni, ‘urf, saddudzara’i, mazhab sahabat dan syar’u man qablana. Untuk
membahas keempat poin di atas, penulis artikel menggunakan metode kajian pustaka
dalam penulisan penelitian ini.

Kata-Kata Kunci: Mazhab Sahabat; Saddudzara’i; Syar’u Man Qablana; ‘Urf

PENDAHULUAN
Ilmu fiqih sangat berkaitan erat dengan hukum-hukum yang mengatur kegiatan
muamalah manusia. Tidak hanya di masa lalu saja, tetapi pada era sekarang pun masih terus
berguna karena harus mengikuti permasalahan yang semakin berkembang dari masa ke masa.
Dalam menghasilkan hukum-hukum itu sendiri diperlukan adanya cara atau metode yang
tepat agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan hukumnya mengingat akan

1
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

dijadikan sebagai pedoman bagi umat muslim. Sumber-sumber dan dalil-dalil yang dipakai
pun juga harus kredibel dalam proses pengambilan hukumnya.
Para ulama mengklasifikasikan sumber hukum Islam ke dalam dua macam, yakni
sumber hukum Islam muttafaq dan sumber hukum Islam mukhtalaf. Sumber hukum Islam
muttafaq diartikan sebagai sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh para ulama fiqih
khususnya. Diantara sumber-sumber yang termasuk ke dalam kriteria ini adalah Al-Qur’an,
sunnah Rasulullah (hadits), ijma’ dan qiyas.
Sedangkan yang dimaksud dengan sumber hukum Islam mukhtalaf ialah sumber hukum
Islam yang masih diperselisihkan oleh para ulama fiqih. Adapun sumber hukum yang
termasuk ke dalam golongan mukhtalaf yakni istihsan, istishab, maslahah mursalah, sadduddzara’i,
syar’u man qablana, ‘urf, dan mazhab sahabat.
Artikel ini ditulis untuk memahamkan pembaca bahwa penting sekali untuk
mengetahui dan memahami kehujjahan salah satu kajian dalam ilmu ushûl fiqih yakni
sumber hukum Islam yang diperselisihkan khususnya tentang ‘urf, saddudzara’i, mazhab
sahabat dan syar’u man qablana.
KAJIAN LITERATUR
1. Sumber Hukum Islam Mukhtalaf
Kata sumber menurut KBBI bermakna asal-usul sesuatu. Sedangkan hukum Islam
memiliki makna seperangkat aturan yang berlandaskan Al-Qur’an sebagai wahyuNya dan
hadits (sunnah) Nabi muhammad SAW mengenai perilaku manusia yang bersifat mengikat
bagi orang muslim.1 Jadi dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam mukhtalaf
didefinisikan sebagai dasar atau asal dari seperangkat hukum Islam yang tidak disepakati
atau diperselisihkan oleh ulama fiqih.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan memakai metode yang disebut
dengan kajian pustaka atau library research. Metode ini diambil dikarenakan dengan
pertimbangan untuk mendapatkan data melalui jurnal atau pun buku-buku yang
berkesinambungan dengan topik yang diangkat oleh peneliti. Data-data tersebut nantinya
digunakan sebagai sumber kajian sehingga dapat menghasilkan penjelasan serta catatan data
yang deskriptif yang bersumber dari teks yang diteliti. Peneliti memulai penelitian dengan
cara mengumpulkan teks dari berbagai sumber yang ada sebagai sumber data, kemudian
pembacaan teks-teks tersebut, menyaring keterangan atau penjelasan yang berkaitan dengan
topik yang akan diteliti, lalu dipahami dan pada langkah akhirnya akan dianalisis sebagai
data primer dalam penulisan karya ilmiah ini.
HASIL
Berdasarkan penelitian yang dikaji penulis dengan pendekatan kualitatif melalui library
research sebagai metode dalam mendapatkan data-data yang relevan dengan tema penelitian,
menunjukkan bahwa
1. ‘Urf
Sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka,
baik dari perkataan atau perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini juga

1
Siska Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum Islam,” Tahkim (Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam)
1, no. 1 (2018): 102–16, https://doi.org/10.29313/tahkim.v1i1.3174.

2
Kehujjahan ‘Urf, Saddudza’i, Mazhab Sahabat dan Syar’u Man Qablana sebagai Sumber Hukum Islam
yang Mukhtalaf
Mohammad Abdul Jabbar, Sabrina Salsabilla Ali
dinamakan ‘Adat (kebiasaan). Dan menurut para ahli hukum Islam tidak ada
perbedaan antara al-‘Urf dengan al-‘Adah”. ‘Urf terbagi dalam dua macam yakni ‘urf
shahih dan ‘urf fasid. Mengenai kehujjahannya, tidak ada ulama’ yang secara jelas
mengatakan bahwa ‘Urf bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum dan sebagai
sumber hukum.
2. Saddudzara’i
Menutup jalan atau mencegah hal- hal yang bisa membawa atau menimbulkan
terjadinya kerusakan. Kehujjahan saddudzara’i para ulama sepakat setuju apabila kecil
kemungkinannya dalam menjerumuskan ke dalam kerusakan.
3. Mazhab Sahabat
Semua perkataan, tindakan dan ketetapan sahabat dalam memutuskan suatu
persoalan dimana keputusan-keputusan atau fatwa-fatwa sahabat dalam berbagai
status hukum yang status hukumnya tidak ditentukan didalam nash Al-Qur`an dan
hadits dan tidak ada pula di dalam ijma’. Mengenai kehujjahannya para ulama sepakat
bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan sebagai hujjah atau alasan apabila perkataan
sahabat tersebut tidak termasuk ke dalam objek ijtihad.
4. Syar’u Man Qablana
Syariat yang telah berlaku pada masa umat sebelum Nabi Muhammad SAW
yang berhubungan dengan hukum Allah SWT. Kehujjahan syar’u man qablana menurut
ulama bahwa hukum-hukum yang di sebutkan dalam al- Qur’an dan al-Sunnah
meskipun objeknya tidak untuk Nabi Muhammad, selama tidak ada ketegasan atau
penjelasan tentang nasakhnya, maka hal tersebut berlaku pula untuk umat Nabi
Muhammad SAW.

PEMBAHASAN
1. ‘Urf
‘Urf, secara etimologi berasal dari akar kata bahasa arab ‫عرف – يعرف – عرفا‬2, yang
bermakna mengetahui.3 ‘Urf, digunakan dalam mengartikan sesuatu yang diketahui
dan dikenal, kemudian bisa juga digunakan dalam arti sesuatu yang dianggap baik
dan dapat diterima oleh akal sehat.4
Sedangkan menurut terminologi ahli Ushul Fiqh, Abdul Wahhab Khallaf dalam
Ilmu Ushul Fiqh menjelaskan bahwa :5
‫ ال فرق‬: ‫ ويُسمى العادة َ وفي لسان الشرعيّين‬،‫الناس وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك‬
ُ ‫العرف هو ما تعارفُه‬
‫بين العرف والعادة‬
Terjemah : “Urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan
dikerjakan oleh mereka, baik dari perkataan atau perbuatan atau sesuatu yang
ditinggalkan. Hal ini juga dinamakan ‘Adat (kebiasaan). Dan menurut para ahli
hukum Islam tidak ada perbedaan antara al-‘Urf dengan al-‘Adah”.
Dari pengertian Abdul Wahhab Khallaf tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa ‘Urf dengan ‘Adat itu memiliki kesamaan dalam segi

2 Muhammad Ma’shum, Amtsilah At-Tashrifiyyah (Kwaron Jombang: Maktabah Syekh Salim, 1965), 4.
3 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-
Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak.), 987.
4 Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 77.

5 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Mesir: Maktabah Dakwah Islamiyyah Syabab al-Azhar, n.d.),

89.

3
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

pengaplikasiannya. Tetapi sebagian Ulama’ yang lainnya, memiliki sudut pandang


yang berbeda untuk membedakan antara ‘Urf dengan ‘Adat. Al-Jurjaniy dalam
kitabnya al-Ta’rifat memberikan definisi ‘Urf sebagai berikut :6
‫النفوس عليه بشهادة العقول وتَلَقَّتْهُ الطبائ ُع بالقبول‬ ُ ْ‫ ما استقرت‬: ‫العرف‬
Terjemah : “Urf adalah sesuatu yang teguh di jiwa karena dapat diterima akal
sehat dan sejalan dengan tabiat manusia”.
Sedangkan dalam kitab al-‘Urf wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha’, ‘Adat didefinisikan
sebagai berikut :7
‫المتكرر من غير عالق ٍة عقلي ٍة‬ ُ ‫األمر‬
ُ
Terjemah : “Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional”.
Dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa ‘Urf dan adat adalah dua
hal yang memiliki makna yang sama. Dengan demikian, hukum adat adalah
seperangkat aturan tingkah laku positif yang dari satu sisi ada sanksinya (karena itulah
ia menjadi hukum) dan sisi lain dalam keadaan tidak dicatat sebagai hukum (itulah
yang dinamakan adat kebiasaan).
Adapun menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya, ‘urf terbagi menjadi
dua, yakni :8
a. ‘Urf Shahih
‫محرما وال يبطل واجبا‬
ّ ‫ وال يحل‬،‫ وال يخالف دليال شرعيا‬،‫العرف الصحيح هو ما تعارفه الناس‬
Terjemah : “Perkara yang saling diketahui manusia, dan tidak
menyalahi dalil Syari’at, yang tidak menghalalkan perkara yang haram
dan tidak membatalkan perkara yang wajib”.
Contoh : Seperti orang yang saling mengetahui suatu Aqad untuk
melakukan sesuatu.
b. ‘Urf Fasid
‫العرف الفاسد هو ما تعارفه الناس ولكنه يخالف الشرع أو يحل المحرم أو يبطل الواجب‬
Terjemah : “Perkara yang saling diketahui manusia, tapi berlainan dari
Syari’at, yang menghalalkan perkara yang haram dan membatalkan
perkara yang wajib”.
Contoh : Seperti orang yang saling mengetahui makan riba itu haram,
tapi dia menghalalkannya dengan cara melakukan perbuatan tersebut.
Sebagai dalil syara’, kehujjahan ‘Urf didasarkan atas argumen-argumen berikut
ini : 9
a. Firman Allah Pada QS. Al-A’raf Ayat 199
َ‫عن ْال َجاهلين‬ َ ‫ض‬ ْ ‫ُخذ ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْر ب ْالعُ ْرف َوأَعْر‬
Terjemah : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh.”
b. Ucapan Sahabat Rasulullah SAW Abdullah Bin Mas’ud
‫ئ‬ َ َ‫س ٌن َو َما َرآهُ ْال ُمسْل ُم ْون‬
َ ‫سيّئا ً فَ ُه َو ع ْندَ الله‬
ٌ ّ‫سي‬ َ ‫فَ َما َرآهُ ْال ُمسْل ُم ْونَ َح‬
َ ‫سنا ً فَ ُه َو ع ْندَ اللّه َح‬
Terjemah : “Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan
kebaikan maka ia di sisi Allah juga merupakan kebaikan. Dan apa saja

6 Ali ibn Muhammad Al-Jurjaniy, At-Ta’rifat (Beirut Lebanon: Dar al-Kotob, 1983), 149.
7 Ahmad Fahmi Abu Sunnah, Al-‘Urf Wa Al-‘Adah Fi Al-Ra’Yi Al-Fuqaha’ (Kairo Mesir: Lembaga
Penerbitan Al-Azhar, 1947), 10.
8 Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh.

9 Sucipto, “‘Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam,” Asas 7, no. 1 (2015): 25–40.

4
Kehujjahan ‘Urf, Saddudza’i, Mazhab Sahabat dan Syar’u Man Qablana sebagai Sumber Hukum Islam
yang Mukhtalaf
Mohammad Abdul Jabbar, Sabrina Salsabilla Ali
yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan maka ia di sisi
Allah juga merupakan keburukan.”
Dalam kajian Harun Nashrun, Imam Syathibi dan Imam Ibn Qayyim al-
Jauziyah menerima dan menjadikan ‘Urf sebagai dalil syara’ dalam menentukan
hukum, jika memang tidak ada nash yang menjelaskan tentang masalah tersebut.10
Jadi, ‘Urf itu bukan suatu dalil yang bisa berdiri sendiri di dalam syari’at, dan
hukumnya tidak berdasarkan ‘Urf itu sendiri, tetapi hanyalah dalil yang dapat
membawa kita untuk memahami maksud yang diharapkan oleh berbagai redaksi nash
dan apapun yang terlibat di dalamnya. Disamping itu, menjadi pengkhusus bagi dalil
yang umum dan pengikat bagi dalil yang mutlaq. Menurut kesepakatan ulama’ Ushul
Fiqh, ‘Urf yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil Syara’ haruslah dijaga dan
dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. ‘Urf yang tidak bertentangan dengan
syara’, menurut Nashrun Haroen itu bisa dijadikan sebagai hujjah.11 Perlu diketahui,
bahwa dalam kajian ‘Urf, berada dibawah judul besar al-Istidlal. Sedangkan al-Istidlal
sendiri berarti :12
‫ما ليس بنص و ال إجماع و ال قياس‬
Terjemah : “(Mengmbil dalil dalam) perkara yang tidak ada dalam nash
maupun ijma’ atau qiyas.”
Sebagai kesimpulan, dari berbagai literatur yang telah saya baca, tidak ada
ulama’ yang secara jelas mengatakan bahwa ‘Urf bisa dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum dan sebagai sumber hukum
2. Saddudzara’i
Sadd Adz-Dzari’ah, berasal dari dua kata yang mengandung unsur Idhafah
(frasa), yakni Sadd dan Dzari’ah. Kata Sadd bermakna :13
‫إغالق الخلل ورد ُم الث ّلم بمعنى المن ُع‬
ُ ‫السدّ بمعنى‬
Terjemah : “Menutup cela, dan menutup kerusakan, dan juga berarti
mencegah atau melarang.”
Kata Dzari’ah bermakna :14
ّ ‫الذريعة بمعنى الوصيلةُ التي يتو‬
ّ ‫ص ُل بها إلى الشيئ سواء كان ح‬
‫سيا أو معنويّا‬
Terjemah : “Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi
(baik atau buruk)”
Ibnu Qayyim Al-Jauzi m engomentari pengertian tersebut di atas ke dalam
rumusan definisi tentang dzari’ah, yakni :15
‫شيْئ‬َّ ‫لى ال‬ َ ‫َما َكانَ َوصيـْلَةً َو‬
َ ‫طريـْقًا إ‬
Maksudnya, perkara-perkara yang menjadikan perantara atau jalan menuju
sesuatu. Jadi, menurut sudut pandangnya, pembatasan pengertian Dzari’ah bertujuan
kepada sesuatu yang di anjurkan. Oleh sebab itu, pengertian Dzari’ah lebih baik
dijelaskan dengan pengertian yang bersifat umum, sehingga Dzari’ah mengandung
dua pengertian, yakni sesuatu yang dilarang disebut Sadd al-Dzari’ah, sedangkan
sesuatu yang dituntut disebut Fath al-Dzari’ah.

10 Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan (Ponorogo: Darussalam Press, 1999), 33.


11 Harun Nashroen, Ushul Fiqh, 1st ed. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 142.
12 Hakim, Al-Bayan.

13 Su’ud Bin Mulluh Sultan Al ‘Anzi, Saddu Dzara’i ’Inda Al-Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah Wa Atsaruhu Fi

Ikhtiyaratihi Alfiqhiyyahh (Oman: Dar al-Atsariyyah, 2007), 37.


14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 2nd ed. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 398.

15 Ibnu Qayyim Al-Jauzi, I’lamul Muqi’in, Jilid 5, 496.

5
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

Dari semua definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa, metode ini
mengandung dua unsur :
a. Kerusakan (Mafsadah), yaitu setiap pekerjaan yang sebenarnya boleh
dilakukan namun berujung pada keharaman disebabkan adanya
potensi kerusakan
b. Kebaikan (Maslahah), yaitu setiap pekerjaan mubah yang dianjurkan
disebabkan adanya potensi kebaikan
Kesimpulan dari penjelasan ini, yang menjadi hal paling penting dan pokok
untuk diperhatikan dalam melakukan suatu tindakan yang berhukum mubah adalah
efek sampingnya. Jika efeknya baik, maka dianjurkan. Jika efeknya justru
menimbulkan kerusakan, maka hukumnya haram. Abdullah bin Yusuf al-Jadi’
menggambarkan Sadd Adz-Dzari’ah sebagai sebuah media yang memungkinkan
berujung pada keharaman, atau bisa juga menjadi media menuju sesuatu yang
dianjurkan. Lebih jelasnya, dalam kitab Taisir al-Ilm al-Ushul al-Fiqh beliau menjelaskan
:16
ٌ‫ وما أدّى إلى الممنوع فهو ممنوع‬،ٌ‫أن ما أدّى إلى المشروع فهو مشروع‬ ّ
Terjemah : “Sesungguhnya, setiap media (mubah) yang berujung pada sesuatu
yang dianjurkan maka hukumnya juga dianjurkan, dan setiap media yang berujung
pada sesuatu yang dilarang maka hukumnya juga dilarang.”
Sebagai dalil syara’, kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah didasarkan atas argumen-
argumen berikut ini :17
a. Firman Allah pada Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 108
َ ‫عد ًۢ ًْوا بغَيْر ع ْل ٍم ۗ َك َٰذَلكَ زَ يَّنَّا ل ُك ّل أ ُ َّم ٍة‬
‫ع َملَ ُه ْم ث ُ َّم إلَ َٰى َربّهم‬ ۟ ‫سب‬
َ َ‫ُّوا ٱللَّه‬ ُ َ‫ُّوا ٱلَّذينَ يَ ْدعُونَ من دُون ٱللَّه فَي‬ ۟ ‫سب‬ ُ َ ‫َو َال ت‬
ُ ۟
َ‫َّم ْرجعُ ُه ْم فَيُنَبّئ ُ ُهم ب َما كَانُوا يَ ْع َملون‬
Terjemah : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Ayat ini mengindikasikan larangan kaum Muslimin mencaci dan
menghina sesembahan non Muslim, karena berpotensi munculnya
tindakan orang-orang Musyrik untuk mencaci dan mencela Allah SWT.
b. Hadits Rasulullah SAW
‫ إ َّن م ْن أ َ ْكبَر ْال َكبَائر‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫علَيْه َو‬ َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ‫سو ُل اللَّه‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْن ُه َما قَال‬ َ ُ‫ي اللَّه‬ َ ‫ع ْم ٍرو َرض‬ َ ‫عبْد اللَّه ْبن‬ َ ‫ع ْن‬ َ
َّ ‫ يَسُبُّ ال َّر ُج ُل أَبَا‬:َ‫الر ُج ُل َوالدَيْه؟ قَال‬
‫الر ُجل‬ َّ ُ‫ْف يَ ْل َعن‬ َ َ ‫ي‬‫ك‬َ ‫و‬ ‫ه‬ َّ ‫ل‬‫ال‬ ‫ل‬َ ‫و‬‫س‬ُ ‫ر‬َ ‫ا‬ ‫ي‬
َ :َ
‫ل‬ ‫ي‬ ‫ق‬ ،‫ْه‬ ‫ي‬َ ‫د‬ ‫ال‬ ‫و‬
َ ُ
‫ل‬ ‫ج‬
ُ ‫الر‬
َّ َ‫ن‬ ‫ع‬
َ ‫ل‬ْ ‫ي‬
َ ‫ن‬ ْ َ‫أ‬
ُ ‫فَ َيسُبُّ أ َ َباهُ َو َيسُبُّ أ ُ َّمه‬
Terjemah : “Dari Abdullah bin Amru radhiyallahu anhuma, dia
berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya termasuk di antara dosa terbesar adalah seseorang
melaknat kedua orang tuanya sendiri.” Beliau ditanya, “Bagaimana
mungkin seseorang tega melaknat kedua orang tuanya?” Beliau
menjawab, “Seseorang memaki (melaknat) ayah orang lain, kemudian
orang tersebut membalas mencela ayah dan ibu orang yang memaki
tadi.”

16 Abdullah Al-Jadi’, Taisir Al-Ilm Al-Ushul Al-Fiqh, 2nd ed. (Beirut Lebanon: Dar al-Minhaj, n.d.), 58.
17 Moh Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, Aura, 1st ed., vol. 53 (Bandar Lampung: Aura, 2019).

6
Kehujjahan ‘Urf, Saddudza’i, Mazhab Sahabat dan Syar’u Man Qablana sebagai Sumber Hukum Islam
yang Mukhtalaf
Mohammad Abdul Jabbar, Sabrina Salsabilla Ali
Imam Syathibi menjadikan hadits ini sebagai salah satu dasar hukum
bagi konsep Sadd Adz-Dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut,
menurutnya, dugaan (Dzan) bisa digunakan sebagai dasar untuk
penetapan hukum dalam konteks Sadd Adz-Dzari’ah.18
c. Kaidah fiqih
‫درء المفاسد أولى من جلب المصالح‬
Terjemah : "Menolak keburukan (Mafsadah) itu lebih diutamakan
daripada meraih kebaikan (Maslahah)".
Kaidah ini merupakan kaidah mendasar yang dapat mencakup
berbagai masalah turunan di bawahnya. Dengan demikian, Sadd Adz-
Dzari’ah juga bisa disandarkan kepada kaidah tersebut. Hal ini pun bisa
dipahami, karena dalam Sadd Adz-Dzari'ah ada unsur mafsadah yang
harus dihindari.19
3. Mazhab Sahabat
Mazhab sahabat biasa juga disebut dengan qaul shahabi. Kata qaul berasal dari
bentuk masdar kata qâla – yaqûlu - qaulan yang memiliki arti ucapan atau perkataan.
Kata shahabi sendiri bermakna orang beragama Islam yang menjalin hubungan
persahabatan dengan Rasulullah SAW. Dalam ilmu ushûl fiqih qaul shahabi diartikan
dengan
‫فتوى الصحابى بانفراده قوله‬
Terjemah : “fatwa sahabat (Nabi Muhammad SAW) yang berbentuk ucapan
dengan dasar (pendapat) pribadinya.”
Terdapat perselisihan dalam pemaknaan kata sahabat diantara ulama hadits
dan ulama ushuli. Menurut ulama hadits yang dimaksud dengan sahabat ialah orang
yang berkumpul dengan Nabi Muhammad SAW beragama Islam dan mati dalam
keadaan beriman. Sedangkan menurut ulama ushuli sahabat mengandung pengertian
orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW serta hidup
bersamanya dalam waktu yang cukup lama sehingga dengan demikian mereka
disebut shahabi secara ‘urf. Masing-masing pendapat berdasar kepada lama tidaknya
seseorang dalam bertemu Rasulullah.20
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mazhab sahabat berarti
pendapat atau argumen dari sahabat Nabi Muhammad SAW mengenai sebuah
permasalahan yang mana hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits
secara tegas sehingga membutuhkan ijtihad dalam menghukuminya.21
Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang menjadi dasar
atau landasan bagi mazhab sahabat, yaitu :
‫أصحابي كالنجوم فبأيهم اقتديتم اهديتم‬
Terjemah : “Para Sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa pun di antara
mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapatkan petunjuk”.
Melalui hadits di atas, bisa kita pahami bersama bahwa semua sahabat Nabi
Muhammad SAW bisa dijadikan petunjuk.

18 Muhamad Takhim, “Saddu Al-Dzari’ah Dalam Muamalah Islam,” AKSES: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis 14,

no. 1 (2020): 19–25, https://doi.org/10.31942/akses.v14i1.3264.


19 Takhim.

20 Abdul Hakim, “Eksistensi Qaul Al-Shahabi Sebagai Dalil Syar’I,” Jurnal Ilmiah Mizani: Wacana Hukum,

Ekonomi Dan Keagamaan 6, no. 1 (2019): 37, https://doi.org/10.29300/mzn.v6i1.2199.


21 A Khisni, Epistemologi Hukum Islam, UNISSULA Press Semarang, 1st ed. (Semarang, 2015).

7
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

Adapun macam-macam dari mazhab sahabat adalah sebagai berikut :22


a. Para ulama sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan sebagai
hujjah atau alasan apabila perkataan sahabat tersebut tidak termasuk ke
dalam objek ijtihad. Hal ini dikarenakan kemungkinan sima’ dari
Rasulullah SAW sangat besar yang menjadikan perkataan sahabat ini
menjadi hadits mauquf.
b. Perkataan sahabat yang telah disepakati oleh sahabat yang lainnya.
Kategori ini dapat dijadikan hujjah karena termasuk dalam jenis ijma’
c. Menurut orang-orang yang berpendapat bahwa ijma’ sukuti bisa
dijadikan sebagai hujjah, jika terdapat perkataan sabahat yang telah
tersebar di kalangan para sahabat dan tidak didapati sahabat yang
menolak atau mengingkari, maka tetap bisa dijadikan sebuah hujah
karena dianggap menjadi bagian dari ijma’ sukuti.
d. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya sendiri. Jenis seperti
inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai
keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam karena tidak diketahui
tersebarnya pendapat tersebut di kalangan sahabat yang lain serta tidak
diketahui juga apakah ada sahabat lain yang menolaknya dan tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits.
Diantara para ulama yang sepakat bahwa mazhab sahabat bisa dijadikan
sebagai hujjah adalah Imam Malik dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat dengan
berdasar kepada dalil ayat Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 100 yang berbunyi :23
ٍ َّ‫عدَّ لَ ُه ْم َج َٰن‬
‫ت‬ َ َ ‫ع ْنهُ َوأ‬ ۟ ‫ع ْن ُه ْم َو َرض‬
َ ‫ُوا‬ َ ُ‫ى ٱللَّه‬
َ ‫س ٍن َّرض‬ َ َٰ ْ‫صار َوٱلَّذينَ ٱتَّبَعُوهُم بإح‬ َ ‫سبقُونَ ٱ ْأل َ َّولُونَ منَ ٱ ْل ُم َٰ َهجرينَ َوٱ ْألَن‬ َّ َٰ ‫َوٱل‬
َٰ
‫تَجْ رى تَحْ ت َ َها ٱ ْأل َ ْن َٰ َه ُر َٰ َخلدينَ في َها ٓ أ َ َبدًا ۚ ذَلكَ ٱ ْلف َْو ُز ٱ ْل َعظي ُم‬
Terjemah : “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.”
Sebaliknya, adapun ulama yang menolak mazhab sahabat sebagai hujjah yakni
Imam Al- Ghazali, jumhur Al-Asya’irah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. dalil yang
mendasarinya adalah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59.24
‫لرسُول‬ َ ‫سو َل َوأ ُ ۟ولى ٱ ْأل َ ْمر من ُك ْم ۖ فَإن ت َ َٰنَزَ ْعت ُ ْم فى‬
َّ ‫ش ْىءٍ فَ ُردُّوهُ إلَى ٱللَّه َوٱ‬ ُ ‫لر‬َّ ‫وا ٱ‬ ۟ ُ‫وا ٱللَّهَ َوأَطيع‬ ۟ ُ‫َٰ ٓيَأَيُّ َها ٱلَّذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا أَطيع‬
ْ
ً ‫سنُ ت َأو‬
‫يال‬ َٰ
َ ‫إن ُكنت ُ ْم تُؤْ منُونَ بٱللَّه َوٱ ْليَ ْوم ٱ ْل َءاخر ۚ ذَلكَ َخي ٌْر َوأ َ ْح‬
Terjemah : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Beberapa contoh dari mazhab sahabat atau qaul shahabi yang biasa
bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari, seperti penambahan adzan shalat

22 Dewi Masyithoh, Buku Fikih Kelas XII, 1st ed. (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah Direktorat Jenderal

Pendidikan Islam, 2019).


23 Nurkholis Nurkholis and Muhammad Singgih, “Hujjah Qaul Shahabat Dalam Perspektif Hukum

Islam,” An Naba’: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Pendidikan Islam 1, no. 1 (2018): 31–45.
24 Nurkholis and Singgih.

8
Kehujjahan ‘Urf, Saddudza’i, Mazhab Sahabat dan Syar’u Man Qablana sebagai Sumber Hukum Islam
yang Mukhtalaf
Mohammad Abdul Jabbar, Sabrina Salsabilla Ali
juma’at dan penyebaran Al-Quran yang bermushaf Utsmani pada masa khalifah
Utsman bin Affan serta pendapat dari Anas bin Malik mengenai lamanya haid seorang
wanita minimal selama 3 hari.25
4. Syar’u Man Qablana
Pengertian kata syar’u secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang berari
mengalir, jika dikaitkan dengan ilmu ushûl fiqih maka memiliki makna hukum
syariat.26 Kata qablana berarti sebelum Islam.27 Jadi, istilah syar’u man qablana bermakna
syariat atau ajaran nabi-nabi Allah yang diturunkan Allah SWT sebelum masa adanya
umat Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum.
Hal ini berkaitan dengan wahyu Allah SWT dalan Al-Qur’an surat Al-Syuura
ayat 13
َ ‫س ًّمى لَّقُض‬
‫ى بَ ْينَ ُه ْم ۚ َوإ َّن‬ َ ‫سبَقَتْ من َّربّكَ إلَ َٰ ٓى أ َ َج ٍل ُّم‬ َ ٌ‫َو َما تَف ََّرقُ ٓو ۟ا إ َّال م ًۢن بَ ْعد َما َجا ٓ َء ُه ُم ٱ ْلع ْل ُم بَ ْغ ًۢيًا بَ ْينَ ُه ْم ۚ َولَ ْو َال كَل َمة‬
ٍ ‫ب م ًۢن َب ْعده ْم لَفى ش ٍَّك ّم ْنهُ ُمري‬
‫ب‬ َ َ ‫وا ٱ ْلك َٰت‬
۟ ُ ‫ٱلَّذينَ أُورث‬
Terjemah : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).”
Syar’u Man Qablana sendiri dikelompokkan menjadi tiga macam kategori,
diantaranya adalah : 28
a. Syariat yang diturunkan untuk umat sebelum umat Rasulullah SAW.
Namun di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak menyinggungnya apakah
dinasakh atau menjadi bagian dari syariat kita
b. Syariat yang diturunkan kepada umat terdahulu dan tidak termasuk ke
dalam syariat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW karena telah
dinasakh syariat Islam. Contohnya pada zaman Nabi Musa a.s dahulu,
cara seseorang bertaubat adalah dengan bunuh diri. Namun, pada
zaman Rasulullah SAW turunlah ayat yang membahas mengenai cara
bertaubat dengan meminta ampun kepada Allah SWT. Oleh karena itu,
syariat bertaubat pada masa Nabi Musa a.s tidak berlaku lagi (mansukh)
c. Syariat yang diturunkan untuk umat sebelum umat Nabi Muhammad
SAW lalu dibahas atau diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits.
Contohnya adalah syariat atau perintah tentang berpuasa dalam Al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183.
َ‫علَى ٱلَّذينَ من قَبْل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ‫ب‬ َ ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ ّ ‫علَ ْي ُك ُم ٱل‬ َ ‫ب‬ َ ‫وا ُكت‬۟ ُ‫َٰ ٓيَأَيُّ َها ٱلَّذينَ َءا َمن‬
Terjemah : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa.”
Mengenai kehujjahan syar’u man qablana menurut Imam Abu hanifah, Imam
Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa hukum

Hakim, “Eksistensi Qaul Al-Shahabi Sebagai Dalil Syar’I.”


25

Imam Yazid, “Analisis Teori Syar’u Man Qablana,” Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam
26

Vol 5, no. 1 (2017): 369–80, http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/alusrah/article/view/1343.


27 Masyithoh, Buku Fikih Kelas XII.

28 Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, 53:70.

9
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

hukum yang di sebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah meskipun objeknya tidak
untuk Nabi Muhammad, selama tidak ada ketegasan atau penjelasan tentang
nasakhnya, maka hal tersebut berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad SAW.29
Pada hakikatnya, syariat yang diperintahkan Allah SWT kepada umat
terdahulu memiliki kesamaan pokok dengan syariat yang diturunkan pada masa
Rasulullah SAW yakni kesamaan mengenai konsep ketuhanan, akhirat, janji dan
ancaman Allah, dan lain sebagainya. Hal yang membedakan hanya detail rinciannya
saja karena sesuai dengan situai dan kondisi zaman pada masa itu.30
SIMPULAN
Dengan adanya sumber hukum Islam yang tidak disepakati (mukhtalaf) ini seiring
dengan berkembangnya zaman membuat kita sebagai umat Islam harus mengetahui dalil-
dalil hukum yang tidak disepakati. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kita memiliki bekal
pengetahuan yang cukup dan memadai serta tidak mudah terprovokasi atau dibodohi oleh
orang lain dalam menetapkan sebuah hukum. Misal dalam problematika kehidupan sehari-
hari hukum yang dipakai apakah merujuk kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Artinya, kita
harus menghindarkan diri jangan sampai ada keraguan mengenai suatu hukum serta jangan
sampai kita hanya asal ikut saja tanpa tahu dasarnya atau bahkan terlalu condong terhadap
suatu hukum tanpa paham apa dalil yang mejadi rujukannya.
REFERENSI
‘Anzi, Su’ud Bin Mulluh Sultan Al. Saddu Dzara’i ’Inda Al-Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah Wa
Atsaruhu Fi Ikhtiyaratihi Alfiqhiyyahh. Oman: Dar al-Atsariyyah, 2007.
Al-Jadi’, Abdullah. Taisir Al-Ilm Al-Ushul Al-Fiqh. 2nd ed. Beirut Lebanon: Dar al-Minhaj, n.d.
Al-Jauzi, Ibnu Qayyim. I’lamul Muqi’in. 5th ed., n.d.
Al-Jurjaniy, Ali ibn Muhammad. At-Ta’rifat. Beirut Lebanon: Dar al-Kotob, 1983.
Bahrudin, Moh. Ilmu Ushul Fiqh. Aura. 1st ed. Vol. 53. Bandar Lampung: Aura, 2019.
Hakim, Abdul. “Eksistensi Qaul Al-Shahabi Sebagai Dalil Syar’I.” Jurnal Ilmiah Mizani: Wacana
Hukum, Ekonomi Dan Keagamaan 6, no. 1 (2019): 37.
https://doi.org/10.29300/mzn.v6i1.2199.
Hakim, Abdul Hamid. Al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press, 1999.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Mesir: Maktabah Dakwah Islamiyyah Syabab al-
Azhar, n.d.
Khisni, A. Epistemologi Hukum Islam. UNISSULA Press Semarang. 1st ed. Semarang, 2015.
Ma’shum, Muhammad. Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kwaron Jombang: Maktabah Syekh Salim,
1965.
Masyithoh, Dewi. Buku Fikih Kelas XII. 1st ed. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, 2019.

29 Khisni, Epistemologi Hukum Islam.


30 Yazid, “Analisis Teori Syar’u Man Qablana.”

10
Kehujjahan ‘Urf, Saddudza’i, Mazhab Sahabat dan Syar’u Man Qablana sebagai Sumber Hukum Islam
yang Mukhtalaf
Mohammad Abdul Jabbar, Sabrina Salsabilla Ali
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan
Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, n.d.
Nashroen, Harun. Ushul Fiqh. 1st ed. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nurkholis, Nurkholis, and Muhammad Singgih. “Hujjah Qaul Shahabat Dalam Perspektif
Hukum Islam.” An Naba’: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Pendidikan Islam 1, no. 1 (2018):
31–45.
Sucipto. “‘Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam.” Asas 7, no. 1 (2015): 25–
40.
Sulistiani, Siska Lis. “Perbandingan Sumber Hukum Islam.” Tahkim (Jurnal Peradaban Dan
Hukum Islam) 1, no. 1 (2018): 102–16. https://doi.org/10.29313/tahkim.v1i1.3174.
Sunnah, Ahmad Fahmi Abu. Al-‘Urf Wa Al-‘Adah Fi Al-Ra’Yi Al-Fuqaha.’ Kairo Mesir: Lembaga
Penerbitan Al-Azhar, 1947.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. 2nd ed. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Takhim, Muhamad. “Saddu Al-Dzari’ah Dalam Muamalah Islam.” AKSES: Jurnal Ekonomi Dan
Bisnis 14, no. 1 (2020): 19–25. https://doi.org/10.31942/akses.v14i1.3264.
Yazid, Imam. “Analisis Teori Syar’u Man Qablana.” Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata
Sosial Islam Vol 5, no. 1 (2017): 369–80.
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/alusrah/article/view/1343.

11

Anda mungkin juga menyukai