Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ITTIBA’, TAQLID, DAN TALFIQ DALAM USHUL SERTA POLA


PEMIKIRAN DAN DASAR ISTINBATH HUKUM IMAM HANAFI
Makalah Ini dibuat Untuk Memenuhi Tugas Perbandingan Mazhab dalam Ushul
Dosen Pengampu : Mushodikin, SHI., MH

Disusun Oleh :
Satria Farhandhito Alfian (202121027)
Muhammad Nur Rohman (202121043)

KELAS 6A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SA’ID SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktunya.
Adapun tema dari makalah ini adalah “Ittiba’, Taqlid, dan Talfiq dalam Ushul
serta Pola Pemikiran dan Dasar Istinbath Hukum Imam Hanafi”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Bapak Mushodikin, SHI., MH selaku dosen pengampu mata
kuliah Hukum Keluarga di Negara Muslim yang telah memberikan tugas dan
pengarahan terhadap kami. Tak lupa juga kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.
Sehingga, Makalah ini bisa terselesaikan dengan baik.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya kami para mahasiswa.
Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Maka dari itu, kami berharap kritik dan saran dari para mahasiswa terkhusus
kepada dosen pengampu mata kuliah Perbandingan Mazhab dalam Ushul demi
suatu pembuatan makalah yang baik dan benar dimasa yang akan datang.

Sukoharjo, 6 April 2023

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................... ii


Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan ............................................................................................... 4
A. Latar Belakang ........................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
C. Tujuan ........................................................................................................ 5
BAB II Pembahasan ............................................................................................... 6
A. Ittiba’, Taqlid, dan Talfiq dalam Ushul ...................................................... 6
B. Pola Pemikiran dan Dasar Istinbath Hukum Imam Hanafi ...................... 10
BAB III Penutup .................................................................................................. 13
A. Kesimpulan .............................................................................................. 13
B. Saran ......................................................................................................... 14
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqih adalah metode untuk menggalli dan menetapkan
suatu hukum. Ilmu ini berguna untuk membimbing para mujtahid dalam
mengistibatkan hukum syara’ secara benar serta dapat dipertanggung
jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqih dapat ditemukan jalan keluar
dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan
dalil lainnya.
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak
dapat lepas dari ketentuan hukum syari at, baik hukum syari'at yang
tercantum di dalam Qur'an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum
pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum
syara' merupakan buah (imi) dari ilmu Fiqh dan Ushul figh. sementara
ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni
ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang- orang
mukallaf, baik berupa guidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir
(pilihan), maupun berupa wadhi(sebab akibat, yung di maksud dengan
ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap
sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf.
Dalam ushul fiqih juga dibahas masalah Ittiba’, taqlid dan talfiq.
Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya juga berbeda.Tetapi
ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam
Al-quran surat An-nahl ayat 43 yang artinya: “Dan kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada
mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui. Jangan sampai perbedaan pendapat di antara
kita menjadikan jalan untuk saling bercerai di dalam memperkokoh
kuatnya agama Islam, maka dari itu sudah seharusnya kita memahami atau

4
menegetahui tentang Ittiba’, taqlid dan talfiq . Maka pada kesempatan ini
makalah ini akan membahas tentang taqlid, ittiba’, talfiq, dan tarjih
berserta hukumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan hukum ittiba’ taqlid, dan talfiq?
2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam ittiba’ taqlid, dan talfiq?
3. Bagaimana pola pemikiran dan dasar istinbath hukum imam hanafi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan hukum ittiba’ taqlid, dan talfiq.
2. Untuk mengetahui hukum-hukum dalam ittiba’ taqlid, dan talfiq.
3. Untuk mengetahui pola pemikiran dan dasar istinbath hukum imam
hanafi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ittiba’, Taqlid, dan Talfiq dalam Ushul


1. Ittiba’
a) Pengertian
Kata "Itibbaa" berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata
kerja atau fi'il "Ittaba'a", "Yattbiu", "Ittiba'an", yang berarti
mengikuti atau menaati. Dalam agama, yaitu menerima apa yang
orang katakan atau katakan dan mengetahui mengapa (argumen),
baik proposisi Alquran dan Hadits dapat dijadikan sebagai bukti.
Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau orang-orang yang
membawa niat baik.1Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh
adalah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan
mengetahui dari mana asalnya atau mengapa. Imam Syafi'i yang
mencetuskan ittiba' mengikuti anjuran Nabi Muhammad SAW dan
para sahabat atau orang tabi'in yang mencetuskan kebijakan.
Orang yang melakukan ittiba' disebut mutabi' dan bentuk
jamaknya disebut muttab'un Dan seorang Muttabi’ harus
mengetahui bahasa arab atau dalilnya tetapi tidak harus tahu
mengetahui sah atau tidaknya sebuah fatwa atau hadits dikarenakan
seorang Muttaba’ sudah mengatakan sah maka sah lah fatwa
tersebut dan seorang Muttaba’ harus bertanggung jawab atas
perkataan nya tersebut dikarenakan berdosalah dia jika iya tengah
berdusta atau mengesahkan sesuatu hadits tanpa mengecek
kebenaran hadits tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk
Muttabi’ maka jika seorang Muttaba’ berdusta seorang Muttabi’
tidak berdosa. bila seseorang tidak sanggup berijtihad, maka
hukum ittiba’ diperbolehkan.
b) Hukum Ittiba’

1
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin,Ushul Fiqih II ,..., hlm. 163.

6
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim,
karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah
kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu
mengambil pelajaran”. (QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-
perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah
adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.Di samping
itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
”Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah
Khulafaur Rasyidin sesudahku.” (HR.Abu Daud)
2. Taqlid
a) Pengertian
Kata "Taqlid" berasal dari bahasa arab yakni "qallada",
"yaqallidu", "taqlidan" yang artinya meniru Menurut bahasa taqlid
yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau
alasannya2, adapun orang yang di perbolehkan untuk bertaqlid
yaitu orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara cara
mencari hukum syari at atau yang tidak beralasan Alqur'an, Hadist,
Ijma, dan Qiyas.
Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-
Shan'ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taqlid, namun
isi dan maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama
Ushul, sekalipun kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan
definisi yang dibuat oleh Muhammad Rasyid Ridla dalam Tafsir
al-Manar, yaitu: "mengikuti pendapat orang-orang yang dianggap
terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama
Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya
serta manfaat atau mudlarat dari hukum itu".3
2
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 195.
3
Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 87.

7
Taqlid dapat diartikan juga sebagai mengamalkan
perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya atau tanpa
mengetahui segi pengambilan dalilnya. Hal ini hanya dimiliki oleh
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad. Jadi orang
tersebut tidak bida mengeluarkan pendapat atas dalil-dalil dan
tidak mampu untuk meng-istinbath hukum-hukum dari dalil-
dalilnya. Taqlid merupakan salah satu kewajiban dan kewajiban
hidup mengingat manusia memiliki perbedaan dalam menganalisa
dan kesiapan fitrahnya. Hal tersebut dikarenakan tidak semua
manusia memiliki kemampuan untuk mengeluarkan pendapat dan
meng-istinbath kan hukum.
b) Hukum Taqlid
para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:
a. Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang
yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada
pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat
orang itu salah.
b. Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa
yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran
masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid
seperti ini sifatnya hanya sementara.
c. Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan
dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw.4
3. Talfiq
a) Pengertian
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak
dapat mencapai dan lain sebagainya. Adapun “Talfiq” yang
dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:

4
M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006), hal. 109-110.

8
‫اَ ْل َع َم ُل حِب ُ مْك ِ مَُؤ ل َّ ٍف بَنْي َ َم ْذ َه َبنْي ِ َأ ْو َأ ْكرَث‬
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau
lebih.”
Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat
Syafi’iy dalam masalah iddah wanita yang ditalak, karena
balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang dalam
hal tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia mengikut
pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat. Yang
demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan.
Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq,
seseorang ber-talfiq dalam satu masalah, seperti dalam masalah
wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab
Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup
sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.
b) Hukum Talfiq
Para  ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan
terhadap talfiq, atau seseorang bertalfiq, bahkan pada banyak
tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa-fatwa
mereka.dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal
memfatwakanfatwa merekabila tidak diketahui alasan-alasannya.
Nereka juga memfatwakan supaya melemparkan jauh-jauh fatwa
mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash.
Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa, semua
itu menghendaki agar semua orang muslim supaya menjauhi diri
dari “taqlid”, dan dengan sendirinya menghendaki supaya
melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ber-ittba’, hal yang
demiikian kemungkinan besar akan membawa kepada talfiq.
Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang
diperbolehkan talfiq adalah dalam perselisihan para ulama, atau
lebih jelasnya adalah para fuqaha muta’akhirin, adapun mereka

9
yang fanatik pada mazhab, berfatwa bahwa para qadhi berhak
menghukum (yakni hukum ta’zir) terhadap orang yang berpindah
mazhab.
Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka
pendapat muta’akhirin yang terkuat adalah pendapat yang
membolehkan talfiq atau ber-talfiq. Sedang perbedaan pendapat
antara mereka adalah sebagai berikut:
a. Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah
mazhab, baik secara keseluruhan masalah, yakni dalam
masalah berlainan, maupun dalam satu bidang masalah
saja.
b. Madzhab hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa,
masalah yang di talfiqkan itu bukan dalam satu bidang
masalah atau qadiah. Sebagai contoh misalnya, berwudhu
menurut mazhab syafi’i, sedang pembatalannya menurut
mazhab Hanafy. Atau menyapu muka daloam berwudhu
menurut mazhab Syafi’iy, sedang mengusap rambut dalam
hal berwudhu juga menurut mazhab Maliki.5

B. Pola Pemikiran dan Dasar Istinbath Hukum Imam Hanafi


1. Pengertian Istinbath Hukum
Istilah istinbath hukum merupakan istilah yang masyhur dan
sering dijumpai ketika seseorang mempelajari ushul fikih sebagai suatu
disiplin ilmu. Istinbath secara etimologi memiliki arti “Menemukan;
menciptakan”. Sedangkan secara terminologi dapat diartikan sebagai
proses penetapan hukum yang ditempuh oleh mujtahid melalui ijtihad. 6
Adapun kata hukum secara etimologi berarti “Putusan; ketetapan”.

5
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 209.

6
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Cet. 14, (Surabaya:
Pustaka Progressif), Hal. 1379.

10
Didalam kamus bahasa Indonesia kata Hukum diartikan sebagai
“Suatu peraturan; kaidah; ketentuan.” Sedangkan secara terminologi
yang dimaksud hukum disini ialah “Peraturan-peraturan dan ketentuan
yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan syari’at Islam.”7
Oleh karena itu, kita dapat memahami bersama bahwa istinbath
hukum berarti proses penemuan hukum yang dilakukan oleh para
jihadis melalui ijtihad. Secara teknis, pengarang menggunakan istilah
“metode istinbath”, yang artinya pengarang adalah suatu bentuk usaha
dalam proses berusaha mencari jalan bagi para ulama untuk melakukan
proses ijtihad sehingga dapat menarik kesimpulan berdasarkan
Kesimpulan hukum. Dalam disiplin hukum Islam, perbedaan mendasar
terkait proses hukum adalah asal mula hukum dan tuntutan hukum.
Dalam hal ini sumber mengacu pada landasan utama yang bersifat
primitif, yang melahirkan hukum itu sendiri. Misalnya Alquran dan
Sunnah. Sedangkan dalil hukum dalam hal ini berarti cara-cara yang
ditempuh melalui ijtihad untuk menemukan hukum Islam. Seperti,
ditempuh dengan cara menggunakan istihsân, istishâb, qiyâs, dan lain
sebagainya.8
2. Metode Istinbath Hukum Imam Hanafi
Dalam hal ini mayoritas ulama ushûl dari kalangan empat
madzhab menyepakati untuk mendasarkan istinbâth hukumnya pada
al-Qur’ân, Hadits dan Ijma’. Namun, terdapat perbedaan dalam
menggunakan metode istinbâth hukum manakala al-Qur’ân, Hadits dan
ijma’ tidak memberi jawaban atas suatu persoalan yang dihadapinya
pada masa itu.9
Langkah-langkah ijtihad Imam Abu Hanifah melibatkan
Alquran, Sunnah, fatwa (Ijma'ash-shahabi) dari ulama yang beliau
kehendaki. Menariknya, metodologi istimbath hukum Hanafi tidak

7
G. Setya Nugraha, Kamus Bahasa Indonesia, Hal. 246
8
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Cet. 4, (Jakarta: Amzah, 2016), Hal. 114.
9
Jidan Ahmad Fadillah, dkk, Madzhab dan Istinbath Hukum, (Al-Hikkmah: Jurnal Studi Agama-
Agama/Vol. 7 , No. 2, 2021), hlm. 242

11
menjadikan pendapat ulama tabi’in sebagai rujukan karena rentang
waktu yang sudah jauh antara Rosulullah dan ulama dari generasi
tabi’in. Ia berpendapat, kedudukannya sama dengan kedudukan tabi’in
dalam hal berijtihad.10
Abu Hanifah tidak fanatik dengan pandangannya. Dia selalu
berkata: "Ini pendapat saya. Jika seseorang mengemukakan pendapat
yang lebih kuat, pendapat itu lebih tepat." Seseorang pernah berkata
kepadanya: "Tidak ada keraguan bahwa apa yang Anda katakan itu
benar?". Dia menjawab: "Menurut Allah, ini mungkin fatwa, yang
tidak diragukan lagi salah."
Dengan demikian, dasar-dasar Imam Abu Hanifah dalam
berijtihad adalah :
a. Kitab Allah (Al-Qur’an Karim)
b. Sunnah Rasulullah yang telah masyhur/mutawatir.
c. Pendapat dari para sahabat nabi.
d. Al – Qiyas
e. Istihsan
f. Ijma para ulama
g. Al – Urf masyarata muslim

10
Abd. Rahman Dahlan, Ushul FIqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h.25.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata ‘‘Itibbaa‘‘ berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata kerja atau
fi`il ‘‘Ittaba'a‘‘, ‘‘Yattbiu‘‘, ‘‘Ittiba'an‘‘, yang berarti mengikuti atau
menaati. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah menerima atau
mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui dari mana asalnya atau
mengapa.
Kata ‘‘Taqlid‘‘ berasal dari bahasa arab yakni ‘‘qallada‘‘,
‘‘yaqallidu‘‘, ‘‘taqlidan‘‘ yang artinya meniru Menurut bahasa taqlid yaitu
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya ,
adapun orang yang di perbolehkan untuk bertaqlid yaitu orang awam
(orang biasa) yang tidak mengerti cara cara mencari hukum syari at atau
yang tidak beralasan Alqur'an, Hadist, Ijma, dan Qiyas.
Pengertian Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak
dapat mencapai dan lain sebagainya.Adapun ‘‘Talfiq‘‘ yang dimaksudkan
dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah ‘‘Mengamalkan satu hukum
yang terdiri dari dua mazhab atau lebih”. Maksudnya adalah, seperti
seseorang mengikuti pendapat Syafi`iy dalam masalah iddah wanita yang
ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya.
Madzhab Syafi`iy tidak membenarkan seseorang berpindah
mazhab, baik secara keseluruhan masalah, yakni dalam masalah berlainan,
maupun dalam satu bidang masalah saja. Madzhab hanafy membolehkan
talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di talfiqkan itu bukan dalam
satu bidang masalah atau qadiah.
Pengertian Istinbath Hukum Istilah istinbath hukum merupakan
istilah yang masyhur dan sering dijumpai ketika seseorang mempelajari
ushul fikih sebagai suatu disiplin ilmu.
Sedangkan secara terminologi dapat diartikan sebagai proses
penetapan hukum yang ditempuh oleh mujtahid melalui ijtihad. Didalam

13
kamus bahasa Indonesia kata Hukum diartikan sebagai ‘‘Suatu peraturan;
kaidah; ketentuan.

B. Saran
Demikian makalah ini kami sampaikan, tentu masih terdapat
banyak kekurangan yang ada dalam makalah ini, maka kami memohon
kritik, saran, dan bimbingan dari para pembaca sekalian.

14
DAFTAR PUSTAKA

Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin,Ushul Fiqih II ,..., hlm. 163.


A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal.
195.
Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 87.
M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra,
2006), hal. 109-110.
Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. (Jakarta: Kencana)
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap,
Cet. 14. (Surabaya: Pustaka Progressif)
G. Setya Nugraha, Kamus Bahasa Indonesia
Dahlan, Abd. Rahman. 2016. Ushul Fiqh, Cet. 4. (Jakarta: Amzah)
Fadillah, Jidan Ahmad. Dkk. 2021. Madzhab dan Istinbath Hukum. Jurnal Al-
Hikkmah: Jurnal Studi Agama-Agama/Vol. 7 , No. 2
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul FIqh. (Jakarta: Amzah)

15

Anda mungkin juga menyukai