Pandangan Ulama Tentang Kedudukan Hakim Perempuan
Pandangan Ulama Tentang Kedudukan Hakim Perempuan
Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam, karena berkat nikmat,
maunah dan hidayah-Nya, kita dapat menikmati kenikmatan yang diberikan oleh
Allah SWT.
Dan semoga shalawat serta salam terlimpahkan pada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa
raga dan lainnya untuk tegaknya syiar Islam, yang pengaruh dan manfaatnya
hingga kini masih terasa.
Dengan siraman wahyu Ilahi itulah, manusia bisa menyadari dirinya dalam
kesesatan yang jauh, sehingga dengan demikian ia akan mengarahkan tujuan
hidupnya kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yakni mengabdi kepada Allah
SWT yang menciptakan semua makhluk.
Namun manusia tidak akan bisa mengabdi kepada Allah melainkan dengan
mengikhlaskan dirinya dalam pengabdian semata-mata hanya kepada-Nya, yang
tiada sekutu bagi-Nya.
Terwujudnya makalah ini untuk memahami mahasiswa dalam mempelajari
Pandangan Ulama Tentang Kedudukan Hakim Perempuan. Penulis
menyadari bahwa materi makalah ini belum sempurna seperti yang diharapkan,
maka untuk itu kritikan dan saran yang bersifat konstruktif bagi pembaca demi
kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Kepada Allah SWT kita selalu memanjatkan doa semoga kita semua
diberikan Taufiq dan Hidayah-Nya.
Amin Ya Rabbal Alamin.!
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................
Pandangan Ulama Tentang Kedudukan Hakim Perempuan.............................
1. Pendapat Imam Syafii.............................................................................................
2. Pendapat Imam Hanafi ...........................................................................................
3. Pendapat Ibn Jarir at-Tabari....................................................................................
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Wanita itu bisa dan mampu berbuat seperti kaum pria dalam berusaha dan
berkarya. Realita ini bisa ditemukan pada masa Nabi SAW, masa Sahabat dan
masa Tabiin. Para wanita tampil di berbagai bidang, seperti Khadijah adalah
seorang saudagar kaya yang sukses, dan Asy-Syifa adalah seorang perempuan
yang diserahi Umar bin Khattab untuk menangani pasar kota Madinah.
Didalam ajaran Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir
dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga
memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah mampu berkarir disegala
bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan
perbudakan.
BAB II
PEMBAHASAN
pihak yang mengangkat wanita sebagai kadi, maka putusan yang dijatuhkan itu
tidak sah.
Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 34 yang
mengatakan bahwa
kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan)
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.4
[4]
Imam Syafii menjadikan ayat diatas sebagai dalil tidak bolehnya perempuan
menduduki jabatan hakim, akan tetapi dia tidak mengemukakan cara istidlal
dengan terperinci bagaimana caranya mengeluarkan hukum dari ayat tersebut.
Namun untuk melihat pendapat ini, kita dapat melacak tulisan imam Syafii dalam
kitabnya Al-Um. Disini dia mengatakan bahwa perempuan mempunyai
kekurangan jika dibandingkan dengan pria. Oleh karena itu pria dijadikan sebagai
pemimpin (Qawwam), hakim, berjihad, memperoleh harta dua bahagian
dibanding perempuan, dan sebagainya.
Oleh karna Imam Syafii tidak memgemukakan cara istidlal maka disini akan
dikemukakan cara istidlal yang ditempuh oleh ulama yang sependapat dengannya,
antara lain Imam Al-Qurtubi. Dia menjadikan Q.S. An-Nisa ayat 34 sebagai dalil
bahwa perempuan tidak boleh menjadi hakim. Hal ini dipahami dengan kata
qawwam atau pemimpin. Kata ini mempunyai tiga arti yaitu :1. hukkam
8[8] Syeikh Abdurrauf As Singkili, Corak Pemikiran Hukum Islam ......... hal 61
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya...
b. Kesaksian perempuan secara mandiri
Imam Hanafi dengan tegas mengatakan kesaksian perempuan secara mandiri tidak
dapat diterima. Hal ini didasarkan pada ketentuan Q.S. al-Baqarah ayat 282.
Didalam ayat tersebut ditegaskan bahwa saksi haruslah terdiri dari dua orang lakilaki, atau kalau tidak terpenuhi maka boleh kesaksian seorang pria ditambah
dengan dua orang perempuan. Selanjutnya dalam ayat tersebut dikemukakan pula
agar para saksi dapat mengingatkan satu sama lainnya jika salah satunya lupa.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Imam Hanafi pada prinsipnya tidak
membolehkan perempuan untuk menjadi saksi secara mandiri. Namun ia juga
memberikan pengecualian terhadap kasus-kasus yang dipandang khususiah bagi
kaum perempuan. Untuk kasus ini ia menerima kesaksian perempuan secara
mandiri, karena kalau tidak akan menyulitkan dalam pembuktian. Hal ini
disebabkan karena pria tidak dapat menyaksikan kasus tersebut. 9[9]
Indonesia menganut prinsip yang memperbolehkan wanita boleh diangkat menjadi
kadi (hakim wanita) yang diperkerjakan pada pengadilan Agama dan Mahkamah
Syariah Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan ada di beberapa tempat, wanita juga
menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah.
Kebolehan mengangkat wanita dalam jabatan kadi yang diperkirakan di
Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah NAD itu hasil musyawarah ulama
senior yang dipimpin oleh Hasbi Ash Shiddieqy pada tahun tujuh puluhan.
Mungkin para ulama terbatas waktu itu mendasarkan kepada mazhab Abu Hanifah
dalam mengambil keputusan tentang dibolehkannya mengangkat wanita sebagai
kadi.10[10]
9[9] Ibid.... hal 66
10[10] Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan ........ hal
25
3.
dan Turmudzi dan Abi Barkah, semuanya ditolak oleh Ibn Jarir at-Tabari. Karena
menurut dia tidak ada yang secara tegas mengatur tugas kehakiman.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. 2008. Corak Pemikiran Hukum Islam Syeikh Abdurrauf As-Singkili:
Studi Terhadap Kitab Mirat al-Thullab Tentang Hakim Perempuan, Banda Aceh:
Yayasan Pena.
Manan, Abdul. 2007. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan : Suatu Kajian
dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta: Kencana.
Zuhriah, Ervaniah. 2008. Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan
Pasang Surut. Malang: UIN-Malang Press.