Anda di halaman 1dari 2

Perdebatan mengenai boleh tidaknya memilih perempuan sebagai pemimpin selalu ada dari

waktu ke waktu. Meski kini kita temui kepala desa, camat, bupati, atau gubernur perempuan,
namun bukan berarti sudah ada kesepakatan mengenai hal ini. Justru, isu ini terus digulirkan,
terutama menjelang pemilihan pemimpin di level-level tertentu, termasuk level presiden.

Hadits yang sering dikutip saat membicarakan pemimpin perempuan, “Abu Bakrah berkata,
Rasulullah saw bersabda: 'Siapakah yang memimpin urusan penduduk Persi? Mereka
menjawab, 'Seorang wanita.' Beliau bersabda, 'Tidak akan beruntung kaum yang
menyerahkan urusannya kepada mereka,'” (Kitab Ahmad, hadits no 19603).

TAK BOLEH JADI PEMIMPIN APA PUN?

Ibnu Katsir saat menafsirkan QS An-Nisa (4): 34 menyatakan bahwa laki-laki adalah
pemimpin kaum perempuan karena menurutnya laki-laki lebih utama dari perempuan. Alasan
itu pula yang membuat Allah hanya memilih laki-laki sebagai nabi. Begitu juga raja yang
agung, posisi jabatan hakim, dan lainnya

Ulama kontemporer yang tidak memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin di level apa
pun, Syaikh Abdullah bin Baz, menyebutkan dalam Majmuk Fatawa Ibn Baz, kepemimpinan
perempuan untuk riasah ammah lil muslimin itu tidak diperbolehkan berdasarkan dalil QS
An-Nisa ayat 34. Riasah ammah yang dimaksud, semua jabatan tinggi, seperti hakim,
menteri, gubernur, dan semua posisi yang membawahi laki-laki.

Hukum dalam ayat tersebut, menurut bin Baz, mencakup kekuasaan laki-laki dan
kepemimpinannya dalam keluarga, dan tentu saja di wilayah publik. Ia bersandar pada hadits
dari Abu Bakrah di atas.

“Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini menunjukkan haramnya kepemimpinan perempuan
pada otoritas umum atau otoritas kawasan khusus. Karena semua itu memiliki sifat yang
umum,“ tulis bin Baz dalam Majmuk Fatawa Ibn Baz.

KHALIFAH, QADHI DAN KEPALA NEGARA

Syaikh Taqiyuddin An Nabhany dan Abdul Qodim Zallum dalam kitab Nizhamul Hukm fil
Islam, menulis tujuh syarat mutlak yang harus dipenuhi calon khalifah (yang ditafsirkan
Syaikh Taqiyuddin sebagai kepala negara kaum Muslimin) yaitu: Muslim, laki-laki, baligh,
berakal, adil, merdeka, dan mampu.

Imam Al-Qurthubiy pun, dalam tafsirnya Al-Jaami’li Ahkam Al-Qur’an, menyatakan,


“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa
perempuan tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya
perempuan menjadi qadhi (hakim dalam pemerintahan Islam) berdasarkan diterimanya
kesaksian perempuan dalam pengadilan.” Namun Ibnu Jarir Ath-Thabari, Abu Hanifah, dan
Ibnu Hazm masih membolehkan jika perempuan menjadi perdana menteri atau hakim.

Para ulama bersepakat, perempuan tidak boleh memegang kekuasaan tertinggi apabila
penguasa tersebut memiliki kekuasaan mutlak, meskipun hanya sebagian, sehingga
perintahnya harus dijalankan dan tidak boleh ditolak. Namun, di era sekarang, di negara-
negara yang menganut prinsip demokrasi, semua level pimpinan, bahkan presiden, tidak bisa
membuat keputusan mutlak. Ada lembaga penyeimbang, seperti Dewan Perwakilan Rakyat.

Apakah dalam kondisi tersebut berarti perempuan boleh menjadi kepala negara? Dr
Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, menyatakan,
kepemimpinan perempuan dalam posisi jabatan apa pun tidak bertentangan dengan syariah,
baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya.

Pendapat ini didukung Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Dalam situs pribadinya, Qardhawi
mengatakan, perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti,
anggota parlemen, memiliki hak memilih dan dipilih, atau posisi apa pun dalam
pemerintahan, ataupun bekerja di sektor swasta, karena sikap Islam dalam soal ini jelas
bahwa perempuan itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah).

Akan tetapi, ia mengingatkan, perempuan yang bekerja di luar rumah harus mengikuti aturan
Islam, yakni tidak berkhalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan
mahram, tidak melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya,
dan harus tetap menjaga perilaku Islami dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.

UTAMAKAN KOMPETENSI

Menurut Ledia Hanifa Amalia, S.Si, M.Psi T, anggota DPR RI Fraksi PKS, setiap orang,
termasuk perempuan, adalah pemimpin. Hal ini berdasarkan hadits, “Setiap kamu adalah
pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah
pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya
itu. Perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan dia pun bertanggung jawab
terhadap kepemimpinannya,” (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi dari Ibnu Umar).

Kepemimpinan yang dimaksud, menurut Ledia, tak hanya di keluarga. Perempuan juga boleh
menjadi pemimpin di organisasi sosial, komunitas, sekolah, kantor, dan lembaga apa pun
asalkan memang ia memiliki kompetensi. “Saya tidak terlalu sepakat jika seorang pemimpin
dipilih hanya karena jenis kelaminnya. Jika memang kompeten, ya, dia berhak menjadi
pemimpin. Sebaliknya, jika tidak kompeten, lebih baik tak usah mencalonkan atau dipaksa
mencalonkan,” tegasnya.

Aini Firdaus

Anda mungkin juga menyukai