Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH EMANSIPASI WANITA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh

Dosen Pengampu : Jamal Ma’mur Asmani

Disusun Oleh:

Nur Rufaida (17.21.00051)

Siti Mukarromah (17.21.00105)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

TAHUN AJARAN 2017/1018

INSTITUT PESANTREN MATHOLI’UL FALAH

MARGOYOSO PATI
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Emansipasi wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi

yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk

berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-

marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu

mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa

kemulaian wanita. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan mereka di

hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan

segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.

Pemahaman emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan  Hak Asasi

Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi wanita adalah menyamakan hak

dengan kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria.

Mencermati pemahaman tersebut, Penulis tertarik mengkaji lebih mendalam terkait

emansipasi wanita dalam perspektif hukum islam.

Islam sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang
sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri,

ibu, saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan

sebuah surat dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang

sebagian besar ayat dalam surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan

kedudukan, peranan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.

Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga

bidang : Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui hak wanita sebagai

manusia dengan sempurna sama dengan pria. Kedua, Bidang Sosial , terbuka

lebar bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati

jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan


tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin

bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-

kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang

menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan

penghormatan. Ketiga, Bidang Hukum, Islam memberikan pada wanita hak

memiliki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah

mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik

ayah, suami, atau kepala keluarga.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Emansipasi Wanita
2. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Perempuan
3. Dalil yang mendasari tentang Kepempimpinan Perempuan
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Emansipasi Wanita
2. Untuk Mengetahui Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Perempuan
3. Untuk Mengetahui Dalil yang Mendasari Tentang Kepemimpinan Perempuan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Emansipasi Wanita
B. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Perempuan

Perdebatan tentang boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin publik nampaknya tak
pernah henti dalam sejarah umat Islam, apalagi jika Pro-kontra itu kemudian dikaitkan
dengan isu-isu politik kontemporer.Pro-kontra publik menjelang Sidang Umum MPR pada
tahun 1999 yang lalu mengenai keabsahan presiden perempuan dari perspektif hukum Islam
masih menjadi diskursus publik yang tajam bahkan dalam salah satu komisi KUII (Konferensi
Umat Islam Indonesia) diputuskan bahwa perempuan haram menjadi presiden.Perdebatan
ini sebenarnya sudah lama terjadi dalam konteks sejarah Islam.Sampai sekarang belum
diketahui adanya pendapat para ahli fikih terkemuka yang membenarkan perempuan
menjabat sebagai kepala negara.Syah Waliyullah ad-Dahlawi dan al-Wamardi menyatakan
bahwa syarat-syarat seorang khalifah adalah berakal,baligh(dewasa),merdeka,laki-
laki,pemberani,cerdas,mendengar,melihat dan dapat berbicara.Semuanya itu sudah
disepakati umat Islam dimanpun dan kapanpun.Al-khattabi misalnya mengatakan bahwa
seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.Demikian juga asy-Syaukani dalam
menafsirkan hadits larangan perempuan memegang tempuk kepemimpinan berkata bahwa
perempuan itu tidak termasuk kategori ahli dalam hal kepemimpinan,sehingga tidak boleh
menjadi kepala negara.Bahkan Wahbah az-Zuhaili dan Sayid Sabiq menginformasikan
tentang ijma’ (kesepakatan para ulama’/fuquha’) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala
negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi(hakim) dan jabatan yang setara
dengannya.Mereka menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syarat hanya diberi
tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.Karena didasarkan pada hadits tersebut
diatas.Musthafa Imarah dalam catatan pinggirnya terhadap kitab jawahir al-Bukhari
mengklaim larangan itu sebagai pendirian jumhur ulama’ kecuali at-Thabari dan Abu Hanifah
untuk bidang-bidang tertentu .Demikianlah pendapat jumhur ulama’(fuquha’) yang dapat
direkam melalui kitab-kitab yang ada,meskipun juga ada ulama’ lain yang tidak
memasukkannya sebagai syarat bagi jabatan kepala negara dan qadhi’.Argumen untuk
seluruh persoalan peran perempuan diatas pertama mengacu pada ayat al-qur’an surah an-
Nisa’ ayat 34

Artinya : “laki-laki adalah qawwam atas perempuan,dikarenakan Allah telah melebihkan


sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafsah
dari harta mereka”.

Kedua,adanya ajaran yang melarang menyerahkan perkara-perkara publik kepada


perempuan.Salah satu rujukan yang dijadikan argumentasi adalah hadits Nabi yang
mengatakan :
Artinya : “.....tidak kan bahagia suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada
seorang perempuan”.

Ketiga, adanya pendapat yang mengatakan bahwa kelebihan yang dimilili laki-laki atas
perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.Sebagian ulama’ mengatakan bahwa
perempuan adalah orang yang tidak memiliki kecerdasan dan kesempurnaan akalnya (laisa
laha kamal ar-ra’yi wa tamam ad-Din)Mengenai hal ini akan diakji pad bagian restropeksi
tafsir surat an-Nisa’ dalam sub bab berikutnya.Karena pendapat yang demikian itu maka
para ratu(sulthanah) di Aceh (1641-1699), misalnya terus digoyang oleh lawan-lawan
politiknya dengan senjata fatwa yang didatangkan dari Makkah yang menyatakan
ketidakabsahan kekuasaan mereka,bukan karena ketidakmampuan mereka atau karena
mereka tidak disukai rakyatnya,melainkan semata-mata kareana mereka manusia-manusia
yang berkelmin perempuan.Hal ini didasarkan bahwa ajaran islam adalah ajaran yang sangat
menghargai persamaan hak untuk semua manusia (anti diskriminasi).Laki-laki dan
perempuan dari suku atau ras apa saja memiliki peluang yang sama.Dengan demikian
perempuan pun punya peluang dan hak yang yang sama untuk menjadi pemimpin.
C. Dalil yang Mendasari Tentang Kepemimpinan Perempuan

Anda mungkin juga menyukai