Disusun Oleh:
MARGOYOSO PATI
BAB 1
PENDAHULUAN
Emansipasi wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi
berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-
mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa
Pemahaman emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan Hak Asasi
dengan kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria.
Islam sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang
sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri,
ibu, saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan
sebuah surat dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang
sebagian besar ayat dalam surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan
kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang
menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan
mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Emansipasi Wanita
2. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Perempuan
3. Dalil yang mendasari tentang Kepempimpinan Perempuan
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Emansipasi Wanita
2. Untuk Mengetahui Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Perempuan
3. Untuk Mengetahui Dalil yang Mendasari Tentang Kepemimpinan Perempuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Emansipasi Wanita
B. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Perempuan
Perdebatan tentang boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin publik nampaknya tak
pernah henti dalam sejarah umat Islam, apalagi jika Pro-kontra itu kemudian dikaitkan
dengan isu-isu politik kontemporer.Pro-kontra publik menjelang Sidang Umum MPR pada
tahun 1999 yang lalu mengenai keabsahan presiden perempuan dari perspektif hukum Islam
masih menjadi diskursus publik yang tajam bahkan dalam salah satu komisi KUII (Konferensi
Umat Islam Indonesia) diputuskan bahwa perempuan haram menjadi presiden.Perdebatan
ini sebenarnya sudah lama terjadi dalam konteks sejarah Islam.Sampai sekarang belum
diketahui adanya pendapat para ahli fikih terkemuka yang membenarkan perempuan
menjabat sebagai kepala negara.Syah Waliyullah ad-Dahlawi dan al-Wamardi menyatakan
bahwa syarat-syarat seorang khalifah adalah berakal,baligh(dewasa),merdeka,laki-
laki,pemberani,cerdas,mendengar,melihat dan dapat berbicara.Semuanya itu sudah
disepakati umat Islam dimanpun dan kapanpun.Al-khattabi misalnya mengatakan bahwa
seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.Demikian juga asy-Syaukani dalam
menafsirkan hadits larangan perempuan memegang tempuk kepemimpinan berkata bahwa
perempuan itu tidak termasuk kategori ahli dalam hal kepemimpinan,sehingga tidak boleh
menjadi kepala negara.Bahkan Wahbah az-Zuhaili dan Sayid Sabiq menginformasikan
tentang ijma’ (kesepakatan para ulama’/fuquha’) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala
negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi(hakim) dan jabatan yang setara
dengannya.Mereka menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syarat hanya diberi
tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.Karena didasarkan pada hadits tersebut
diatas.Musthafa Imarah dalam catatan pinggirnya terhadap kitab jawahir al-Bukhari
mengklaim larangan itu sebagai pendirian jumhur ulama’ kecuali at-Thabari dan Abu Hanifah
untuk bidang-bidang tertentu .Demikianlah pendapat jumhur ulama’(fuquha’) yang dapat
direkam melalui kitab-kitab yang ada,meskipun juga ada ulama’ lain yang tidak
memasukkannya sebagai syarat bagi jabatan kepala negara dan qadhi’.Argumen untuk
seluruh persoalan peran perempuan diatas pertama mengacu pada ayat al-qur’an surah an-
Nisa’ ayat 34
Ketiga, adanya pendapat yang mengatakan bahwa kelebihan yang dimilili laki-laki atas
perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.Sebagian ulama’ mengatakan bahwa
perempuan adalah orang yang tidak memiliki kecerdasan dan kesempurnaan akalnya (laisa
laha kamal ar-ra’yi wa tamam ad-Din)Mengenai hal ini akan diakji pad bagian restropeksi
tafsir surat an-Nisa’ dalam sub bab berikutnya.Karena pendapat yang demikian itu maka
para ratu(sulthanah) di Aceh (1641-1699), misalnya terus digoyang oleh lawan-lawan
politiknya dengan senjata fatwa yang didatangkan dari Makkah yang menyatakan
ketidakabsahan kekuasaan mereka,bukan karena ketidakmampuan mereka atau karena
mereka tidak disukai rakyatnya,melainkan semata-mata kareana mereka manusia-manusia
yang berkelmin perempuan.Hal ini didasarkan bahwa ajaran islam adalah ajaran yang sangat
menghargai persamaan hak untuk semua manusia (anti diskriminasi).Laki-laki dan
perempuan dari suku atau ras apa saja memiliki peluang yang sama.Dengan demikian
perempuan pun punya peluang dan hak yang yang sama untuk menjadi pemimpin.
C. Dalil yang Mendasari Tentang Kepemimpinan Perempuan