Anda di halaman 1dari 29

Peter Lang AG

Judul Bab: Perbedaan Shalat: Politik Ritual dan Aktivisme Feminis di Indonesia
Bab Penulis: Etin Anwar
Penerjemah : Azhar Azizah

Judul Buku: Teologi Muslima


Buku: Suara Teolog Wanita Muslim
Editor Buku: Ednan Aslan, Marcia Hermansen dan Elif Medeni
Diterbitkan oleh: Peter Lang AG
Stable URL: https://www.jstor.org/stable/j.ctv2t4f10.15

JSTOR adalah layanan nirlaba yang membantu para sarjana, peneliti, dan mahasiswa menemukan,
menggunakan, dan membangun berbagai konten dalam arsip digital tepercaya. Kami menggunakan
teknologi informasi dan alat untuk meningkatkan produktivitas dan memfasilitasi bentuk beasiswa baru.
Untuk informasi lebih lanjut tentang JSTOR, silakan hubungi support@jstor.org.

Penggunaan Anda atas arsip JSTOR menunjukkan penerimaan Anda terhadap Syarat & Ketentuan
Penggunaan, tersedia di https://about.jstor.org/terms
Konten ini dilisensikan di bawah Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0
International License (CC BY- NC-ND 4.0). Untuk melihat salinan lisensi ini, kunjungi
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/.Peter Lang AG berkolaborasi dengan JSTOR untuk
mendigitalkan, melestarikan, dan memperluas akses ke Muslima Theology

Konten ini diunduh dari


116.206.29.67 pada Jum, 01 Jul 2022 23:56:59 UTC
Semua penggunaan tunduk pada istilah https://about.jstor.org/istilah

Disclaimer Penerjemah :

Pembaca boleh saja tidak setuju dengan terjemahan saya terhadap karya Prof. Etin Anwar. Barangkali
banyak kalimat atau kata per-kata yang masih salah. Saya menerjemahkan tulisan ini sebagai referensi
utama penelitian saya tentang ‘Relasi Gender’, jadi terjemahan ini sangat diperlukan untuk kebutuhan
intelektual. Saya ingin membaginya kepada kawan-kawan sebagai bahan ajar cendekia dalam memahami
dan memaknai tradisi intelektual Islam karya Ibu Etin Anwar.

-Azhar Azizah
Etin Anwar

Pembedaan Shalat: Politik Ritual dan


Aktivisme Feminis di Indonesia

Sholat Jum'at yang dipimpin oleh seorang wanita,


Amina Wadud, di New York City pada tanggal 18
Maret 2005, adalah acara perayaan namun
kontroversial.1 Feminis Muslim di Amerika, seperti
Amina Wadud dan Asra Q. Nomani, memandang
shalat Jum'at yang dipimpin perempuan sebagai
batu loncatan menuju kesetaraan gender dan
tantangan terhadap tempat perempuan sebagai
warga negara kelas dua, dikecualikan dari lingkup
otoritas spiritual.2 Acara ini memang merupakan
perayaan karena ini adalah pertama kalinya dalam
sejarah peradaban Islam seorang wanita memimpin

1
Minat ilmiah dan teologis-hukum yang kuat terhadap implikasi dari doa ini
dibuktikan dengan terus memperhatikannya dalam makalah akademis . Misalnya,
Juliane Hammer, “Performing Gender Justice: The 2005 W oman-Led Prayer In
New York,” Contemporary Islam 4, no. 1 (2010): 91-116; Juliane Ham m er,
“Keadilan Gender dalam Doa: Eksegesis, Wewenang, dan Kepemimpinan
Perempuan Muslim Amerika,” Hawwa 8, no. 1 (2010): 26-54; Simonetta Calderini,
“Contextualizing A rgum ents about Female Ritual Leadership (Wom en Im am s)
in Classical Islamic Sources,” Comparative Islamic Studies 5, no. 1 (2009): 5-32;
dan Laury Silvers dan A hm ed Elewa, "'Saya adalah salah satu dari Rakyat':
Sebuah Survei dan Analisis Argumen Hukum tentang Doa yang Dipimpin Wanita
dalam Islam,"Jurnal Hukum dan Agama 26, no. 1 (2010-11): 141-171.
2
Asra Q. Nomani mengundang Amina Wadud untuk memimpin salat berjamaah
campuran di New York City yang akhirnya berlangsung pada 18 Maret 2005.
Thomas Bartlett, “The Quiet Heretic” *pada Amina Wudud, profesor Studi Islam di
Universitas Virginia Commonwealth], The Chronicle of Higher Education, 8
Agustus 2005, Bagian: Fakultas, vol. 51, Edisi 49, A10, http://chronicle.com
(diakses 15 Februari 2009). Lihat juga Asra Q. Nomani, Standing Alone in Mecca:
An American Woman's Struggle for the Soul of Islam (San Francisco: H arper
Collins Publishers, 2005), 226.
shalat Jumaat di depan jamaah campuran di depan
umum.3 Selama lebih dari empat belas abad, laki-
laki memimpin semua ritual di depan
umum, sedangkan kepemimpinan perempuan
(imamat al-mar'ah) dari jemaah campuran di ruang
publik tidak ada. Kepemimpinan laki-laki dalam
salat ritual Islam adalah praktik arus utama,
bersamaan dengan mereka mempertahankan
kendali atas perempuan, menundukkan mereka di
ranah publik, dan menurunkan mereka sebagai
makhluk seksual dan domestik di ranah privat.
Meskipun shalat adalah kewajiban bagi laki-laki
dan perempuan dan dianggap sebagai fondasi
religiusitas Muslim, praktik performatif shalat
tertanam dalam norma budaya patriarki di mana
hanya laki-laki saja yang diberdayakan untuk
memimpin shalat dan memiliki kekuatan untuk
mengekspresikan diri melalui kesalehan di ranah
publik. Praktik sosial dan budaya shalat yang
tertanam adalah politisasinya melalui narasi
diskursif Al-Qur'an dan tradisi kenabian (hadis).
Karena Al-Qur'an diam tentang kepemimpinan laki-
laki dalam doa (spiritualitas), umat Islam beralih ke
hadits dan contoh kehidupan Muhammad sebagai
sumber legitimasi agama. Produksi epistemik shalat
didokumentasikan dengan baik dalam narasi
hukum, etika, teologis, eksegetis, dan mitos, tetapi
tidak dalam Quran itu sendiri.
Politik salat di depan umum sebagai ranah laki-
laki dibina melalui pembagian gender antara sosial,
budaya, dan agama melalui peran laki-laki dan
perempuan: laki-laki bertanggung jawab atas ruang
publik dan menjadi pemimpin keluarga, sedangkan

3
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nurlela Rifai Hassan, Dr. Amani
Lubis, Dr. Musdah Mulia, Dr. Nurasiah Harahap, Ida Rasyidah, Neng Dara Affiah
MA, Yoyoh Yusroh, Kyai Husein, Inayah Rohmaniyyah MA, Dr. Siti Ruhayini
Zuhayatin, Professor Amin Abdullah, Dr. Ema Marhumah, Ida Ahdiah, dan Jarot
Wahyudi atas bantuan dan persahabatannya selama penelitian saya di Jakarta,
Cirebon, dan Yogyakarta pada tahun 2009.
perempuan adalah pemimpin rumah tangga.
Karena cengkraman laki-laki atas kekuasaan telah
ditutup dalam semua aspek ruang privat dan publik
dan telah tertanam sepanjang sejarah, seorang
wanita yang memutus siklus kekuatan maskulin
dalam kepemimpinan ritual dianggap sebagai
“dosa”, “pemberontak”, dan “bid'ah” sebagaimana
digemakan oleh lembaga-lembaga, seperti Majma'
al-Fiqh al-Islämi, dan oleh para cendekiawan,
seperti Yüsuf al-Qaradäwi, yang fatwa agamanya
dihormati, bahkan di Indonesia.4
Dalam tulisan ini, Pertama-tama saya akan
membahas wacana teologis seputar kepemimpinan
perempuan dalam shalat (imamat al-mar'ah) atau
kekurangannya. Kemudian, saya akan mengkaji
asumsi-asumsi yang ada tentang perempuan, yang
menjadi dasar larangan kepemimpinan perempuan
dalam shalat. Terakhir, saya akan memaparkan
beberapa tanggapan feminis terhadap wacana
kepemimpinan perempuan dalam shalat di
Indonesia. Sepanjang tulisan ini, saya akan
mengulangi apa yang dilakukan oleh ulama
perempuan Muslim seperti Amani Lubis,5 Musdah
Mulia,6 Yoyoh Yusroh,7 dan Neng Dara Affiah8 yang
mengatakan tentang hakikat kepemimpinan
perempuan dalam shalat dan relevansinya dalam
konteks Indonesia.9

4
Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, March 16, 2005. “A Collection of Fatwa and Legal
Opinions on the issue of women lead sholat,” 5 April 2005,
http://mac.abc.se/~onesr/d/fwlp_e.pdf (diakses 26 Oktober 2011).
5
Amani Lubis saat ini adalah Guru Besar Sastra Arab di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6
Musdah Mulia adalah Guru Besar Hukum Islam di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7
Yoyoh Yusroh adalah Anggota DPR dari Partai Keadilan. Wawancara dilakukan
pada Juni 2009. Dia meninggal pada 21 Mei 2011.
8
Neng Dara Affiah saat ini menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan di
Jakarta.
9
Saya ingin berterima kasih kepada Marcia Hermansen, editor buku ini, atas
komentarnya yang terperinci dan saran yang bijaksana.
Landasan Teologis Imāmat al-Mar’a dan
Kontroversi Sekitarnya.
Pada bagian ini, saya akan membahas landasan
teologis kepemimpinan perempuan dalam shalat.
Perdebatan tentang kepemimpinan perempuan
dalam shalat berakar pada interpretasi tradisi
kenabian. Baik ulama yang berpikiran legalistik
(laki-laki) maupun yang berorientasi feminis
menyebut hadis sebagai titik tolak teologis tentang
boleh atau tidaknya perempuan memimpin salat
berjamaah untuk kelompok pengikut yang
beragam.10 Landasan teologis imam laki-laki tidak
bersifat insidental tetapi dibangun melalui
pelembagaan hadits yang mengedepankan
kepemimpinan laki-laki dalam shalat, seperti dalam
salah satu hadits yang berasal dari Jäbir, dan
diriwayatkan oleh Ibn Mäjah: “Janganlah sekali-kali
seorang wanita memimpin seorang pria dalam
shalat.”11 Meskipun al-Nawäwi mencirikan hadis ini
lemah dalam transmisi (isnad), manual fiqh (ilmu
pemahaman yurisprudensi) mendukung institusi
imam laki-laki dalam semua shalat, dan ini menjadi
praktik hegemonik. Baik salafi maupun ulama
khalaf12 menegaskan larangan wanita menjadi
imam di depan pria dan anak laki-laki. Jika mereka
berdoa dengan cara ini, doa mereka tidak akan
diterima. Hermaprodit (individu yang memiliki 2

10
Setiap sholat ritual berpotensi berjamaah dan dapat dilakukan dalam kelompok
mengikuti kepemimpinan seorang imam (pemimpin sholat). Tapi, beberapa doa
lebih baik dilakukan sendirian.
11
Al-Imäm Abu Zakariyy Muhyi al-Din b. Sharaf al-Nawäwi, al-Majmü‘: Sharh al-
Muhadhdhab, ed. Muhammad Najib al-Muti'i, vol. 4 (Jeddah: Maktaba al-Irsyd,
n.d.), 223.
12
Salaf mengacu pada para pendahulu yang saleh, termasuk Malik b. Anas, Abu
yanifa, Sufyan, Ahmad, Dawud, dan ulama Madinah; khalaf mengacu pada ulama
setelah ulama yang mengikuti salaf. Lihat al-Imam al-Nawawi, al-Majmü' Sharh al-
Muhadhdhab, 223.
alat/organ kelamin yaitu jantan dan betina yang
berfungsi penuh) juga dilarang berdoa "di belakang"
wanita, tetapi doa wanita "di belakang" yang
pertama akan diterima (oleh Tuhan). Jika seorang
wanita shalat bersama laki-laki dan dia berdiri di
ujung shaf laki-laki atau di shaf laki-laki, maka
secara hukum dianggap makruh (keji), dan
shalatnya tidak dapat diterima. Demikian pula, doa
pria mana pun yang berdoa di sampingnya juga
tidak diterima. Sebagai aturan umum, tidak
diperbolehkan bagi perempuan untuk melakukan
adzan (panggilan untuk shalat) dan iqma
(panggilan shalat yang kedua),13 apalagi untuk
memimpin shalat.14
Husein Muhammad, seorang feminis Muslim
laki-laki dari lingkungan Pesantren,15
bagaimanapun, mendokumentasikan suara-suara
teologis yang bersaing mengenai masalah imam
perempuan dalam tradisi kenabian. Sebelum aksi
yang dilakukan Amina Wadud memimpin salat yang
dipublikasikan di New York City, dia (Husein
Muhammad) berpendapat bahwa landasan teologis
imam perempuan sudah mapan dalam tradisi
Islam. Biasanya, shalat berjamaah campuran
dipimpin oleh seorang imam laki-laki, dan
perempuan shalat di belakangnya. Pandangan
teologis laki-laki sebagai pemimpin shalat berasal
dari hadits, di antaranya berikut ini diriwayatkan
oleh Jabir dan diverifikasi oleh Bayhaqi:16
Nabi Muhammad (saw) berbicara kepada kita. Dia
mengatakan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi
imam bagi seorang pria. Jika laki-laki shalat di belakang
13
Adzan (panggilan untuk shalat) dilakukan untuk mengumumkan kedatangan
waktu shalat, sedangkan iqma mengacu pada panggilan untuk shalat segera
sebelum shalat yang sebenarnya dilakukan.
14
Jamal al-Din al-Jawzi, Kitäb al-Nisä’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 64-65.
15
Pesantren adalah sebuah Pendidikan Islam di Indonesia. Lembaga ini biasanya
dipimpin oleh seorang Kyai yang setara dengan ulama. Saat ini, beberapa
pesantren modern memiliki sistem pendidikan formal, sedangkan pesantren
tradisional masih mempertahankan pengaturan pendidikan informal.
16
Al-Nawawi, al-Majmü‘, vol. 4, 223.
perempuan tanpa disadari, maka diperbolehkan shalat di
belakangnya. Jika dia (laki-laki) sholat di belakangnya
tanpa dia sadari dan kemudian dia mengetahuinya karena
ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa dia adalah
seorang wanita, maka dia (laki-laki) harus mengulangi
sholatnya. Seorang pria tidak dapat berdoa di belakang
seorang hermaprodit karena orang ini bisa menjadi
seorang wanita. Hermafrodit tidak boleh shalat di belakang
hermaprodit lain karena jamaah hermaprodit [makmüm]
bisa laki-laki, dan imam perempuan.
Meskipun hadits dari Jabir sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Bayhaqi lemah
dalam transmisi, tetapi hal ini telah diterima secara
luas sebagai norma kepemimpinan laki-laki dalam
shalat.17 Cendekiawan Islam tradisional setuju
dengan larangan seorang wanita memimpin pria
dalam shalat wajib dan shalat yang dianjurkan.
Namun, para sarjana progresif, seperti
Muhammad dan Najwah,18 tidak setuju. Mereka
mendasarkan analisis mereka tentang kebolehan
kepemimpinan perempuan dalam shalat (imamat
al-mar'ah) berdasarkan hadits dalam Sunan Abi
Dawud. Abu Thawr berpendapat bahwa shalat laki-
laki di belakang perempuan adalah sah dan dapat
diterima.19 Qädi Abi Tayyab dan al-'Abdari juga
mendukung validitas kepemimpinan perempuan
dalam shalat (imamat al-mar'a). Pendapat para
ulama ini bersumber dari hadits sebagai berikut:20
Nabi Muhammad mengunjungi rumah [Umm Waraqa],
memberinya mu'adzhin, orang yang mengumandangkan
shalat, dan memerintahkan Ummu Waraqa untuk menjadi
pemimpin shalat di rumahnya. Abdurrahman mengatakan
bahwa, “dia memang melihat bahwa mu‟adzin [orang yang
mengumandangkan adzan] adalah seorang lelaki tua”
[orang yang tidak kuat secara seksual].

17
Ibid., and Nurun Najwah, “Pembacaan Ulang terhadap Imam Shalat
Perempuan," Musawa: Journal Studi Gender and Islam 6, no. 2 (2008): 225.
18
Nurun Najwah adalah dosen dan ahli hadis di Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
19
Al-Nawäwi, al-Majmü‘, vol. 4, 223.
20
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol. 1, Hadis 592 (Kairo: Dr al-Hadith, 1999),
284.
Muhammad b. Ismä‟il al-San„äni berpendapat
bahwa hadits ini merupakan landasan sahnya
kepemimpinan seorang wanita dalam shalat
(imamat al-mar‟a) di rumahnya sendiri, bahkan
dengan kehadiran seorang pria. Selain itu, izin Nabi
termasuk fakta bahwa Ummu Waraqa memimpin
shalat dengan seorang lelaki tua, seorang budak
laki-laki muda, dan seorang budak perempuan
sebagai ma'mümnya (siapa pun yang shalat di
belakang imam adalah sah).21
Agar norma-norma yang ditetapkan oleh hadits
dapat diterima, maka harus ada pembuktian
terhadap peristiwa dan mata rantai transmisinya.
Najwah, seorang ahli hadis wanita, berpendapat
bahwa meskipun hadits Ummu Waraqa mendukung
kepemimpinan wanita dalam shalat, rantai perawi
hadis tersebut bermasalah karena kredibilitas salah
satu perawi (Laylä binti Mälik) tidak diketahui, dan
dia hanya menyampaikan hadits untuk satu orang,
al-Walid.22 Hadits ini juga masuk kategori maqtü„,
artinya mata rantai tersebut tidak berhubungan
langsung dengan apa yang dilakukan Nabi
Muhammad, melainkan dengan Ummu Waraqa.
Terlepas dari kedua kritik tersebut, Najwah,
sebagai ahli hadis, menunjukkan bahwa keandalan
Laylä binti Mälik adalah maqbül (diterima) di antara
perawi hadits. Penerimaan ini memberikan
landasan teologis bagi seorang wanita yang
memimpin seorang pria dalam shalat.
Namun Amany Lubis, seorang dosen
perempuan dan pakar sastra Arab, meragukan
keteladanan Umm Waraqa bisa diterapkan secara
universal kepada semua perempuan Muslim.23 Dia
berpendapat bahwa sementara rantai perawi hadis
21
Imam Muhammad b. Ismaeil al-San'äni, Subul al-Salam, vol. 2 (Beirut: Där Ihyä’
al-Turäth al-‘Arabi, n.d.), 35
22
Nurun Najwah, “Pembacaan Ulang terhadap Imam Shalat Perempuan,”
Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam 6, tidak. 2 (2008): 219.
23
Wawancara dengan Amani Lubis di Jakarta pada 16 Juni 2009.
Umm Waraqa valid, isinya situasional.
Kepemimpinan wanita dalam shalat (imamat al-
mar‟ah) tidak dapat diterima secara teologis dan
adat karena umat Islam wajib mencontoh Nabi
Muhammad dengan seksama dan tegas. Meskipun
tradisi kenabian menawarkan dua model
kepemimpinan dalam shalat, kepemimpinan laki-
laki dalam shalat menjadi dilembagakan melalui
perangkat teologis peran performatif laki-laki
sebagai imam di ruang publik, khususnya di
masjid,24 di mana shalat wajib berjamaah dianggap
memberi pahala lebih sebanyak dua puluh tujuh
derajat.25 Najwah memandang hadits ini berlaku
untuk laki-laki, sedangkan perempuan
diperintahkan untuk shalat di rumahnya.26
Sementara laki-laki diperintahkan untuk
melaksanakan shalat berjamaah pada hari Jumat
(Q 62:9),27 perempuan dilarang pergi ke masjid.
Padahal, beberapa hadits mencatat bahwa wanita
wajib mandi sebelum shalat di masjid.
Pandangan bersaing tentang kepemimpinan
perempuan dalam doa ini menghasilkan klaim yang
kontradiktif tentang hierarki gender dan
egalitarianisme. Hirarki gender berpendapat bahwa
“perbedaan alami antara pria dan wanita
memerlukan perbedaan ontologis, moral, spiritual,
keuangan, sosial, budaya, dan politik; sedangkan
egalitarianisme gender menuntut kesetaraan hakiki
antara laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan
dan sesama manusia, terlepas dari perbedaan
seksual dan perbedaan gender.”28 Namun, budaya

24
Najwah, “Pembacaan Ulang terhadap Imamah Sholat Perempuan,” 228-229.
25
Imäm ‘Abd al-husain Muslim al-Hajjj, Sahih Muslim, vol. 2 (Riyadh: Darussalam,
2007), 149-152.
26
Ibid., 1472-1475, 491.
27
Terjemahan Yusuf Ali dari al Jumu'a 62:9 menyatakan: “Hai orang-orang yang
beriman! Ketika dikumandangkan adzan pada hari Jum'at (Hari Majelis),
bersegeralah untuk Mengingat Allah, dan tinggalkan bisnis (dan lalu lintas): Itu
lebih baik bagimu jika kamu tahu!
28
Etin Anwar, Gender and the Self in Islam (London: Routledge, 2006), 1.
gender secara hierarkis telah menjadi dominan
karena mayoritas sarjana Muslim, ahli hukum,
mistikus, dan filsuf yang menjunjung tinggi produksi
dan pemeliharaan budaya gender adalah laki-laki.
Ritual shalat dalam hal ini didefinisikan sesuai
dengan apa yang memenuhi norma-norma umum
Islam.
Setiap pelanggaran norma publik menghadapi
konsekuensi yang keras. Misalnya, Abu Dawüd
melaporkan bahwa 'Umar memerintahkan orang-
orang untuk menangkap budak laki-laki dan
perempuan Umm Waraqa yang telah meninggalkan
kota setelah kematian tuan mereka dan
memerintahkan kedua budak itu untuk dihukum di
Madinah.29 Abu Dawüd tidak merinci apa yang
menyebabkan kedua budak itu dihukum. Narasi
kedua budak yang dihukum, bagaimanapun,
disebutkan dalam konteks hadits, yang
berhubungan dengan imam Ummu Waraqah dalam
shalat. Tidak hanya imam Ummu Waraqa yang
diberikan oleh Nabi, tetapi juga ditandai dengan
keunggulan dan kefasihannya dalam membaca Al-
Qur'an. Kedua budak tersebut dikabarkan biasa
salat di belakang Ummu Waraqah sampai
kematiannya. Bagaimanapun, kisah para budak
yang menerima hukuman keras karena
menjalankan apa yang secara implisit didukung
oleh Nabi Muhammad, menimbulkan pertanyaan
apakah umat Islam dapat memiliki pendapat yang
berbeda secara fundamental tentang shalat.
Kesenjangan yang ada antara pandangan
hierarkis dan egaliter tentang imamah perempuan
dalam shalat mencerminkan aliran Islam yang
konservatif dan moderat di Indonesia. Majelis
Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa pada tahun
2005 bahwa kepemimpinan perempuan (imämat al-

29
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol. 1 (Kairo: Dar al-Hadith, 1999), Hadis 591,
284.
mar'a) adalah haram. Dalil-dalil yang digunakan
untuk mendukung larangan wanita memimpin salat
antara lain:30
a. Pertama, Muhammad memerintahkan Umm
Waraqa untuk menjadi imam hanya untuk
keluarganya.
b. Kedua, Muhammad berkata dalam hadits lain
bahwa “janganlah menjadikan seorang wanita
menjadi imam bagi laki-laki.”
c. Ketiga, ketika imam melakukan kesalahan dalam
shalat, laki-laki mengoreksi kesalahan itu secara
berbeda dari perempuan. Laki-laki berseru
“subhänalläh” (“Segala puji bagi Tuhan”) dengan
lantang sementara wanita bertepuk tangan.
d. Keempat, shaf yang paling baik bagi laki-laki
dalam shalat adalah shaf pertama dan shaf yang
paling buruk adalah shaf terakhir, sedangkan
shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf
yang paling jauh di belakang laki-laki dan shaf
yang paling buruk adalah shaf pertama setelah
laki-laki.
e. Kelima, anjing, wanita, dan keledai dikatakan
sebagai pengalih perhatian dalam shalat.31
f. Keenam, shalat yang paling baik bagi seorang
wanita dilakukan di kamarnya, di dalam
rumahnya.
g. Terakhir, kesepakatan para sahabat (sahaba)
adalah bahwa tidak pernah ada wanita yang
memimpin sholat jamaah campuran tetapi
wanita bisa memimpin sholat jamaah wanita.32
Mengingat bahwa prinsip hukum dalam hal ibadat
adalah tawqif (mematuhi pedoman yang ditetapkan

30
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/11/06/20/ln3biv-fatwa-
mui-hukum-wanita-menjadiimam-shalat (diakses 17 Maret 2013).
31
Ada laporan hadits yang membuktikan semua hal di atas sebagaimana dicatat
dalam “Kitab Doa” dalam Imam 'Abd alyusayn Muslim al-Hajjaj, Sahih Muslim,
vol. 1 (Riyadh: Darussalam, 2007), 483-621.
32
Dalam mazhab Hanafi bahkan seorang wanita yang memimpin wanita lain
dalam shalat dianggap menjijikkan (makrüh).
oleh Nabi Muhammad) dan ittiba (mengikuti
keteladanan Nabi), Ulama Indonesia menyatakan
bahwa imam perempuan dalam jamaah campuran
dipandang secara hukum haram (dilarang) dan tidak
dapat diterima. Demikian pula, seorang wanita yang
berfungsi sebagai imam untuk jemaah wanita saja
dipandang secara hukum mubah (diperbolehkan).
Lubis sependapat dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia tentang kepemimpinan perempuan dalam
shalat. Pada awalnya, dia menanggapi secara positif
shalat yang dipimpin Wadud dan kemudian
mengulangi pendiriannya tentang masalah ini,
dengan mengatakan bahwa persepsi wanita Muslim
berbeda-beda.33 (gak jelas emang Amany). Pertama,
perempuan bisa menjadi pemimpin shalat selama
memenuhi syarat menjadi imam (pemimpin shalat).
Namun, Lubis menambahkan bahwa kepemimpinan
perempuan dalam shalat (imamat al-mar'a) tidak
dapat diterima karena tidak ada preseden (hal yang
telah terjadi dahulu dan dapat dipakai sebagai
contoh) dalam sejarah Islam dan tidak ada contoh
dari Nabi Muhammad dan para sahabat yang terus
eksis dalam tradisi Islam. Terakhir, Lubis mengatakan
bahwa perempuan dapat menjalankan perannya
sebagai pemimpin shalat ketika dibutuhkan oleh
komunitas yang ada dan dalam situasi darurat.
Misalnya, Amina Wadud bisa memimpin salat jika dia
menjadi pemimpin berdasarkan penunjukan
komunitas. Wanita mualaf, dan laki-laki yang hatinya
belum kuat untuk Islam dan belum sepenuhnya
menerima Islam bisa menjadi ma'müm untuk Wadud.
Namun, situasi ini bersifat spesifik budaya dan tidak
dapat diterapkan di tempat lain, seperti Indonesia.
Lubis mendesak Wadud untuk tidak menyebarkan
kepemimpinan perempuan dalam shalat atau datang
ke negara-negara mayoritas Muslim untuk
menyebarkan ide ini kepada mereka. Ia
33
Wawancara dengan Amani Lubis pada 16 Juni 2009.
mengingatkan, perempuan Indonesia yang
mengusung gagasan perempuan memimpin salat
tidak akan mendapat dukungan dari mayoritas
Muslim Indonesia. Lubis memandang ritual shalat
dalam Islam sebagai sesuatu yang lengkap dan tidak
dapat diubah. Tidak perlu mengubah bentuk ritual
tradisional. Dia tampaknya menyarankan bahwa
kepemimpinan wanita dalam shalat bukanlah
masalah penting. Yang perlu dilakukan, ia mendesak,
dan mendorong umat Islam untuk meningkatkan iman
mereka dalam Islam dan bagi mereka yang memiliki
iman untuk membantu orang lain meningkatkan iman
mereka.
Sebagai ulama, feminis, dan pemimpin sebuah
pondok pesantren di Cirebon, Indonesia, Husein
Muhammad, bagaimanapun, berpendapat bahwa
diperbolehkan bagi seorang wanita untuk menjadi
imam bagi pria dan wanita.34 Dia sendiri telah
mendorong istrinya untuk menjadi pemimpin doa bagi
dia dan keluarganya, tetapi dia belum memenuhi
tantangannya.35 Muhammad merenungkan konteks
yang lebih luas di mana narasi diskursif
kepemimpinan perempuan dalam shalat (imamat al-
mar'a) kurang populer karena beberapa alasan.36
Pertama, Muhammad berpendapat bahwa sifat Islam
lebih bersifat politis, dalam arti bahwa produksi Islam
di dalam kekuasaan hegemonik dari dinasti-dinasti
Islam cenderung mempolitisasi Islam untuk
keuntungan mereka sendiri, dan oleh karena itu
menjadi lebih bersifat patriarki. Alasan kedua
hegemoni laki-laki, menurut Muhammad, adalah
pandangan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan
dalam aktivitas ritual dan sosial dipenuhi dengan rasa

34
Ulil Absar- Abdalla, “K.H. Husein Muhammad and Nur Rofi'ah: Perempuan Boleh
Mengimami Laki-laki,” 4 April 2005, http://islamlib.com/id/komentar/perempuan-
boleh-mengimami-laki-laki/ (diakses 5 November 2009) .
35
Wawancara dengan Husein Muhammad di Cirebon pada 29 Mei 2009.
36
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender (Yogyakarta: LKIS, 2001), 36-37.
takut akan godaan (khawf al-fitna). Ulama fiqih
waspada terhadap godaan apa pun yang akan
dihadapi pria sebagai akibat dari percampuran jenis
kelamin di ruang publik. Alasan ketiga adalah bahwa
kepemimpinan dalam ritual shalat dipandang sebagai
masalah ritual keagamaan („ubüdiyya) yang Nabi
Muhammad berikan bimbingan dan contoh.
Berdasarkan proses pemikiran gender tersebut,
narasi diskursif kepemimpinan perempuan dalam
shalat (imamat al-mar‟ah) menimbulkan pertanyaan
apakah perempuan layak untuk memimpin shalat
berjamaah campuran dan bahkan menghadiri masjid
sama sekali untuk melakukan ibadah?
Perbedaan antara pandangan konservatif dan
moderat tentang kepemimpinan perempuan dalam
shalat berjamaah berasal dari dua penjelasan tentang
bagaimana partisipasi perempuan di masjid dibangun
atau tidak. Beberapa tradisi kenabian (hadis)
mencatat bahwa wanita berdoa bersama Nabi
Muhammad. Karena mereka datang sepenuhnya
tertutup dan dibiarkan tanpa diketahui karena
kegelapan, pria Muslim cenderung tidak
memperhatikan kehadiran wanita di masjid.37
Demikian pula, Nabi Muhammad juga memerintahkan
laki-laki untuk tidak melarang istri dan budak
perempuan mereka pergi ke masjid.38 Salat jum'at
tidak diwajibkan bagi wanita, tetapi jika seorang
wanita pergi ke Jum'at, doanya diterima dan dihargai.
Jika dia ingin hadir di Jum'at, maka dia harus
mandi.39 Meskipun pandangan egaliter tentang
partisipasi perempuan dan imamat al-mar‟ah berakar
pada tradisi Islam, praktik hegemonik budaya masjid
bersifat seksis. Berikut ini, saya akan membahas
korelasi antara pandangan seksis tentang peran
perempuan dan ritual yang dipolitisasi dalam Islam.

37
Jamäl al-Din al-Jawzi, Kitab al-Nisa’ (Beirut: Dr al-Fikr, 1996), 63-64.
38
Ibid., 64
39
Ibid., 65
Pandangan Gender terhadap
Perempuan dan Doa yang Seksis
Bagian ini akan mengeksplorasi bagaimana persepsi
gender perempuan berkorelasi dengan pembatasan
perempuan berpartisipasi dalam shalat berjamaah dan
imamah (kepemimpinan shalat). Kebanyakan
larangan wanita untuk melakukan sholat di masjid
berasal dari rasa takut akan fitnah (cobaan atau
godaan). Ketakutan ini menciptakan tindakan
pembatasan bagi perempuan pergi ke masjid yang
didasarkan pada beberapa hadits. Misalnya, wanita
dan budak wanita boleh pergi ke masjid jika mereka
tidak memakai parfum.40 Hadits lain mengatakan
bahwa wanita harus dilarang datang ke masjid dan
lebih baik tinggal di rumah.41 Penekanan pada rumah
tangga perempuan yang bergema kuat di kalangan
ulama fiqh (yang mendefinisikan tingkat godaan, serta
aturan untuk ketaatan dan ketidaktaatan). Pergi ke
masjid diperbolehkan (mubah) bagi seorang wanita.
Namun, jika dia takut akan menyebabkan fitnah oleh
laki-laki yang melihatnya, dia harus sholat di rumah.42
Wanita pada dasarnya bertanggung jawab untuk tidak
menimbulkan godaan, sampai-sampai jika seorang
wanita keluar, dia perlu berhati-hati agar tidak ada pria
yang tergoda dengan kehadirannya; jika dia tidak
menahan diri, orang tidak akan mengendalikan diri
demi dia.43 Sama pentingnya bagi seorang wanita
sebelum dia pergi keluar adalah untuk mendapatkan
izin suaminya. Ketika dia di jalan, dia harus berjalan
ke jalan yang kosong, tidak ramai atau berjalan di
pasar, pastikan suaranya tidak terdengar, dan berjalan

40
Ibid., 64.
41
Ibid., 65.
42
Ibid., 64.
43
Ibid., 68.
di pinggir jalan, tidak di tengah.44 Abu Huraira
menyatakan bahwa Muhammad mencegah
perempuan untuk berjalan di jalan utama.
Ketakutan akan fitnah (persidangan) sebagai institusi
ideologis laki-laki yang menghasilkan norma dan
aturan bagi perempuan tidak hanya berkembang di
kalangan ahli hukum laki-laki tetapi juga menciptakan
budaya gender. Budaya gender ini diasumsikan
berasal dari Syariah, yaitu seperangkat perintah
hukum yang lengkap yang memaksakan Kehendak
Tuhan pada perilaku manusia.45 Fiqh dipahami
sebagai produk pemahaman syariat dan dianggap
sebagai “perkiraan hukum Tuhan yang sebenarnya.”46
Syariat dan fiqh sering disamakan satu sama lain.
Saya akan berargumentasi bahwa sementara hukum-
hukumnya diturunkan dari Al-Qur'an dan hadits, saya
harus mengakui bahwa perspektif para ahli hukum
tentang isu-isu gender sering menggunakan teks-teks
suci untuk melegitimasi politik perbedaan gender dan
konstruksi peran spesifik gender untuk pria dan wanita
dalam masyarakat Muslim, yang tidak selalu ada
dalam Al-Qur'an. Penggunaan kutipan naratif
berfungsi untuk menegaskan ideologi, institusi, dan
praktik patriarki yang semakin menorehkan
superioritas laki-laki atas perempuan.
Kesesuaian aturan, peran, dan hak perempuan yang
dikutip dengan ideologi patriarki sebaiknya tidak
mengejutkan, karena Al-Qur'an dan hadits secara
historis terletak di pagan, budaya dan lokalitas suku
Arab. Historisitas Al-Qur‟an dan hadits menangkap
sekilas kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya-
budaya suku dan bagaimana perempuan dihargai saat
ini. Konteks historis Al-Qur'an ini menunjukkan
bagaimana praktik-praktik tertentu terus ada dan
tumbuh dalam pengaruh, dan bagaimana Al-Qur'an
44
Ibid., 68.
45
Daniel Brown, A New Introduction to Islam (Malden, MA: Backwell Publishing,
2004), 120.
46
Ibid.
telah membawa penekanan hukum, meskipun
faktanya hanya ada beberapa ayat Al-Qur'an yang
berhubungan dengan aturan hukum. Dalam
pengertian ini, interpretasi laki-laki yang berwawasan
hukum mencerminkan budaya yang ada dan
menetapkan apa yang dipandang sebagai aturan yang
tepat di mana perempuan harus bertindak, peran apa
yang harus dijalankan oleh perempuan, dan hak-hak
apa yang menjadi hak perempuan. Aturan dominan
kepemimpinan shalat laki-laki menegaskan kembali
status subordinat perempuan sebagai makhluk
sekunder, domestik, dan seksual.
Mungkin penandaan perempuan sebagai makhluk
sekunder terlihat dalam narasi-narasi Al-Qur‟an yang
tampaknya membuat pembaca segera menyadari
inferioritas perempuan. Al-Nisä‟, 4:34 menunjukkan
bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan karena
kapasitas ekonomi dan kepemimpinan laki-laki. Al-
Nisä‟, 4:11 dan 176 menyarankan bahwa anak
perempuan dan saudara perempuan berhak
menerima setengah dari bagian laki-laki dalam hal
warisan. Al-Baqarah, 2:282 menyebutkan kesaksian
dua orang saksi perempuan sama dengan kesaksian
satu orang saksi laki-laki. Al-Nisä', 4:34 memberi pria
hak untuk menikahi hingga empat wanita. Meskipun
ayat-ayat ini sedikit jumlahnya, mereka memiliki
dampak yang tak terukur terhadap status perempuan.
Di tangan para ahli hukum Islam, ayat-ayat ini
menegaskan pandangan bahwa perempuan tidak
setara dengan laki-laki karena Tuhan telah
memberikan keunggulan kepada laki-laki dalam
bidang ekonomi, politik, dan epistemologi. Sebagai
kelompok yang unggul secara ekonomi, laki-laki
menguasai perempuan dalam segala bidang
kehidupan, baik privat maupun publik. Hubungan
ekonomi suami-istri adalah salah satu pertukaran.
Suami menyediakan mas kawin dan nafkah47 dan istri
sebagai imbalannya mengamankan organ seksual
mereka untuk kenyamanan suami, dengan
sepenuhnya mematuhi mereka, dan dengan
mematuhi disiplin, jika mereka memberontak.
Al-Nawawi berpendapat bahwa laki-laki secara
faktual dan yuridis (syar'i) lebih tinggi dari perempuan.
Dia berpendapat bahwa perbedaan nyata antara laki-
laki dan perempuan meliputi: keunggulan kapasitas
intelektual laki-laki, kesabaran laki-laki dalam
menghadapi bencana, kekuatan fisik laki-laki lebih
besar, laki-laki berorientasi ilmiah dalam menulis,
keterampilan laki-laki dalam mengendarai kuda, laki-
laki merupakan mayoritas ulama, dan dominasi
pemimpin adalah laki-laki (imam); keutamaan laki-laki
dalam perang, keutamaan laki-laki dalam memimpin
shalat Jum'at dengan mengumandangkan adzan,
menyampaikan khutbah, dan menjadi imam shalat,
keutamaan laki-laki dalam menghabiskan waktu
selama bulan Ramadhan dengan mengasingkan diri di
masjid ('i'tikaf), laki-laki superioritas dalam kesaksian
di pengadilan, superioritas laki-laki dalam warisan,
superioritas laki-laki dalam garis keturunan, laki-laki
menjadi wali yang bertanggung jawab secara hukum
atas perkawinan perempuan, keistimewaan laki-laki
dalam perceraian, perkawinan kembali, dan poligami;
dan keunggulan laki-laki dalam garis keturunan.48
Superioritas hukum laki-laki termasuk tanggung jawab
laki-laki untuk pemeliharaan keuangan perempuan.
Lebih jauh lagi, ada hubungan yang mulus antara
kepatuhan dan hukuman. Beberapa catatan kenabian
mengingat bagaimana malaikat, suami, dan Tuhan
akan tidak senang dengan kegagalan seorang istri
untuk memenuhi hak-hak seksual suaminya.
Penerapan hukuman berat memperkuat kerangka

47
Muhammad b. ‘Umar al-Nawawi, Sharh 'uqud al-lujayn f bayan bi-huqüq al-zawjayn
(Semarang: Karya Saputra, n.d.), 7.
48
Ibid.
mental yang menjadikan kekerasan diperlukan untuk
memaksa kepatuhan perempuan di semua tingkatan.
Tanpa itu, wanita pasti akan menghadapi api neraka
di kehidupan ini dan akhirat. Kembali ke bumi pada
malam Isra' dan Mi'räj (Perjalanan Malam dan
Kenaikan), Nabi Muhammad mengingat visinya
tentang mayoritas wanita yang akan menjadi penghuni
neraka. Mereka akan dibuang ke neraka karena
pemberontakan mereka terhadap suami mereka.49
Narasi interpretatif dari visi Perjalanan Malam secara
masuk akal dapat mendukung takdir eksistensial dan
eskatologis seorang wanita yang ditentukan
berdasarkan jenis kelaminnya. Dengan demikian
pemikiran gender menjadi institusi kekuasaan “yang
dikaitkan dengan situasi strategis yang kompleks”50 di
mana keragaman hubungan kekuasaan terhubung.
Namun, kisah Isra' dan Mi'räj juga dapat dilihat
sebagai dasar meletakkan kesetaraan moral gender di
mana ketaatan diarahkan kepada Tuhan, bukan
kepada manusia. Dalam hal ini, hukuman menjadi
urusan Tuhan, bukan sesuatu yang harus dilakukan
oleh suami yang kasar. Mengingat pandangan umum
tentang perempuan sebagai makhluk sekunder,
seksual, dan domestik, pandangan ulama laki-laki
tentang kehadiran perempuan di masjid bervariasi,
dari yang mubäh (dibolehkan) atau makrüh (keji),
hingga haram (dilarang). Pergi ke masjid hanya
diperbolehkan untuk wanita tua. Ini menjadi makrüh
(keji) bagi wanita yang menurut pria menarik. Namun,
sangat dilarang bagi gadis-gadis cantik untuk
menghadiri masjid karena takut akan fitnah (godaan).
Ulama fiqih, seperti Abu Hanifa (w. 767), Malik b.
Anas (w. 795), dan Muhammad b. Idris al-Syafi‟i (w.
819) sependapat bahwa wanita tua yang sudah tidak
menarik lagi diperbolehkan ke masjid, sedangkan

49
Ibid., 12.
50
Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Sebuah Pengantar, vol. 1, trans. Robert Hurley
(New York: Buku Vintage, 1990), 93.
wanita dewasa dan muda yang menarik sebaiknya
tinggal di rumah.
Yoyoh Yusroh, anggota Partai Keadilan Indonesia
dan DPR, sependapat dengan gagasan bahwa tubuh
perempuan bisa menjadi sumber gangguan laki-laki.
Dia sangat tidak setuju dengan seorang wanita yang
memimpin shalat berjamaah, seperti yang dilakukan
Wadud di New York. Baginya, kodrat perempuan
memerlukan perlakuan yang berbeda. Ketika
perempuan menginginkan kesetaraan, bukan berarti
semuanya bisa sama. Karena laki-laki dan perempuan
berbeda, dia meramalkan akibat dari pencampuran
seperti itu dalam shalat, dengan menyatakan bahwa:51
“Kita bisa membayangkan jika wanita memimpin sholat dan pria
sholat di belakang mereka. Mereka (laki-laki) bisa mengalihkan
perhatian jemaah. Artinya kita [wanita Muslim] tidak boleh
hanya memikirkan bagaimana kita ingin setara dengan pria. Kita
juga perlu memperkirakan efek potensial untuk mengurangi
konflik atau dampak lain dari tindakan tersebut.”
Meskipun dia tidak setuju dengan wanita yang
memimpin sholat dalam konteks campuran, dia percaya
bahwa Islam mengizinkan wanita untuk memimpin
sholat di depan wanita. Di kalangan masyarakat Betawi
di Jakarta, misalnya, seorang perempuan yang
memimpin salat, khususnya salat tarawih, adalah hal
biasa. Ia mengaku pernah memimpin doa jemaah
wanita di rumah ibunya. Kesalehan dan kefasihan
dalam membaca Al-Qur'an termasuk di antara
repertoarnya. Dia ingat pertemuannya dengan seorang
feminis yang mengatakan kepadanya bahwa dia bisa
menjadi imam untuk shalat di masjid karena dia memiliki
suara yang indah. Dia menentang gagasan itu karena
dia percaya bahwa hanya laki-laki yang harus menjadi
pemimpin doa. Ia menambahkan bahwa keyakinan
seperti itu lebih dapat diterima dan sesuai dengan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah dan Nabi Muhammad.
Yusroh tentu tidak menolak kesetaraan laki-laki dan
perempuan, tetapi ritual ibadah (shalat) bukanlah bidang
yang memperdebatkan kesetaraan, karena laki-laki dan
51
Wawancara dengan Yoyoh Yusroh pada 17 Juni 2009.
perempuan sama di hadapan Tuhan (mempunyai porsi,
fungsi, dan tempatnya sendiri).
Aktivis Neng Dara Affiah, bagaimanapun,
mengungkapkan kekecewaannya pada hubungan
antara larangan wanita memimpin sholat dan wanita
dianggap sebagai „aurat.52 Dia melihat kekeliruan dalam
penalaran yang memungkinkan umat Islam untuk
menerima perempuan sebagai guru umum sehingga
perempuan ini tidak dianggap sebagai 'aurat. Namun,
dalam hal kepemimpinan shalat, seluruh tubuh wanita
menjadi tabu sebagai aurat. Affiah menegaskan bahwa
persepsi perempuan sebagai 'aurat berasal dari sistem
etika yang berpusat pada laki-laki. Diasumsikan bahwa
ritual keagamaan adalah domain (kekuasaan) laki-laki di
mana perempuan dikecualikan. Dia berpendapat bahwa
perbedaan dalam doa adalah ruang yang diperebutkan
bagi kaum feminis, di mana ritual itu tidak hanya untuk
pria, tetapi juga mencakup wanita. Wanita adalah
makhluk Tuhan dan mendambakan kedekatan dengan
Tuhan. Akibatnya, pria dan wanita masing-masing
adalah wakil Tuhan di bumi. Mengistimewakan laki-laki
sebagai satu-satunya makhluk yang mengabdi kepada
Tuhan berarti melakukan ketidakadilan terhadap
perempuan. Ketidakadilan inilah yang ditanggapi oleh
feminis Muslim dari berbagai latar belakang.

Praksis Imamat al-Mar'ah dan Aktivisme


Feminis
Keseragaman perempuan yang dianggap sebagai
makhluk sekunder, domestik, dan seksual dalam
budaya Muslim menunjukkan efek panjang dominasi
maskulin dalam doa. Pengecualian perempuan dari doa
berarti bahwa mereka juga dikucilkan dari produksi
“pusat-pusat pengetahuan/kekuasaan lokal”,53 namun

52
Aurat secara harfiah berarti pudenda (dan dengan demikian ditabukan secara
seksual).
53
Foucault, Sejarah Seksualitas, 98.
ironisnya mereka tidak pernah merasa dikucilkan.
Perempuan melanggengkan paradigma ilmu/kekuatan
fiqh (pemahaman hukum) melalui pelembagaan taqlid
(keyakinan kepada aturan hukum masa lalu tanpa
mengetahui dalil atau alasannya). Hanya jika mereka
melampaui desakan fiqih dan bergerak menuju
pembukaan ijtihad (penalaran hukum independen)
dalam arti yang lebih luas, perempuan Muslim akan
mampu menghidupkan kembali semangat hilm (sabar),
yang menghargai kewajaran moral dan kesalehan
spiritual. Dalam upaya mentransformasi konstruksi
shalat yang pada hakikatnya bersifat patriarki, Musdah
Mulia, seorang ulama dan aktivis, mengusulkan
perubahan budaya secara bertahap dalam tiga langkah:
(1) transisi dari budaya patriarki ke egalitarianisme; (2)
reformasi hukum untuk mengakhiri praktik-praktik
diskriminatif terhadap perempuan; dan (3) reinterpretasi
teks-teks agama dengan cara yang lebih humanistik dan
lebih akomodatif terhadap perempuan. Feminis Muslim
dari lingkungan Pesantren juga mencoba untuk
membahas kerumitan shalat dalam konteks wilayah
Indonesia. Sekarang saya akan membahas bagaimana
para cendekiawan dan aktivis feminis dari latar belakang
ini memperdebatkan kesetaraan moral dan spiritual
dengan menganalisis tanggapan mereka terhadap
immat al-mar'a.
Imam perempuan dalam shalat umumnya dilakukan di
lingkungan Pesantren, terutama di kalangan jemaah
perempuan. Di Pesantren, para ulama melatih santri
untuk memahami Islam dan menjadi produsen
pengetahuan dalam Islam. Di sana, remaja putra dan
putri menerima pelatihan agama dan menjalankan hak
pilihan mereka untuk menjadi pembelajar mandiri. Siswa
perempuan belajar tidak hanya pengetahuan dasar
Islam dari kitab kuning (harfiah "buku kuning", tetapi
digunakan untuk merujuk pada buku-buku yang berisi
pengetahuan klasik tentang Islam), tetapi juga kadang-
kadang mengajar siswa lain Islam dan memainkan
peran pemimpin doa untuk jemaat perempuan.
Meskipun perempuan lulusan Pesantren memiliki
pengetahuan tentang Islam, mereka tidak mencapai
ketenaran karena pengetahuan mereka juga tidak
menjalankan peran mereka sebagai ustadzah atau
muballigh pada tingkat yang sama dengan laki-laki.
Begitu pula dengan perempuan lulusan universitas
terkemuka, seperti Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir.
Perempuan berpendidikan tinggi dari lembaga
keagamaan tidak berdaya saat mereka hidup dan
berbaur dengan masyarakat. Hanya sedikit perempuan
yang memiliki ilmu agama dan dari pesantren yang
menjalankan kekuatan ilmunya dengan menjadi aktivis
dan pengajar di perguruan tinggi Islam. Perempuan-
perempuan ini berada di garda depan dalam melakukan
reinterpretasi Islam dan keadilan gender. Dalam
reinterpretasi Islam, pertanyaan mereka tentang imamat
al-mar'ah dapat dibahas dan diperdebatkan.
Tanggapan feminis terhadap masalah imamat al-
mar'ah berkisar pada sifat shalat, apakah itu teologis,
spiritual, atau sosial, dan boleh dan tidak bolehnya
dalam konteks Indonesia. Kaum tradisionalis, seperti
Lubis, memandang shalat sebagai masalah 'ubüdiyya
(ritual wajib mengikuti teladan Nabi Muhammad). Dalam
Islam, Nabi Muhammad memberikan pedoman untuk
shalat dan memberikan contoh bagaimana melakukan
shalat. Sepanjang hidupnya, dia meminta laki-laki,
seperti Abu Bakar, untuk memimpin salat, tetapi tidak
kepada istri atau anak perempuannya. Karena tidak ada
contoh sebelumnya dari seorang wanita yang memimpin
shalat dan doa, Lubis mengatakan bahwa54
“Menurut saya laki-laki harus memimpin shalat, sedangkan
perempuan hanya boleh memimpin shalat dengan orang tua,
laki-laki buta dan anak-anak sebagai ma'mümnya (jamaah).
Meskipun contoh ini disetujui oleh Nabi Muhammad, dia tidak
pernah benar-benar menunjuk para sahabat wanita untuk
memimpin shalat sehingga para sahabat prianya tidak
mengusulkannya”.

54
Wawancara dengan Amany Lubis pada 16 Juni 2009.
Keharusan imam, di mata Lubis, melambangkan
kebijaksanaan persatuan dalam Islam. Dia mengatakan
bahwa shalat dan doa itu bersifat pribadi; oleh karena
itu, meskipun dilakukan secara berjamaah, orang
tersebut bertanggung jawab atas shalatnya sendiri.
Pemimpin salat diperlukan untuk membangkitkan rasa
kebersamaan dalam salat dimana seorang Kyai dituntut
untuk memimpin salat berjamaah. Aturan shalat dalam
Islam bersifat fleksibel, seperti contoh shalat yang
dilakukan saat perang. Meskipun menghadap kiblat
(arah sholat) biasanya menjadi persyaratan untuk
sholat, itu tidak menjadi masalah ketika berada di bawah
tekanan. Keteraturan dalam berdoa penting untuk
menunjukkan keutamaan persatuan. Dia bersikeras,
bagaimanapun, bahwa seorang wanita tidak bisa
menjadi imam karena contoh seperti itu tidak ada sejak
zaman Khalifah Yang Dibimbing dengan Benar yang
memahami semangat Islam.
Seorang feminis moderat, seperti Musdah Mulia,55
seorang ulama Islam dan aktivis Nahdlatul Ulama,
berpendapat bahwa shalat dalam Islam adalah soal
pahala yang terbuka bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam Islam, baik jamaah (ma'müm) dan pemimpin
(imam) menerima pahala. Baik Al-Qur'an maupun hadits
tidak menunjukkan bahwa imam menerima lebih banyak
atau lebih sedikit pahala daripada jamaah; itu
tergantung pada kesadaran individu tentang Tuhan
(taqwa). Konteks ritual dalam Islam mengedepankan
nilai (istibaq al-khayrat).56 Ia menjelaskan bahwa syarat
shalat meliputi ketakwaan, kemahiran membaca Al-
Qur‟an, dan senioritas. Tidak ada dalam Al-Qur'an yang
menyebutkan tentang seks sebagai persyaratan dalam
kepemimpinan. Tidak ada contoh dalam hadits di mana
laki-laki diharuskan menjadi pemimpin shalat. Aturan
tentang laki-laki sebagai pemimpin shalat lazim di
55
Wawancara Musdah Mulia pada 17 Juni 2009.
56
Lihat terjemahan Yusuf Ali dari Q 2:148: “Untuk masing-masing adalah tujuan yang
Allah berikan padanya; kemudian berjuang bersama-sama (seperti dalam
perlombaan) menuju semua yang baik. Dimanapun kamu berada, Allah akan
mempertemukan kamu. Karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu"
kalangan sarjana hukum, seperti Abu 'AbdAlläh
Muhammad b. Idris al-Shäfi„i (w. 820). Dalam pengertian
ini, wanita memimpin salat merupakan wilayah ijtihad
(mandiri) nalar hukum. Lubis berpendapat,
bagaimanapun, bahwa meskipun Al-Qur'an tidak
menyebutkan imamat al-mar'ah, itu juga tidak
mempromosikannya. Dalam Islam, setiap keputusan
hukum harus didasarkan pada Al-Qur‟an, hadits, dan
ijtihad. Jika hadits memang menyebutkan secara
spesifik, itu tidak berarti bahwa kita melompat ke Al-
Qur'an. Al-Qur'an tidak mencakup segala sesuatu yang
mungkin muncul di masa depan. Proses ijtihad
membutuhkan kesatuan tiga sumber.
Berbeda dengan pandangan Lubis, seorang feminis
liberal dan aktivis hak-hak perempuan seperti Neng
Dara Affiah berpendapat bahwa imamat al-mar‟ah lebih
bersifat sosiologis daripada teologis.57 Al-Qur‟an,
menurutnya, tidak melarang kepemimpinan perempuan
dalam shalat, dan Nabi Muhammad mengizinkan hal itu
terjadi; sehingga yang menghambat diterimanya imamat
al-mar‟ah adalah masyarakat. Dia menyesali itu
“selama berabad-abad, kami tidak memiliki contoh wanita
memimpin doa dan wanita juga telah terpinggirkan dalam acara-
acara ritual spiritual keagamaan. Saya sering merasa sedih
karena dalam beberapa kesempatan, perempuan seringkali
ditempatkan di tempat yang lebih rendah selama proses
pelaksanaan keagamaan.. Karena performativitas shalat
bersifat sosial, muncul pertanyaan apakah umat Islam ingin
mengubah kondisi di mana ritual dilakukan”.58

Affiah juga mengkritik umat Islam yang mengacu pada


Nabi Muhammad sebagai contoh mapan yang tidak
menetapkan preseden perempuan dalam imamah. Dia
berpendapat bahwa Nabi terus-menerus memimpin doa
karena dialah satu-satunya yang mengerti Al-Qur'an.
Dia juga lebih unggul secara moral, bahkan
dibandingkan dengan para nabi sebelumnya. Dia
menegaskan bahwa yang dipertaruhkan di sini adalah
57
Wawancara dengan Neng Dara Affiah pada 19 Juni 2009.
58
Ibid.
kualitas spiritual, moral, dan humanistik, bukan jenis
kelamin atau kategori lainnya. Jika kualitas seperti itu
ada pada wanita, wanita harus memimpin doa, terlepas
dari jenis kelamin mereka.
Karena pemahaman kaum feminis tentang sifat salat
berbeda-beda, demikian pula narasi diskursif mereka
tentang penerapan kepemimpinnan salat perempuan
dalam konteks Indonesia. Lubis berpendapat bahwa
wanita memimpin shalat (imamat al-mar‟ah) tidak bisa
dilakukan di Indonesia karena dalam setiap rumah
tangga, harus ada laki-laki yang bisa memimpin shalat.
Dia juga menegaskan bahwa laki-laki memimpin shalat
adalah bagian dari tradisi dan para ulama
mengharuskan mereka untuk memimpin shalat.
Kalaupun laki-laki itu kurang ilmu agama dan kebetulan
punya anak yang kuliah di lembaga Islam, seperti
Universitas Islam Negeri, laki-laki itu harus memimpin
shalat. Peran laki-laki sebagai pemimpin dalam shalat
sesuai dengan keteladanan Nabi Muhammad SAW dan
para sahabat terdekatnya.59
Berbeda dengan Lubis, Mulia berpendapat bahwa
yang dipertaruhkan dalam konteks Indonesia bukanlah
kontestasi perempuan yang ingin memimpin salat,
melainkan proses diskursif tentang bagaimana laki-laki
dan perempuan sama-sama dihargai dalam ritual
keagamaan (shalat). Syarat shalat meliputi takwa,
kelancaran bacaan Al-Qur‟an, dan kredibilitas. Siapapun
yang memenuhi kriteria ini, baik laki-laki atau
perempuan, bisa memimpin shalat. Mulia menjadikan
penerimaan kesetaraan laki-laki dan perempuan
sebagai syarat bagi perempuan untuk memimpin shalat.
Dia mengatakan bahwa setelah kesetaraan laki-laki dan
perempuan menjadi arus utama di masyarakat,
perempuan yang memimpin salat baik di rumah maupun
di depan umum tidak akan bermasalah. Dia
menunjukkan bahwa apa yang menghalangi perempuan
dari memimpin shalat adalah psikologis, bukan teologis.

59
Wawancara Musdah Mulia pada 17 Juni 2009.
Meskipun perempuan dilengkapi dengan pelatihan
untuk memimpin shalat, sistem yang ada membuat
perempuan enggan melakukannya. Dalam kasusnya,
dia menikah dengan seorang ulama Islam yang
karakteristiknya memenuhi persyaratan untuk memimpin
shalat. Mulia menegaskan bahwa wanita memimpin
shalat bukanlah tujuan, tetapi kesadaran pria dan wanita
yang setara dalam semua aspek kehidupan jauh lebih
penting.
Affiah tidak mundur dari perempuan yang memimpin
shalat sebagai fenomena sosial baru, tetapi ia
mengusulkan tiga langkah yang saling terkait untuk
menyebarluaskan praktik semacam itu di Indonesia.
Pertama, masyarakat Muslim perlu bersiap untuk
melihat beberapa masjid dengan imam perempuan dan
beberapa masjid lain dengan imam laki-laki. Kedua,
mereka perlu melakukan latihan dan ikut mendukung
para pemimpin shalat wanita untuk mengubah pola pikir
yang populer. Terakhir, mereka harus bersedia untuk
berpartisipasi dalam penciptaan peran pemimpin shalat
wanita sebagai hal yang dapat diterima dan normal.
Ketika diwawancarai, dia mengingat pengalamannya
sendiri dalam memimpin doa di komunitas dan
keluarganya sendiri sebagai berikut:
“Saya mahasiswa tahun 1989, saya dan teman saya pernah
memimpin salat tarawih60 dengan jamaah yang campur aduk,
kami tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang
salah. Saya tidak melihat ada masalah dan orang-orang
merasakan hal yang sama. Saya kadang-kadang memimpin
sholat di rumah dan suami saya tidak keberatan. Dia berpikir
bahwa saya memiliki bacaan dan kefasihan Al-Qur'an yang
lebih baik karena saya bersekolah di Pesantren yang
mengkhususkan diri dalam pelatihan Al-Qur'an untuk wanita”.

Affiah mengambil posisinya sebagai wanita yang


memimpin shalat dengan serius. Dia melihat dirinya
secara spiritual sangat dekat dengan Tuhan dan mampu
mencintai Tuhan. Tindakan mencintai Tuhan

60
Shalat Tarwih adalah shalat yang dianjurkan selama bulan Ramadhan dan biasanya
dilakukan tepat setelah shalat isya.
diungkapkan melalui ritual. Oleh karena itu, ritual adalah
jantung dari agama. Sayangnya, keluhnya, ritualisme
yang mengusung otoritas digunakan secara arogan oleh
laki-laki untuk mengecualikan perempuan.61 Shalat
sebagai sistem kehidupan telah dikonstruksi sedemikian
rupa sehingga menjadi monopoli laki-laki, seperti halnya
upacara tahlilan62 atau shalat Jumat berjamaah.
Diakuinya, terkadang lembaga agama Islam tidak ramah
untuk dirinya dan perempuan pada umumnya. Pada
tingkat individu, bagaimanapun, Islam mengizinkan
latihan spiritual bagi laki-laki dan perempuan.

Penutup
Meskipun para feminis Indonesia ini menawarkan
pandangan dunia yang beragam tentang imamat al-
mar'ah, mulai dari tradisional hingga moderat hingga
liberal, mereka, sampai tingkat tertentu, menjalankan
agensi dalam produksi epistemik moralitas perempuan
yang memimpin shalat. Mereka setuju bahwa
perempuan Muslim perlu memprioritaskan kesetaraan
laki-laki dan perempuan dan mengatasi ketidaksetaraan
dan ketidakadilan terhadap perempuan. Bagi feminis
tradisional, pemberdayaan perempuan berasal dari
penerimaan nilai-nilai tradisional perempuan dan dari
mengamalkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi
Muhammad, para sahabat terdekatnya, dan para
penerusnya yang saleh. Prioritas feminis tradisionalis
adalah bagi perempuan untuk meningkatkan kesalehan
mereka, bukan untuk menantang mekanisme
kesalehan, seperti kepemimpinan perempuan dalam
shalat berjamaah campuran. Feminisme moderat,
bagaimanapun, memandang kesetaraan sebagai hal
yang esensial untuk mengejar kepemimpinan shalat
61
Wawancara dengan Neng Dara Affiah pada 19 Juni 2009.
62
Tahlilan adalah upacara setelah kematian seorang Muslim. Biasanya dilakukan di
masjid atau di rumah orang mati. Selama upacara, saya membacakan Al-Qur'an dan
litani untuk orang mati.
perempuan, namun lebih tertarik pada proses
persiapan, daripada praktik yang sebenarnya. Feminis
moderat lebih kritis terhadap narasi diskursif agama
mengenai perempuan, meskipun mereka mungkin terus
menjalankan harapan yang lebih tradisional tentang
hubungan laki-laki dan perempuan.
Sangat berbeda dari aliran feminis tradisional dan
moderat, feminisme Islam liberal tidak hanya
mengusulkan bahwa imamah almar'ah sangat penting
untuk kesetaraan gender, tetapi juga terlibat dalam
interpretasi dan praktik agama yang lebih radikal
dengan mengkritik dasar-dasar agama dan bertindak
sesuai dengannya. dengan keyakinan dan agensi yang
baru ditemukan.63 Dalam pengertian ini, imamat al-
mar‟ah dapat disalurkan melalui perangkat interpretasi
epistemologis Islam yang multifaset (beraneka segi),
agensi perempuan sebagai individu yang bermoral, dan
partisipasi sosial di ranah publik. Bagaimanapun, ritual
shalat dalam Islam adalah tindakan yang paling
mendasar. Jika ritual bersifat ekslusif terhadap
perempuan, maka diharapkan institusi lain, seperti
keluarga, hukum, perkawinan, dan warisan juga
mengandung unsur seksisme. Fakta bahwa perempuan
ditundukkan dalam ranah ritual memerlukan pemikiran
ulang tentang landasan epistemologis dan rumusan
ritual serta praksisnya dalam kehidupan sehari-hari.

63
Wacana feminisme Islam di Indonesia masih terus berkembang. Namun, beberapa
kategori feminisme Islam dapat didalilkan dalam hal tingkat di mana Al-Qur'an dan
hadits tunduk pada interpretasi. Feminisme Islam tradisionalis cenderung mengulangi
dogma Islam yang ada dengan menunjukkan bagaimana Islam pada dasarnya
memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara, sedangkan feminisme Islam
liberal menuntut kesetaraan dengan menawarkan pembacaan alternatif dari kedua
sumber ini untuk menunjukkan bahwa Islam adalah pembebasan bagi perempuan.

Anda mungkin juga menyukai