WAHBAH AZ – ZUHAILI FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU Dosen : Dr. Jamal Abdul Aziz
Sekha Seylana Fidanli
2202010044 Ibadah, Akhlak dan Muamalah I
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2023 SHALAT MUSAFIR (QASHAR DAN JAMA) Dalam pembahasan ini terdapat dua tema : pertama, mengqashar shalat yang empat rakaat, perintah untuk melaksanakannya, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, kondisi musafir yang bermakmum kepada penduduk setempat (mukim) atau sebaliknya, hal-hal yang mencegah dilakukannya shalat qashar, mengganti shalat yang terlewat dalam perjalanan, dan shalatshalat sunnah yang dilakukan dalam perjalanan. Kedua, menggabungkan dua shalat (Jama), sebab- sebabnya dan syarat-syaratnya. 1. MENGQASHAR SHALAT YANG BERJUMLAH EMPAT RAKAAT a. Disyariatkannya shalat qashar, apakah qashar keinginan atau kemudahan? Mengqashar shalat itu dibolehkan dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma', Adapun dari Al- Qur'an, firman Allah SWT, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidak lah mengapa kamu mengqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang - orang kafir.” [an-Nisaa': 101) Shalat qashar dibolehkan, baik dalam kondisi ketakutan atau aman. Akan tetapi, mengaitkan shalat qashar dengan rasa takut untuk menegaskan kondisi realnya. Sebab, hampir semua perjalanan Nabi saw. tidak terlepas dari rasa ketakutan. Ya'la bin Umayyah berkata kepada Umar ibnul Khaththab, “Umar mengapa kita masih mengqashar shalat padahal kita sudah aman?” Umar menjawab,”Aku pernah menanyakannya juga kepada Nabi saw. dan beliau menjawab, “ itu adalah sedekah yang diberikan Allah kepada kalian maka terimalah sedekah dari-nya”. Sementara dalam sunnah, terdapat khabar yang mutawatir bahwa Rasulullah saw. mengqashar shalatnya di beberapa perjalanan beliau, baik saat haji, umrah, dan berperang. Ibnu Umar mengatakan, “Aku sering menemani Nabi saw. Selama di perjalanannya beliau melakukan shalat tidak lebih dari dua rakaat. Begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Qashar itu sendiri adalah memendekkan rakaat shalat yang berjumlah empat menjadi dua rakaat saja. Shalat yang bisa dipendekkan, menurut kesepakatan ulama, yaitu shalat yang berjumlah empat rakaat saja, seperti Zhuhur, Ashar, dan Isya, bukan shalat Subuh dan Magrib. Karena, jika shalat Subuh dipendekkan maka rakaat yang tersisa hanya satu rakaat saja dan itu tidak ada dalam shalat fardhu. Sedangkan jika shalat Maghrib dipendekkan yang merupakan shalat ganjil (witir) di sore hari maka akan menjadi hilang jumlah ganjilnya. Ahmad meriwayatkan dari Aisyah r.a., “Asal wajibnya shalat itu hanya dua rakaat, kecuali Maghrib karena ia adalah shalat ganjil di siang hari. Lantas jumlah rakaat itu ditambah ketika sedang menetap dan ditetapkan dalam perjalanan seperti hukum asalnya.” Ali bin Ashim meriwayatkan dari Aisyah r.a. sebuah hadits yang memuat tentang pengecualian bagi shalat Maghrib, shalat Subuh, serta shalat fumat dari bolehnya diqashar. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perjalanan yaitu : qashar, jama', mengusap sepatu kulit selama tiga hari, dan dibolehkannya membatalkan puasa di bulan Ramadhan; keempat hal ini berlaku khusus untuk perjalanan yang panjang. Adapun haramnya perempuan bepergian tanpa ditemani muhrim, gugurnya kewajiban shalat jumat, dua shalat Hari Raya, berkurban, dibolehkannya memakan bangkai dalam kondisi terpaksa, shalat di atas kendaraan, dibolehkan tayamum dan gugurnya kewajiban shalat fardhu karenanya, semua ini berkaitan dengan perjalanan pendek, terkecuali memakan bangkai dan tayamum, keduanya tidak dikhususkan dalam perjalanan saja. Hukum mengqashar shalat, apakah mengqashar shalat itu sebuah keringanan atau niat yang diwajibkan? Dengan ungkapan lain, apakah seorang musafir diwajibkan oleh syariat untuk mengqashar shalat, ataukah dipersilakan memilih antara mengqashar dan melengkapi jumlah rakaat shalatnya, dan manakah yang terbaik antaar mengqashar atau melengkapi jumlah rakaat shalatnya? Pendapat para ahli fiqih yang dipegang terpecah menjadi tiga pendapat; ada yang bilang wajib, sunnah, ataupun sekedar keringanan yang dipersilahkan bagi musafir untuk memilihnya. Menurut mazhab Hanafi, mengqashar shalat adalah kewajiban disertai niat. Kewajiban bagi musafir di setiap shalat yang empat rakaat hanyalah dua rakaat saja dan tidak boleh menambahnya dengan sengaja. Diwajibkan melakukan sujud sahwi jika lupa. Jika seorang musafir telah menyempurnakan jumlah empat rakaatshalatnya dan ia dudukpada rakaatkedua seukuran tasyahud maka dua rakaat tambahan itu disahkan dan terhitung sebagai shalat sunnah. Namun, seorang musafir menjadi berdosa jika ia tidak duduk pada rakaat kedua seukuran tasyahud dan shalatnya dianggap batal, karena bercampurnya antaa shalat sunnah dengan fardhu sebelum shalatnya sempurna. Dalil mereka adalah hadits-hadits kuat, di antaranya hadits Aisyah, “Shalat diwajibkan dua rakaat-dua rakaat maka shalat dalam perjalanan membuktikannya, lalu ditambahkan saat bermukim.” Juga hadits Ibnu Abbas, “Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian, saat bermukim empat rakaat dan dalam perjalanan dua rakaat, serta satu rakaat saat kondisi ketakutan (perang).” Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut : 1) Ayat Al-Qur'an yang telah disebutkan sebelumnya, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu)," Ini menunjukan bahwa qashar adalah keringanan yang dapat dipilih antara melakukan atau meninggalkannya, seperti bentuk keringanan lainnya. 2) Hadits yang telah diriwayatkan sebelumnya dari Umar "la adalah sedekah dari Allah yang diberikan kepada kalian maka terimalah sedekah-NyaJ' f uga sabda Rasulullah saw., " Allah sukaj ika kamu meng o^iil Xrring anan yang diberikan dari-Nya sebagaimana Dia juga suka bila kamu memberikan tekad (untuk berag ama) kepada-Nya. 3) Terdapat dalam Shqhih Muslim dan kitab lainnya bahwa para sahabat melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw, di antara mereka ada yang mengqashar shalat dan ada pula yang menyempurnakan jumlah rakaat shalatnya. Di antara mereka juga ada yang berpuasa dan ada pula yang berbuka. Namun, tidak ada seorangpun yang mencela orang lain. 4) Aisyah r.a. berkata, 'Aku keluar bersama Nabi saw. untuk umrah di bulan Ramadhan,lalu beliau berbuka sedang aku berbuka, beliau mengqashar shalat sedang aku menyempurnakan rakaat. Lantas aku bertanya kepada beliau, "Kenapa Anda berbuka sedang aku berpuasa, Anda mengqashar shalat sedang aku menyempurnakanrakaat?" Beliaumenjawab, "Bagus kamu, Aisyah!. Jelaslah, dari keempat dalil di atas terlihat bahwa mengqashar shalat adalah keringan, dan pendapat ini kuat dan mudah diterima akal. b. Sebab - sebab Disyariatkannya Shalat Qashar Hikmah dari qashar yaitu menghindari kesulitan yang sering dihadapi para musafir memberi kemudahan kepada mereka untuk menunaikan hak-hak Allah, penyemangat untuk melaksanakan shalat fardhu, dan tidak meninggalkan kewajiban sehingga tidak ada seorangpun yang lalai atau malas untuk memberi alasan agar dapat meninggalkan shalat fardhu. Sebab disyariatkannya shalat qashar yaitu perjalanan yang panjang, dan dibolehkan menurut mayoritas ulama selain Hanafi. berbicara tentang perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat adalah yang dapat mengubah hukum syariat serta memerlukan pembahasan empat hal; yaitu jarak dibolehkannya mengqashar shalat, jenis perjalanannya sehingga shalat boleh diqashary apakah perjalanan yang dibolehkan atau perjalanan apa saja, lalu tempat dimulainya seorang musafir untuk mengqashar shalat (dihitung dari awal perjalanan), dan terakhir ukuran waktu dibolehkannya mengqashar shalat bila musafir sampai menetap di suatu tempat. Pertama, jarak dibolehkannya mengqashar shalat Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menentukan jarak perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat. Hanafi mengatakan, diperbolehkannya mengqashar shalat itu minimal berjarak tiga hari-tiga malam perjalanan pada hari-hari terpendek dalam setahun di negara-negara yang beriklim sedang, dengan perjalanan unta dan berjalan kaki, serta tidak disyaratkan harus berjalan setiap hari sampai malam, tetapi berjalan setiap hari mulai dari pagi hari hingga tengah hari (Zhuhur). Perumpamaannya adalah perjalanan sedang dengan istirahat cukup. Namun, jika seseorang berjalan lebih cepat dan memotong jarak tersebut sehingga lebih singkat dari jarak seharusnya seperti pada sarana transportasi modern maka dibolehkan untuk mengqashar shalat. Bila seseorang bertujuan mendatangi suatu tempat, lalu jarak antara dia dan tempat tujuannya itu sejauh perjalanan tiga hari maka ia boleh mengqashar shalat. Namun, jika ia tidak bermaksud mendatangi suatu tempat malah berkeliling tanpa tujuan hingga menempuh perjalanan tiga hari maka ia tidak diizinkan untuk mengqashar shalat. Kedua, jenis perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat, Mazhab Hanafi mengatakan dibolehkan mengqashar shalat disetiap perjalanan, baik itu perjalanan dengan niat menjalankan ibadah, perjalanan yang dibolehkan, ataupun perjalanan maksiat maka dibolehkan mengqashar shalat bagi perampok dan sejenisnya yang bermaksiat didalam perjalanannya karena keburukan yang bersinggungan dengan sesuatu yang disyariatkan tidak serta-merta menggugurkan hal yang disyariatkan. Keburukan yang bersinggungan adalah hal dapat dipisahkan seperti jual beli saat adzan jumat. Ini merupakan keburukan karena tidak menyegerakan pergi melaksanakan shalat jumat dan sangat mungkin untuk dipisahkan. Karena, terkadang ada alasan yang dapat menghalangi untuk menyegerakan pergi melaksanakan shalat jumat, bukan harus jual-beli, dan sebaliknya. Dalil mazhab Hanafi, dengan kata lain bahwa seseorang yang bermaksiat dan seorang yang taat dalam perjalanan mereka berhak sama-sama mendapat keringanan. Itu adalah mutlak maksud ayat, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu)." Karena, perjalanan itu sendiri bukanlah maksiat, sedang kemaksiatan itu terjadi setelahnya atau bersinggungan dengannya maka tidak mempengaruhi keringanan untuk mengqashar shalat. Mazhab Maliki menyebutkan bahwa dimakruhkan qashar bagi orang-orang yang lalai dengan perjalanannya. Adapun orang yang bermaksiat dalam perjalanannya adalah orang melakukan perjalanan dengan tujuan yang dibolehkan oleh syariat, tetapi di tengah perjalanannya ia melakukan maksiat seperti berzina, mencuri, merampas, menuduh keji, dan mengumpat maka ia dibolehkan untuk mendapatkan kemudahan seperti mengqashar shalat dan lainnya karena ia perjalanannya itu tidak bermaksud untuk kemaksiatan atau untuk melakukan maksiat, namun untuk tujuan yang dibolehkan syariat maka ia dianggap seperti seorang mukim yang bermaksiat. Menurut Imam Nawawi Asy-Syafi'i, jika seorang melakukan perjalanan yang dibolehkan lalu ia membuat perjalanannya menjadi maksiat maka ia tidak mendapat kemudahan, menurut pendapat yang paling shahih. fika perjalanannya dimaksudkan untuk maksiat lalu ia bertobat maka perjalanannya dihitung sejak ia bertobat. Ketiga, tempat dimulainya seorang musafir boleh melakukan qashar sejak perjalanan pertama, Niat untuk melakukan perialanan tidak cukup untuk mulai mengqashar shalat sebelum benar-benar melakukan perjalanan dan melewati batas sebuah daerah. Bahkan, perjalanan harus dimulai agar seorang musafir bisa melakukan qashar dan berbuka puasa. Para ahli fiqih sepakat bahwa awal dimulainya perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat dan kemudahan lainnya, yaitu ketika seorang musafir keluar dari deretan rumah-rumah yang ada di desanya yang menjadi tempat keluar dan memposisikan rumahrumah itu berada di belakang punggungnya. Atau, melewati perkampungan dari sisi tempat keluar dari kotanya, sedang jika ia belum melewatinya dari sisi lain karena bermukim itu berkaitan dengan masuknya maka bepergian juga berkaitan dengan keluar darinya, seperti firman Allah SWT "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu)." Seorang musafir tidak disebut sedang melakukan perjalanan sebelum ia keluar dari tempat tinggalnya. Keempat, batas waktu untuk mengqashar shalat bila seorang musafir bermukim di suatu tempat, Seorang musafir masih berhak mengqashar shalatnya selama ia belum berniat untuk bermukim di suatu tempat dalam waktu tertentu. Para ahli fiqih berbeda pendapat menjadi dua pendapat dalam menentukan batas waktu ini. Hanafi mengatakan, seorang musafir dianggap bermukim dan dilarang mengqashar shalat bila ia telah berniat untuk bermukim di sebuah daerah selama lima belas hari atau Iebih. jika seorang musafir telah berniat waktu tersebut maka ia diharuskan menyempurnakan rakaat shalatnya. Namun, jika berniat kurang dari lima belas hari maka musafir tetap mengqashar shalatnya. Dalil mereka adalah analogi dengan lamanya waktu suci bagi perempuan, karena keduanya dua waktu yang diwajibkan untukkembali kepada waktu aslinya. Waktu suci mewajibkan untuk mengganti apa saja yang gugur karena haid. Sedangkan bermukim mewajibkan untuk mengganti ibadah-ibadah yang gugur karena melakukan perjalanan. Batas waktu ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar r.a., keduanya mengatakan, "fika kamu memasuki sebuah daerah dan kamu sedang bepergian, lalu kamu berniat untuk bermukim di daerah tersebut selama lima belas hari maka sempurnakanlah shalat. Namun jika kamu tidak tahu kapan akan berangkat lagi maka tetap qasharlah shalatmu!". Menurut Maliki dan Syafi'i, jika seorang musafir berniat untuk menetap di suatu tempat selama empat hari ia harus menyempurnakan shalatnya, karena Allah SWT membolehkan mengqashar shalat dengan syarat melakukan perjalanan. Sementara orang yang bermukim dan berniat untuk mukim tidak dianggap sedang melakukan perjalanan. Adapun sunnah menjelaskan bahwa waktu kurang dari empat hari tidak sampai memotong perjalanan, dalam dua kitab Shahih disebutkan. “Kaum Muhajirin bermukim selama tiga hari setelah menyelesaikan ibadah hajinya” Nabi saw. saat mukim di Mekkah untuk ibadah umrah selama tiga hari dan mengqashar shalatnya”. c. Syarat-Syarat Qashar Para ahli fiqih mensyaratkan hal-hal berikut sebagai syarat sah shalat qashar, yaitu sebagai berikut 1) Hendaknya perjalanan itu panjang kirakira ditempuh sejauh dua marhalah atau dua hari, ataupun enam belas Farsakh,menurut mayoritas ulama. Atau juga, sekitar tiga marhalah atau tiga hari-tiga malam, menurut mazhab Hanafi dengan keterangan yang berbeda seperti telah dijelaskan sebelumnya. 2) Hendaknya perjalanan itu dibolehkan (mubah) bukan perjalanan yang diharamkan ataupun dilarang, seperti perjalanan untuk mencuri, merampok, dan semacamnya menurutmayoritas ulama selain Hanafi. Bila seseorang mengqashar shalatnya dalam perjalanan untuk berbuat maksiat maka shalatnya tidak sah, menurut Syafi'i dan Hambali, karena ia melakukan perbuatan yang sudah pasti keharamannya seperti orang yang melakukan shalat sementara ia yakin telah berhadats. Dibolehkan mengqashar shalat bersama dosa, menurut Maliki. Tidak boleh mengqashar shalat bagi perjalanan yang makruh menurut Hambali, tetapi boleh melakukannya menurut Maliki dan Syafi'i. Sedangkan Hanafi berpendapat, dibolehkan mengqashar shalat dalam perjalanan yang diharamkan, makruh, dan perjalanan yang dibolehkan seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya. Dibolehkan juga untuk mengqashar shalat untuk perjalanan bisnis, rekreasi, tamasya, ziarah masjid-masjid dan monumen, serta ziarah kubul dalam pendapat yang shahih menurut mazhab Hambali adalah perjalanan untuk ziarah kubur. 3) Melewati pemukiman dari tempat tinggalnya, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, dan para ahli fiqih memiliki beberapa definisi terkait syarat yang satu ini. Hanafi mengatakan, hendaknya musafir melewati rumah-rumah di suatu daerah yang menjadi tempat tinggalnya dari arah tempat ia keluar darinya. Jika ia tidak bisa keluar dari arah lain. Hendaknya ia juga melewati semua rumah meskipun terpencar-pencar selama rumah-rumah itu bagian dari daerah tersebut. Hendaknya ia melewati pemukiman di sekeliling daerah dan kampung yang menyatu dengan daerahnya. Disyaratkan pula untuk melewati tanah lapang yang bersambung dengan tempatnya bermukim, yaitu tempat yang disediakan untuk keperluan penduduk setempat seperti untuk pacuan hewan, menguburkan mayat, dan pembuangan tanah. 4) Hendaknya seorang musafir memulai perj alanannya daritempattertentu dan berniat untuk menempuh jarak qashor tanpa raguragu, karena tidak boleh mengqashar dan berbuka puasa bagi orang yang bingung, yaitu keluar sendiri tanpa mengetahui ke mana tujuannya. Tidak berlaku pula bagi orang yang keluar karena mencari budak yang lari, mengeiar hewan yang kabu4 orang yang berutang yang setiap kali bertemu dengan orangyang dihutangi, dan tidak pula bagi turis yang tidak bermaksud mengunjungi suatu tempat. Sebagaimana tidak dibolehkan mengqashar shalat bagi orang yang mengelilingi dunia seluruhnya tanpa tujuan yang jelas untuk menempuh jarak qashar yang ditetapkan karena ia tidak bermaksud menempuh jarak qashar. Begitu pula, tidak dibolehkan mengqashar shalat, menurut mayoritas ulama, bagi orang yang berniat untuk menempuh iarak qashar sekaligus berniat untuk bermukim di tengah-tengah perialanannya untuk menyingkat perjalanan, seperti yang akan kami jelaskan. Hanafi mengatakan, musafir di atas yang terakhir boleh mengqashar shalat sampai ia benar-benar bermukim dan tidak berpengaruh niat bermukim sebelumnya. Pendapat ini lebih masuk akal dan patut untuk diikuti. 5) Berpegangan dengan pendapatnya. Siapa yang ikut dengan orang lain yang memegang kendali urusannya, seperti istri kepada suami, tentara kepada komandannya, pelayan kepada tuannya, dan pelajar kepada gurunya. Masing-masing dari mereka tidak mengetahui tujuan perialanannya maka tidak boleh mengqashar shalat. Sebab, syarat mengqashar shalat berupa tujuan ke suatu tempat yang pasti tidak terpenuhi. Syarat ini menurut mazhab Syafi'i mengikat sebelum menempuh perjalanan qashar. Sedangkan jika mereka telah menempuh perialanan qashar maka dibolehkan untuk mengqashar shalat meskipun orang-orang yang mengikutinya tidak mengqashar shalat untuk meyakinkan lamanya perjalanan mereka. 6) Hendaknya orang yang mengqashar shalat tidak bermakmum kepada orang yang bermukim atau kepada musafir yang menyempurnakan rakaat shalatnya, atau juga diragukan perjalanannya, menurut Syafi'i dan Hambali. Jika musafir tetap melakukannya maka ia wajib menyempurnakan shalat meskipun hanya bermakmum saat duduk tasyahhud akhir. Akan tetapi, mazhab Hanafi tidak membolehkan musafir untuk bermakmum kepada orang yang bermukim kecuali di waktu shalat saja maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Sebab, kewajibannya telah berubah dari dua menjadi empat. Adapun setelah habis waktunya musafir tetap tidak diperbolehkan bermakmum dengan orang yang bermukim, karena kewajibannya masih berada di bawah tanggung-jawabnya, yaitu dua rakaat saja. Kewajibannya tidak berubah menjadi empat rakaat meski habis waktunya. Namun, jika ia melawan dan tetap bermakmum kepada orang yang bermukim maka shalatnya dianggap batal. 7) Hendaknya berniat untuk mengqashar shalat ketika bertakbiratul ihram untuk shalat. Ini merupakan syarat, menurut mazhab Syafi'i dan Hambali. Karena, asal hukumnya adalah sempurna. Mutlaknya niat itu terserah kepadanya, namun ia harus berniat mengqashar shalat. Akan tetapi, mazhab Maliki mencukupkan niat qasharpada saat pertama kali melakukan shalat qashar selama di perjalanan. Musafir tidak diharuskan untuk mengulangi niatnya pada shalat- shalat setelahnya, seperti satu kali niat pada awal bulan Ramadhan sudah cukup untuk satu bulan penuh. Sedangkan mazhab Hanafi, mereka mencukupkan dengan niat melakukan perjalanan sebelum mendirikan shalat. Ketika seorang musafir berniat untuk melakukan perjalanan maka kewajibannya adalah mengqashar shalat dua rakaat. Ia tidak perlu lagi berniat ketika takbiratul ihram setiap kali ingin shalat. 8) Baligh adalah syarat menurut mazhab Hanafi. Dengan demikian, anak kecil tidak boleh mengqashar shalat dalam perjalanan. Akan tetapi, mayoritas ulama tidak mensyaratkannya maka anak kecil boleh mengqashar shalat. Karena, setiap orang yang memiliki tujuan yang benar dan berniat melakukan perjalanan, serta mencapai jarak yang ditentukan maka ia boleh mengqashar shalat. 9) Mazhab Syafi'i mensyaratkan untuk menjaga niat perjalanannya dari shalat pertama hingga terakhir. fika perahunya berakhir di tempat ia bermukim, atau berlayar melewatinya, atau ragu apakah ia telah berniat untuk bermukim, ataupun ia ragu apakah daerah yang ditemuinya ini adalah daerahnya atau bukan, sementara ia merasakan semua itu setiap kali melakukan shalat maka ia harus menyempurnakan shalatnya karena hilangnya sebab mendapatkan kemudahan atau meragukan hilangnya sebab itu. Kesimpulan pendapat para ahli fiqih tentang syarat-sya rat qashar, yaitu sebagai berikut. Mazhab Hanafi, dibolehkan mengqashar bagi siapapun yang berniat melakukan perjalanan dan bermaksud menuju tempattertentu meskipun ia bermaksiat dalam perjalanannya selama ia telah melewati rumah-rumah di daerah yang menjadi tempat tinggalnya, melewati bangunan yang menyatu dengan halaman desa. Halaman desa yang dimaksud adalah tempat yang digunakan untuk keperluan desa, seperti untuk pacuan kuda atau mengubur mayat. Sebagaimana disyaratkan pula untuk melewati pinggir desa, yaitu bangunan yang berada di sekeliling kota dari rumah-rumah dan pemukiman karena masih terhitung dalam wilayah kota. Begitu juga disyaratkan, menurut pendapat yang shahih untuk melewati perkampungan yang menyatu dengan pinggir desa. Disyaratkan untuk sahnya niat perjalanan dengan tiga hal berikut. Bebas menentukan untuk bermukim atau bepergian, baligh, dan perjalanan tidak kurang dari tiga hari. d. Musafir Bermakmum kepada Orang yang Bermukim dan Sebaliknya Seorang musafir bemakmum kepada orang yang bermukim, para ahli fiqih sepakat bahwa dibolehkan bagi musafir untuk bermakmum shalat kepada orang yang bermukim, meski dengan makruh menurut mazhab Maliki karena musafir menyalahi sunnah-sunnah qashar. Dikarenakan, jika seorang musafir bermakmum kepada orang yang bermukim maka ia diwajibkan untuk menyempurnakan shalat hingga menjadi empat rakaat, agar tetap mengikuti gerakan imam, dan kewajibannya berubah menjadi empat rakaat menurut mazhab Hanafi, sebagaimana berubah ketika berniat untuk bermukim. Selanjutnya, mazhab Hanafi mensyaratkan dibolehkannya bermakmum pada sisa waktu meskipun hanya cukup untuk bertakbiratul ihram. Adapun ketika habis waktunya maka tidak dibolehkan bagi musafir untuk bermakmum kepada orang yang bermukim, karena kewaiiban shalatnya tidak bisa berubah setelah waktu shalat habis karena hilangnya sebab, sebagaimana tidak dapat berubah dengan niat untuk bermukim, menurut mazhab Hanafi. Seorang mukim bermakmum kepada musafir para ahli fiqih sepakat juga, bahwa dibolehkan seorang mukim untuk bermakmum kepada musafir, meski makruh menurut mazhab Maliki karena berbeda dari niat imamnya. Jika seorang musafir mengimami orang yang mukim dua rakaat maka ia mengucapkan salam, lalu orang yang mukim menyempurnakan shalatnya sendirian. Dianjurkan bagi musafir yang menjadi imam setelah ia mengucapkan dua salam untuk berkata, "sempurnakan shalat kalian! Aku ini musafir" untuk menghindari anggapan bahwa ia lupa, juga agar orang yang bodoh tidak ragu akan jumlah rakaat shalat sehingga ia menyangka bahwa shalat-shalat yang empat rakaat bisa dilakukan dengan hanya dua rakaat saja. Mazhab Hanafi mengatakan, hendaknya musafir yang menjadi imam mengatakan hal itu sebelum dimulai shalat, sedang iika tidak sempat maka setelah ia mengucapkan salam. Dalil yang membolehkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imran bin Hushain, ia berkata, "Rasulullah saw. tidak pernah melakukan perjalanan kecuali beliau melaksanakan shalat dengan dua rakaat sampai kembali. Beliau juga pernah bermukim di Mekkah ketika menaklukkan kota Mekkah selama delapan belas malam, namun beliau memimpin shalat para sahabat dengan dua rakaat-dua rakaat, kecuali shalat maghrib. Lantas beliau bersabda, "Wahai Penduduk Mekkah, berdirilah dan shalatlah lagi dua rakaat, karena kami orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Bila musafir yang menjadi imam berdiri untuk menyempurnakan rakaat karena lupa atau karena tidak tahu setelah berniat mengqashar shalat maka hendaknya makmum mengucapkan tasbih (mengingatkan) kepadanya, yaitu dengan mengatakan, " Subhanallah." lika imam itu kembali, ia harus melakukan sujud sahwi, sedang jika tidak kembali maka tidak perlu mengikutinya tetapi duduk sampai imam mengucapkan salam. e. Sebab-Sebab Dilarangnya Qashar Ketika perjalanan telah berakhir maka tidak boleh lagi seorang musafir mengqashar shalatnya dan ia harus menyempurnakan shalatnya dengan niat bermukim di suatu tempat saat melakukan perjalanan selama waktu tertentu yang telah kami jelaskan (15 hari menurut mazhab Hanafi, 4 hari menurut mazhab Maliki dan Syafi'i, dan lebih dari 4 hari menurut mazhab Hambali). Ataupun, ia kembali pulang ke tempat tinggalnya yang semula, atau kondisi lainnya yang telah ditentukan dalam mazhab-mazhab Fiqih. 1) Hendaknya musafir berniat untuk bermukim dalam beberapa waktu Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, "la melakukan shalat bersama Rasulullah saw. ketika menuiu Mekkah, baik dalam perjalanan dan saat bermukim di Mekkah hingga mereka kembali lagi ke Madinah beliau shalat dengan dua rakaat." Dikarenakan teks tidak menenentukan batas lamanya bermukim maka para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menentukan batasan waktunya. 2) Kembali ke tempat tinggal tetap ataupun berniat untuk kembali istilah-istilah modern tentang ketentuan bermukim dan tempat tinggal, dengan tetap berpegangan kepada istilah-istilah para ahli fiqih di zaman dahulu. Adapun istilah-istilah modern itu sebagai berikut : a). Negara adalah teritorial sebuah negeri yang menyatu dengannya dan menyandang kewarganegaraannya sesuai dengan pembagian wilayah negara-negara modern. Pemahaman ini tidak ada kaitannya dengan pembahasan kita. b). Tempat tinggal tetap, yaitu tempat bekerja yang menjadi tempat tinggal atau tempat mencari kehidupan. c). Tempat lahir, yaitu daerah yang menjadi tempat kelahiran dan tumbuh di sana. Di daerah itu juga hidup keluarga dan kerabatnya. Kedua hal ini, menurut Hanafi adalah tempat tinggal asli karena tempat lahi4, atau menikah, atau menetap. d). Tempat tinggal sementara, yaitu suatu tempat yang ditinggali sementara waktu atau untuk suatu kepentingan dalam waktu yang Iama atau sebentar. Mazhab Hanafi menganggapnya sebagai "wilayah tempat bermukim" jika ditempati setengah bulan atau lebih, dan sebagai'tempat singgah sementara'bila kurang dari setengah bulan.
f. Mengganti Shalat yang Terlewat dalam Perjalanan
Sebelumnya, telah dijelaskan dalam pembahasan tentang mengganti shalat-shalat yang terlewat dan kali ini akan saya ringkas saja pendapat-pendapat ahli fiqih tentang masalah ini : Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, Musafir yang terlewat shalatnya saat dalam perjalanan maka harus menggantinya di tempatnya menetap sebanyak dua rakaat saja, seperti saatterlewatketika di perjalanan. Siapa yang terlewat shalatnya di tempatnya menetap maka ia dapat menggantinya saat dalam perjalanan dengan empat rakaat. Karena, setelah ditetapkan tidakakan berubah dan menggantinya sesuai perintah untuk melaksanakan. Menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, Shalat yang terlewat di tempat menetap dapat diganti dengan empat rakaat, baik dalam perjalanan atau di tempat seseorang menetap. Karena, shalat qashar adalah salah satu kemudahan dalam perjalanan maka dapat hilang dengan hilangnya sebab seperti sepatu kulit selama tiga hari. fuga, karena telah ditetapkan dalam tanggung jawabnya dengan menyempurnakan rakaat shalat. Kemudian, shalatyang terlewat dalam perjalanan diganti dengan cara diqashar saat di perjalanan juga bukan di tempat bermukim, ini adalah pendapat yang paIing jelas dalam mazhab Syafi'i. Karena, shalat qashar hanya diwajibkan dalam perjalanan maka hendaknya musafir menunggu sampai adanya sebab. Dalam pandangan saya, antara dua pendapat di atas seimbang, dan seorang Muslim boleh mengambil salah satunya. Kemudian, ia memilihnya sesuai yang ia pandang paling bisa memelihara agamanya. g. Shalat-shalat Sunnah dalam Perjalanan Imam Nawawi mengatakan, para ahli fiqih telah sepakat bahwa dianjurkan untuk melaksanakan shalat-shalat sunnah nafilah yang mutlak dalam perjalanan. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menganjurkan shalat-shalat sunnah rawatib, karena Ibnu Umar dan sahabat yang lain meninggalkannya. Sementara Imam Syafi'i dan pengikutnya serta mayoritas ulama justru menganjurkannya. Dalil mereka, pertama adalah hadits-hadits umum yang menyebutkan tentang anjuran secara mutlak melaksanakan shalat sunnah rawatib.fuga hadits tentang shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah saw. saat menaklukkan kota Mekkah, dua rakaat sunnah subuh ketika para sahabat tidur hingga matahari terbit. Disamping hadits-hadits lainnya yang disebutkan oleh para penulis kitab Sunan. Dalil kedua, menganalogikan dengan shalat-shalat sunnah nafilah secara mutlak. Sedangkan hadits yang terdapat dalam dua kitab Shahih dari Ibnu UmaL ia berkata, “Aku sering menemani Nabi saw. dan aku tidak pernah melihat beliau melakukan shalat sunnah nafilah selama dalam perjalanan.” Dalam riwayat lain, “Aku sering menemani Rasulullah saw. dan beliau tidak pernah menambah rakaat shalat dari dua rakaat fardhu saja. Begitu juga Abu Bakaf Uma[ dan Utsman.” lmam Nawawi berkomentaq, “Mungkin saja Nabi saw. melakukan shalat rawatib di atas punggung untanya dan Ibnu Umar tidak melihatnya. Karena, melaksanakan shalat sunnah nafilah di rumah lebih baih dan mungkin juga beliau saw. meninggalkannya dalam beberapa waktu sebagai peringatan bahwa hal itu boleh ditinggalkan”. Sementara mazhab Hanafi mengatakan seorang musafir boleh melakukan shalatshalat sunnah rawatib jika ia berada dalam kondisi aman dan tenang, atau sedang beristirahat dengan nyaman. Akan tetapi, jika dalam kondisi ketakutan dan lari dari bahaya, maupun sedang berjalan maka tidak usah melaksanakannya. Ini adalah pendapat yang terpilih.
2. MENGGABUNG ANTARA DUA SHALAT
a. Disyariatkannya menggabung shalat Mayoritas ulama, selain mazhab Hanafi membolehkan menggabung antara shalat Zhuhur dan ashan baik itu dilakukan lebih awal pada waktu Zhuhur atau diakhirkan pada waktu Ashar. Adapun shalat jumat seperti halnya shalat Zhuhur ketika digabungkan (jama) dan dilakukan lebih awal. Begitu juga, antara shalat maghrib dan isya, bisa didahulukan atau diakhirkan pelaksanaannya ketika seseorang melakukan perjalanan panjang kira-kira B9km. Shalat-shalat yang digabung itu, Zhuhur -Ashar dan Maghrib-lsya bisa dilakukan pada salah satu waktu dari keduanya. Bila dilakukan pada waktu shalat pertama maka diberi nama jama'taqdim, sedang pada waktu shalat kedua maka diberinama jama'takhir. Namun, dianggap akan lebih baik bila tidak melakukan jama'demi keluar dari perselisihan pendapat dan Nabi saw. sendiri jarang melakukannya. Karena, jika jama itu lebih baik niscaya beliau saw. sering melakukannya. Adapun dalil dari jama takhir terdapat dalam dua kitab Shahih; Bukhari dan Muslim, dari Anas dan Ibnu Umar r.a. Hadits pertama, yaitu dari Anas, “Jika Rasulullah saw. melakukan perjalanan sebelum matahari condong ke barat maka beliau saw. mengakhirkan shalat Zhuhur hingga waktu Ashar. Setelah itu, beliau saw. akan singgah sebentar dan menggabung kedua shalaq Zhuhur dan Ashar. Namun, jika matahari telah lebih dahulu condong ke barat maka beliau saw. akan lebih dulu shalat Zhuhur baru kemudian menunggang untanya”. Mazhab Hanafi berpendapat, tidak boleh menyama'kecuali pada hari Arafah bagi orang yang berihram untuk haji, yaitu jama' taqdim shalat Zhuhur dan ashar dengan satu azan dan dua iqamat, karena shalat ashar dilakukan sebelum waktu yang ditentukan maka ia perlu dikumandangkan iqamat tersendiri sebagai pemberitahuan kepada para jamaah. |uga, pada malam Muzdalifah, boleh menjama' takhir shalat maghrib dan isya dengan satu azan dan iqamat saja, karena isya berada dalam waktunya maka tidak perlu pemberitahuan lagi. Mazhab Hanafi berargumen bahwa waktuwaktu shalat itu telah ditetapkan secara mutawatir maka tidak boleh untuk ditinggalkan hanya karena adanya satu khabar. b. Sebab dan Syarat Menjama Antara Dua Shalat Kelompok yang membolehkan adanya jama, baik taqdim ataupun takhir sepakat untuk membolehkannya pada tiga keadaan; yaitu saat bepergian, hujan air dan sejenisnya, seperti hujan salju dan dingin, juga boleh menjama pada saat berada di Arafah dan Muzdalifah. Selain tiga keadaan itu, mereka berbeda pendapat dalam hal syarat sahnya menjama. Mazhab Maliki mengatakan, sebab-sebab bolehnya menjama shalat Zhuhur-ashar dan maghrib- isya, baik taqdim atau takhir itu ada enam; yaitu bepergian, hujan, lumpur dengan suasana yang gelap, sakit seperti pingsan dan sejenisnya, menjama'di Arafah, dan Muzdalifah. Dalam semua keadaan ini dibolehkan menjama baik itu laki-laki ataupun perempuan, kecuali menjama di Arafah dan Muzdalifah, karena sunnah. Adapun bepergian, dibolehkan menjama shalat secara mutlak, baik itu perjalanannya lama atau sebentar selama berada dalam jarak qashr. fika perjalanannya itu melalui darat bukan laut maka dibolehkan juga mengqashr karena adanya keringanan dan orang yang melakukannya tidak bermaksiat dan mainmain ketika bepergian. Terdapat dua syarat untuk dibolehkannya melakukan jama taqdim ketika ingin bepergian : a) Matahari telah tergelincir (masuk waktu Zhuhur) dan saat itu ia tengah bepergian dan sedang singgah untuk beristirahat. b) Hendaknya seseorang berniat untuk pergi sebelum masuk waktu ashar dan singgah untuk istirahat setelah terbenamnya matahari. Jika orang itu berniat untuk beristirahat sebelum menguningnya matahari maka ia hanya diperbolehkan melakukan shalat Zhuhur saja dan wajib mengakhirkan shalat ashar karena masih ada waktu. Namun, bila ia memajukan dalam pelaksanaan shalat ashar maka itu diperbolehkan. Berikutnya, sakit, seperti sakit perut atau lainnya maka dibolehkan melakukan jama' shuury atau, yaitu seseorang melakukan shalat fardhu yang lebih awal pada akhir waktunya dan shalat fardhu kedua pada awal waktunya. Dan hal ini bagi orang sakit tidak dimakruhkan. Sedangkan bagi orang yang sehat hal ini dimakruhkan. Kemudian, seseorang yang takut bila ia pingsan, pusing, atau demam ketika masuk waktu shalat yang kedua; ashar atau isya maka ia boleh memajukan shalat kedua itu padawaktu shalat pertama. Ini boleh menurut pendapat yang lebih kuat. Kesimpulannya, orang yang sakit boleh menjama bila ia takut hilang kesadaran ataupun menjama itu lebih meringankannya. Adapun waktu pelaksanaannya pada waktu shalat pertama. Mazhab Syafi'i mensyarat hal untuk jama taqdim : a) Niat untuk menjama taqdim yaitu ketika memulai shalat pertama dan dibolehkan ketika sudah melakukannya, menurut pendapat yang paling jelas, meskipun sudah mengucapkan salam. b) Tertib yaitu harus dimulai dengan shalat pertama yang masuk waktunya. Seseorang yang melakukan shalat jama harus mendahulukan shalat pertama baru shalat kedua, karena waktu shalat adalah untuk shalat pertama sedang shalat kedua hanya mengikuti dari yang pertama. Karena itu, haruslah mendahulukan yang diikuti. Jika seseorang memulai shalat jama dengan shalat pertama, namun kemudian diketahui batal karena tidak melakukan syarat ataupun rukun maka shalat keduanya ikut batal. Sebab, hilangnya syarat dengan memulai dari yang pertama, namun shalat kedua dianggap sebagai shalat sunnah, menurut pendapat yang benar. c) Terus berada dalam perjalanan hingga melakukan takbiratul ihram pada shalat kedua, meskipun perjalanannya itu baru berhenti setelah takbiratul ihram dan shalat kedua. Adapun jika perjalanan itu berhenti sebelum dimulainya shalat kedua maka tidak boleh untuk menjama', karena hilangnya sebab. Untuk jama takhir, ada dua syarat sebagai berikut : a) Niat untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat jama sebelum keluar waktu shalat pertama meski ukuran satu rakaat, yaitu waktu tersisa untuk memulai shalat hingga bisa menjadi tepat waktu, sedang jika tidak maka bermaksiat karena mengqadha. Adapun dalil untuk syarat niat, bahwa niat bisa diakhirkan untuk shalat jama' atau untuk lainnya. Karena itulah, harus adanya yang dapat membedakan pengakhiran yang disyariatkan dari lainnya. b) Perjalanan terus berlangsung hingga tiba waktu shalat kedua. fika terputus dan masih tersisa waktu shalat pertama, yaitu masih bisa dilakukan berdiri saja untuk shalat pertama maka shalat pertama itu, baik Zhuhur atau maghrib menjadi qadha' karena mengikut pada shalat kedua dalam pelaksanaannya sebab ada udzur; namun hilang sebelum habis waktunya. Mazhab Hambali berpendapat, boleh melakukan jama taqdim atau takhir dalam delapan keadaan Pertama, perjalanan yang panjang dan dibolehkan untuk qashr, yaitu mengqashr shalat empat rakaat. Hendaknya perjalanan itu tidak haram ataupun makruh dan mencapai dua hari perjalanan. Karena, menjama shalat itu adalah keringanan yang ditetapkan untuk mengurangi kesulitan dalam perjalanan maka dikhususkan untuk perjalanan yang panjang seperti qashr dan mengusap tiga kali. Kedua, sakit yang dapat menimbulkan kesulitan dan kelemahan jika tidak melakukan jama, karena Nabi saw. sendiri 'pernah melakukan jama dalam keadaan tidak takut ataupun hujan, dalam riwayat lain, dalam keadaan tidak takut ataupun bepergian. Tidak ada alasan lain setelah itu kecuali sakit. Ahmad berdalih bahwa sakit itu lebih susah dari melakukan perjalanan. Orang yang sakit bisa memilih antara memajukan atau mengakhirkan shalat jama seperti halnya musafir. fika sama kondisinya maka mengakhirkan itu lebih utama. Ketiga, menyusui. Dibolehkan menjama shalat bagi ibu yang menyusui karena sulitnya membersihkan najis setiap kali ingin shalat. Keadaannya seperti orang yang sedang sakit. Keempat, tidak bisa berwudhu atau tayammum untuk setiap shalat. Diperbolehkan menjama shalat jika seseorang tidak bisa melakukan dua macam bersuci itu untuk mencegah munculnya kesulitan karena ia sedang musafir atau sakit. Kelima, tidak bisa mengetahui waktu shalat maka diperbolehkan untuk menjama seperti orang buta.
SHALAT KHAUF (TAKUT)
Pembahasan ini berbicara tentang hukum disyariatkannya, sebab-sebab dan syarat-syaratnya, tata cara ataupun bentuk shalat, bentuk shalat makmum masbuq, kapan shalat khauf batal? Dan shalat dilakukan ketika berkecamuknya perang dan rasa takut yang besar. 1. Disyariatkannya Shalat Khauf (takut) Shalat khauf telah disyariatkan menurut mayoritas ahli fiqih. Shalat khauf adalah sunnah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits ketika memerangi kaum kafir. Adapun dari AlQur'an, firman Allah SWT. yang berbunyi, "Dan apabila kamu berada di tengah-tengoh mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersqmq-sama mereko, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalot) besertamu dan menyandang senjata, kemudian opabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyqng, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orong kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lolu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus." (An-Nisaa': 102) Apa yang telah ditetapkan dalam hak beliau saw. maka ditetapkan juga dalam hak umatnya selama tidak adanya dalil pengkhususan atas diri beliau saw. Karena, Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikutinya. Sedangkan pengkhususan kata ganti pada kalimat, 'Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka'tidak menjadi pengkhususan dalam hal hukun, dengan dalil firman-Nya juga,'Ambillah zakat dari sebagian horta mereka." (at-Taubah: 103). Argumentasi di atas ditolak karena para sahabat telah melakukan shalat khauf juga sepeninggal beliau saw. Padahal mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang habis atau tetapnya masa berlaku pembolehan hukum atas sesuatu. Adapun tujuan dari pensyariatan shalatkhauf adalah antusiasme Islam agar shalat dilakukan secara berjqmaah dan ikatan berkumpul tetap kuat dan selalu terjaga meski dalam kondisi paling sulit, berbahaya, dan krisis sekalipun. Pengaruh rasa takuthanya mengubah bentuk dan tata cara shalat, bukan dalam hal bilangan rakaatnya. fadi, rasa takut tidak sampai mengubah bilangan shalat, menurut pendapat kebanyakan ulama. 2. Sebab dan Syarat Dilaksanakannya Shalat Khauf Rasa takut akan adanya serangan musuh adalah sebab dilakukannya shalat jenis ini, seperti pendapat Ibnu Abidin. Adanya musuh adalah syarat, seperti shalat orang musafir kesusahan adalah sebabnya dan perjalanan yang syar'iy adalah syaratnya. Maksud dari rasa takut itu sendiri adalah munculnya musuh, bukan rasa takut yang nyata. Karena, keberadaan musuh ataupun kemunculannya dianggap sebagai rasa takut. Shalat khauf tidak khusus ketika adanya perang, tetapi boleh dilakukan dalam setiap keadaan takut, seperti lari dari banj4, kebakaran, binatang buas, unta, anjing gila, penyerang, pencuri, ataupun ula4 dan semisalnya yang tidak bisa tergantikan. Syarat untuk shalat khauf sebagai berikut : a) Hendaknya perangnya itu dibolehkan, yaitu diizinkan, baik perang wajib seperti memerangi kaum kafiryang jahat, pemberontah atau para penjahat yang selalu menumpahkan darah dan menodai kesucian, berdasarkan firman-Nya, Jika kamu takut diserang orang-orang kafir." (An-Nisaa': 101), ataupun perang yang boleh seperti memerangi orang yang ingin mengambil harta kaum muslimin. Karena itu, tidak sah shalat khauf-nya para pemberontak dan orang yang bermaksiat dalam perjalanannya. Karena, shalat khauf adalah rahmat, keringanan, dan pengecualian maka tidak boleh bila ada kaitannya ataupun dibolehkan karena adanya unsur kemaksiatan. Artinya, shalat khauf tidak boleh dilakukan pada perang yang terlarang ataupun haram, seperti memerangi orang yang adil ataupun orangorang kaya karena ingin mengambil harta mereka. b) Adanya musuh atau binatang buas, atau takut tenggelam dan terbakar. Siapa yang takutmusuh atau bahaya, baikitu takutnya terhadap dirinya ataupun hartanya maka ia boleh melakukan shalat khauf, menurut mayoritas ulama dan pendapat yang masyhur dari mazhab Maliki, baik dalam perjalanan ataupun menetap; di laut ataupun dara$ ketika perang ataupun tidak karena umumnya maksud dari firman Allah S\MT, "Dan apabila kamu berada di tengahtengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka," ayat ini umum dalam semua keadaan. fika sekelompok orang melihat kelompok orang lain dan disangka adalah musuh, lalu mereka melakukan shalat khauf maka jika betul keadaannya seperti yang mereka kira, shalat mereka sah. Tetapi, jika ternyata bukan, shalat mereka tidak sah. Jika shalat khauf dilakukan tanpa adanya rasa takut maka shalatnya batal. Syafi'i dan Hambali berpendapat, siapa yang merasa aman ketika ia sedang shalat maka hendaknya ia menyelesaikannya shalatnya dalam keadaan aman, sedang siapa yang merasa aman lalu tiba-tiba rasa takutnya memuncak maka ia boleh menyelesaikan shalatnya dengan shalat khauf. Maliki berpendapat siapa yang merasa aman maka shalat dengan cara aman; shalatnya orang yang menetap dilakukan dengan rakaat sempurna, sedang shalatnya orang yang bepergian dengan diqashr pada shalat empat rakaat. Karena, rasa takut, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tidak berpengaruh pada jumlah rakaat. Artinya, dalam perjalanan yang membolehkan untuk mengqashar (89 km) maka imam memimpin shalat setiap kelompok dengan satu rakaat, sedang ketika menetap memimpinnya dengan dua rakaat untuk setiap kelompok.
3. Tata Cara Pelaksanaan dan Bentuk Shalat Khauf
Para ahli fiqih sepakat atas dua hal penting. Pertama, dibolehkan bagi tentara untuk melaksanakan shalat khauf dengan dua imam, masing-masing kelompok jamaah dengan imamnya sendiri. Kedua, pada saat rasa takut mencekam dan sulit untuk melakukan shalat berjamaah maka dibolehkan bagi para tentara untuk melakukan shalat sendiri-sendiri, baik dalam keadaan menunggang hewan (menaiki kendaraan tempur) ataupun berjalan kaki di tempat- tempat dan parit-parit mereka masingmasing. Mereka cukup memberi isyarat ketika ruku dan sujud ke arah manapun mereka suka, baik ke arah kiblat ataupun selainnya. Mereka tetap memulai dengan takbiratul ihram, menghadap kiblat jika bisa ataupun selainnya. Karena, shalat yang dilakukan saat itu dalam keadaan darurat yang bisa menghapus rukun menghadap kiblat. Adapun shalat khauf bisa dilakukan secara berjamaah bagi setiap tentara dengan satu imam. Shalatnya boleh dilakukan dengan cara mana saja yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Khabar meriwayatkan ada enam belas cara. Sebagiannya terdapat dalam Shahih Muslim dan sebagian besarnya terdapat dalam Sunan Abu Dawud. Ada sembilan cara termuat dalam Shahih lbnu Hibban. Setiap cara yang beliau saw lakukan maka itu adalah cara yang lebih hati-hati dan lebih pas untuk posisi menjaga. 4. Bentuk Gerakan yang Harus Diqadha oleh Makmum Masbuq pada Shalat Khauf, Apakah pada Awal Shalat atau Diakhirnya? Pembahasan ini telah dipaparkan sebelumnya dalam pembahasan tentang shalat berjamaah, yaitu pembahasan mengenai makmum rnasbuq. Ringkasnya, Syafi'i berpendapat, rakaat yang dapat dilakukan oleh makmum rnasbuq dianggap sebagai rakaat pertama dalam shalatnya, sedang rakaat yang diqadha'nya adalah rakaat terakhir dari shalatnya, sesuai sabda beliau saw. “rakaat yang kalian ikuti maka lakukanlah! Sedang rakaat yang tertinggal maka sempurnakanlah!” Pendapat inilah yang terlintas di pikiran dan disepakati sesuai urutan dari apa yang telah dilakukan pada gerakan shalat. Siapa yang sempat mengikuti satu rakaat pada shalat maghrib maka iabangun lagi untukmelakukan satu rakaat,lalu membaca surah al-Fatihah dan surah lainnya, lantas duduk untuk tasyahhud. Usai tasyahhud, makmum masbuq bangkitlah melakukan satu rakaat dengan membaca surah al-Fatihah saja. Adapun Hanafi dan Hambali mengatakan dalam zhahirnya pendapat mazhab, rakaat yang diqadha' oleh makmum masbuq adalah rakaat pertama shalatnya, sedang rakaat yang diikuti bersama imam adalah rakaat terakhirnya. Artinya, kebalikan dari urutan dari apa yang dilakukan pada gerakan shalat, sesuai khabar yang berbunyi 'rakaat yang kalian ikuti maka lakukanlah! Sedang rakaat yang tertinggal maka gantikanlah!' Karena itu, makmum masbuq membaca doa pembuka dan ta'awwudz, lalu membaca surah setelah alFatihah. |ika makmum masbuq hanya dapat mengikuti satu rakaatsaja bersama imam pada shalat maghrib maka ia melakukan dua rakaat lainnya tanpa perlu duduk di antara keduanya, tetapi langsung berdiri saja. Sedangkan Maliki berpendapat, harus dipisah antara ucapan dan perbuatan; makmum masbuq hanya perlu mengqadha'pada ucapan saja, yaitu bacaan seperti pendapat Hanafi dan Hambali, sedang dalam gerakan sesuai urutan seperti pendapat Syafi'i. 5. Kapankah Shalat Khaulltu bisa Batal? Mazhab Hanafi mengatakan, shalat khauf bisa batal karena berjalan bukan pada barisannya, atau keluar hadats, dan menunggang hewan (menaiki kendaraan tempur) secara mutlak, yaitu baik berada pada barisan ataupun tidak. Karena, menunggang hewan akan banyak bergerak, yaitu gerakan yang tidak perlu, berbeda halnya dengan berjalan karena suatu keharusan sampai berada di barisan di hadapan musuh. Shalat khauf juga bisa batal bila terlalu banyak bergerak untuk berperang, tidak sedikit saja seperti memanah. Karena itu, orangorang yang shalat tidak perlu berperang ketika sedang shalat karena tidak harus melakukannya. Namun, jika mereka berperang dan banyak bergerak maka batallah shalatnya karena bertentangan dengan keadaan shalat bukan karena keharusan. Berbeda halnya dengan berjalan, karena harus demi mencapai barisan. 6. Melakukan Shalat Ketika Berkecamuknya Perang atau Besarnya Rasa Takut Para ahli fiqih telah sepakat, seperti yang telah kami isyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada cara khusus untuk shalat khaufyang dilaksanakan ketika memuncaknya rasa takut terhadap serangan musuh, karena seorang prajurit boleh saja shalat dengan memberikan isyarat gerak. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah ungkapan para ahli fiqih tentangnya. Mazhab Hanafi mengatakan, jika rasa takut seorang prajurit memuncah di mana para musuh tidak akan membiarkan mereka melakukan shalat dan sulit untuk turun maka mereka boleh melakukan shalat dalam keadaan menunggang kuda dengan sendirisendiri. Karena, tidak sah menjadi makmum bila ada perbedaan tempat antara imam dan makmum. Para prajurit itu cukup melakukan isyarat gerak ketika ruku dan sujud ke arah manapun yang mereka,bisa jika mereka tidak mampu untuk menghadap kiblat, sesuai firman Allah SWT, Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atou berkendarean." (al-Baqarah: 239) Dengan ayat ini, maka gugurlah kewajiban untuk menghadap kiblat karena situasi darurat sebagaimana gugur pula beberapa rukun shalat lainnya.