Anda di halaman 1dari 17

PROF. DR.

WAHBAH AZ – ZUHAILI
FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU
Dosen : Dr. Jamal Abdul Aziz

Sekha Seylana Fidanli


2202010044
Ibadah, Akhlak dan Muamalah I

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2023
SHALAT MUSAFIR (QASHAR DAN JAMA)
Dalam pembahasan ini terdapat dua tema : pertama, mengqashar shalat yang empat rakaat,
perintah untuk melaksanakannya, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, kondisi musafir yang
bermakmum kepada penduduk setempat (mukim) atau sebaliknya, hal-hal yang mencegah
dilakukannya shalat qashar, mengganti shalat yang terlewat dalam perjalanan, dan shalatshalat
sunnah yang dilakukan dalam perjalanan. Kedua, menggabungkan dua shalat (Jama), sebab-
sebabnya dan syarat-syaratnya.
1. MENGQASHAR SHALAT YANG BERJUMLAH EMPAT RAKAAT
a. Disyariatkannya shalat qashar, apakah qashar keinginan atau kemudahan?
Mengqashar shalat itu dibolehkan dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma', Adapun dari Al-
Qur'an, firman Allah SWT, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidak lah mengapa
kamu mengqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang - orang kafir.” [an-Nisaa':
101) Shalat qashar dibolehkan, baik dalam kondisi ketakutan atau aman. Akan tetapi,
mengaitkan shalat qashar dengan rasa takut untuk menegaskan kondisi realnya. Sebab, hampir
semua perjalanan Nabi saw. tidak terlepas dari rasa ketakutan. Ya'la bin Umayyah berkata
kepada Umar ibnul Khaththab, “Umar mengapa kita masih mengqashar shalat padahal kita sudah
aman?” Umar menjawab,”Aku pernah menanyakannya juga kepada Nabi saw. dan beliau
menjawab, “ itu adalah sedekah yang diberikan Allah kepada kalian maka terimalah sedekah
dari-nya”. Sementara dalam sunnah, terdapat khabar yang mutawatir bahwa Rasulullah saw.
mengqashar shalatnya di beberapa perjalanan beliau, baik saat haji, umrah, dan berperang. Ibnu
Umar mengatakan, “Aku sering menemani Nabi saw. Selama di perjalanannya beliau melakukan
shalat tidak lebih dari dua rakaat. Begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Qashar itu sendiri adalah memendekkan rakaat shalat yang berjumlah empat menjadi dua
rakaat saja. Shalat yang bisa dipendekkan, menurut kesepakatan ulama, yaitu shalat yang
berjumlah empat rakaat saja, seperti Zhuhur, Ashar, dan Isya, bukan shalat Subuh dan Magrib.
Karena, jika shalat Subuh dipendekkan maka rakaat yang tersisa hanya satu rakaat saja dan itu
tidak ada dalam shalat fardhu. Sedangkan jika shalat Maghrib dipendekkan yang merupakan
shalat ganjil (witir) di sore hari maka akan menjadi hilang jumlah ganjilnya.
Ahmad meriwayatkan dari Aisyah r.a., “Asal wajibnya shalat itu hanya dua rakaat, kecuali
Maghrib karena ia adalah shalat ganjil di siang hari. Lantas jumlah rakaat itu ditambah ketika
sedang menetap dan ditetapkan dalam perjalanan seperti hukum asalnya.” Ali bin Ashim
meriwayatkan dari Aisyah r.a. sebuah hadits yang memuat tentang pengecualian bagi shalat
Maghrib, shalat Subuh, serta shalat fumat dari bolehnya diqashar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perjalanan yaitu : qashar, jama', mengusap sepatu
kulit selama tiga hari, dan dibolehkannya membatalkan puasa di bulan Ramadhan; keempat hal
ini berlaku khusus untuk perjalanan yang panjang. Adapun haramnya perempuan bepergian
tanpa ditemani muhrim, gugurnya kewajiban shalat jumat, dua shalat Hari Raya, berkurban,
dibolehkannya memakan bangkai dalam kondisi terpaksa, shalat di atas kendaraan, dibolehkan
tayamum dan gugurnya kewajiban shalat fardhu karenanya, semua ini berkaitan dengan
perjalanan pendek, terkecuali memakan bangkai dan tayamum, keduanya tidak dikhususkan
dalam perjalanan saja.
Hukum mengqashar shalat, apakah mengqashar shalat itu sebuah keringanan atau niat yang
diwajibkan? Dengan ungkapan lain, apakah seorang musafir diwajibkan oleh syariat untuk
mengqashar shalat, ataukah dipersilakan memilih antara mengqashar dan melengkapi jumlah
rakaat shalatnya, dan manakah yang terbaik antaar mengqashar atau melengkapi jumlah rakaat
shalatnya? Pendapat para ahli fiqih yang dipegang terpecah menjadi tiga pendapat; ada yang
bilang wajib, sunnah, ataupun sekedar keringanan yang dipersilahkan bagi musafir untuk
memilihnya.
Menurut mazhab Hanafi, mengqashar shalat adalah kewajiban disertai niat. Kewajiban bagi
musafir di setiap shalat yang empat rakaat hanyalah dua rakaat saja dan tidak boleh
menambahnya dengan sengaja. Diwajibkan melakukan sujud sahwi jika lupa. Jika seorang
musafir telah menyempurnakan jumlah empat rakaatshalatnya dan ia dudukpada rakaatkedua
seukuran tasyahud maka dua rakaat tambahan itu disahkan dan terhitung sebagai shalat sunnah.
Namun, seorang musafir menjadi berdosa jika ia tidak duduk pada rakaat kedua seukuran
tasyahud dan shalatnya dianggap batal, karena bercampurnya antaa shalat sunnah dengan fardhu
sebelum shalatnya sempurna.
Dalil mereka adalah hadits-hadits kuat, di antaranya hadits Aisyah, “Shalat diwajibkan dua
rakaat-dua rakaat maka shalat dalam perjalanan membuktikannya, lalu ditambahkan saat
bermukim.” Juga hadits Ibnu Abbas, “Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian,
saat bermukim empat rakaat dan dalam perjalanan dua rakaat, serta satu rakaat saat kondisi
ketakutan (perang).”
Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut :
1) Ayat Al-Qur'an yang telah disebutkan sebelumnya, "Dan apabila kamu bepergian di
muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu)," Ini menunjukan
bahwa qashar adalah keringanan yang dapat dipilih antara melakukan atau
meninggalkannya, seperti bentuk keringanan lainnya.
2) Hadits yang telah diriwayatkan sebelumnya dari Umar "la adalah sedekah dari Allah
yang diberikan kepada kalian maka terimalah sedekah-NyaJ' f uga sabda Rasulullah saw.,
" Allah sukaj ika kamu meng o^iil Xrring anan yang diberikan dari-Nya sebagaimana Dia
juga suka bila kamu memberikan tekad (untuk berag ama) kepada-Nya.
3) Terdapat dalam Shqhih Muslim dan kitab lainnya bahwa para sahabat melakukan
perjalanan bersama Rasulullah saw, di antara mereka ada yang mengqashar shalat dan
ada pula yang menyempurnakan jumlah rakaat shalatnya. Di antara mereka juga ada yang
berpuasa dan ada pula yang berbuka. Namun, tidak ada seorangpun yang mencela orang
lain.
4) Aisyah r.a. berkata, 'Aku keluar bersama Nabi saw. untuk umrah di bulan Ramadhan,lalu
beliau berbuka sedang aku berbuka, beliau mengqashar shalat sedang aku
menyempurnakan rakaat. Lantas aku bertanya kepada beliau, "Kenapa Anda berbuka
sedang aku berpuasa, Anda mengqashar shalat sedang aku menyempurnakanrakaat?"
Beliaumenjawab, "Bagus kamu, Aisyah!.
Jelaslah, dari keempat dalil di atas terlihat bahwa mengqashar shalat adalah keringan, dan
pendapat ini kuat dan mudah diterima akal.
b. Sebab - sebab Disyariatkannya Shalat Qashar
Hikmah dari qashar yaitu menghindari kesulitan yang sering dihadapi para musafir memberi
kemudahan kepada mereka untuk menunaikan hak-hak Allah, penyemangat untuk melaksanakan
shalat fardhu, dan tidak meninggalkan kewajiban sehingga tidak ada seorangpun yang lalai atau
malas untuk memberi alasan agar dapat meninggalkan shalat fardhu.
Sebab disyariatkannya shalat qashar yaitu perjalanan yang panjang, dan dibolehkan menurut
mayoritas ulama selain Hanafi. berbicara tentang perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar
shalat adalah yang dapat mengubah hukum syariat serta memerlukan pembahasan empat hal;
yaitu jarak dibolehkannya mengqashar shalat, jenis perjalanannya sehingga shalat boleh
diqashary apakah perjalanan yang dibolehkan atau perjalanan apa saja, lalu tempat dimulainya
seorang musafir untuk mengqashar shalat (dihitung dari awal perjalanan), dan terakhir ukuran
waktu dibolehkannya mengqashar shalat bila musafir sampai menetap di suatu tempat.
Pertama, jarak dibolehkannya mengqashar shalat Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam
menentukan jarak perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat. Hanafi mengatakan,
diperbolehkannya mengqashar shalat itu minimal berjarak tiga hari-tiga malam perjalanan pada
hari-hari terpendek dalam setahun di negara-negara yang beriklim sedang, dengan perjalanan
unta dan berjalan kaki, serta tidak disyaratkan harus berjalan setiap hari sampai malam, tetapi
berjalan setiap hari mulai dari pagi hari hingga tengah hari (Zhuhur). Perumpamaannya adalah
perjalanan sedang dengan istirahat cukup. Namun, jika seseorang berjalan lebih cepat dan
memotong jarak tersebut sehingga lebih singkat dari jarak seharusnya seperti pada sarana
transportasi modern maka dibolehkan untuk mengqashar shalat. Bila seseorang bertujuan
mendatangi suatu tempat, lalu jarak antara dia dan tempat tujuannya itu sejauh perjalanan tiga
hari maka ia boleh mengqashar shalat. Namun, jika ia tidak bermaksud mendatangi suatu tempat
malah berkeliling tanpa tujuan hingga menempuh perjalanan tiga hari maka ia tidak diizinkan
untuk mengqashar shalat.
Kedua, jenis perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat, Mazhab Hanafi mengatakan
dibolehkan mengqashar shalat disetiap perjalanan, baik itu perjalanan dengan niat menjalankan
ibadah, perjalanan yang dibolehkan, ataupun perjalanan maksiat maka dibolehkan mengqashar
shalat bagi perampok dan sejenisnya yang bermaksiat didalam perjalanannya karena keburukan
yang bersinggungan dengan sesuatu yang disyariatkan tidak serta-merta menggugurkan hal yang
disyariatkan. Keburukan yang bersinggungan adalah hal dapat dipisahkan seperti jual beli saat
adzan jumat. Ini merupakan keburukan karena tidak menyegerakan pergi melaksanakan shalat
jumat dan sangat mungkin untuk dipisahkan. Karena, terkadang ada alasan yang dapat
menghalangi untuk menyegerakan pergi melaksanakan shalat jumat, bukan harus jual-beli, dan
sebaliknya. Dalil mazhab Hanafi, dengan kata lain bahwa seseorang yang bermaksiat dan
seorang yang taat dalam perjalanan mereka berhak sama-sama mendapat keringanan. Itu adalah
mutlak maksud ayat, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar shalat(mu)." Karena, perjalanan itu sendiri bukanlah maksiat, sedang kemaksiatan
itu terjadi setelahnya atau bersinggungan dengannya maka tidak mempengaruhi keringanan
untuk mengqashar shalat.
Mazhab Maliki menyebutkan bahwa dimakruhkan qashar bagi orang-orang yang lalai dengan
perjalanannya. Adapun orang yang bermaksiat dalam perjalanannya adalah orang melakukan
perjalanan dengan tujuan yang dibolehkan oleh syariat, tetapi di tengah perjalanannya ia
melakukan maksiat seperti berzina, mencuri, merampas, menuduh keji, dan mengumpat maka ia
dibolehkan untuk mendapatkan kemudahan seperti mengqashar shalat dan lainnya karena ia
perjalanannya itu tidak bermaksud untuk kemaksiatan atau untuk melakukan maksiat, namun
untuk tujuan yang dibolehkan syariat maka ia dianggap seperti seorang mukim yang bermaksiat.
Menurut Imam Nawawi Asy-Syafi'i, jika seorang melakukan perjalanan yang dibolehkan lalu ia
membuat perjalanannya menjadi maksiat maka ia tidak mendapat kemudahan, menurut pendapat
yang paling shahih. fika perjalanannya dimaksudkan untuk maksiat lalu ia bertobat maka
perjalanannya dihitung sejak ia bertobat.
Ketiga, tempat dimulainya seorang musafir boleh melakukan qashar sejak perjalanan
pertama, Niat untuk melakukan perialanan tidak cukup untuk mulai mengqashar shalat sebelum
benar-benar melakukan perjalanan dan melewati batas sebuah daerah. Bahkan, perjalanan harus
dimulai agar seorang musafir bisa melakukan qashar dan berbuka puasa. Para ahli fiqih sepakat
bahwa awal dimulainya perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat dan kemudahan
lainnya, yaitu ketika seorang musafir keluar dari deretan rumah-rumah yang ada di desanya yang
menjadi tempat keluar dan memposisikan rumahrumah itu berada di belakang punggungnya.
Atau, melewati perkampungan dari sisi tempat keluar dari kotanya, sedang jika ia belum
melewatinya dari sisi lain karena bermukim itu berkaitan dengan masuknya maka bepergian juga
berkaitan dengan keluar darinya, seperti firman Allah SWT "Dan apabila kamu bepergian di
muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu)." Seorang musafir tidak
disebut sedang melakukan perjalanan sebelum ia keluar dari tempat tinggalnya.
Keempat, batas waktu untuk mengqashar shalat bila seorang musafir bermukim di suatu
tempat, Seorang musafir masih berhak mengqashar shalatnya selama ia belum berniat untuk
bermukim di suatu tempat dalam waktu tertentu. Para ahli fiqih berbeda pendapat menjadi dua
pendapat dalam menentukan batas waktu ini. Hanafi mengatakan, seorang musafir dianggap
bermukim dan dilarang mengqashar shalat bila ia telah berniat untuk bermukim di sebuah daerah
selama lima belas hari atau Iebih. jika seorang musafir telah berniat waktu tersebut maka ia
diharuskan menyempurnakan rakaat shalatnya. Namun, jika berniat kurang dari lima belas hari
maka musafir tetap mengqashar shalatnya.
Dalil mereka adalah analogi dengan lamanya waktu suci bagi perempuan, karena keduanya dua
waktu yang diwajibkan untukkembali kepada waktu aslinya. Waktu suci mewajibkan untuk
mengganti apa saja yang gugur karena haid. Sedangkan bermukim mewajibkan untuk mengganti
ibadah-ibadah yang gugur karena melakukan perjalanan. Batas waktu ini diriwayatkan dari Ibnu
Abbas dan Ibnu Umar r.a., keduanya mengatakan, "fika kamu memasuki sebuah daerah dan
kamu sedang bepergian, lalu kamu berniat untuk bermukim di daerah tersebut selama lima belas
hari maka sempurnakanlah shalat. Namun jika kamu tidak tahu kapan akan berangkat lagi maka
tetap qasharlah shalatmu!".
Menurut Maliki dan Syafi'i, jika seorang musafir berniat untuk menetap di suatu tempat selama
empat hari ia harus menyempurnakan shalatnya, karena Allah SWT membolehkan mengqashar
shalat dengan syarat melakukan perjalanan. Sementara orang yang bermukim dan berniat untuk
mukim tidak dianggap sedang melakukan perjalanan. Adapun sunnah menjelaskan bahwa waktu
kurang dari empat hari tidak sampai memotong perjalanan, dalam dua kitab Shahih disebutkan.
“Kaum Muhajirin bermukim selama tiga hari setelah menyelesaikan ibadah hajinya” Nabi saw.
saat mukim di Mekkah untuk ibadah umrah selama tiga hari dan mengqashar shalatnya”.
c. Syarat-Syarat Qashar
Para ahli fiqih mensyaratkan hal-hal berikut sebagai syarat sah shalat qashar, yaitu sebagai
berikut
1) Hendaknya perjalanan itu panjang kirakira ditempuh sejauh dua marhalah atau dua hari,
ataupun enam belas Farsakh,menurut mayoritas ulama. Atau juga, sekitar tiga marhalah atau tiga
hari-tiga malam, menurut mazhab Hanafi dengan keterangan yang berbeda seperti telah
dijelaskan sebelumnya.
2) Hendaknya perjalanan itu dibolehkan (mubah) bukan perjalanan yang diharamkan ataupun
dilarang, seperti perjalanan untuk mencuri, merampok, dan semacamnya menurutmayoritas
ulama selain Hanafi. Bila seseorang mengqashar shalatnya dalam perjalanan untuk berbuat
maksiat maka shalatnya tidak sah, menurut Syafi'i dan Hambali, karena ia melakukan perbuatan
yang sudah pasti keharamannya seperti orang yang melakukan shalat sementara ia yakin telah
berhadats. Dibolehkan mengqashar shalat bersama dosa, menurut Maliki. Tidak boleh
mengqashar shalat bagi perjalanan yang makruh menurut Hambali, tetapi boleh melakukannya
menurut Maliki dan Syafi'i. Sedangkan Hanafi berpendapat, dibolehkan mengqashar shalat
dalam perjalanan yang diharamkan, makruh, dan perjalanan yang dibolehkan seperti yang telah
kami jelaskan sebelumnya. Dibolehkan juga untuk mengqashar shalat untuk perjalanan bisnis,
rekreasi, tamasya, ziarah masjid-masjid dan monumen, serta ziarah kubul dalam pendapat yang
shahih menurut mazhab Hambali adalah perjalanan untuk ziarah kubur.
3) Melewati pemukiman dari tempat tinggalnya, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya,
dan para ahli fiqih memiliki beberapa definisi terkait syarat yang satu ini. Hanafi mengatakan,
hendaknya musafir melewati rumah-rumah di suatu daerah yang menjadi tempat tinggalnya dari
arah tempat ia keluar darinya. Jika ia tidak bisa keluar dari arah lain. Hendaknya ia juga
melewati semua rumah meskipun terpencar-pencar selama rumah-rumah itu bagian dari daerah
tersebut. Hendaknya ia melewati pemukiman di sekeliling daerah dan kampung yang menyatu
dengan daerahnya. Disyaratkan pula untuk melewati tanah lapang yang bersambung dengan
tempatnya bermukim, yaitu tempat yang disediakan untuk keperluan penduduk setempat seperti
untuk pacuan hewan, menguburkan mayat, dan pembuangan tanah.
4) Hendaknya seorang musafir memulai perj alanannya daritempattertentu dan berniat untuk
menempuh jarak qashor tanpa raguragu, karena tidak boleh mengqashar dan berbuka puasa bagi
orang yang bingung, yaitu keluar sendiri tanpa mengetahui ke mana tujuannya. Tidak berlaku
pula bagi orang yang keluar karena mencari budak yang lari, mengeiar hewan yang kabu4 orang
yang berutang yang setiap kali bertemu dengan orangyang dihutangi, dan tidak pula bagi turis
yang tidak bermaksud mengunjungi suatu tempat. Sebagaimana tidak dibolehkan mengqashar
shalat bagi orang yang mengelilingi dunia seluruhnya tanpa tujuan yang jelas untuk menempuh
jarak qashar yang ditetapkan karena ia tidak bermaksud menempuh jarak qashar. Begitu pula,
tidak dibolehkan mengqashar shalat, menurut mayoritas ulama, bagi orang yang berniat untuk
menempuh iarak qashar sekaligus berniat untuk bermukim di tengah-tengah perialanannya untuk
menyingkat perjalanan, seperti yang akan kami jelaskan. Hanafi mengatakan, musafir di atas
yang terakhir boleh mengqashar shalat sampai ia benar-benar bermukim dan tidak berpengaruh
niat bermukim sebelumnya. Pendapat ini lebih masuk akal dan patut untuk diikuti.
5) Berpegangan dengan pendapatnya. Siapa yang ikut dengan orang lain yang memegang kendali
urusannya, seperti istri kepada suami, tentara kepada komandannya, pelayan kepada tuannya,
dan pelajar kepada gurunya. Masing-masing dari mereka tidak mengetahui tujuan perialanannya
maka tidak boleh mengqashar shalat. Sebab, syarat mengqashar shalat berupa tujuan ke suatu
tempat yang pasti tidak terpenuhi. Syarat ini menurut mazhab Syafi'i mengikat sebelum
menempuh perjalanan qashar. Sedangkan jika mereka telah menempuh perialanan qashar maka
dibolehkan untuk mengqashar shalat meskipun orang-orang yang mengikutinya tidak
mengqashar shalat untuk meyakinkan lamanya perjalanan mereka.
6) Hendaknya orang yang mengqashar shalat tidak bermakmum kepada orang yang bermukim
atau kepada musafir yang menyempurnakan rakaat shalatnya, atau juga diragukan perjalanannya,
menurut Syafi'i dan Hambali. Jika musafir tetap melakukannya maka ia wajib menyempurnakan
shalat meskipun hanya bermakmum saat duduk tasyahhud akhir. Akan tetapi, mazhab Hanafi
tidak membolehkan musafir untuk bermakmum kepada orang yang bermukim kecuali di waktu
shalat saja maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Sebab, kewajibannya telah berubah dari
dua menjadi empat. Adapun setelah habis waktunya musafir tetap tidak diperbolehkan
bermakmum dengan orang yang bermukim, karena kewajibannya masih berada di bawah
tanggung-jawabnya, yaitu dua rakaat saja. Kewajibannya tidak berubah menjadi empat rakaat
meski habis waktunya. Namun, jika ia melawan dan tetap bermakmum kepada orang yang
bermukim maka shalatnya dianggap batal.
7) Hendaknya berniat untuk mengqashar shalat ketika bertakbiratul ihram untuk shalat. Ini
merupakan syarat, menurut mazhab Syafi'i dan Hambali. Karena, asal hukumnya adalah
sempurna. Mutlaknya niat itu terserah kepadanya, namun ia harus berniat mengqashar shalat.
Akan tetapi, mazhab Maliki mencukupkan niat qasharpada saat pertama kali melakukan shalat
qashar selama di perjalanan. Musafir tidak diharuskan untuk mengulangi niatnya pada shalat-
shalat setelahnya, seperti satu kali niat pada awal bulan Ramadhan sudah cukup untuk satu bulan
penuh. Sedangkan mazhab Hanafi, mereka mencukupkan dengan niat melakukan perjalanan
sebelum mendirikan shalat. Ketika seorang musafir berniat untuk melakukan perjalanan maka
kewajibannya adalah mengqashar shalat dua rakaat. Ia tidak perlu lagi berniat ketika takbiratul
ihram setiap kali ingin shalat.
8) Baligh adalah syarat menurut mazhab Hanafi. Dengan demikian, anak kecil tidak boleh
mengqashar shalat dalam perjalanan. Akan tetapi, mayoritas ulama tidak mensyaratkannya maka
anak kecil boleh mengqashar shalat. Karena, setiap orang yang memiliki tujuan yang benar dan
berniat melakukan perjalanan, serta mencapai jarak yang ditentukan maka ia boleh mengqashar
shalat.
9) Mazhab Syafi'i mensyaratkan untuk menjaga niat perjalanannya dari shalat pertama hingga
terakhir. fika perahunya berakhir di tempat ia bermukim, atau berlayar melewatinya, atau ragu
apakah ia telah berniat untuk bermukim, ataupun ia ragu apakah daerah yang ditemuinya ini
adalah daerahnya atau bukan, sementara ia merasakan semua itu setiap kali melakukan shalat
maka ia harus menyempurnakan shalatnya karena hilangnya sebab mendapatkan kemudahan atau
meragukan hilangnya sebab itu.
Kesimpulan pendapat para ahli fiqih tentang syarat-sya rat qashar, yaitu sebagai berikut.
Mazhab Hanafi, dibolehkan mengqashar bagi siapapun yang berniat melakukan perjalanan dan
bermaksud menuju tempattertentu meskipun ia bermaksiat dalam perjalanannya selama ia telah
melewati rumah-rumah di daerah yang menjadi tempat tinggalnya, melewati bangunan yang
menyatu dengan halaman desa. Halaman desa yang dimaksud adalah tempat yang digunakan
untuk keperluan desa, seperti untuk pacuan kuda atau mengubur mayat. Sebagaimana
disyaratkan pula untuk melewati pinggir desa, yaitu bangunan yang berada di sekeliling kota dari
rumah-rumah dan pemukiman karena masih terhitung dalam wilayah kota. Begitu juga
disyaratkan, menurut pendapat yang shahih untuk melewati perkampungan yang menyatu
dengan pinggir desa. Disyaratkan untuk sahnya niat perjalanan dengan tiga hal berikut. Bebas
menentukan untuk bermukim atau bepergian, baligh, dan perjalanan tidak kurang dari tiga hari.
d. Musafir Bermakmum kepada Orang yang Bermukim dan Sebaliknya
Seorang musafir bemakmum kepada orang yang bermukim, para ahli fiqih sepakat bahwa
dibolehkan bagi musafir untuk bermakmum shalat kepada orang yang bermukim, meski dengan
makruh menurut mazhab Maliki karena musafir menyalahi sunnah-sunnah qashar. Dikarenakan,
jika seorang musafir bermakmum kepada orang yang bermukim maka ia diwajibkan untuk
menyempurnakan shalat hingga menjadi empat rakaat, agar tetap mengikuti gerakan imam, dan
kewajibannya berubah menjadi empat rakaat menurut mazhab Hanafi, sebagaimana berubah
ketika berniat untuk bermukim.
Selanjutnya, mazhab Hanafi mensyaratkan dibolehkannya bermakmum pada sisa waktu
meskipun hanya cukup untuk bertakbiratul ihram. Adapun ketika habis waktunya maka tidak
dibolehkan bagi musafir untuk bermakmum kepada orang yang bermukim, karena kewaiiban
shalatnya tidak bisa berubah setelah waktu shalat habis karena hilangnya sebab, sebagaimana
tidak dapat berubah dengan niat untuk bermukim, menurut mazhab Hanafi.
Seorang mukim bermakmum kepada musafir para ahli fiqih sepakat juga, bahwa dibolehkan
seorang mukim untuk bermakmum kepada musafir, meski makruh menurut mazhab Maliki
karena berbeda dari niat imamnya. Jika seorang musafir mengimami orang yang mukim dua
rakaat maka ia mengucapkan salam, lalu orang yang mukim menyempurnakan shalatnya
sendirian. Dianjurkan bagi musafir yang menjadi imam setelah ia mengucapkan dua salam untuk
berkata, "sempurnakan shalat kalian! Aku ini musafir" untuk menghindari anggapan bahwa ia
lupa, juga agar orang yang bodoh tidak ragu akan jumlah rakaat shalat sehingga ia menyangka
bahwa shalat-shalat yang empat rakaat bisa dilakukan dengan hanya dua rakaat saja. Mazhab
Hanafi mengatakan, hendaknya musafir yang menjadi imam mengatakan hal itu sebelum dimulai
shalat, sedang iika tidak sempat maka setelah ia mengucapkan salam.
Dalil yang membolehkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imran bin Hushain, ia
berkata, "Rasulullah saw. tidak pernah melakukan perjalanan kecuali beliau melaksanakan shalat
dengan dua rakaat sampai kembali. Beliau juga pernah bermukim di Mekkah ketika
menaklukkan kota Mekkah selama delapan belas malam, namun beliau memimpin shalat para
sahabat dengan dua rakaat-dua rakaat, kecuali shalat maghrib. Lantas beliau bersabda, "Wahai
Penduduk Mekkah, berdirilah dan shalatlah lagi dua rakaat, karena kami orang-orang yang
sedang dalam perjalanan”. Bila musafir yang menjadi imam berdiri untuk menyempurnakan
rakaat karena lupa atau karena tidak tahu setelah berniat mengqashar shalat maka hendaknya
makmum mengucapkan tasbih (mengingatkan) kepadanya, yaitu dengan mengatakan, "
Subhanallah." lika imam itu kembali, ia harus melakukan sujud sahwi, sedang jika tidak kembali
maka tidak perlu mengikutinya tetapi duduk sampai imam mengucapkan salam.
e. Sebab-Sebab Dilarangnya Qashar
Ketika perjalanan telah berakhir maka tidak boleh lagi seorang musafir mengqashar shalatnya
dan ia harus menyempurnakan shalatnya dengan niat bermukim di suatu tempat saat melakukan
perjalanan selama waktu tertentu yang telah kami jelaskan (15 hari menurut mazhab Hanafi, 4
hari menurut mazhab Maliki dan Syafi'i, dan lebih dari 4 hari menurut mazhab Hambali).
Ataupun, ia kembali pulang ke tempat tinggalnya yang semula, atau kondisi lainnya yang telah
ditentukan dalam mazhab-mazhab Fiqih.
1) Hendaknya musafir berniat untuk bermukim dalam beberapa waktu
Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, "la melakukan shalat bersama Rasulullah
saw. ketika menuiu Mekkah, baik dalam perjalanan dan saat bermukim di Mekkah hingga
mereka kembali lagi ke Madinah beliau shalat dengan dua rakaat." Dikarenakan teks
tidak menenentukan batas lamanya bermukim maka para ahli fiqih berbeda pendapat
dalam menentukan batasan waktunya.
2) Kembali ke tempat tinggal tetap ataupun berniat untuk kembali
istilah-istilah modern tentang ketentuan bermukim dan tempat tinggal, dengan tetap
berpegangan kepada istilah-istilah para ahli fiqih di zaman dahulu. Adapun istilah-istilah
modern itu sebagai berikut : a). Negara adalah teritorial sebuah negeri yang menyatu
dengannya dan menyandang kewarganegaraannya sesuai dengan pembagian wilayah
negara-negara modern. Pemahaman ini tidak ada kaitannya dengan pembahasan kita. b).
Tempat tinggal tetap, yaitu tempat bekerja yang menjadi tempat tinggal atau tempat
mencari kehidupan. c). Tempat lahir, yaitu daerah yang menjadi tempat kelahiran dan
tumbuh di sana. Di daerah itu juga hidup keluarga dan kerabatnya. Kedua hal ini,
menurut Hanafi adalah tempat tinggal asli karena tempat lahi4, atau menikah, atau
menetap. d). Tempat tinggal sementara, yaitu suatu tempat yang ditinggali sementara
waktu atau untuk suatu kepentingan dalam waktu yang Iama atau sebentar. Mazhab
Hanafi menganggapnya sebagai "wilayah tempat bermukim" jika ditempati setengah
bulan atau lebih, dan sebagai'tempat singgah sementara'bila kurang dari setengah bulan.

f. Mengganti Shalat yang Terlewat dalam Perjalanan


Sebelumnya, telah dijelaskan dalam pembahasan tentang mengganti shalat-shalat yang terlewat
dan kali ini akan saya ringkas saja pendapat-pendapat ahli fiqih tentang masalah ini : Menurut
mazhab Hanafi dan Maliki, Musafir yang terlewat shalatnya saat dalam perjalanan maka harus
menggantinya di tempatnya menetap sebanyak dua rakaat saja, seperti saatterlewatketika di
perjalanan. Siapa yang terlewat shalatnya di tempatnya menetap maka ia dapat menggantinya
saat dalam perjalanan dengan empat rakaat. Karena, setelah ditetapkan tidakakan berubah dan
menggantinya sesuai perintah untuk melaksanakan.
Menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, Shalat yang terlewat di tempat menetap dapat diganti
dengan empat rakaat, baik dalam perjalanan atau di tempat seseorang menetap. Karena, shalat
qashar adalah salah satu kemudahan dalam perjalanan maka dapat hilang dengan hilangnya
sebab seperti sepatu kulit selama tiga hari. fuga, karena telah ditetapkan dalam tanggung
jawabnya dengan menyempurnakan rakaat shalat. Kemudian, shalatyang terlewat dalam
perjalanan diganti dengan cara diqashar saat di perjalanan juga bukan di tempat bermukim, ini
adalah pendapat yang paIing jelas dalam mazhab Syafi'i. Karena, shalat qashar hanya diwajibkan
dalam perjalanan maka hendaknya musafir menunggu sampai adanya sebab. Dalam pandangan
saya, antara dua pendapat di atas seimbang, dan seorang Muslim boleh mengambil salah satunya.
Kemudian, ia memilihnya sesuai yang ia pandang paling bisa memelihara agamanya.
g. Shalat-shalat Sunnah dalam Perjalanan
Imam Nawawi mengatakan, para ahli fiqih telah sepakat bahwa dianjurkan untuk melaksanakan
shalat-shalat sunnah nafilah yang mutlak dalam perjalanan. Namun, mereka berbeda pendapat
dalam menganjurkan shalat-shalat sunnah rawatib, karena Ibnu Umar dan sahabat yang lain
meninggalkannya. Sementara Imam Syafi'i dan pengikutnya serta mayoritas ulama justru
menganjurkannya.
Dalil mereka, pertama adalah hadits-hadits umum yang menyebutkan tentang anjuran secara
mutlak melaksanakan shalat sunnah rawatib.fuga hadits tentang shalat Dhuha yang dilakukan
oleh Rasulullah saw. saat menaklukkan kota Mekkah, dua rakaat sunnah subuh ketika para
sahabat tidur hingga matahari terbit. Disamping hadits-hadits lainnya yang disebutkan oleh para
penulis kitab Sunan.
Dalil kedua, menganalogikan dengan shalat-shalat sunnah nafilah secara mutlak. Sedangkan
hadits yang terdapat dalam dua kitab Shahih dari Ibnu UmaL ia berkata, “Aku sering menemani
Nabi saw. dan aku tidak pernah melihat beliau melakukan shalat sunnah nafilah selama dalam
perjalanan.” Dalam riwayat lain, “Aku sering menemani Rasulullah saw. dan beliau tidak pernah
menambah rakaat shalat dari dua rakaat fardhu saja. Begitu juga Abu Bakaf Uma[ dan Utsman.”
lmam Nawawi berkomentaq, “Mungkin saja Nabi saw. melakukan shalat rawatib di atas
punggung untanya dan Ibnu Umar tidak melihatnya. Karena, melaksanakan shalat sunnah nafilah
di rumah lebih baih dan mungkin juga beliau saw. meninggalkannya dalam beberapa waktu
sebagai peringatan bahwa hal itu boleh ditinggalkan”.
Sementara mazhab Hanafi mengatakan seorang musafir boleh melakukan shalatshalat sunnah
rawatib jika ia berada dalam kondisi aman dan tenang, atau sedang beristirahat dengan nyaman.
Akan tetapi, jika dalam kondisi ketakutan dan lari dari bahaya, maupun sedang berjalan maka
tidak usah melaksanakannya. Ini adalah pendapat yang terpilih.

2. MENGGABUNG ANTARA DUA SHALAT


a. Disyariatkannya menggabung shalat
Mayoritas ulama, selain mazhab Hanafi membolehkan menggabung antara shalat Zhuhur dan
ashan baik itu dilakukan lebih awal pada waktu Zhuhur atau diakhirkan pada waktu Ashar.
Adapun shalat jumat seperti halnya shalat Zhuhur ketika digabungkan (jama) dan dilakukan lebih
awal. Begitu juga, antara shalat maghrib dan isya, bisa didahulukan atau diakhirkan
pelaksanaannya ketika seseorang melakukan perjalanan panjang kira-kira B9km.
Shalat-shalat yang digabung itu, Zhuhur -Ashar dan Maghrib-lsya bisa dilakukan pada salah satu
waktu dari keduanya. Bila dilakukan pada waktu shalat pertama maka diberi nama jama'taqdim,
sedang pada waktu shalat kedua maka diberinama jama'takhir. Namun, dianggap akan lebih baik
bila tidak melakukan jama'demi keluar dari perselisihan pendapat dan Nabi saw. sendiri jarang
melakukannya. Karena, jika jama itu lebih baik niscaya beliau saw. sering melakukannya.
Adapun dalil dari jama takhir terdapat dalam dua kitab Shahih; Bukhari dan Muslim, dari Anas
dan Ibnu Umar r.a. Hadits pertama, yaitu dari Anas, “Jika Rasulullah saw. melakukan perjalanan
sebelum matahari condong ke barat maka beliau saw. mengakhirkan shalat Zhuhur hingga waktu
Ashar. Setelah itu, beliau saw. akan singgah sebentar dan menggabung kedua shalaq Zhuhur dan
Ashar. Namun, jika matahari telah lebih dahulu condong ke barat maka beliau saw. akan lebih
dulu shalat Zhuhur baru kemudian menunggang untanya”.
Mazhab Hanafi berpendapat, tidak boleh menyama'kecuali pada hari Arafah bagi orang yang
berihram untuk haji, yaitu jama' taqdim shalat Zhuhur dan ashar dengan satu azan dan dua
iqamat, karena shalat ashar dilakukan sebelum waktu yang ditentukan maka ia perlu
dikumandangkan iqamat tersendiri sebagai pemberitahuan kepada para jamaah. |uga, pada
malam Muzdalifah, boleh menjama' takhir shalat maghrib dan isya dengan satu azan dan iqamat
saja, karena isya berada dalam waktunya maka tidak perlu pemberitahuan lagi. Mazhab Hanafi
berargumen bahwa waktuwaktu shalat itu telah ditetapkan secara mutawatir maka tidak boleh
untuk ditinggalkan hanya karena adanya satu khabar.
b. Sebab dan Syarat Menjama Antara Dua Shalat
Kelompok yang membolehkan adanya jama, baik taqdim ataupun takhir sepakat untuk
membolehkannya pada tiga keadaan; yaitu saat bepergian, hujan air dan sejenisnya, seperti hujan
salju dan dingin, juga boleh menjama pada saat berada di Arafah dan Muzdalifah. Selain tiga
keadaan itu, mereka berbeda pendapat dalam hal syarat sahnya menjama.
Mazhab Maliki mengatakan, sebab-sebab bolehnya menjama shalat Zhuhur-ashar dan maghrib-
isya, baik taqdim atau takhir itu ada enam; yaitu bepergian, hujan, lumpur dengan suasana yang
gelap, sakit seperti pingsan dan sejenisnya, menjama'di Arafah, dan Muzdalifah. Dalam semua
keadaan ini dibolehkan menjama baik itu laki-laki ataupun perempuan, kecuali menjama di
Arafah dan Muzdalifah, karena sunnah.
Adapun bepergian, dibolehkan menjama shalat secara mutlak, baik itu perjalanannya lama atau
sebentar selama berada dalam jarak qashr. fika perjalanannya itu melalui darat bukan laut maka
dibolehkan juga mengqashr karena adanya keringanan dan orang yang melakukannya tidak
bermaksiat dan mainmain ketika bepergian.
Terdapat dua syarat untuk dibolehkannya melakukan jama taqdim ketika ingin bepergian :
a) Matahari telah tergelincir (masuk waktu Zhuhur) dan saat itu ia tengah bepergian dan sedang
singgah untuk beristirahat.
b) Hendaknya seseorang berniat untuk pergi sebelum masuk waktu ashar dan singgah untuk
istirahat setelah terbenamnya matahari. Jika orang itu berniat untuk beristirahat sebelum
menguningnya matahari maka ia hanya diperbolehkan melakukan shalat Zhuhur saja dan wajib
mengakhirkan shalat ashar karena masih ada waktu. Namun, bila ia memajukan dalam
pelaksanaan shalat ashar maka itu diperbolehkan.
Berikutnya, sakit, seperti sakit perut atau lainnya maka dibolehkan melakukan jama' shuury atau,
yaitu seseorang melakukan shalat fardhu yang lebih awal pada akhir waktunya dan shalat fardhu
kedua pada awal waktunya. Dan hal ini bagi orang sakit tidak dimakruhkan. Sedangkan bagi
orang yang sehat hal ini dimakruhkan.
Kemudian, seseorang yang takut bila ia pingsan, pusing, atau demam ketika masuk waktu shalat
yang kedua; ashar atau isya maka ia boleh memajukan shalat kedua itu padawaktu shalat
pertama. Ini boleh menurut pendapat yang lebih kuat. Kesimpulannya, orang yang sakit boleh
menjama bila ia takut hilang kesadaran ataupun menjama itu lebih meringankannya. Adapun
waktu pelaksanaannya pada waktu shalat pertama.
Mazhab Syafi'i mensyarat hal untuk jama taqdim :
a) Niat untuk menjama taqdim yaitu ketika memulai shalat pertama dan dibolehkan ketika
sudah melakukannya, menurut pendapat yang paling jelas, meskipun sudah mengucapkan
salam.
b) Tertib yaitu harus dimulai dengan shalat pertama yang masuk waktunya. Seseorang yang
melakukan shalat jama harus mendahulukan shalat pertama baru shalat kedua, karena
waktu shalat adalah untuk shalat pertama sedang shalat kedua hanya mengikuti dari yang
pertama. Karena itu, haruslah mendahulukan yang diikuti. Jika seseorang memulai shalat
jama dengan shalat pertama, namun kemudian diketahui batal karena tidak melakukan
syarat ataupun rukun maka shalat keduanya ikut batal. Sebab, hilangnya syarat dengan
memulai dari yang pertama, namun shalat kedua dianggap sebagai shalat sunnah,
menurut pendapat yang benar.
c) Terus berada dalam perjalanan hingga melakukan takbiratul ihram pada shalat kedua,
meskipun perjalanannya itu baru berhenti setelah takbiratul ihram dan shalat kedua.
Adapun jika perjalanan itu berhenti sebelum dimulainya shalat kedua maka tidak boleh
untuk menjama', karena hilangnya sebab.
Untuk jama takhir, ada dua syarat sebagai berikut :
a) Niat untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat jama sebelum keluar waktu shalat pertama
meski ukuran satu rakaat, yaitu waktu tersisa untuk memulai shalat hingga bisa menjadi
tepat waktu, sedang jika tidak maka bermaksiat karena mengqadha. Adapun dalil untuk
syarat niat, bahwa niat bisa diakhirkan untuk shalat jama' atau untuk lainnya. Karena
itulah, harus adanya yang dapat membedakan pengakhiran yang disyariatkan dari lainnya.
b) Perjalanan terus berlangsung hingga tiba waktu shalat kedua. fika terputus dan masih
tersisa waktu shalat pertama, yaitu masih bisa dilakukan berdiri saja untuk shalat pertama
maka shalat pertama itu, baik Zhuhur atau maghrib menjadi qadha' karena mengikut pada
shalat kedua dalam pelaksanaannya sebab ada udzur; namun hilang sebelum habis
waktunya.
Mazhab Hambali berpendapat, boleh melakukan jama taqdim atau takhir dalam delapan keadaan
Pertama, perjalanan yang panjang dan dibolehkan untuk qashr, yaitu mengqashr shalat empat
rakaat. Hendaknya perjalanan itu tidak haram ataupun makruh dan mencapai dua hari perjalanan.
Karena, menjama shalat itu adalah keringanan yang ditetapkan untuk mengurangi kesulitan
dalam perjalanan maka dikhususkan untuk perjalanan yang panjang seperti qashr dan mengusap
tiga kali. Kedua, sakit yang dapat menimbulkan kesulitan dan kelemahan jika tidak melakukan
jama, karena Nabi saw. sendiri 'pernah melakukan jama dalam keadaan tidak takut ataupun
hujan, dalam riwayat lain, dalam keadaan tidak takut ataupun bepergian. Tidak ada alasan lain
setelah itu kecuali sakit. Ahmad berdalih bahwa sakit itu lebih susah dari melakukan perjalanan.
Orang yang sakit bisa memilih antara memajukan atau mengakhirkan shalat jama seperti halnya
musafir. fika sama kondisinya maka mengakhirkan itu lebih utama. Ketiga, menyusui.
Dibolehkan menjama shalat bagi ibu yang menyusui karena sulitnya membersihkan najis setiap
kali ingin shalat. Keadaannya seperti orang yang sedang sakit. Keempat, tidak bisa berwudhu
atau tayammum untuk setiap shalat. Diperbolehkan menjama shalat jika seseorang tidak bisa
melakukan dua macam bersuci itu untuk mencegah munculnya kesulitan karena ia sedang
musafir atau sakit. Kelima, tidak bisa mengetahui waktu shalat maka diperbolehkan untuk
menjama seperti orang buta.

SHALAT KHAUF (TAKUT)


Pembahasan ini berbicara tentang hukum disyariatkannya, sebab-sebab dan syarat-syaratnya, tata
cara ataupun bentuk shalat, bentuk shalat makmum masbuq, kapan shalat khauf batal? Dan shalat
dilakukan ketika berkecamuknya perang dan rasa takut yang besar.
1. Disyariatkannya Shalat Khauf (takut)
Shalat khauf telah disyariatkan menurut mayoritas ahli fiqih. Shalat khauf adalah sunnah yang
terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits ketika memerangi kaum kafir. Adapun dari AlQur'an,
firman Allah SWT. yang berbunyi, "Dan apabila kamu berada di tengah-tengoh mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersqmq-sama mereko, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalot) besertamu dan menyandang senjata, kemudian opabila
mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum bersembahyqng, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orong kafir ingin supaya kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lolu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus."
(An-Nisaa': 102) Apa yang telah ditetapkan dalam hak beliau saw. maka ditetapkan juga dalam
hak umatnya selama tidak adanya dalil pengkhususan atas diri beliau saw. Karena, Allah SWT
telah memerintahkan untuk mengikutinya. Sedangkan pengkhususan kata ganti pada kalimat,
'Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka'tidak menjadi pengkhususan dalam hal
hukun, dengan dalil firman-Nya juga,'Ambillah zakat dari sebagian horta mereka." (at-Taubah:
103).
Argumentasi di atas ditolak karena para sahabat telah melakukan shalat khauf juga sepeninggal
beliau saw. Padahal mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang habis atau
tetapnya masa berlaku pembolehan hukum atas sesuatu. Adapun tujuan dari pensyariatan
shalatkhauf adalah antusiasme Islam agar shalat dilakukan secara berjqmaah dan ikatan
berkumpul tetap kuat dan selalu terjaga meski dalam kondisi paling sulit, berbahaya, dan krisis
sekalipun. Pengaruh rasa takuthanya mengubah bentuk dan tata cara shalat, bukan dalam hal
bilangan rakaatnya. fadi, rasa takut tidak sampai mengubah bilangan shalat, menurut pendapat
kebanyakan ulama.
2. Sebab dan Syarat Dilaksanakannya Shalat Khauf
Rasa takut akan adanya serangan musuh adalah sebab dilakukannya shalat jenis ini, seperti
pendapat Ibnu Abidin. Adanya musuh adalah syarat, seperti shalat orang musafir kesusahan
adalah sebabnya dan perjalanan yang syar'iy adalah syaratnya. Maksud dari rasa takut itu sendiri
adalah munculnya musuh, bukan rasa takut yang nyata. Karena, keberadaan musuh ataupun
kemunculannya dianggap sebagai rasa takut. Shalat khauf tidak khusus ketika adanya perang,
tetapi boleh dilakukan dalam setiap keadaan takut, seperti lari dari banj4, kebakaran, binatang
buas, unta, anjing gila, penyerang, pencuri, ataupun ula4 dan semisalnya yang tidak bisa
tergantikan.
Syarat untuk shalat khauf sebagai berikut :
a) Hendaknya perangnya itu dibolehkan, yaitu diizinkan, baik perang wajib seperti
memerangi kaum kafiryang jahat, pemberontah atau para penjahat yang selalu
menumpahkan darah dan menodai kesucian, berdasarkan firman-Nya, Jika kamu takut
diserang orang-orang kafir." (An-Nisaa': 101), ataupun perang yang boleh seperti
memerangi orang yang ingin mengambil harta kaum muslimin. Karena itu, tidak sah
shalat khauf-nya para pemberontak dan orang yang bermaksiat dalam perjalanannya.
Karena, shalat khauf adalah rahmat, keringanan, dan pengecualian maka tidak boleh bila
ada kaitannya ataupun dibolehkan karena adanya unsur kemaksiatan. Artinya, shalat
khauf tidak boleh dilakukan pada perang yang terlarang ataupun haram, seperti
memerangi orang yang adil ataupun orangorang kaya karena ingin mengambil harta
mereka.
b) Adanya musuh atau binatang buas, atau takut tenggelam dan terbakar. Siapa yang
takutmusuh atau bahaya, baikitu takutnya terhadap dirinya ataupun hartanya maka ia
boleh melakukan shalat khauf, menurut mayoritas ulama dan pendapat yang masyhur dari
mazhab Maliki, baik dalam perjalanan ataupun menetap; di laut ataupun dara$ ketika
perang ataupun tidak karena umumnya maksud dari firman Allah S\MT, "Dan apabila
kamu berada di tengahtengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka," ayat ini umum dalam semua keadaan. fika sekelompok orang
melihat kelompok orang lain dan disangka adalah musuh, lalu mereka melakukan shalat
khauf maka jika betul keadaannya seperti yang mereka kira, shalat mereka sah. Tetapi,
jika ternyata bukan, shalat mereka tidak sah. Jika shalat khauf dilakukan tanpa adanya
rasa takut maka shalatnya batal. Syafi'i dan Hambali berpendapat, siapa yang merasa
aman ketika ia sedang shalat maka hendaknya ia menyelesaikannya shalatnya dalam
keadaan aman, sedang siapa yang merasa aman lalu tiba-tiba rasa takutnya memuncak
maka ia boleh menyelesaikan shalatnya dengan shalat khauf. Maliki berpendapat siapa
yang merasa aman maka shalat dengan cara aman; shalatnya orang yang menetap
dilakukan dengan rakaat sempurna, sedang shalatnya orang yang bepergian dengan
diqashr pada shalat empat rakaat. Karena, rasa takut, seperti yang telah kami jelaskan
sebelumnya, tidak berpengaruh pada jumlah rakaat. Artinya, dalam perjalanan yang
membolehkan untuk mengqashar (89 km) maka imam memimpin shalat setiap kelompok
dengan satu rakaat, sedang ketika menetap memimpinnya dengan dua rakaat untuk setiap
kelompok.

3. Tata Cara Pelaksanaan dan Bentuk Shalat Khauf


Para ahli fiqih sepakat atas dua hal penting. Pertama, dibolehkan bagi tentara untuk
melaksanakan shalat khauf dengan dua imam, masing-masing kelompok jamaah dengan
imamnya sendiri. Kedua, pada saat rasa takut mencekam dan sulit untuk melakukan shalat
berjamaah maka dibolehkan bagi para tentara untuk melakukan shalat sendiri-sendiri, baik dalam
keadaan menunggang hewan (menaiki kendaraan tempur) ataupun berjalan kaki di tempat-
tempat dan parit-parit mereka masingmasing. Mereka cukup memberi isyarat ketika ruku dan
sujud ke arah manapun mereka suka, baik ke arah kiblat ataupun selainnya. Mereka tetap
memulai dengan takbiratul ihram, menghadap kiblat jika bisa ataupun selainnya. Karena, shalat
yang dilakukan saat itu dalam keadaan darurat yang bisa menghapus rukun menghadap kiblat.
Adapun shalat khauf bisa dilakukan secara berjamaah bagi setiap tentara dengan satu imam.
Shalatnya boleh dilakukan dengan cara mana saja yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Khabar meriwayatkan ada enam belas cara. Sebagiannya terdapat dalam Shahih Muslim dan
sebagian besarnya terdapat dalam Sunan Abu Dawud. Ada sembilan cara termuat dalam Shahih
lbnu Hibban. Setiap cara yang beliau saw lakukan maka itu adalah cara yang lebih hati-hati dan
lebih pas untuk posisi menjaga.
4. Bentuk Gerakan yang Harus Diqadha oleh Makmum Masbuq pada Shalat Khauf,
Apakah pada Awal Shalat atau Diakhirnya?
Pembahasan ini telah dipaparkan sebelumnya dalam pembahasan tentang shalat berjamaah, yaitu
pembahasan mengenai makmum rnasbuq. Ringkasnya, Syafi'i berpendapat, rakaat yang dapat
dilakukan oleh makmum rnasbuq dianggap sebagai rakaat pertama dalam shalatnya, sedang
rakaat yang diqadha'nya adalah rakaat terakhir dari shalatnya, sesuai sabda beliau saw. “rakaat
yang kalian ikuti maka lakukanlah! Sedang rakaat yang tertinggal maka sempurnakanlah!”
Pendapat inilah yang terlintas di pikiran dan disepakati sesuai urutan dari apa yang telah
dilakukan pada gerakan shalat. Siapa yang sempat mengikuti satu rakaat pada shalat maghrib
maka iabangun lagi untukmelakukan satu rakaat,lalu membaca surah al-Fatihah dan surah
lainnya, lantas duduk untuk tasyahhud. Usai tasyahhud, makmum masbuq bangkitlah melakukan
satu rakaat dengan membaca surah al-Fatihah saja.
Adapun Hanafi dan Hambali mengatakan dalam zhahirnya pendapat mazhab, rakaat yang
diqadha' oleh makmum masbuq adalah rakaat pertama shalatnya, sedang rakaat yang diikuti
bersama imam adalah rakaat terakhirnya. Artinya, kebalikan dari urutan dari apa yang dilakukan
pada gerakan shalat, sesuai khabar yang berbunyi 'rakaat yang kalian ikuti maka lakukanlah!
Sedang rakaat yang tertinggal maka gantikanlah!' Karena itu, makmum masbuq membaca doa
pembuka dan ta'awwudz, lalu membaca surah setelah alFatihah. |ika makmum masbuq hanya
dapat mengikuti satu rakaatsaja bersama imam pada shalat maghrib maka ia melakukan dua
rakaat lainnya tanpa perlu duduk di antara keduanya, tetapi langsung berdiri saja. Sedangkan
Maliki berpendapat, harus dipisah antara ucapan dan perbuatan; makmum masbuq hanya perlu
mengqadha'pada ucapan saja, yaitu bacaan seperti pendapat Hanafi dan Hambali, sedang dalam
gerakan sesuai urutan seperti pendapat Syafi'i.
5. Kapankah Shalat Khaulltu bisa Batal?
Mazhab Hanafi mengatakan, shalat khauf bisa batal karena berjalan bukan pada barisannya, atau
keluar hadats, dan menunggang hewan (menaiki kendaraan tempur) secara mutlak, yaitu baik
berada pada barisan ataupun tidak. Karena, menunggang hewan akan banyak bergerak, yaitu
gerakan yang tidak perlu, berbeda halnya dengan berjalan karena suatu keharusan sampai berada
di barisan di hadapan musuh. Shalat khauf juga bisa batal bila terlalu banyak bergerak untuk
berperang, tidak sedikit saja seperti memanah. Karena itu, orangorang yang shalat tidak perlu
berperang ketika sedang shalat karena tidak harus melakukannya. Namun, jika mereka berperang
dan banyak bergerak maka batallah shalatnya karena bertentangan dengan keadaan shalat bukan
karena keharusan. Berbeda halnya dengan berjalan, karena harus demi mencapai barisan.
6. Melakukan Shalat Ketika Berkecamuknya Perang atau Besarnya Rasa Takut
Para ahli fiqih telah sepakat, seperti yang telah kami isyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada cara
khusus untuk shalat khaufyang dilaksanakan ketika memuncaknya rasa takut terhadap serangan
musuh, karena seorang prajurit boleh saja shalat dengan memberikan isyarat gerak. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini adalah ungkapan para ahli fiqih tentangnya.
Mazhab Hanafi mengatakan, jika rasa takut seorang prajurit memuncah di mana para musuh
tidak akan membiarkan mereka melakukan shalat dan sulit untuk turun maka mereka boleh
melakukan shalat dalam keadaan menunggang kuda dengan sendirisendiri. Karena, tidak sah
menjadi makmum bila ada perbedaan tempat antara imam dan makmum. Para prajurit itu cukup
melakukan isyarat gerak ketika ruku dan sujud ke arah manapun yang mereka,bisa jika mereka
tidak mampu untuk menghadap kiblat, sesuai firman Allah SWT, Jika kamu dalam keadaan takut
(bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atou berkendarean." (al-Baqarah: 239) Dengan ayat ini,
maka gugurlah kewajiban untuk menghadap kiblat karena situasi darurat sebagaimana gugur
pula beberapa rukun shalat lainnya.

Anda mungkin juga menyukai