Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama fitrah, agama yang sejalan dengan tuntutan watak dan sifat pembawaan
kejadian manusia. Oleh karena itu, Islam memperhatikan kenyataan-kenyataan manusiawi,
kemudian mengaturnya agar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan. Pengaruh iklim membawakan
perbedaan-perbedaan dalam kenyataan hidup manusia. Tiap-tiap individu mempunyai
pembawaan yang mungkin berbeda dengan individu yang lain. Keadaan sosial dalam suatu
masyarakat pada masa terterntu mengalami problem-problem yang minta pemecahan.
Pembacaan terhadap dasar nash maupun hadits berkenaan dengan masalah ini hendaknya
dilakukan secara utuh. Untuk menentukan seatu hukum atas boleh atau tidaknya poligami harus
mengkaji semua ayat maupun hadits yang brkenaan dengannya dengan selektif dan penafsiran
yang memperhatikan berbagai persepektif, baik secara tetkstual maupun kontektual. Untuk
mengambil suatu kesimpulan hukum tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah-setengah
dalam pembacaannya. Karena itu makalah ini, penulis mencoba memaparkan beberapa hadits
mengenai masalah poligami yang penulis uraikan berangkat dari pemahaman teks yang biasa
dijadikan rujukan bagi orang-orang yang pro dan kontra poligami. Dan posisi penulis dalam
masalah ini adalah sebagai penengah.

B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa kriteria Poligami yang diperbolehkan dalam Hadist?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kriteria Bolehnya Poligami
Sabda Rasulullah SAW :



( ) .
Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan ia
mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga masuk Islam bersamanya,
kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih (mempertahankan) empat diantara
mereka. (HR. Tirmidzi).

1. Sandaran Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Hannad, dari Abdah, dari Said bin
Abi Arwah, dari Mamar dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ibnu Umar.[2]

2. Kosa Kata

: secara leterlek berarti perempuan atau wanita, tetapi dalam konteks hadits
di atas diarikan istri.
: zaman sebelum Islam. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sebelum
Ghailan masuk Islam.
3. Sababul Wurud & Munasabah

Hadits tersebut di atas, membicarakan tentang Ghailan Ats-Tsaqafi yang mana sebelum
masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Ketika ia masuk Islam ke sepuluh orang
istrinya itu turut masuk Islam bersamanya. Oleh karena dalam Islam seorang laki-laki tidak
boleh beristri lebih dari empat, maka Nabi menyampaikan hadits di atas. Yakni, menyuruh
atau memerintah mempertahankan empat diantara mereka dan menceraikan yang lainnya.

Hadits senada dengan riwayat di atas adalah sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibn
Majah dan Ahamad dari jalan yang berbeda, yaitu :




[3].( ) .
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada kami
Muhammad bin Jafar; telah bercerita kepada kami Mamar; dari Az-Zuhri; dari Salim; dari
ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk Islam, sedangkan padanya ada sepuluh
orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya ; silahkan ambil (pertahankan) empat
diantara mereka. (HR. Ibnu Majah)




[4] ( ) .

Telah bercerita kepada kami Ismail; telah mengkhabarkan kepada kami Mamar dari
Az-Zuhri, dari Salim, dari bapaknya, bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam, dan padanya
ada sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya; pilihlah empat diantara
mereka. (HR. Ahmad)

Rasulullah SAW memberikan ancaman terhadap suami yang tidak berlaku adil
terhadap para istrinya ;

:

) .
(
Dari Abi Hurairah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Barang siapa yang
mempunyai dua orang istri lalu ia lebih condong pada salah satunya dalam memberikan
bagian, maka ia akan datang pada hari kiamat kelak salah satu betisnya dalam kedaan
miring (pincang).

Dalam suatu riwayat, ketika putri Rasulullah Fatimah hendak dipoligami oleh Ali bin
Abi Thalib RA. Ketika beliau mendengar rencana poligami ini, beliau langsung masuk ke
masjid dan naik mimbar, berseru : Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah
meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib,-
ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak
aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, silahkan mengawini
putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggau perasaannya
adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakitiku juga.
Ketika putri beliau Fatimah binti Muhammad AS akan dipoligami Ali bin Abi Thalib
RA. Ketika beliau mendengar rencana poligami ini, beliau langsung masuk ke masjid dan
naik mimbar, berseru : Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib,-ketahuilah-, aku
tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan,
kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, silahkan mengawini putri
mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggau perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakitiku juga. (Jami al-Ushul,
juz XII, 162, no. hadits: 9026). Larangan ini dari Nabi Saw, berarti pelarangan poligami juga
bisa sunnah. Ali bin Abi Thalib ra sendiri baru mengawini perempuan lain setelah Fatimah ra
wafat.[5]

Larangan ini dari Nabi Saw, berarti pelarangan poligami juga bisa sunnah. Ali bin Abi
Thalib ra sendiri baru mengawini perempuan lain setelah Fatimah ra wafat.

4. Penjelasan

Secara eksplisit hadits Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad menunjukkan bolehnya
berpoligami dengan ketentuan tidak boleh lebih dari empat. Seandainya poligami tidak boleh
mestinya Nabi memerintahkan Ghailan memilih salah satu saja dari sepuluh orang istrinya
dan menceraikan yang lain. Ini menunjukkan bahwa batasan maksimal seorang laki-laki
yang berpoligami adalah empat orang istri.

Namun, apakah bolehnya berpoligami itu mutlak untuk semua orang tanpa ada
ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi. Apabila kita baca surat An-Nisa ayat 3 dan
korelasi dengan hasits-hadits lain, seperti hadits tentang pelarangan Ali yang hendak
melakukan poligami, serta ancaman Rasulullah SAW bagi seorang suami yang tidak dapat
berlaku adil terhadap isteri-isterinya sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dipahami
bahwa Islam tidak memerintah, apalagi mewajibkan poligami, dan tidak memberikan
kesempatan yang longgar kepada kaum Muslimin untuk berpoligami. Artinya, seorang yang
hendak berpoligami harus memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.

Banyak penafsiran mengapa Nabi Saw melarang putrinya dipoligami Ali bin Abi
Thalib ra adalah putri Abu Jahl bin Hisyam, musuh Allah Swt dan musuh Nabi Saw. tetapi
beberapa penafsiran lain menyebutkan memang karena Nabi Saw tidak menginginkan putri
beliau Fathimah ra dipoligami dengan siapapun, karena poligami itu menyakiti hatinya, dan
yang menyakiti hatinya juga menyakiti hati Nabi Saw. Karena itu, seperti dinyatakan Ibn
Hajar al-Asqallani, ada ulam yang menyatakan bahwa poligami bisa saja dilarang jika bisa
menimbulkan kerusakan dan kezaliman, tentu terhadap perempuan dan anak-anak.
(lihat Fath al-Bari, 10/412).

Dari sudut fiqh, sebagai rekaman dari sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan poligami
itu sunnah juga merupakan reduksi yang sangat besar. Sunnah dalam bahasa fiqh adalah
sesuatu yang jika dilakukan memperoleh pahala, dan jika ditinggalkan tidak memperoleh
dosa. Pelabelan sunnah dengan makna fiqh ini terhadap poligami adalah sesuatu yang perlu
diluruskan. Dalam hal nikah bisa saja, fiqh menawarkan berbagai predikat hukum tergantung
kondisi calon suami, calon isteri atau kondisi masyarakat; bisa wajib, sunnah, mubah atau
sekedar diizinkan. Bahkan Imam al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Maani menyatakan bahwa
nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu bahwa dirinya tidak akan bisa memenuhi
hak-hak isterim, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Dalam hal ini, poligami
juga harus dikaitkan dengan situasi sosial, kondisi calon suami dan calon isteri, tidak
sesederhana pernyataan bahwa poligami adalah sunnah.[6]

Poligami itu sunnah adalah penyederhanaan terhadap persoalan yang sebenarnya


kompleks. Sunnah sendiri, atau teks-teks hadis tidak sesederhana ungkapan tersebut, bahkan
fiqh juga mengaitkannya dengan berbagai latar kondisi. Lebih tepat untuk dikatakan bahwa
monogami-poligami dalam karakteristik fiqh Islam adalah termasuk persoalan parsial, bukan
prinsip, yang predikat hukumnya mengikuti kondisi ruang dan waktu. Prinsipnya adalah
keadilan, membawa kemaslahatan, tidak mendatangkan mudharat dan kerusakan (mafsadah).

Untuk mengidentifikasi nilai-nilai ini dalam kaitannya dengan praktek monogami-


poligami, semestinya harus melibatkan perempuan, yang akan memperoleh imbas langsung
dari keputusan dan kebijakan apapun dalam poligami. Ini dilakukan dengan pengujian
empirik dan inter-disipliner yang obyektif terhadap efek poligami dan kondisi sosial
masyarakat. Mungkin jika dilakukan, kebanyakan orang seperti Syeikh Muhammad Abduh,
Nashr Hamid Abu Zaid, Aminah Wadudu dan yang lain lebih memilih untuk mengatakan
bahwa Islam itu pada dasarnya adalah monogam. Bahkan ia menyarankan pelarangan
poligami yang pada prakteknya banyak mencelakakan perempuan dan merusak keutuhan
keluarga. Dalam konteks ini Abduh menyindir teks hadits Nabi Saw : Tidak dibenarkan
segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain. (Jamia al-Ushul, VII, 412,
no. hadits: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan poligami itu sunnah.[7]

Dengan memperhatikan konteks Ayat 3 QS. An Nisa yang membolehkan perkawinan


poligami tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa perkawinan poligami menurut ajaran
Islam merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan yang mendesak. Dalam
keadaan biasa, Islam berpegang kepada prinsip monogami, kawin hanya dengan seorang istri
saja, yang dalam Alquran tersebut dinyatakan akan lebih menjamin suami tidak akan berbuat
aniaya.[8]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, persoalan poligami adalah persoalan budaya yang ada sejak ribuan
tahun sebelum Islam. Al Quran diturunkan pada saat budaya poligami sangat mengakar,
sehingga yang diperlukan saat itu adalah pembatasan dan kritik terhadap perilaku poligami yang
menyimpang. Bisa dinyatakan bahwa poligami tidak ada kaitannya dengan keberagamaan
seseorang, keimanan, ketakwaan dan ketaatannya kepada Allah Swt. Justru yang terkait dengan
keIslaman dan keimanan adalah sejauh mana setiap orang bisa berbuat baik terhadap orant-
orangterlantar dan yang dipinggirkan serta mereka yang menjadi korban kekerasan struktur
sosial. Seperti yang diwasiatkan Nabi Saw pada saat haji Wada, semua orang diharuskan berbuat
baik terhadap perempuan, menghargai dan mengagungkan mereka. Persoalan apakah monogami
atau poligami yang lebih memartabatkan perempuan, selayaknya diserahkan kepada nurani para
perempuan.
Diantara sebab yang membolehkan seorang pria berpoligami diantaranya yaitu:

a. Istri tidak dapat melahirkan keturunan, sementara suami sangat menghendakinya.


b. Banyak wanita yang tidak menikah karena jumlah wanita lebih banyak daripada
laki-laki.
c. Wanita janda yangditinggal wafat suaminya, sedang ia perlu sekali
mendapatkanpertolongan, baik untuk dirinya maupun anak-anaknya yang telah
menjadi yatim dan tidak dapat ditempuh dengan jalan lain kecuali dengan
menikahinya.
d. Istri yang sudah diceraikan perlu (ingin) rujuk atau kembali menikah padahal
suaminya sudah menikah dengan orang lain.
e. Seorang pria yang sudah beristri jatuh cinta kepada wanita lain yang tidak dapat
dihindarinya, kalau tidak dinikahinya khawatir terjerumus kepada perzinaan.
f. Sebab lain yang menurut pertimbangan yang masak bahwa poligami merupakan
satu-satunya jalan yang halal dan dapat ditempuh.[9]

DAFTAR PUSTAKA

1. Faridl, Miftah, KH., 150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta : Gema Insani, 1999

2. Azhar Basyir, Ahmad, MA, KH., Hukum Perkawinan Islam, Cet. XI, Yogyakarta, UII Press,
2007

3. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mjah : Hadts Nomor 1859, JUZ VI, Beirut : Dar al-Fikri,
1415/1995

4. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz IV, Beirut, Dar al-Fikri, 1995


Ahmad, Musnad Ahmad, Juz IX, Beirut, Dar al-Fikri, 1995

End Note

[1]
[2] At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz IV, hlm. 332
[3] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz VI, hlm. 85
[4] Ahmad, Musnad Ahmad, Juz IX, hlm. 416
[5] Manshur Zuhri, MAg, Membaca kembali Sunnah Poligami, (Modul Perkuliahan Hadits
Ahkam PMH-V), hlm. 7
[6] Manshur Zuhri, MAg, Membaca kembali Sunnah Poligami, hlm. 7-8
[7] Manshur Zuhri, MAg, Membaca kembali Sunnah Poligami, hlm. 7
[8] KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam, Cet. XI, (Yogyakarta : UII
Press, 2007), hlm. 39
[9] KH. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, (Jakarta : Gema Insani, 1999), hlm.
134

Anda mungkin juga menyukai