Anda di halaman 1dari 29

Mukhtalif Hadits

“Polemik Hadis- Hadis Poligami”

Diajukan untuk memenuhi tugas Individu


Mata Kuliah: Mukhtalif Hadis
Oleh: Sofyan Yahya

Dosen Pengampu:
Hikmawati Sultani M.Th.I

JURUSAN ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SULTAN AMAI GORONTALO

2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama fitrah, agama yang sejalan dengan tuntutan watak dan
sifat pembawaan kejadian manusia. Oleh karena itu, Islam memperhatikan
kenyataan-kenyataan manusiawi, kemudian mengaturnya agar sesuai dengan nilai-
nilai keutamaan. Pengaruh iklim membawakan perbedaan-perbedaan dalam
kenyataan hidup manusia. Tiap-tiap individu mempunyai pembawaan yang
mungkin berbeda dengan individu yang lain. Keadaan sosial dalam suatu
masyarakat pada masa terterntu mengalami problem-problem yang minta
pemecahan.
Sebenarnya tujuan dari peraturan tentang poligami dalam Islam itu
diantaranya ialah untuk menyelamatkan dan menolong kaum wanita, sebagaimana
dipraktekkan oleh Rasulullah saw., terhadap istri-istri beliau. Al-Qur’an surat An-
Nisa’ (4) : 3 berfungsi memberikan batasan serta syarat yang ketat, yaitu batasan
maksimal empat istri dengan ketentuan mesti berlaku adil. Artinya tidak boleh ada
anggapan bahwa Al-Qur’an mendorong poligami, tetapi justru memberikan jalan
keluar apabila dalam suatu keadaan terpaksa seorang harus memilih antara
perzinahan dan poligami, atau antara membiarkan wanita terlantar dan sengsara tak
bisa nikah dan menjadi istri kedua.1

Pembacaan terhadap dasar nash maupun hadits berkenaan dengan masalah ini
hendaknya dilakukan secara utuh. Untuk menentukan seatu hukum atas boleh atau
tidaknya poligami harus mengkaji semua ayat maupun hadits yang brkenaan
dengannya dengan selektif dan penafsiran yang memperhatikan berbagai
persepektif, baik secara tetkstual maupun kontektual. Untuk mengambil suatu
kesimpulan hukum tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah-setengah
dalam pembacaannya. Karena itu makalah ini, penulis mencoba memaparkan
beberapa hadits mengenai masalah poligami yang penulis uraikan berangkat dari

1
KH. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga (Jakarta : Gema Insani, 1999), hlm.131
pemahaman teks yang biasa dijadikan rujukan bagi orang-orang yang pro dan
kontra poligami.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas penulis merumuskan beberapa masalah yang akan
di bahas pada bab berikutnya, antara lain :
1. Bagaimana redaksi dan kulitas hadis tentang poligami ( larangan maupun
kebolehan) ?
2. Bagaima pendapat ulama tentang poligami?
3. Bagaimana metode penyelesain mukhtalif tentang poligami?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadis Bolehnya Poligami


1. Sunan At-Tirmidzi

ِ ِِ ٍ ِ ِ
ْ ‫َسلَ َم َولَهُ َع ْش ُر ن ْس َوة ِِف ا ْْلَاهليَّة فَأ‬
‫َسلَ ْم َن‬ َّ ‫َع ْن ابْ ِن عُ َم َر أ‬
ْ ‫َن غَْي ََل َن بْ َن َسلَ َمةَ الثَّ َقف َّي أ‬
2
) ‫ ( رواه ترميدي‬. ‫َربَ ًعا ِم ْن ُه َّن‬ ِ َّ ‫َِّب صلَّى‬
ْ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَ ْن يَتَ َخيَّ َر أ‬ َ ُّ ِ‫َم َعهُ فَأ ََم َرهُ الن‬
Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam,
sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu
mereka juga masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi saw., memerintahkan
Ghailan untuk memilih (mempertahankan) empat diantara mereka. (HR.
Tirmidzi).
2. Ibnu Majah

‫الز ْه ِر ِي َع ْن َس ٍِاِل َع ْن‬


ُّ ‫َح َّدثَنَا ََْي ََي بْ ُن َح ِك ٍيم َح َّدثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر َح َّدثَنَا َم ْع َم ٌر َع ْن‬
‫اَّللُ َعلَْي ِه‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َسلَ َم غَْي ََل ُن بْ ُن َسلَ َمةَ َوََتْتَهُ َع ْش ُر نِ ْس َوةٍ فَ َق‬
ُّ ِ‫ال لَهُ الن‬
َ ‫َِّب‬ ْ ‫ال أ‬ َ َ‫ابْ ِن عُ َم َر ق‬
ِ
.)‫ (رواه ابن ماجه‬. ‫َربَ ًعا‬ ْ ‫َو َسلَّ َم ُخ ْذ م ْن ُه َّن أ‬
3

Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada kami
Muhammad bin Ja’far; telah bercerita kepada kami Ma’mar; dari Az-Zuhri;
dari Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk Islam,
sedangkan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi saw., bersabda
padanya ; “silahkan ambil (pertahankan) empat diantara mereka”. (HR.
Ibnu Majah)
3. Imam Ahmad

َّ ‫الز ْه ِر ِي َع ْن َس ٍِاِل َع ْن أَبِ ِيه أ‬


‫َن غَْي ََل َن بْ َن َسلَ َمةَ الثَّ َق ِف َّي‬ ُّ ‫يل أَ ْخبَ َرََن َم ْع َم ٌر َع ِن‬ ِ ِ
ُ ‫َح َّدثَنَا إ ْْسَاع‬
.‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ا ْختَ ْر ِم ْن ُه َّن أ َْربَ ًعا‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َِّب‬ َ ‫َسلَ َم َوََتْتَهُ َع ْش ُر نِ ْس َوةٍ فَ َق‬
ُّ ِ‫ال لَهُ الن‬ ْ‫أ‬
4 )‫(رواه أمحد‬

2
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz IV (Beirut, Dar al-Fikri, 1995), hlm. 332
3
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz VI,( , Beirut : Dar al-Fikri, 1995), hlm. 85
4
Ahmad, Musnad Ahmad, Juz IX,( Beirut, Dar al-Fikri, 1995), hlm. 416.
Telah bercerita kepada kami Ismail; telah mengkhabarkan kepada kami
Ma’mar dari Az-Zuhri, dari Salim, dari bapaknya, bahwa Ghailan bin
Salamah masuk Islam, dan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi saw.,
bersabda padanya; “pilihlah empat diantara mereka”. (HR. Ahmad)

Secara eksplisit hadits Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad menunjukkan


bolehnya berpoligami dengan ketentuan tidak boleh lebih dari empat. Seandainya
poligami tidak boleh mestinya Nabi memerintahkan Ghailan memilih salah satu
saja dari sepuluh orang istrinya dan menceraikan yang lain. Ini menunjukkan bahwa
batasan maksimal seorang laki-laki yang berpoligami adalah empat orang istri.

Namun, apakah bolehnya berpoligami itu mutlak untuk semua orang tanpa
ada ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi. Apabila kita baca surat An-Nisa’
ayat 3 dan korelasi dengan hasits-hadits lain, seperti hadits tentang pelarangan Ali
yang hendak melakukan poligami, serta ancaman Rasulullah SAW bagi seorang
suami yang tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya sebagaimana tersebut
di atas, maka dapat dipahami bahwa Islam tidak memerintah, apalagi
mewajibkan poligami, dan tidak memberikan kesempatan yang longgar kepada
kaum Muslimin untuk berpoligami. Artinya, seorang yang hendak
berpoligami harus memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.

a. Sababul Wurud & Munasabah

Hadits tersebut di atas, membicarakan tentang Ghailan Ats-Tsaqafi yang


mana sebelum masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Ketika ia masuk Islam
ke sepuluh orang istrinya itu turut masuk Islam bersamanya. Oleh karena dalam
Islam seorang laki-laki tidak boleh beristri lebih dari empat, maka Nabi
menyampaikan hadits di atas. Yakni, menyuruh atau memerintah mempertahankan
empat diantara mereka dan menceraikan yang lainnya.

b. Kualitas Sanad dan Matan


1. Yahya

Nama lengkapnya Yahya bin Adam bin Sulaiman Al-Qursyi al-Amwa, Abu
Zakaria al-Kufi, Mawla khalid bin Khalid bin uqubah bin Abi mui’th. Dari segi
tabaqatnya, ia termasuk sigharu at-tabiin dan wafat 203 H.
Di antara Guru adalah yahya bin zakariya bin abi zaidah, Abi Muawiyah Ad-
dhariiro, Qutbah bin Abdul Aziz. dan murid Ishaq bin Ibrahim bin nashri Al-
bukhari, Yahya Bin Mu’in, Abdah bin Abullah As-shafar dan lain-lain. Dalam
kapasitasnya sebagai rawi hadith, al-hafidh dalam tahdib al-kamal ibn hajar
menyebutnya dengan siqah dan hafidzh fadhil(penghapal utama) dan Az-zahabi
menyebutnya Ahadul A’lam.

2. Malik

Nama lengkapnya Malik At-thai Al-kufi ( Walid khasfi bin Malik). Dari segi
tabaqatnya, ia termasuk Kibar al-Tabi’in. Tahun wafatnya belum dicantumkan. Di
antara Gurunya : Abdullah bin Mas’ud. Muridnya : Khasaf bin Malik
(anaknya)kredibilatasnya : Ibn hajar menilai belum disebutkan (lam yujkaroha) dan
Az-zahabi menyebutnya (la yu’rof) belum diketahui.

3. Ibn Shihab

Nama lengkapnya Ahmar bin Juz’I, dan pendapat lain Ahmar bin Suwai bin Juz’I,
juga pendapat lain Ahmar bin Shihab bin Juz’I bin Sa’labah bin Zaid bin Malik bin
Sunan As-sudusi Ar-rob’i’. beliau termasuk tabaqat As-shohabi. Tahun wafatnya
belum dicantumkan. Gurunya : Beliau langsung berguru kepada Rasulullah seperti
yang disebutkan oleh Al-maji dalam kitab Tahdzibu Al-Kamal Muridnya : Hasan
al-Bashri kredibilitasnya : shohabi

Dilihat dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa drajat hadits utama
di atas adalah hadits mursal. Hal ini dikarenakan sanad tersebut putus di tingkat
sahabat. Pendapat ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam
kitabnya Bidayatul Mujtahid.

Walaupun pada dasarnya hadits ini adalah dhaif dikarenakan sanadnya


terputus, namun kemudian karena didukung hadits lain baik berupa muttabi’
maupun Syahid, maka hadits ini menjadi hasan lighairih. Oleh karena itu
kebanyakan ulama membolehkan untuk memakai hadits tersebut. Berikut biografi
singkat perawi hadits utama.
Secara garis besar, Matan hadits riwayat Malik diatas menceritakan tentang
seorang laik-laki dari Bani Tsaqif yang pada waktu itu dia masuk islam dan dia
mempunyai sepuluh istri. Kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk memilih
empat orang istri dan menyuruh menceraikan lainnya. Perintah tersebut adalah
sebagai bentuk atau aturan dalam perkawinan islam, bahwa kebolehan poligami
bagi setiap laki-laki dibatasi dengan tidak diperbolehkan mempunyai lebih dari
empat istri.

B. Hadis Larangan Poligami


1. Shahih Bukhori

ِ ‫ول‬ ُ ‫قل َِْس ْع‬ ِ


‫هللا‬ َ ‫رس‬
ُ ‫ت‬ َ ‫ث َع ْن اب ِن أيب ُم ْلي َك َة َع ْن امل ْس َوِر ب ِن ََمَْرَم َة‬ُ ‫َحادثَنا قُتَ ْيبةُ حدثَنا الل ْي‬
‫استأ َذنوا ِِف أ ْن‬ ِ ِ َ ‫ول َو ُه َو َعلى املِْن ِرب ان ِبِن ِه‬ ِ
ْ ‫شام ب ِن املُغرية‬ ُ ‫َلم يَ ُق‬
َ ‫صلى هللاُ َع ْليه َو َس‬ َ
‫فَل آذَ ُن مث ََل آذَ ُن مث ََل آذَ ُن إَل أ ْن يري َد ابْ ُن أيب‬ ٍ ‫بن أيب‬
َ ‫طالب‬ ِ ِ
َ ‫ي ْنك ُحوا ابْنتَ ُه ْم َعلي‬
‫ض َعةٌ ِمِن يريبِن َما أرابَ َها ُوي ْؤ ِذيِن َما آذَ َاها‬ ْ ‫يطلق ابْنيت َويَ ْن ِك َح ابْنتَ ُه ْم فإنَا ِه َي ب‬
َ ‫طالب أ ْن‬ ٍ
5
‫قال‬
َ ‫َه َك َذا‬
“Qutaibah bercerita kepada kita, Lais bercerita kepada kita dari Ibnu Abi
Mulaikah dari al-Miswar bin Makhramah berkata: aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda diatas mimbar: “Beberapa keluarga Bani Hisyam
bin al-Mughirah meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin
Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan
mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau
menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu
bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku
juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga. Begitulah
Nabi Bersabda”

2. Shahih Muslim

‫ابن‬ َ ‫ث بْ ِن َس ْع ٍد‬ ِ ‫كَل ُُهَا َعن الل ْي‬ ٍ ‫هللا ب ِن يونس وقُتَ يبةُ بن س ِع‬ ِ ‫أْح ُد بن عب ِد‬
ُ ‫قال‬ ْ َ ‫يد‬ َ ُ ْ َ َ ْ َ ُ َ ْ ‫َحدثَنا‬
‫التي ِم ُّي أن املِ ْس َوَر‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫بن عبَ ْيد هللا ب ِن أيب ُم ْلي َكةَ الْ ُق َرش ُّي‬
ُ ‫ث َحدثَنا َع ْب ُد هللا‬ٌ ‫يونس َحدثَنا ْلي‬
َ

5
Imam Abi Abdillah Muhammad, Shahih Bukhari, Juz 5. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
1992), hlm 489.
‫ول إن بِن‬ ُ ‫لم َعلى املِْن ِرب َو ُه َو يَ ُق‬ ِ ِ َ ‫بن ََمْرمةَ حدثه أنه َِْسع رس‬
َ ‫صلى هللاُ َع ْليه َو َس‬ َ ‫ول الَله‬ ُ َ ُ ُ َ ََ َ
‫فَلذَ ُن هلُ ْم مث ََل آ َذ ُن‬ َ ‫طالب‬ ٍ ‫بن أيب‬ ِ ِ ِ ‫شِام ب ِن املُِغ‬
َ ‫ِه‬
َ ‫استأذَنوين أ ْن ي ْنك ُحوا ابْنتَ ُه ْم َعلي‬ ْ ‫رية‬َ
‫طلق ابْنيت َويَ ْن ِك َح ابْنتَ ُه ْم فِإنَا ابْنيت‬
َ ُ‫طالب أ ْن ي‬ ٍ ‫ابن أيب‬ ِ
ُ ‫هلُ ْم مث ََل آ َذ ُن هلُ ْم إاَل أ ْن َيب‬
6
‫ض َعةٌ ِمِن يريبِن َما رابَ َها َويُ ْؤ ِذيِن َما آ َذ َاها‬ْ ‫ب‬
“Ahmad bin Abdullah bin Yunus bercerita kepada kita, dan Qutaibah bin
Sa’id keduanya berkata dari Lais bin Sa’id, Ibnu Yunus berkata Lais
bercerita kepada kita, Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah Al-Qurasiyy
At-Taimiyy bercerita kepadaku sesungguhnya al-Miswar bin Mukhromah
bercerita kepadanya sesungghunya ia mendengar Rasulullah saw., diatas
mimbar dan beliau bersabda:”Sesungguhnya beberapa keluarga Bani
Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri
mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak a kan mengizinkan
kepada mereka, sekali lagi tidak akan mengizinkan kepada mereka, sungguh
tidak aku izinkan kepada mereka, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau
menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu
bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku
juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”

3. Sunan Tirmidzi

ِ ‫ول‬ ُ ‫قل َِْس ْع‬ ِ


‫هللا‬ َ ‫رس‬
ُ ‫ت‬ َ َ‫ث َع ْن اب ِن أيب ُم ْلي َكةَ َع ْن امل ْس َوِر ب ِن ََمْ َرَمة‬ُ ‫ َحادثَنا قُتَ ْيبةُ حدثَنا الل ْي‬.
‫استأذَنوا ِِف أ ْن‬ ِ ِ َ ‫ول َو ُه َو َعلى املِْن ِرب ان ِبِن ِه‬ ِ
ْ ‫شام ب ِن املُغرية‬ ُ ‫َلم يَ ُق‬
َ ‫صلى هللاُ َع ْليه َو َس‬ َ
‫فَل آ َذ ُن مث ََل آ َذ ُن مث ََل آ َذ ُن إَل أ ْن يري َد ابْ ُن أيب‬ َ ‫طالب‬ٍ ‫بن أيب‬ ِ ِ
َ ‫ي ْنك ُحوا ابْنتَ ُه ْم َعلي‬
‫ض َعةٌ ِمِن يريبِن َما أرابَ َها ُوي ْؤ ِذيِن َما آ َذ َاها‬ ْ ‫يطلق ابْنيت َويَ ْن ِك َح ابْنتَ ُه ْم فإنَا ِه َي ب‬
َ ‫طالب أ ْن‬ ٍ
7
‫قال‬
َ ‫َه َك َذا‬
“Qutaibah bercerita kepada kita, Lais bercerita kepada kita dari Ibn Abi
Mulaikah dari al-Miswar bin Mukhromah berkata, aku mendengar bahwa
nabi bersabda: :”Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-
Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali
bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak
akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi
Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah,
putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku

6
Imam Abi Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz 4 (Beirut : Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 2011),
hlm 110.
7
At-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah, Sunan at-tirmidzi, Juz 5 (Beirut: Dar alKutub al-
‘Ilmiyah, 1992). hlm 665
juga” (Abu ‘Isa berkata hadis ini Hasan Shahih dan sebagaimana Amr bin
Dinar dari Ibn Abi Mulaikah dari al-Miswar bin Mukhromah).

Banyak penafsiran mengapa Nabi Saw melarang putrinya dipoligami Ali bin
Abi Thalib ra adalah putri Abu Jahl bin Hisyam, musuh Allah Swt dan musuh Nabi
Saw. tetapi beberapa penafsiran lain menyebutkan memang karena Nabi Saw tidak
menginginkan putri beliau Fathimah ra dipoligami dengan siapapun, karena
poligami itu menyakiti hatinya, dan yang menyakiti hatinya juga menyakiti hati
Nabi Saw. Karena itu, seperti dinyatakan Ibn Hajar al-‘Asqallani, ada ulam yang
menyatakan bahwa poligami bisa saja dilarang jika bisa menimbulkan kerusakan
dan kezaliman, tentu terhadap perempuan dan anak-anak. (lihat Fath al-Bari,
10/412).

Dari sudut fiqh, sebagai rekaman dari sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan
‘poligami itu sunnah’ juga merupakan reduksi yang sangat besar. Sunnah dalam
bahasa fiqh adalah sesuatu yang jika dilakukan memperoleh pahala, dan jika
ditinggalkan tidak memperoleh dosa. Pelabelan sunnah dengan makna fiqh ini
terhadap poligami adalah sesuatu yang perlu diluruskan. Dalam hal nikah bisa saja,
fiqh menawarkan berbagai predikat hukum tergantung kondisi calon suami, calon
isteri atau kondisi masyarakat; bisa wajib, sunnah, mubah atau sekedar diizinkan.
Bahkan Imam al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani menyatakan bahwa nikah
bisa diharamkan ketika calon suami tahu bahwa dirinya tidak akan bisa memenuhi
hak-hak isterim, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Dalam hal ini,
poligami juga harus dikaitkan dengan situasi sosial, kondisi calon suami dan calon
isteri, tidak sesederhana pernyataan bahwa poligami adalah Sunnah.

Poligami itu sunnah’ adalah penyederhanaan terhadap persoalan yang


sebenarnya kompleks. Sunnah sendiri, atau teks-teks hadis tidak sesederhana
ungkapan tersebut, bahkan fiqh juga mengaitkannya dengan berbagai latar kondisi.
Lebih tepat untuk dikatakan bahwa monogami-poligami dalam karakteristik fiqh
Islam adalah termasuk persoalan parsial, bukan prinsip, yang predikat hukumnya
mengikuti kondisi ruang dan waktu. Prinsipnya adalah keadilan, membawa
kemaslahatan, tidak mendatangkan mudharat dan kerusakan (mafsadah).
a. Asbab al-Wurud

Dalam kitab terjemahan Fathul Baari jilid 25 yang ditulis oleh al-

Hafidz bin Ibn Hajar al-Asqalani ternyata disebutkan bahwa hadis ini

terdapat dalam bab pembelaan seseorang terhadap anak wanitanya dalam

hal kecemburuan dan keadilan, bukan terdapat dalam bab larangan

menikah lebih dari satu. Maksud bab ini adalah dalam rangka menolak

kecemburuan darinya dan meminta perlakuan adil terhadapnya.

Hadist ini turun bersamaan dengan hadis yang membahas tentang

ketetapan seperlima harta rampasan perang dan keutamaankeutamaan,

melalui riwayat az-Zuhri, dari Ali bin al-Husain bin Ali, dari al-Miswar,

dan ditambahkan pada pembahasan tentang seperlima rampasan perang,

kisah tentang pedang Nabi saw. Itu pula latar belakang al-Miswar

menceritakan hadis ini kepada Ali bin al-Husain bin. Ia sudah

menyebutkan persoalan tentang pedang di tempat itu. Hanya saja masih

heran terhadap al-Miswar, bagaimana ia begitu fanatik terhadap Ali bin

al-Husain, hingga ia berkata, “sekiranya pedang diberikan padanya

niscaya ia tidak akan menyerahkan kepada siapapun hingga nyawanya

melayang,”.

Hal ini ia lakukan untuk menghormati Ali bin al-Husain sebagai

cucu Fatimah, secara ia berhujjah dengan hadis ini. Akan tetapi ia tidak

menjaga perasaan Ali bin al-Husain karena konteks hadis ini terdapat hal

yang tidak membuat Ali senang, karena secara dzahir menurunkan derajat

kakeknya (Ali bin Abu Thalib) yang hendak meminang putri Abu Jahal,

untuk dimadukan dengan Fatimah, sampai Nabi saw., harus turun tangan

dan mengingkarinya.
Bahkan menurut al-Asqalani lebih heran lagi terhadap al-Miswar,

bagaimana ia hendak mengorbankan dirinya untuk anak Fatimah sendiri,

maksudnya ketika Ali ditimpa cobaan hingga membawa kepada

pembunuhannya di tangan para penguasa dzalim. Hanya saja, mungkin

sikapnya dapat di legitimasi bahwa ketika Ali keluar menuju Irak, al-

Miswar dan penduduk Hijaz tak menduga peristiwa akan berlangsung

seperti itu. Pada pembahasan tentang ketetapan seperlima rampasan

perang sudah disebutkan letak kesesuaian antara kisah pedang dan

pinangan.

b. Kualitas Sanad dan Matan

Setelah ditemukan dalam berbagai jalur periwayatan, kemudian

dilanjutkan dengan pembahasan mengenai profil dan riwayat hidup

masing-masing para perawi hadis. Sumber penulisan riwayat hidup

perawi diambil dari kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Imam Ahmad bin Ali

bin Hajr al-Asqolaniy.

1. Al-Miswar bin Mukhramah

Nama lengkap beliau adalah al-Miswar bin Mukhramah bin


Naufal bin Uhaib bin ‘Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab, Az-Zuhri.
Ibunya bernama as-Syifa binti ‘Auf, saudara perempuan dari ‘Abd ar-
Rahman bin Auf. Karena beliau adalah generasi sahabat, maka tidak
dipungkiri bahwa beliau pernah meriwayatkan hadis dari Nabi
Muhammad SAW. Selain itu, beliau juga mempunyai guru dan
meriwayatkan hadis dari mereka, diantaranya adalah dari ayahnya,
‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Bakar, Umar bin Khattab, ‘Amr bin ‘Auf,
Usman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, al-Mughirah,
Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, al-Mughirah bin
Su’ban dan lain sebagainya. Dan murid Beliau atau yang pernah
meriwayatkan dari Beliau adalah putrinya yaitu Ummu bakr, Marwan bin
al-Hakim, ‘Auf bin athThufail, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, Said
bin al-Musaib, ‘Abdullah bin Hunain, ‘Abdullah bin Abi Mulaikah, ‘Ali
bin al-Husain, Urwah bin al-Zubair, ‘Amr bin Dinar, Muawiyah bin Abi
Sofyan, dan lainnya.

Pandangan para Ulama tentang beliau adalah beliau mempunyai


umur yang panjang. Menurut Amr bin Ali, al-Miswar dilahirkan di
Makkah setelah Nabi Hijrah pada tahun yang kedua, pada bulan
Dzulhijjah tahun ke-8 Beliau ke Madinah dan wafat di bulan Rabiul akhir
pada tahun ke-64. Maka tidak diragukan lagi bahwa al-Miswar adalah
generasi sahabat dan bertemu dengan Nabi. Dari beberapa riwayat, tidak
ada yang mengatakan ada jarh pada al-Miswar. 8
2. ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abi Mulaikah

Nama lengkap beliau adalah Zuhair bin ‘Abdullah bin Jud’an bin
‘Amr bin Ka’ab bin Sa’id bin Taim bin Murrah al-Qurasyiy at-Taimiy.
Dikatakan oleh Abu Ahmad bahwa Abi Mulaikah adalah seorang qadhi
bagi ‘Abdullah bin az-Zubair dan seorang mua’adzin baginya. Beliau
pernah meriwayatkan hadis dari beberapa sahabat antara lain ‘Abdullah
bin Ja’far bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin al-Saib alMahzumiy, al-Miswar
bin Mukhramah, Abi Mahdzurah, Asma’, A’isyah, Ummu Salamah,
‘Uqbah bin al-Haris, Thalhah bin ‘Ubaidillah (dikatakan pula bahwa
beliau tidak meriwayatkan darinya), ‘Usman bin ‘Affan, Hummaid bin
‘Abdurrahman bin ‘Auf, al-Qasim bin Muhammad, ‘Ibbad bin ‘Abdullah
bin az-Zubair, ‘Urwah bin az-Zubair, ‘Alqamah bin Waqash, kumpulan
dari mereka, ‘Ubaidillah bin Abi Yazid, dan yang meninggal sebelumnya
yaitu ‘Ubaid bin Abi Maryam al-Makiy, ‘Abdurrahman bin Alqamah bin
Waqash, Muhammad bin Qais bin Mukhramah, al-Miswar bin
Mukhramah Yahya bin Hakim bin Shofwan bin Umayyah, Ya’la bin

8
Ibnu Hajar Al Asqalany, Abi al-Fadhl bi ‘Ali. Tahdzib at tahdzib (Kairo : Dar
alHadits, 2010), hlm. 378-379.
Mamlak, Abi Makhdhurah, dari kakeknya Abi Mulaikah, Asma’ binti
Abu Bakar Ash-Shidiq, Asma’ binti ‘Abdurrahman bin Abi Bakar ash-
Shidiq. Selain itu beliau juga meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah dan
Ummu Salamah.

Beberapa yang meriwayatkan dari beliau adalah putranya yaitu


Yahya, putra saudara perempuannya yaitu ‘Abdurrahman bin Abi Bakr,
‘Atha’ bin Abi Rabah yaitu orang yang selalu bersamanya, Hummaid at-
Thawil. Selain itu, beliau juga mempunyai murid yang pernah
meriwayatkan hadis dari beliau, yaitu diantaranya adalah ‘Abdul ‘Aziz
bin Rufai’, ‘Amr bin Dinar, Abu at-Tayyah, Ayub, Jarir bin Hazim,
‘Usman bin Abi al-Aswad, Abu Yunus hatim bin Abi Shaghirah, Habib
bin al-Syahid, ‘Abdullah bin ‘Usman al-Khutsaim, Ibnu Juraih, ‘Abdul
Wahid bin Aiman, ‘Ubaidillah bin al-Akhnas, Abu al-‘Umais al-
Mas’udiy, ‘Umar bin Sa’id bin Abi Husain, Yazid bin ibrahim atTustariy,
Nafi’ bin ‘Umar al-Juma’iy, Abu Hilal al-Rasabiy, al-Laits, ‘Imran bin
Anas al-Makiy, dan lainnya.

Pandangan para Ulama’ tentang beliau adalah menurut Abu Zur’ah


dan Abu Hatim, Abi Mulaikah adalah seorang perawi yang tsiqqah.
Menurut Bukhari, Abi Mulaikah meninggal pada tahun ke-117. Didalam
Bukhari dikatakan bahwa Abi Mulaikah pernah bertemu dengan 30
Sahabat. Menurut Ibn Sa’id ada beberapa perawi yang tergolong perawi
tsiqqah, salah satunya yaitu ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin
Abi Mulaikah. Oleh al-‘Ajali mengatakan bahwa Abi Mulaikah adalah
ahli Makah, termasuk golongan Tabi’in dan tsiqqah. Ibnu Hibban berkata
dalam pandangan ketsiqqahannya Abi Mulaikah bahwa benar karena Abi
Mulaikah bertemu 80 dari sahabat nabi, meninggal tahun 17 M (menurut
Ibn Qani’ 18 M). jika dilihat dari beberapa pandangan dan pendapat para
ulama tentang beliau, maka tidak diragukan lagi akan hadisnya.9

3. Al-Laits

Nama lengkap beliau adalah al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahman


al-Fahmi yang mendapat julukan Abu al-Harits. Beliau adalah guru besar
di negeri Mesir. Ia dilahirkan di Qarqansyad pada tahun 94 H beliau
adalah orang kaya dan dermawan. Beliau wafat pada tahun 175 H. Beliau
pernah belajar dan meriwayatkan hadis dari beberapa tabi’in dan para
perawi diantaranya adalah Nafi’, Ibnu Abi Mulaikah, Yazid bin Abi
Habib, Yahya bin Sa’id al-Anshariy dan saudara laki-lakinya, Ibnu
‘Ajlan, az-Zuhry, Hisyam bin ‘Urwah, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Bukair bin
al-Asyj, al-Harits bin Ya’qub, Abi ‘Aqil Zahrah bin Ma’bad, Sa’id al-
Maqburi, ‘Abdurrahman bin al-Qasim, Qatadah, ‘Ubaidillah bin Umar,
Musa bin ‘Ali bin Rabah, Yazid bin al-Had, Abi az-Zubair al-Makki,
Ibrahim bin Abi ‘Ablah, Ayub Bin Musa, Ibrahim bin Nasyith, Ja’far bin
Rabi’ah, ‘Ubaidillah bin Abi Ja’far, Abi Qabil, Hakim bin ‘Abdullah bin
Qais, Hunain bin Abi Hakim, al-Hasan bin Tsauban, Kholid bin Yazid al-
Misriy, dan beberapa perawi yang lain. Tidak hanya berhenti pada beliau,
namun hadis-hadis dari beliau banyak orang yang meriwayatkan.
Beberapa diantaranya adalah muridmurid beliau seperti Syu’aib,
Muhammad bin ‘Ajlan, Hisyam bin Sa’ad, Ibnu Luhai’ah, Husyaim bin
Basyir, Qais bin ar-Rabi’, ‘Atthaf bin Khalid, Ibnu al-Mubarak, Ibnu
Wahbi, Marwan bin Muhammad, Abu an-Nadhr, al-Walid bin Muslim,
Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad, Yunus bin Muhammad bin al-Muaddib,
Yahya bin Ishaq, ‘Ali bin Nashr, Abu Salamah al-Khuza’iy, al-Hasan bin
Sawar, Hujain bin al-Mutsanna, ‘Abdullah nim Nafi’ al-Shaigh,
‘Abdullah bin ‘Abdul Hakim, Muhammad bin al-Haris bin Rasyid al-
Misriy, dan beberapa yang lainnya. Selain itu, ada pula Hajjaj bin

9
Ibnu Hajar Al Asqalany, Tahdzib at tahdzib..., hlm. 78
Muhammad, Zaid bin Yahya bin ‘Ubaid, Asyhab bin ‘Abdul ‘Aziz, Daud
bin Manshur, Sa’id bin Sulaiman, Adam bin Abi ‘Ibas, Sa’id bin Abi
Maryam, Sa’id bin Syurahbil, ‘Abdullah bin Yusuf at-Tinisiy, ‘Abdullah
bin Yazid alMaqraiy, Yahya bin ‘Abdullah bin Bukair, al-Qasim bin
Katsir al-Iskandaraniy, Ahmad bin ‘Abdillah bin Yunus, Qutaibah bin
Sa’id, Muhammad bin al-Harits bin Rasyid al-Mishriy, ‘Isa bin
Khammad bin Zughbah dan yang lainnya. Imam Bukhari dan Muslim
banyak meriwayatkan hadis darinya.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Asy-Syafi’I, Sufyan ats-Tsauri,
alAjli dan kebanyakan para ulama menganggapnya tsiqqah. Imam Syafi’I
pernah mengatakan bahwa al-Laits lebih ahli daripada Malik dalam hal
fiqh. Imam Malik sendiri setiap kali menyebutkan dalam kitabnya bahwa
“telah diceritakan kepadaku oleh orang ahli ilmu”, dan yang
dimaksudkan adalah al-Laits bin Sa’ad.
Banyak para ulama yang berpandangan dan mengatakan bahwa
alLaits bin Sa’ad adalah shuduq dan tsiqqah. Ulama yang berpadangan
demikian antara lain yaitu Ibnu Khirasy, Abu Zur’ah, Ya’qub bin
Syaibah, Yahya bin Bukair dan ‘Amr bin ‘Ali. Sedangkan menurut Harun
bin Sa’id bahwa al-Laits bin Sa’ad mempunyai pengetahuan ilmu yang
luas. Menurut Ibn al-Madiniy bahwa al-Laits adalah tsiqqah subutun.
menurut pandangan al-‘Ajali bahwa al-Laits adalah seorang ahli Mesir
yang tsiqqah. Pandangan an-Nasa’I pun demikian, bahwa alLaits adalah
tsiqqah. Dan beberapa pandangan ulama tidak ditemukan ada jarh pada
al-Laits.
Al-Laits sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi bahwa beliau
selalu menjauhi tadlis dalam periwayatannya. Para ulama telah
menetapkan bahwa sanad paling shahih di Mesir adalah yang
diriwayatkan oleh al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi Habib. Al-Laits
lahir pada tahun 92 H dan wafat pada tahun 176 H/ 177 H, dan qaul yang
pertama yang dibenarkan. 10
4. ‘Isa Bin Khammad

Nama lengkap beliau adalah ‘Isa bin Khammad bin Muslim bin

‘Abdullah at-Tajibiy. Beliau mendapat julukan Abu Musa dari Mesir.

Beliau adalah saudara laki-laki dari Ahmad bin Khammad dan beliau

adalah penguasa dari Bani Sa’ad.

‘Isa Bin Khammad adalah seorang tabi’it tabi’in. Beliau banyak

meriwayatkan hadis dari beberapa tabi’in dan beberapa gurunya, antara

lain yaitu al-Laits bin Sa’ad, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Risydin

bin Sa’ad, Sa’id bin Zakariya bin al-Adam, Ibnu Wahab, Ibnu Qasim dan

perawi tsiqqah lainnya.

Selain guru dari ‘Isa Bin Khammad, beliau juga mempunyai murid

yang sering meriwayatkan hadis dari beliau yaitu diantaranya yang

mempunyai kitab hadis yakni Muslim, Abu Daud, an-Nasai, dan Ibnu

Mjjah. Selain itu, beliau juga mempunyai murid diantaranya adalah

‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakim, al-Bujairi, Abu Hatim,

‘Abdan al-Ahwazi, Abu Zur’ah, anak saudara laki-lakinya yaitu

Muhammad bin Ahmad bin Khammad bin Zughbah, Baqi bin Makhlad,

al-Ma’muri, Abu al-Laits ‘Asim bin Razah, Ahmad bin Abdul Warits bin

jarir al-‘Asal, Abu Bakr bin Abi Daud, Muhammad bin al-Hasan bin

Qutaibah, Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman al-Baghandi,Musa

bin Sahl Abu ‘Imran al-Jauni, Ahmad bin ‘Isa alWasa’, Muhammad bin

al-Hasan bin Qutaibah al-Asqalaniy, dan yang lainnya.

Banyak pendapat dan pandangan ulama mengenai beliau adalah

bahwa ‘isa bin Khammad adalah seorang tsiqqah. Beberapa yang


10
Ibnu Hajar Al Asqalany, Tahdzib at tahdzib..., hlm. 92-96.
mengatakan demikian adalah Abu Hatim, An-Nasa’I, dan begitu pula

menurut Ibnu Hibban karena beliau menyebutkan ‘Isa bin Khammad

dalam kitabnya ats-Tsiqqah. Menurtu Abu Daud dan ad-Daruquthni, ‘Isa

bin Khammad Laa ba’tsa bih. Menurut Ibnu Yunus, ‘Isa bin Khammad

meninggal pada bulan dzulhijjah tahun 248 H. Sedangkan menurut Ibnu

Hibban terdapat sedikit perbedaan, yaitu beliau wafat pada tahun 249 H.11

5. Hasyim Bin Al-Qasim

Nama lengkap beliau adalah Hasyim bin al-Qasim bin Muslim bin
Miqsam al-Laitsi al-Baghdadi. Beliau berasal dari Khurasan, keturunan
bani Laits bin Kinanah. Menurut at-Tamimi, Hasyin bin al-Qasim
mempunyai laqab (julukan) Kaisar. Beliau adalah putra dari Abi Bakr bin
Abi an-Nadhr. Beliau sering meriwayatkan hadis dari beberapa guru
beliau, diantaranya adalah ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Hariz bin ‘Ustman,
Waraqa’bin Umar, ‘Abdurrahman bin Tsauban, ‘Abdurrahman bin
‘Abdillah bin Dinar, Zuhair bin Mu’awiyah, Sulaiman, ‘Abdullah
alAsyja’I, ‘Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah al-Majisun, al-Laits, Abi Ja’far
ar-Razi, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Dzi’b, Abi Sa’id Muhammad
bin Muslim bin Abi Al-Wadhah al-Muaddib, Murja bin Raja’, Najih bin
Abi Ma’syar al-madaniy, Waraqa’ bin ‘Umar alYasykariy, al-Walid bin
Jamil, Abi Ishaq al-Asyja’iy, Abi Ja’far ar-Raziy, Abi ‘Aqil ats-Tsaqafiy,
Abi ‘Aqil, Abi Malik an-Nakha’iy dan yang lainnya. Selain guru dari
beliau, beliau juga mempunyai murid yang sering meriwayatkan hadis
dari beliau, yakni Abu Bakr bin Abi an-Nadhr, Ahmad bin Hanbal, Ishaq
bin Rahawiyah, ‘Ali bin al-Madiniy, Yahya bin Ma’in, ‘Abdullah bin
Muhammad al-Musnadi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Abu Khaitsamah,
Harun al-Hamal, Mahmud bin Ghailan, ‘Abdurrahman bin Muhammad
bin Sallam ath-Tharsusiy, ‘Amr anNaqd, Muhammad bin Rafi’ an-

11
Ibnu Hajar Al Asqalany, Tahdzib at tahdzib..., hlm. 527-528.
Naisaburiy, Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Munadi, Makhlad bin Malik
al-Jamal, Ya’qub bin Syaibah as-Sadusiy, Ibrahim bin ya’qub al-Juzjaniy,
Ahmad bin Khalil al-Burjulaniy, dan lain sebagainya. Pandangan para
ulama mengenai beliau adalah perawi yang tsiqqah, menurut ‘Usman bin
Sa’ad ad-Daramiy. Begitu pula menurut ‘Ali bin al-Madiniy, Muhammad
bin Sa’ad dan Hatim bahwa beliau adalah perawi yang tsiqqah. Beliau
lahir pada tahun 134 H menurut ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan
wafat pada tahun 207 H menurut riwayat al-Harits bin Abi Usamah. 12
6. Qutaibah

Nama lengkap beliau adalah Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin
Tharif bin ‘Abdillah al-Tsaqafiy, beliau mendapat julukan Abu Raja’ al-
Baghlaniy. Baghlan adalah salah satu desa dari Qura Balkh. Menurut Abu
Ahmad bin ‘Adi, nama Qutaibah adalah sebuah laqab dan nama aslinya
adalah yahya. Sedangkan menurut Abu ‘Abdullah bin Mandah, nama asli
Qutaibah adala ‘Ali. Adapula yang berkata bahwa Qutaibah adalah
saudara laki-laki dari Qudaid bin Sa’id. Beliau banyak berguru dalam
bidang hadis. Beberapa guru yang pernah beliau riwayatkan hadisnya
adalah dengan Ibrahim bin Sa’id al-Madaniy, Ishaq bin ‘Isa a-Qusairi bin
Bintu Daud bin Abi Hindun, Malik, al-Laits, Ibnu Lahi’ah, Risydin bin
Sa’id, Daud bin ‘Abdurrahman al-‘Aththar, Khalaf bin Khalifah,
‘Abdurrahman bin Abi al-Mawal, Bakr bin Mudhar, Mufadhdhal bin
Fadhalah, ‘Abdul Waris bin Sa’id, Khammad bin Zaid, ‘Abdulah bin Zaid
bin Aslam, ‘Abdul ‘Aziz al-Daruwardhi, Ismail bin Abi Uwais, Isma’il
bin Ja’far,Ismail bin ‘Ulayyah, Abi Dhamrah Anas bin ‘Iyadh, Khalid bin
Ziyad at-Tirmidziy, Khalid bin ‘Abdullah al-Wasithiy, Rifa’ah bin Yahya
az-Zuraqiy, Salim bin Nuh, Sa’id bin Sulaiman al-Wasithiy, Shafyan bin
‘Isa az-Zuhriy, Abi Zubaid ‘Abtsar bin al-Qasim, ‘Abdullah bin Idris,

12
Ibnu Hajar Al Asqalany, Tahdzib at tahdzib..., hlm. 738-379.
‘Abdullah bin al-Mubarok, ‘Umar bin Harun al-Balkhiy, ‘Amr bin
Muhammad al-‘Anqaziy, dan lainnya.

Selain berguru, beliau juga pernah mempunyai murid yang


meriwayatkan hadis dari beliau. Diantara murid-murid beliau adalah
perkumpulan para imam kecuali imam Ibnu Majah, Ibrahim bin Ishaq al-
Harbiy, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Sa’id ad-Daramiy dalam rijal dari
hadis riwayat Tirmidzi. Dalam rijal hadis riwayat an-Nasa’I beliau
mempunyai murid Ahmad bin Sayyad al-Marwaziy, Ahmad bin
‘Abdurrahman bin Bassyar an-Nasa’I, Abu Hamd Ahmad bin Qudamah
bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Furaqad al-Balkhiy, Abu Muhammad
Ishaq bin Ibrahim bin Isma’il al-Busti al-Qadhi, Abu Ya’qub bin Ishaq
bin Ibrahim bin Nasr al-Busti an-Naisaburiy, Ishaq bin Abi ‘Imran al-
Asfaradiniy as-Syafi’iy, Ja’far bin Muhammad bin al-Hasan al-Firyabiy,
dan lainnya. Dalam rijal hadis riwayat Ibnu Majah, beliau mempunyai
beberapa murid diantaranya adalah Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb,
‘Abbas bin Abdul ‘Adzim al-‘Anbariy, ‘Abdullah bin Ahmad bin
Syibbawaih al-Marwaziy, ‘Abdullah bin azZubair al-Humaidiy, dan yang
meninggal sebelum beliau seperti ‘Abdan bin Muhammad bin ‘Isa al-
Marwaziy al-Hafidz, Abu Zur’ah ‘Ubaidillah bin ‘Abdul Karim ar-Raziy,
dan lainnya. Serta yang lainnya yang pernah meriwayatkan hadis dari
beliau adalah Musa bin Harun bin ‘Abdullah al-Hammal, ayahnya yaitu
Harun bin ‘Abdullah al-Hammal, Yahya bin ‘Abdul Humaid al-
Himmaniy dan yang mati sebelumnya, Yahya bin Ma’in dan yang maati
sebelumnya, Ya’qub bin Syaibah as-Sadusiy, dan Yusuf bin Musa al-
Qaththan.Pandangan para ulama tentang Qutaibah adalah salah satunya
menurut riwayat Ahmad bin Abi Khaitsamah mengatakan bahwa
Qutaibah adalah tsiqqah. Ditambahkan oleh riwayat an-Nasa’I bahwa
beliau shuduq, begitu pula menurut Ibn Khirasy. Menurut Abu Daud,
Qutaibah datang ke Baghdad ketika berumur 16 tahun yang kemudian
disusul oleh Ahmad dan Yahya. Dan setelah diteliti tentang sejarah
hidupnya, tidak ada ulama ynag meriwayatkan ada jarh dalam diri dan
kehidupan Qutaibah. Dengan demikian Qutaibah dapat dikatakan sebagai
perawi yang tsiqqah dan shuduq. Tidak diragukan lagi hadis yang dibawa
oleh Qutaibah. 13

7. Ahmad bun Yunus

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin ‘Abdullah bin Yunus bin
‘Abdullah bin Qais at-Tamimiy al-Yarbu’iy. Julukan beliau adalah Abu
‘Abdillah al-Kufi. Nasab beliau kepada kakeknya, dan beliau adalah anak
dari ‘Abdillah bin Ahmad bin Yunus.

Ahmad bin Yunus adalah seorang yang haus akan ilmu. Beliau
memiliki banyak guru terutama dalam bidang hadis. Beliau banyak
meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya, antara lain Ibrahim bin Sa’id,
dan Israil bin Yunus, Ismail bin ‘Ayasy, Al-Hasan bin Shalih al-haiy,
Hafs bin Ghiyats, Zaidah bin Qudamah ats-Tsaqafi, Zuhair bin Muawiyah
al-Ju’fi, ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, ‘Asim bin Muhammad, Ibnu Abi
Zannad, al-Laits, Malik, ‘Ashim bin Umar bin Zaid bin ‘Abdullah bin
Umar bin al-Khattab, ‘Abdurrahman bin Zanad, ‘Abdul Aziz bin
‘Abdullah bin Abi Salamah al-Majisyun, Fudhai bin ‘Iyadh, Qais bin ar-
Rabi’ al-Asadi, Laits bin Sa’d alMisriy, Malik bin Anas, Muhammad bin
Rasyid al-Ma’huliy, dan lainnya.

Selain beberapa guru, Ahmad bin Yunus juga mempunyai banyak


murid yang meriwayatkan hadis beliau. Diantara para murid beliau yang
meriwayatkan hadis darinya adalah diantaranya Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Hajjaj bin asy-
Sya’ir, ‘Abd bin Humaid, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Sha’iqah, Yusuf bin
Musa, al-Harits bin Abi Usamah, Isma’il Sammuwaih, Ishaq al-Harbiy,
Sa’id bin Marwan al-Baghdadi Nazil Naisaburi, al-‘Abas bin al-Fadhl al-

13
Ibnu Hajar Al Asqalany, Tahdzib at tahdzib..., hlm. 661-663.
Ashfathiy, Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah,
Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Muhammad bin an-Nu’man bin ‘Abd as-
Salam al-Ashfahaniy, alBaqun, ‘Abd bin Humaid al-Kasyiy, Yusuf bin
Musa bin Rasyid alQaththan, dan yang lainnya.

Pandangan ulama tentang beliau diantara yaitu dalam riwayat


alFadhl bin Ziyad al Qaththan disebutkan bahwa Ahmad bin Yunus
adalah seorang Syeikh al-Islam, Guru agama Islam. Menurut Abu Hatim
dalam riwayat Sufyan ats-Tsauri dikatakan bahwa Ahmad bin Yunus
tsiqqah muttaqin. Oleh an-Nasa’I menerangkan bahwa Ahmad bin Yunus
perawi yang tsiqqah. Menurut keterangan Bukhari bahwa Ahmad bin
Yunus meninggal di Kuffah pada buan Rabiul akhir tahun 217 M malam
Jum’at dan beliau tengah berumur 94 tahun, sebagaimana ynag
diriwayatkan oleh al-Baqun.14

Berdasarkan penelusuran sanad yang dilakukan, dari keenam jalur


isnad diatas dapat dipastikan sanadnya bersambung. Hal tersebut terbukti
dengan adanya tahun wafat dari masing-masing perawi. Kalaupun ada
beberapa riwayat hadis yang perawinya terpaut jauh umurnya, tahdzib
attahdzib menginformasikan tentang pertemuan mereka.

bila ditinjau dari segi matannya ditemukan adanya penyendirian,


yakni matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari berbeda dengan matan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad bin Hanbal, Ibnu
Majah, Tirmidzi, dan Abu Daud. Di mana dalam hadis riwayat Bukhari
bukan kata ‫ ا ْستَأذنُون‬seperti riwayat Imam yang lainnya, melainkan lafadz
‫ اسْتأذَن وا‬yang beliau riwayatkan. Oleh karena itu, maka hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari bisa disebut musnad pada sandnya dan gharib
pada matannya.

C. Pendapat Ulama Tentang Poligami

14
Ibnu Hajar Al Asqalany, Tahdzib at tahdzib..., hlm. 91-92.
1. Ulama yang mendukung poligami
Umumnya ulama klasik tidak mempersoalkan kebolehan berpoligami.
Mereka berselisih misalnya mengenai jumlah perempuan yang boleh dinikahi laki-
laki dalam waktu bersamaan. Pertama, ulama Zhahiriyah, Ibnu al-Shabbâgh, al-
`Umrânî, al-Qâsim ibn Ibrâhîm, dan sebagian kelompok Syiah yang berpendapat,
poligami bisa dilakukan dengan lebih dari empat perempuan.
menurut mereka, jika benar Nabi pernah meminta beberapa sahabatnya untuk
menceraikan istri-istrinya yang banyak dan menyisakan empat istri saja, maka itu
harus dipahami konteksnya. Boleh jadi, menurut mereka, Nabi meminta
menceraikannya itu karena ada sebab syar’i, misalnya karena ada hubungan nasab
dan hubungan susuan yang menjadi penghalang untuk menikahi perempuan-
perempuan itu. Namun, mereka tidak menunjukkan bukti tentang adanya sebab-
sebab yang menghalangi pernikahan para sahabat Nabi dengan banyak perempuan
itu. Mereka hanya berkata demikian: Boleh jadi Rasulullah Saw. menyuruh
mengambil empat istri dan menceraikan yang lainnya karena mengumpulkan
mereka secara keseluruhan tidak dimungkinkan, karena adanya kesamaan nasab
atau hubungan susuan.15

Kedua, jumhur ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat


diperbolehkan dalam batas maksimal 4 istri. Di samping merujuk pada kata rubâ’
dalam surah al-Nisâ‟ , juga berlandaskan hadis Nabi yang menginstruksikan
Ghaylân ibn Salamah al-Tsaqafî al-Dimasyqî untuk menceraikan 6 orang istrinya
dan hanya mengambil 4 perempuan sebagai istrinya. Nabi juga meminta Nawfal
ibn Mu‟âwîyah yang memiliki 5 orang istri untuk menceraikan satu istrinya dan
hanya mengambil empat istri saja. Qais ibn al-Hârits ketika baru masuk Islam
memiliki 8 istri. Dia juga diminta Nabi untuk tetap dengan 4 istri dan menceraikan
yang lain.26 Di samping surah al-Nisâ‟ ayat 3, tiga hadis itu juga dijadikan dasar
jumhur ulama untuk membatasi jumlah maksimal istri menjadi empat.

2. Pendapat yang Menengahi Poligami

15 al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr, Juz V (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), , hlm. 182.
Kelompok kedua ini mengemukakan beberapa hal, pertama, Pernikahan
Nabi yang lebih dari empat orang perempuan dianggap sebagai salah satu
kekhususan bagi Nabi Muhammad saw. (khushûsîyât al-nabîy). Artinya,
pernikahan Nabi dengan lebih dari empat perempuan itu tidak bisa diteladani oleh
umat Islam. Itu tidak mengikat bagi umat Islam. Sebab, ada beberapa hal yang
mengikat kepada Nabi Muhammad Saw. secara terbatas tapi tidak mengikat kepada
umat Islam secara luas. Ibn Katsîr mengutip pendapat al-Syâfi‟î berkata:

Al-Syâfi‟î berkata, sunah Rasulullah yang bersumber dari Allah


menunjukkan bahwa selain Rasulullah tidak dibolehkan bagi seorang laki-laki
mengumpulkan empat perempuan dalam satu ikatan pernikahan. Inilah yang
dikatakan al-Syâfi‟î yang kemudian menjadi konsensus di kalangan ulama.16
Kelompok kedua ini masih memiliki kemiripan pendapat dengan kelompok
pertama menyangkut dimungkinkannya dan dibolehkannya laki-laki (suami)
menikah lebih dari satu orang istri dengan catatan mampu dan dapat berlaku adil.
Demikian pentingnya keadilan ditegakkan dalam keluarga poligami, Muhammad
Thâhir ibn „Âsyûr berkata:

Jika poligami tidak tegak di atas fondasi keadilan, maka bangunan keluarga
akan rusak, fitnah dalam keluarga tidak terelakkan. Istri-istri akan membangkang
pada suaminya. Anak-anak akan mendurhakai ayahnya dengan menyakiti istri-istri
dan anak-anak ayahnya yang lain.30
3. Ulama yang menolak Poligami

Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Muhammad Rasyîd Ridlâ dalam


Tafsîr al-Manâr, adalah ulama modern yang keras menolak poligami. Sebab,
menurutnya, di dalam poligami terkandung kemafsadatan. Poligami bisa
dibolehkan jika kondisinya sudah sangat darurat, tapi tetap dijalankan dengan
prinsip keadilan. Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Muhammad Rasyîd
Ridlâ, menyatakan demikian:

16 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999), hlm. 508.
Siapa yang merenungkan dua ayat tersebut (QS. An-Nisâ‟ [4]: 3 & 129),
maka ia akan tahu bahwa ruang kebolehan berpoligami dalam Islam adalah ruang
sempit. Seakan-akan ia merupakan suatu darurat yang hanya bisa dibolehkan bagi
yang membutuhkannya dengan syarat yang bersangkutan diyakini bisa
menegakkan keadilan dan tidak mungkin melakukan kezaliman. Jika setiap orang
merenungkan kemafsadatan yang ditimbulkan dari poligami, maka jelas; tidak
seorang pun bisa mendidik masyarakat yang di dalamnya telah menyebar praktik
poligami. Betapa satu rumah yang dihuni satu suami dengan dua istri, kondisinya
tidak akan stabil. Aturan pun tidak akan berjalan. Suami bahu-membahu dengan
para istrinya menghancurkan rumah tangga itu. Setiap anggota dalam rumah tangga
itu akan menjadi musuh bagi anggota yang lain. Anak-anak juga akan saling
bermusuhan, satu dengan yang lain. Kemafsadatan poligami akan berpindah dari
individu ke individu lain dalam rumah tangga. Dari rumah tangga yang rapuh itu
kemafsadatan terus menjalar dan bergerak membentuk masyarakat yang juga
rapuh. Itulah yang dikatakan Muhammad „Abduh dalam pelajaran pertama terkait
tafsir ayat itu. Sedangkan pada pelajaran kedua, ia menegaskan lagi bahwa ruang
kebolehan berpoligami itu adalah ruang sempit. Persyaratan persyaratan yang
ditetapkan di dalamnya akan sulit untuk dipenuhi. Jika demikian kondisinya,
seakan-akan poligami itu memang terlarang. Juga telah dikatakan sebelumnya,
haram bagi seorang laki-laki untuk berpoligami jika ia tahu bahwa dirinya tidak
bisa berbuat adil buat istri-istrinya.17

Cukup jelas pandangan „Abduh tentang poligami. Dalam perkembangannya,


apa yang dikemukakan „Abduh tersebut diikuti oleh murid-murid dan para
pengikutnya. Qâsim Amîn adalah salah satu pengikut „Abduh yang cukup tegas
menolak poligami. Ia berkata demikian:

Cukup jelas, poligami sangat merendahkan perempuan. Anda tidak akan


menjumpai seorang perempuan yang rela berbagi suami dengan perempuan lain,

17 Muhammad Rasyîd Ridlâ, Tafsîr al-Qur’ân alHakîm, Juz IV (Beirut: Dâr al-Kutub al-

„Ilmîyah, 1999), hlm. 284-285.


sebagaimana anda tidak akan menjumpai seorang laki-laki yang rela berbagi istri
dengan laki-laki lain... Dalam kondisi bagaimana pun, setiap perempuan yang
menghargai dirinya sendiri pasti akan sakit hati ketika melihat suaminya punya
“hubungan khusus” dengan perempuan lain. Dari Al-Qur‟an (an-Nisâ‟ 4]: 3) jelas
bahwa Allah mengaitkan wajibnya mengambil satu istri dengan alasan; suami tidak
bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Lalu ditegaskan (melalui QS. An-Nisâ‟ [4]:
129) bahwa keadilan dimaksud di luar kemampuan manusia. Maka siapakah yang
bisa berbuat adil ketika sudah ditetapkan bahwa keadilan itu tidak akan bisa
dicapai. Seandainya orang yang merenungkan dua ayat itu mengambil hukum
tentang keharaman poligami, maka hukum itu tidak akan jauh dari substansi dua
ayat itu sekalipun hadis dan dan apa yang dipraktikkan Nabi telah datang dengan
membuka kemungkinan bolehnya berpoligami.18
Apa yang dikemukakan Qâsim Amîn tersebut paralel dengan apa yang
dikemukakan „Abduh. Poligami harus dijadikan sebagai pintu darurat. Qâsim
Amîn memberikan dua contoh yang menyebabkan laki-laki boleh melakukan
poligami. Pertama, ketika perempuan (istri pertama) mengidap satu penyakit yang
menyebabkan yang bersangkutan tidak bisa menjalankan tugas-tugasnya sebagai
seorang istri. Kedua, ketika istri pertama mandul, tidak bisa memiliki anak.

Dari sudut fiqh, sebagai rekaman dari sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan
‘poligami itu sunnah’ juga merupakan reduksi yang sangat besar. Sunnah dalam
bahasa fiqh adalah sesuatu yang jika dilakukan memperoleh pahala, dan jika
ditinggalkan tidak memperoleh dosa. Pelabelan sunnah dengan makna fiqh ini
terhadap poligami adalah sesuatu yang perlu diluruskan. Dalam hal nikah bisa saja,
fiqh menawarkan berbagai predikat hukum tergantung kondisi calon suami, calon
isteri atau kondisi masyarakat; bisa wajib, sunnah, mubah atau sekedar diizinkan.
Bahkan Imam al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani menyatakan bahwa nikah
bisa diharamkan ketika calon suami tahu bahwa dirinya tidak akan bisa memenuhi
hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Dalam hal ini,

18 Qâsim Amîn, Tahrîr al-Mar’ah wa al-Mar’ah alJadîdah (Kairo: Al-Markaz al-„Arabî


li al-Bahts wa al-Nasyr, 1984), hlm. 152-153 & 108-109.
poligami juga harus dikaitkan dengan situasi sosial, kondisi calon suami dan calon
isteri, tidak sesederhana pernyataan bahwa poligami adalah sunnah.19

Poligami itu sunnah’ adalah penyederhanaan terhadap persoalan yang


sebenarnya kompleks. Sunnah sendiri, atau teks-teks hadis tidak sesederhana
ungkapan tersebut, bahkan fiqh juga mengaitkannya dengan berbagai latar kondisi.
Lebih tepat untuk dikatakan bahwa monogami-poligami dalam karakteristik fiqh
Islam adalah termasuk persoalan parsial, bukan prinsip, yang predikat hukumnya
mengikuti kondisi ruang dan waktu. Prinsipnya adalah keadilan, membawa
kemaslahatan, tidak mendatangkan mudharat dan kerusakan (mafsadah).

D. Penyelesain Muktalif Hadis Tentang Poligami


Setelah menelaah beberapa pendapat ulama di atas penulis mengambil
metode al-Jam’u wa Taufik, untuk menyimpulkan hadis- hadis di atas dengan
bebarapa alasan:
1. Penulis menemukan beberapa syarat yang membolekan dan melarang
poligami.
2. Sebagian ulama meyatakan Poligami bisa dibolehkan jika kondisinya sudah
sangat darurat, tapi tetap dijalankan dengan prinsip keadilan.
3. Jumhur ulama tidak menghukumi sunah atau tidaknya poligami karena tidak
ada nahs yang mutlak.

19
Manshur Zuhri, MAg, Membaca kembali Sunnah Poligami, (Modul Perkuliahan Hadits
Ahkam PMH-V), hlm. 7
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Bunyi hadis tentang larangan poligami terdapat dalam 3 kitab yaitu

Sahih Muslim, Sahih Bukhari, Sunan Tirmidzi, dan yang

membolehkan poligami terdapat dalam 3 kitab yaitu Sunan At-

Tarmudzi dan Sunan Ibnu Majah.

2. ada tiga pandangan ulama terkait poligami.

Pertama, ulama yang membolehkan poligami dengan batas

maksimal sembilan istri sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad saw.

Hadis yang melarang sejumlah sahabat Nabi untuk menikah lebih dari

empat istri harus dilihat dalam satu konteks. Mungkin karena hubungan

nasab, hubungan susuan, dan sebab syar`i lain, maka Nabi meminta

sejumlah sahabat yang menikahi banyak perempuan itu untuk

menceraikan hingga tersisa empat istri. Ulama yang berpendapat

demikian, di antaranya, adalah Zhahiriyah, Ibn alShabbâgh, al-`Umrânî,

al-Qâsim ibn Ibrâhîm, dan sebagian kelompok Syiah.

Kedua, ulama yang menoleransi praktik poligami dalam kondisi

darurat. Darurat yang dimaksud, di antaranya, adalah: istri mandul

sehingga tidak bisa melahirkan keturunan, istri mengidap penyakit

permanen yang menyebabkan istri tidak bisa menjalankan kewajibannya

sebagai istri. Menurut Abduh dan Qâsim Amîn, dua darurat itu bisa

menjadi alasan suami untuk berpoligami. Sementara al-Marâghî dan

Shihab menambahkan

daftar darurat tersebut, seperti libido suami tinggi sementara libido

istri rendah, istri menopause sementara suami masih “segar”, jumlah


perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki. Namun, ulama ini tidak

berpikir jika kondisi sebaliknya yang terjadi; suami mandul, suami

mengidap sakit permanen, suami mengalami andropause, jumlah laki-laki

lebih banyak dari jumlah perempuan.

Ketiga, para pemikir Islam yang hanya menoleransi poligami pada

zaman Nabi. Toleransi ini diberikan bukan karena kondisi saat itu adalah

darurat melainkan karena ketidakmungkinan Al-Qur‟an untuk

menghapuskan praktik poligami secara sekaligus. Poligami telah menjadi

tradisi di berbagai belahan dunia. Yang paling strategis dilakukan

AlQur‟an melalui Nabi bukan menghapus poligami sampai tuntas

melainkan membatasi jumlah poligami dengan syaratsyarat yang sulit

untuk dijalankan. Menurut kelompok ketiga ini, yang dituju dari syariat

pernikahan adalah monogami bukan poligami. Yang masuk dalam

kelompok ketiga ini adalah Rahman, Husein Muhammad, dan Abdul

Kodir.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Musnad Ahmad, Juz IX, Beirut, Dar al-Fikri, 1995.

al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr, Juz V. Beirut: Dâr al-Fikr. 1995.

Amîn, Qâsim. Tahrîr al-Mar’ah wa al-Mar’ah alJadîdah. Kairo: Al-Markaz al-


„Arabî li al-Bahts wa al-Nasyr,.1984.

Faridl, Miftah, KH. 150 Masalah Nikah & Keluarga. Jakarta : Gema Insani.
1999.

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1999.

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mājah. Juz VI. Beirut : Dar al-Fikri.1995.
Ibnu Hajar Al Asqalany, Abi al-Fadhl bi ‘Ali. Tahdzib at tahdzib. Kairo
: Dar alHadits. 2010

Muslim, Imam Abi Husain. Shahih Muslim, Juz 4 (Beirut : Dar alKutub al-
‘Ilmiyah, 2011.

Muhammad, Imam Abi Abdillah. Shahih Bukhari, Juz 5. Beirut : Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah. 1992.

Muhammad Rasyîd Ridlâ, Tafsîr al-Qur’ân alHakîm, Juz IV Beirut: Dâr al-Kutub
al-„Ilmîyah, 1999.

Surah, At-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Sunan at-tirmidzi, Juz 4. Beirut: Dar
alKutub al-‘Ilmiyah 1992.

Surah, At-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Sunan at-tirmidzi, Juz 5. Beirut: Dar
alKutub al-‘Ilmiyah 1992.

Anda mungkin juga menyukai