Anda di halaman 1dari 6

09 TA’ARUDH AL-ADILAH

A. Pengertian Ta’arudh Al-adillah

Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan secara terminologis,


ta’arudh yaitu:
‫تقابل الديحبث يخالف أحد هما اآلخر‬.
“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berdeba/bertentangan dengan dalil lainnya.”
Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara beberapa dalil tentang
suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu menyatakan bahwa perbuatan tersebut wajib
dilakukan, sedangkan dalil lainnya menetapkan sunnah.
Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang saling bertentangan,
adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan pada
hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang
qath’i maupun zanni.[1]
Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang derajat atau kualitasnya
sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang shahih, sehingga apabila terdapat pertentangan
harus di cari solusinya.
Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan bagian dari kajian ilmu
ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan pandangan karena adanya pertentangan
antar dua dalil, hal tersebut adalah wajar. Yang paling utama adalah mencari cara penyelesaian
yang ilmiah dan masuk akal.
Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
1.      Pertentangan antara Al-qur’an dan Al-qur’an. Ada yang memandang diantara ayat-ayat Al-
qur’an, ada yang saling bertentangan, hal ini terjdai karena keterbatasan akal manusia.
Padahal, tidak satu pun ayat yang saling bertentangan, yang ada adalah ayat-ayat Allah
saling menafsirkan atau saling menjelaskan.
2.      Pertentanag antara Al-qur’an dan As-sunnah. Ini adalah pandangan bahwa kedudukan Al-
qur’an harus sama dengan As-sunnah, padahal tidak demikian. Yang harus ada bahwa As-
sunnah menjelaskan Al-qur’an, da Al-qur’an kedudukannya lebih tinggi dari As-sunnah.
Oleh sebab itu, tidak mungkin ada pertentangan dari keduanya, kecuali As-sunnah yang
kulaitasnya lemah, baik dari segi sanad maupun matannya.
3.      Pertentangan antara As-sunnah dengan As-sunnah.
4.      Pertentangan antara As-sunnah dengan akal.

B. Unsur-unsur Ta’arudh Al-adillah

Pertentangan hanya dapat terjadi, jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:


1.      Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti yang
satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-qur’an, sama-sama hadits
mutawatir, atau sama-sama hadits ahad.
2.      Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang satu
menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.
3.      Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran yang sama.
4.      Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu munculnya. Dengan demikian,
pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnya dalil.
5.      Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya maupun pada segi
sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat
mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir.

C. Jenis-jenis Ta’arudh Al-adillah

a.            Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT :

ُ ُ‫َو ْالخَ ي َْل َو ْالبِغَا َل َو ْال َح ِمي َ)ْر لِتَرْ َكبُوْ هَا َو ِز ْينَةً َويَ ْخل‬
َ‫ق َما اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan
(menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya ...  (QS. An-
Nahl (16): 8 )
Dalam  ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan keledai haya
diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna berbeda :
َ‫هللاُ الَّ ِذيْ َج َع َل لَ ُك ُم األَ ْن َعا َم لِتَرْ َكبُوْ ا) ِم ْنهَا تَأْ ُكلُوْ ن‬
Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai
dan sebagiannya untuk kamu makan.  (QS. Al-Mu’min (40): 79)
b.            Ta’arudh antara sunah dangan sunah.

ٍ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يُصْ بِ ُح ُجنُبًا ِم ْن ِج َم‬


‫اع ثُ َّم‬ َ ‫ض َى هللُ َع ْنهَا اَ َّن النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ع َْن عَاىِي َشةَ وأ ِّم َساَل َمةَ َر‬
)‫يَ ْغت َِس ُل َويَصُوْ ُ)م (متفق عليه‬
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh dalam keadaan
junub karena melakukan jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.
Hadits ini bertentangan dengan hadits lainyang berbunyi :
ُ‫ْح َواَ َح َد ُك ْم ُجنُبًا فَاَل يَصُوْ ُ)م يَوْ َمه‬
ِ ‫صاَل ِة الصُّ ب‬
َ ‫صاَل ِة‬ َ ‫اِ َذا نُوْ ِد‬
َّ ‫ى لِل‬
Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam keadaan
junub maka jangan puasa di hari itu.  (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban)
c.              Ta’arudh antara sunah dangan qiyas

Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang ukuran hewan


untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk putra,
berdasarkan hadits :
ِ ‫ق َع ِن ْال ُغاَل ِم َشاتَا ِن ُم َكا فَىَتَا ِن َوع َِن ْال َج‬
ٌ‫اريَ ِة َشاة‬ ٌّ ‫اَ ْل َعقِ ْيقَةُ َح‬
"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk
anak perempuan seekor kambing".  (HR. Asma binti Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewanyang lebih besar, unta
lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat sebagian
besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah Imam Malik,
bahwa aqiqah itu dilakukan dengan meyambelih kambing.
d.            Ta’arudh antara qiyas  dengan qiyas

Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad saw. terhadap Siti
Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim :
‫ْع‬ ُ ‫ى بِى َواَنَابِ ْن‬
ِ ‫ت تِس‬ ِّ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لِ َس‬
)َ ِ‫ت ِسنِ ْينَ َوبَن‬ ْ َ‫َوع َْن عَاىِ َسةَ قَال‬
َ ِ‫ تَزَ َّو َجنِ ْ)ى َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ت‬
)‫ِسنِ ْينَ (رواه مسلم وعن عاىسة‬
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun
dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembila tahun.  (HR.
Muslim dari Aisyah)
Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan mengawinkan orang
tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin yangbersangkutan yang masih di
bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap
karena kegadisannya.

D. Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-adillah

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan Syafiiyah dalam menyelesaikan
ta’arudh al-adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika terjadi ta’arudh al-adillah maka
penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:
a.       Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari aspek waktu
turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil
yang datang kemudian.
b.      Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat digunakan cara
tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu yang lebih kuat atau
(rajih).
c.       Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin untuk
di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan.
d.      Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak
menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain
yang lebih rendah urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa
menggunakan sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa
menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya.
Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili, cara yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah sebagai berikut:
1.      Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika memungkinkan. Alasannya karena
mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan membiarkan salah satunya.
Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234 surat Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-
Talaq sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang masing-masing berbicara tentang
masa iddah wanita yang dicerai oleh suaminya.
2.      Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara selanjutnya yang
ditempuh adalah dengan tarjih.
3.      Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka caranya meneliti
dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil yang datang terdahulu dapat
di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.
4.      Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan keluarnya adalah
tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat mengguanakan dalil yang lebih rendah
kualitasnya.
Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan syafi’iyah sebagaimana
telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya terletak pada
urutannya.
1.      Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut
2.      Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut

E. Contoh Penyelesaian Ta’arudh Al-adillah

1.      Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u wa al-taufiq (menggabungkan dan


mengkompromikan)

Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:


َ‫فَال‬ ‫فَإِ َذا بَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُّن‬ ‫أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا‬ ‫بِأَنفُ ِس ِه َّن‬  َ‫أَ ْز َوا ًجا) يَت ََربَّصْ ن‬ ‫ُون‬
)َ ‫ ِم ْن ُك ْم َويَ َذر‬  َ‫َوالَّ ِذ ْينَ يُتَ َوفَّوْ ن‬
‫ َوهللا بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬ ‫ف‬ ِ ْ‫بِ ْال َم ْعرُو‬ ‫فِي َما فَ َع ْلنَ فِى أَنفُ ِس ِه َّن‬ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم‬
َ ‫ُجن‬
Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4 menyebutkan:

‫ ِم ْن أَ ْم ِر ِه يُ ْسرًا‬, ُ‫ق هللاَ يَجْ َعلْ لَّه‬ ُ َ‫َوأُوْ ل‬


َ َ‫ت آأْل َحْ َما ِل أَ َجلُه َُّن أَن ي‬
ِ َّ‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن َو َم ْن يَت‬
Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang ditinggal
mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat bulan sepuluh
hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap wanita hamil baik
ditinggal mati suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah sampai melahirkan
kandungannya.

Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu terdapat
pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami. Namun perbedaan
itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat dikompromikan sehingga
kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat tersebut bila dikompromikan, maka
kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah perempuan hamil yang kematian suami
adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai
empat bulan sepuluh hari. Artinya, jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat
bulan sepuluh hari sejak suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan
sepuluh hari, dan jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga
melahirkan, maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.[6]
2.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh

Surah Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:

)ِ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن َواأْل َ ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬


‫ف َحقّا ً َعلَى‬ ِ ‫ك خَ ْيرًا ْال َو‬ ُ ْ‫ض َ)ر أَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ت إِن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َح‬ َ ِ‫ُكت‬
َ‫ْال ُمتَّقِ ْين‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:


ْ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل فِي ُخ‬
‫طبَتِ ِه عَا َم َح َّج ِة‬ َ ِ‫ْت َرسُوْ ُل هللا‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ع َْن أَبِي أُ َما َمةَ ْالبَا ِهلِ ِّي قَا َل‬
‫ث‬
ٍ ‫ار‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬ ٍّ ‫َاع إِنَ هللاَ قَ ْد أَ ْعطَى لِ ُك ِّل ِذي َح‬
ِ ‫ق َحقَّهُ فَاَل َو‬ ِ ‫ْال َود‬
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika
khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang
berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.”  (HR. Tirmidzi)

3.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih

Hadits Rasulullah saw. berikut:

َ ‫ َكانَ أَبُو هُ َري َْرةَ يَقُوْ ُل َم ْن أَصْ بَ َح ُجنُبًا فَاَل‬: ‫ال‬


ُ‫صوْ َم لَه‬ ٍ ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن َعتَّا‬
َ َ‫ب ق‬
  “Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata “Barangsiapa yang
junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad)

Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:

َ ‫ع َْن عَاىِ َشةَ َوأُ ِّم َسلَ َمةَ َزوْ َج ِى النَّبِ ِّى‬
َ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ َما قَالَتَا َكانَ َرسُوْ ُ)ل هللا‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬
‫ضانَ ثُ َّم يَصُوْ ُ)م‬ َ ‫اع َغي ِْر احْ تِاَل ٍم فِى َر َم‬ ٍ ‫ َو َسلَّ َم يُصْ بِ ُح ُجنُبًا ِم ْن ِج َم‬.
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw.
masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau
berpuasa.” (HR. Malik)

4.      Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth al-dalilain

Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20

‫فَآ ْق َر ُءوا) َما تَيَ َّس َر ِمنَ ْالقُرْ َءا ِن‬


“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an

Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman:


ْ ُ‫صت‬
َ‫والَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬ ِ ‫ َوأَ ْن‬,ُ‫ءالقُرْ َءانُ فَآ ْستَ ِمعُوْ الَه‬
ْ ‫ى‬ َ ‫َوإِ َذا قُ ِر‬
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum
untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut
berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca
Al-Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan
imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana
dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan
imam tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut
mengandung makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan
adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang
menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang
menjelaskan:

‫من صلى خلف اإلمام فإن قراءة اإلمام له قراءة‬


“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam menjadi
baginya”.  (HR. Jama’ah)

Anda mungkin juga menyukai