ُ َُو ْالخَ ي َْل َو ْالبِغَا َل َو ْال َح ِمي َ)ْر لِتَرْ َكبُوْ هَا َو ِز ْينَةً َويَ ْخل
َق َما اَل تَ ْعلَ ُموْ ن
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan
(menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya ... (QS. An-
Nahl (16): 8 )
Dalam ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan keledai haya
diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna berbeda :
َهللاُ الَّ ِذيْ َج َع َل لَ ُك ُم األَ ْن َعا َم لِتَرْ َكبُوْ ا) ِم ْنهَا تَأْ ُكلُوْ ن
Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai
dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)
b. Ta’arudh antara sunah dangan sunah.
Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad saw. terhadap Siti
Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim :
ْع ُ ى بِى َواَنَابِ ْن
ِ ت تِس ِّ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لِ َس
)َ ِت ِسنِ ْينَ َوبَن ْ ََوع َْن عَاىِ َسةَ قَال
َ ِ تَزَ َّو َجنِ ْ)ى َرسُوْ ُل هللا: ت
)ِسنِ ْينَ (رواه مسلم وعن عاىسة
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun
dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembila tahun. (HR.
Muslim dari Aisyah)
Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan mengawinkan orang
tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin yangbersangkutan yang masih di
bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap
karena kegadisannya.
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan Syafiiyah dalam menyelesaikan
ta’arudh al-adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika terjadi ta’arudh al-adillah maka
penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:
a. Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari aspek waktu
turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil
yang datang kemudian.
b. Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat digunakan cara
tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu yang lebih kuat atau
(rajih).
c. Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin untuk
di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan.
d. Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak
menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain
yang lebih rendah urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa
menggunakan sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa
menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya.
Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili, cara yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah sebagai berikut:
1. Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika memungkinkan. Alasannya karena
mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan membiarkan salah satunya.
Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234 surat Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-
Talaq sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang masing-masing berbicara tentang
masa iddah wanita yang dicerai oleh suaminya.
2. Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara selanjutnya yang
ditempuh adalah dengan tarjih.
3. Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka caranya meneliti
dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil yang datang terdahulu dapat
di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.
4. Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan keluarnya adalah
tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat mengguanakan dalil yang lebih rendah
kualitasnya.
Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan syafi’iyah sebagaimana
telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya terletak pada
urutannya.
1. Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut
2. Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut
Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu terdapat
pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami. Namun perbedaan
itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat dikompromikan sehingga
kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat tersebut bila dikompromikan, maka
kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah perempuan hamil yang kematian suami
adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai
empat bulan sepuluh hari. Artinya, jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat
bulan sepuluh hari sejak suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan
sepuluh hari, dan jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga
melahirkan, maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.[6]
2. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh
َ ع َْن عَاىِ َشةَ َوأُ ِّم َسلَ َمةَ َزوْ َج ِى النَّبِ ِّى
َ ِصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ َما قَالَتَا َكانَ َرسُوْ ُ)ل هللا
صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه
ضانَ ثُ َّم يَصُوْ ُ)م َ اع َغي ِْر احْ تِاَل ٍم فِى َر َم ٍ َو َسلَّ َم يُصْ بِ ُح ُجنُبًا ِم ْن ِج َم.
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw.
masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau
berpuasa.” (HR. Malik)
Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum
untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut
berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca
Al-Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan
imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana
dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan
imam tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut
mengandung makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan
adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang
menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang
menjelaskan: